Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

One fine day

Lou menutup mata dengan lengannya yang bebas. Suara narator dari kedua earphone terdengar merdu di telinganya. Setiap kata menciptakan dunia baru di dalam kepala, mengalun indah bak tarian yang bergerak hati-hati nan terperinci.

Memasuki kalimat berikutnya, Lou merasakan sesuatu yang berat di permukaan pundak. Ia pun mengintip. Rambut hitam menjadi hal pertama yang wanita itu lihat, dibarengi wangi sampo mint menyapa penciumannya.

Ryan membuka lembaran baru dari buku yang ia lahap. Dengan kaki tertekuk yang ditutupi oleh selimut hangat, laki-laki itu menikmati kisah dari setiap kalimat yang tertuang.

"Udah di bab berapa?" Lou bertanya setelah menekan tombol berhenti pada audiobook.

Ryan menengadah sekilas. "Bab sepuluh."

"Oh, masih banyak?"

Gerakan mengangguk di pundak menjawab pertanyaan Lou.

Pintu tiba-tiba terbuka, memperlihatkan bocah berambut pendek dengan jambulnya yang menggemaskan. Salah satu tangannya menggenggam buku berwarna biru gelap.

"Mama, mama, mama!"

Yang pertama bereaksi adalah Ryan. Pria itu segera menutup novel, lalu bangun dari pundak Lou. Di sisi lain, Lou hanya menaikkan alis. Terdengar dari anak laki-lakinya berlari dengan suara riang, sesuatu yang buruk memang tidak terjadi.

"Aku mau buku baru!" serunya sembari menggoyangkan buku ke langit.

Ryan menghembuskan napas, ia menyandarkan kepalanya lagi di pundak Lou, istrinya. "Adam, kamu bikin jantungan aja."

Adam tersenyum lebar ke arah sang ayah. Kemudian, matanya kembali mendarat kepada Lou.

"Ya, Ma, ya? Aku mau buku baru."

"Udah beres bacanya?"

"Udah."

Lou sedikit menggoda. "Yakin, nih?"

"Iya, Ma, udah beres. Beneran!"

Wanita itu sedikit ragu dengan kalimat yang dikatakan Adam. Pasalnya, ia pernah membelikan buku bacaan dengan jumlah yang cukup banyak untuk laki-laki itu dalam jeda waktu yang singkat. Ia pikir Adam memiliki kemampuan membaca di atas rata-rata.

Namun suatu ketika, Lou memergoki Adam membuka plastik yang membungkus buku barunya di dalam kamar. Ia membaca setiap lembar sekenanya, lalu menutup buku tersebut jika sudah selesai. Buku lain yang masih terbungkus pun berakhir serupa.

Adam terkejut bukan main melihat Lou menangkap basah dirinya. Satu pertanyaan terucap dan ia mengaku tidak membaca buku tersebut. Membuka buku baru bahkan menangkap gambar-gambar menarik di dalamnya ternyata menjadi sebuah hiburan bagi laki-laki itu.

Dan Adam menangis mengakui kesalahannya.

Lou sempat enggan membelikan Adam buku baru, tetapi Ryan yang terus membujuk serta Adam sendiri yang juga berkata tidak akan melakukan kesalahan yang sama membuat hati Lou mencair. Akhirnya ia membeli buku untuk Adam, hanya saja tidak sebanyak dulu.

"Coba cerita dulu tentang bukunya," pinta Lou, ia sedikit memberi ruang untuk Adam duduk di atas tempat tidur.

Adam dengan senang hati menerima permintaannya. Laki-laki itu sampai menunjuk beberapa paragraf favorit dari buku tersebut.

"Oke, ya, Ma?" Deretan gigi mungil Adam terlihat. "Buku baru."

"Ayah, Adam boleh nggak dapat bukunya?" Lou berkata, ia meletakkan kepalanya di atas puncak kepala Ryan yang masih asyik dengan novelnya.

Pria itu menandai halaman yang sedang ia baca, lalu menutupnya. Ryan pun mengelus pipi tembam Adam perlahan. "Kalau udah beres, ya... lanjutin aja ke yang baru."

"Yes!"

Lou tertawa. "Oke, ada di rak warna putih di urutan kedua. Tiga buku baru ada di sana semua."

"Tiga sekaligus? Makasih banyak, Mama!" Adam memeluk Lou erat. Ia segera berlari ke arah pintu.

"Eh, yang beli bukan mama, lho. Ayah yang beli."

Adam menghentikan langkah, menoleh ke arah Ryan, lalu berlari memeluknya. "Makasih banyak, Ayah!"

"Kapan kira-kira Adam mulai beli bukunya sendiri?" Ryan menatap pintu yang tertutup. Nada penuh canda itu memancing Lou membayangkan masa yang bisa datang kapan saja.

"Entahlah, Adam masih oke kita belikan buku pilihan―"

"Mama."

Kali ini seorang gadis memunculkan wajah dari balik pintu. Ada lesung pipit yang hadir di pipi kirinya.

Ryan memeluk pinggang Lou, menyembunyikan raut mukanya di lekuk leher wanita itu. Lou menghela napas, ia yakin Valence ingin dirinya menghadapi ini sendirian. Menyerahkan semua keputusan kepadanya.

"Ya, Sayang?"

Karina mendekati Lou. Tingkahnya sedikit malu-malu, bibirnya menahan diri agar tidak tersenyum lebih lebar.

"Ririn mau beli buku baru."

Nah, kan.

"Bulan ini jatah buat belanjanya belum dapat," lanjutnya. Ia sejenak menatap Lou, kemudian menundukkan kepalanya lagi. "Rencananya mau belanja dekat-dekat ini, Ma."

Keputusannya beserta Ryan dalam memberi jatah semua anggota keluarga kecil mereka untuk membeli buku setiap bulan kadang menjadi bagian yang membuatnya sedikit kewalahan. Beberapa kali ia lupa menyisihkan uang gajinya atau menagih uang Ryan karena ada kebutuhan lain yang lebih mendesak.

Sudah sekian tahun berlalu, maka sudah sekian rak buku yang tersimpan di perpustakaan pribadi keluarga mereka. Bahkan di kamar masing-masing pun satu sampai dua rak buku menemani tidur mereka. Bisa saja perpustakaan mereka tidak akan cukup menampung lagi buku-buku yang mereka beli.

"Nanti mama kasih, ya," Lou berkata. "Kamu bakal ke toko bukunya kapan? Mama pengin nitip."

Karina menggaruk hidungnya. "Gini, Ma, sebenernya Ririn mau coba beli e-book."

"Kamu tahu juga sama e-book."

"Mama," bibirnya mengerucut, tersinggung, "aku banyak baca begini, masa nggak tahu e-book. Terus itu lho, yang kayak tablet itu. Mama kadang-kadang baca di situ."

"Maaf, Mama kira kamu nggak tahu." Lou terkekeh canggung.

"Aku mau punya tablet kayak yang Mama." Karina memainkan kain bajunya.

"Namanya kindle, Sayang."

Gadis itu mengangguk. "Oke, kindle. Boleh nggak, Ma?"

Lou terdiam sejenak. Sikapnya itu membuat Karina menjadi tidak nyaman. Ia membawa dua tangannya ke belakang. Sesekali menunduk, lalu matanya akan mengarah ke tempat lain seolah-olah objek tersebut menjadi hal yang paling menarik di dunia.

"Boleh."

Senyum Karina kini secerah cahaya matahari.

"Tapi," tegas Lou, "setelah dapat kindle-nya, mama bakal potong jatah perbulan kamu."

Kali ini Karina yang terdiam. Gadis yang beranjak remaja itu merenung memikirkan apa yang dikatakan Lou.

"Potongannya sebanyak apa, Ma?" cicit Karina.

Lou menahan tawa. "Terserah Mama mau dipotong berapa."

"Hm... nggak apa-apa, deh, Ma."

Wanita itu tidak menyangka Karina memutuskan tanpa berpikir terlalu lama.

"Dan nggak sekarang, ya, Ririn." Lou tersenyum tipis. "Mama hitung-hitung dulu."

Wajah gembira Karina semakin terlihat. "Siap, Ma. Ririn tunggu dengan senang hati."

"Oh, iya, buat jatahnya besok mama kasih."

"Asyik, makasih, Ma!"

"Tunggu dulu, Rin," kata Lou melihat Karina beranjak pergi. Gadis itu menoleh. "Nanti nggak akan ke toko buku lagi setelah beli e-book?"

Sudut bibir Karina tertarik. "Masih ke sana, Ma, toko buku nggak akan tersingkir gitu aja."

Hati Lou menghangat. Ia ingin Karina maupun Adam selalu senang jika datang bahkan mengingat tentang buku serta tempat-tempat yang menjual buku di dalamnya. Lou berharap buku terus menjadi bagian dunia anak-anaknya di mana pun, sampai kapan pun.

"Ayah tidur, Ma?" celetuk Karina.

Lou melirik Ryan yang betah dengan posisinya.

"Tadi sih enggak." Wanita itu mengusap sisi kepala Ryan. "Sekarang kelihatannya tidur."

"Habis baca novel?" tebak Karina, lalu tersenyum jenaka.

Tidak aneh lagi jika Karina pun tahu kebiasaan Ryan. Lou sendiri sering menemukan pria itu akan tertidur dengan buku bacaannya. Padahal sebelum anak-anak mereka lahir bahkan menikah, Ryan tidak terlalu menggemari sebuah buku.

Lou bersyukur berhasil meracuni Ryan―tanpa sengaja. Intensitasnya membaca buku di mana saja telah memengaruhi pria itu sedikit demi sedikit. Di awal pernikahan mereka pun Lou tidak mengurangi kegiatan membacanya. Dapur, tempat tidur, atau berjalan-jalan.

Lalu, momen itu pun tiba. Satu judul buku yang Lou baca saat menunggu pesanan datang di suatu kafe membuat Ryan tertarik sekaligus jatuh cinta di saat yang bersamaan.

Sampai-sampai pria itu yang kini paling rajin membaca buku fiksi dan non-fiksi secara seimbang. Ryan juga begitu senang dengan ide Lou tentang membeli buku sebulan sekali untuk semua anggota keluarga jika anak-anak mereka sudah besar.

Agar dapat merealisasikan ide tersebut, Lou dan Ryan bekerjasama mengenalkan buku kepada Karina dan Adam sejak dini. Perjalanan yang cukup panjang dan tidak mudah. Namun, akhirnya semua terbayar.

Karina dan Adam memiliki perasaan membara terhadap buku sama seperti mereka.

Lou merapikan selimut yang menutupi tubuh Ryan, bibirnya tersungging melihat gerakan dada suaminya yang naik turun dengan tenang. Sedari tadi ia tidak banyak melakukan pergerakan. Kekuatan lengan yang Lou rasakan di sekitar pinggangnya sedikit mengendur.

"Iya, mungkin ngantuk pas lagi baca novel."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro