Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kisah 8 :: Ide yang Menarik

Yesa sudah bilang bukan, kalau saat ini ia tinggal sendiri. Ayahnya pergi meninggalkan ia dan ibunya ketika Yesa masih kecil. Alasannya sangat klise sekali, laki-laki itu tidak percaya dan tidak menerima apa yang ibunya punya alias kemampuan khusus yang beliau punya dan itu menurun padanya. Kekuatan mereka sama persis dan saat itu Yesa tidak mengerti apa-apa. Ibunya meninggal beberapa tahun yang lalu, karena sakit.

Yup, benar. Kalian tidak salah baca. Orang-orang berkemampuan khusus seperti ibunya dan Yesa bukanlah orang suci. Mereka bisa sakit, bisa juga mati, seperti manusia pada umumnya. Ibunya kebetulan memiliki sakit yang cukup parah, sejak beliau masih muda dan akhirnya merenggut hidupnya.

Yesa saat ini tinggal sendiri, di rumahnya sendiri. Yesa tidak tinggal di rumah saat ia dibesarkan. Kenangan di sana terlalu banyak untuk ia lalui sendirian. Jadi Yesa memutuskan untuk menjual rumah itu dan membeli rumah lain untuk ia tinggali sendiri. Beruntung pekerjaan ibunya memiliki dana pensiun yang cukup sehingga ia tidak perlu memutar otak untuk menghidupi dirinya sendiri.

Dan menjalankan misi ini juga sama seperti pekerjaannya, baik ia dan Abidzar mereka sama-sama dibayar dan memiliki gaji yang sepadan. Daripada menganggur mengapa ia tidak mengambil tawaran ini. Ya, meskipun harus sedikit repot karena ia harus pindah sekolah. Untung saja rumahnya dengan jarak ke sekolah masih bisa dijangkau jadi Yesa tidak perlu menjual rumah atau ngekos di tempat yang dekat dengan sekolah.

Omong-omong tentang misi, apa yang tadi Abidzar jelaskan panjang kali lebar padanya sebenarnya tidak salah. Yesa membenarkan apa yang telah Abidzar lalukan karena dengan begitu ia bisa mengetahui sedikit informasi dari mereka-mereka yang menjadi target misi mereka. Seperti yang Abidzar bilang, Ammar dan Nabil si ketua ekskul musik dan Basket bilang kalau mereka sangat sibuk sehingga menyampingkan perihal perasaan. Menurut mereka masa depan lebih penting daripada kebahagiaan masa remaja. Itu benar sih, tapi tetap saja Yesa harus membuat misi ini berhasil bagaimanapun caranya.

Gadis itu menghela napas panjang, sejak tadi matanya tidak berhenti memandang ke langit-langit kamarnya. Ada banyak sekali tempelan bintang di sana. Beginilah yang Yesa lalukan ketika sedang mumet dan tidak tahu harus bagaimana. Jelas ia bingung bagaimana caranya melanjutkan misi ini. Ia pun tidak punya seseorang untuk mendiskusikan ini bersama.

Sebenarnya bisa dengan Abidzar, tapi ia ingin ketika mereka bertemu kembali besok, ia sudah memiliki ide untuk disampaikan. Karena menurutnya, berdiskusi dari awal hanya akan membuang-buang waktu. Mereka pasti butuh waktu lebih lama untuk memikirkan bagaimana strateginya.

"Ibu Yesa lagi mumet," katanya pelan.

Tinggal sendiri jelas membuat Yesa lebih sering berbicara sendiri. Pun ketika sedang seperti ini, ia pasti berbicara seolah-olah ibunya bisa mendengarnya. Seolah-olah dengan begitu ia bisa memiliki ide. Padahal sebenarnya tidak juga. Ini hanya salah satu cara Yesa supaya ia merasa lebih tenang sedikit.

Gadis itu memejamkan mata. Tidak tidur, tetapi berpikir. Apa strategi yang tepat untuk mereka lalukan untuk menyelesaikan misi ini dengan menggunakan kekuatan mereka. Tidak mungkin kan, Yesa berdiri di depan ratusan murid sekolahnya lalu berkampanye kalau mereka harus memiliki hubungan percintaan supaya bahagia dan melanjutkan kampanye pemerintah untuk meningkatkan angka kelahiran. Jelas tidak mungkin.

Apa, ya?

Kebingungan Yesa mengantarkannya pada suatu ide. Bagaimana jika mereka berpura-pura pacaran, lalu ia bisa dengan mudah mempengaruhi teman-temannya untuk melakukan hal yang sama menggunakan kekuatannya? Sedangkan ia akan menggunakan kekuatan Abidzar untuk mengetahui sejauh mana usaha mereka berhasil.

Ide yang bagus!

Yesa bangkit dari tidurnya lalu terduduk dengan senyum lebar. Berhasil. Ia berhasil mengetahui bagaimana caranya.

Lalu dengan gerakan cepat, Yesa meraih ponsel yang berada di atas bantalnya, mengetikkan nama Abidzar secepat mungkin dan memintanya bertemu, besok sore sepulang sekolah. Bisa bahaya kalau mereka membicarakannya di sekolah. Kemarin saja ia dan Abidzar hampir ketahuan karena tidak memperhatikan sekitar.

Akhirnya malam ini Yesa bisa tertidur lelap. Satu dari sekian banyak hal bisa ia pecahkan. Semoga saja Abidzar menyetujui idenya besok. Ah, bukan. Mau tidak mau cowok itu harus setuju. Ini bukan hanya demi kebaikannya, tapi buat Abidzar juga. Mengingat kehadirannya di sini untuk membantu cowok itu. Tetap Abidzar yang menjadi pemeran utamanya di sini. Ia pasti akan membutuhkan peran Abidzar lebih banyak untuk membuat strategi ini berhasil.

Semoga saja apa yang ia rencanakan malam ini berhasil. Yesa bahkan sekarang berada di meja belajarnya, membuka buku catatan khususnya dan menuliskan satu per satu langkah yang harus mereka lakukan untuk membuat misi ini berhasil. Lebih tepatnya harus berhasil.

***

Di seberang sana, sama seperti yang Yesa lalukan, Abidzar juga melakukan hal yang sama. Kebingungan setengah mati memikirkan strategi apa yang harus mereka lakukan untuk menyelesaikan misi ini. Meski jangka waktunya masih panjang, mereka masih memiliki waktu lebih dari setengah tahun, namun jika tidak segera dilakukan sama saja tidak ada hasil apa pun. Beruntung pemimpin mereka mengirimkan Yesa pada Abidzar untuk membantunya. Dan tentu Abidzar juga tidak serta-merta mengandalkan Yesa terus-menerus. Ia harus berdiri di kakinya sendiri. Abidzar harus memikirkan cara supaya misi ini berhasil mereka lakukan.

Strategi pertama yang ia lakukan telah gagal, Abidzar mengakuinya. Meski Yesa mungkin sedikit menghiburnya dengan mengatakan apa yang Abidzar lakukan kemarin tidak sepenuhnya salah, tetap saja Abidzar merasa strategi itu gagal total. Ia harus memikirkan cara lain. Tapi apa?

Sudah sejak hari gelap, Abidzar berada di balkon kamarnya. Yang selalu Abidzar lakukan untuk merenung. Di balkon kamarnya ini, ia bisa melihat dengan jelas bintang-bintang yang bertaburan di langit. Meski kadang tidak terlihat, itu membuat Abidzar merasa sedikit lebih baik. Terkadang apa yang ia pikirkan juga jadi lebih mudah. Tapi entah kenapa sudah beberapa jam, Abidzar juga tidak menemukan ide yang jelas. Ia tidak tahu harus bagaimana.

Mana besok Yesa sudah mengingatkan ia untuk membawakan strategi yang baru, jelas setidaknya Abidzar harus memikirkan apa yang akan ia ucapkan pada gadis itu membuatnya semakin pening.

"Hei, ngapain lo di balkon kaga masuk-masuk? Gue lihat-lihat udah dua jam lo di sana." Itu suara kakak pertamanya. Brian namanya.

Kamarnya memang bersebelahan dengan kamar Brian. Jadi ketika Abi berada di balkon, cowok itu bisa melihatnya dengan jelas. Kakaknya itu sudah hafal bagaimana tabiat Abidzar kalau sedang banyak pikiran. Seperti sekarang, menatap langit terlalu lama. Padahal tidak mendapatkan apa-apa.

Suara Brian menghilang, beberapa saat setelahnya ia muncul dan duduk di samping Abidzar. Brian berbeda enam tahun dari Abi. Sekarang usianya 27 tahun. Tidak punya banyak kerjaan selain membantu kakak keduanya di cafe. Alias si Brian ini punya banyak usaha tidak terlihat. Salah satunya pemilik kos-kosan 3 lantai dekat lingkungan kampus. Tidak jauh dari rumahnya.

Sudah cukup membicarakan Brian. Abidzar tidak ingin terlalu lama membicarakan cowok itu. Bukan karena ia membencinya, atau karena hubungannya tidak terlalu dekat. Justru sebaliknya.

"Ngape lo? Misi lo berat lagi? Jalani aja, lo kan dibayar juga, sih. Nikmati aja." Abidzar mendelik, matanya menatap tajam sang kakak. Memang enak sekali mulutnya kalau berbicara. Selalu menggampangkan sesuatu.

Tabiat buruk Brian yang tidak boleh ditiru.

"Gue lagi bingung, Bang." Abidzar menceritakan segala kegelisahan dan kebingungannya pada sang kakak.

Meskipun jarak usianya dengan sang kakak cukup jauh, kedekatan di antara mereka cukup dekat. Sebelum-sebelumnya, Abidzar memang jarang menceritakan tentang kegelisahannya pada siapa-siapa di rumah ini. Berhubung kali ini ia menjalani misi berdua bersama Yesa, Abidzar tidak ingin kalah dari gadis itu. Abidzar juga ingin berkontribusi lebih pada misi mereka. Kendati mereka sama-sama mendapatkan upah dari apa yang mereka kerjakan, tetap saja harga dirinya sebagai laki-laki akan terganggu jika kali ini Yesa jauh lebih unggul darinya. Ia tidak mau dianggap sebagai anggota yang gagal dan hanya bisa berhasil ketika dibantu.

"Kenapa nggak kalian aja jadi contoh nyata." Brian memberikan ide.

"Maksudnya?"

"Ya, sekalian aja kalian jadi contoh. Pura-pura pacaran. Kalau cuma ngandelin ngedeketin mereka doang kalau nggak ada action mah percuma. Anak sekarang tuh emang perlu dikasih contoh, baru bisa ikut-ikutan. Nah, baru deh kalian bisa ngandelin kekuatan masing-masing. Kan, enak. Misi kalian bisa berhasil kalau gitu."

Kenapa Abidzar tidak terpikirkan hal itu, ya? Benar yang Brian katakan.

"Tumben lu pinter, Bang?"

Brian menoyor kepala Abidzar pelan. Adiknya ini lama-lama memang perlu diberi pelajaran. Dibantu malah begitu. Brian sudah hafal tabiat Abi yang sebenarnya tidak jauh berbeda dari dirinya.

Namanya juga bersaudara.

"Upahnya jangan lupa traktir gue nasi Padang sebulan, ya." Brian kemudian pergi dari kamar Abi. Tidak baik bagi mentalnya lama-lama berada di dekat anak itu, bisa-bisa ia darah tinggi terus karena kelakuannya yang kadang membuat darah mendidih.

Brian bercanda. Gitu-gitu ia juga sayang adiknya.

"Iyee, mau satu tahun juga gue jabanin, tapi kagak pake lauk ye, Bang."

Ide bagus. Memang paling benar ia datang meminta saran pada Brian. Berhubung laki-laki itu yang menghampirinya duluan, jadi Abi seperti mendapatkan sebuah ide brilian. Fiks, besok ia akan mengusulkan ide ini pada Yesa.

Dan kebetulan sekali gadis itu menghubunginya. Katanya, besok mereka harus segera membicarakan tentang hal ini. Tidak boleh ditunda-tunda lagi. Tempatnya masih sama, seperti beberapa waktu yang lalu. Rasa-rasanya cafe itu akan menjadi markas tersembunyinya dengan Yesa jika terus-menerus berbicara di sana. Namun Abi tidak punya pilihan lain selain mengikuti gadis itu. Next time, ia yang akan menentukan tempatnya. Tidak akan Abidzar biarkan cafe itu menjadi satu-satunya tempat mereka bertemu.

***

Selama di sekolah mereka berusaha untuk tidak bertegur sapa terlalu sering. Ada beberapa hal yang perlu mereka jaga sampai strategi yang mereka lakukan pasti. Maka dari itu ketika pulang sekolah, mereka berangkat menggunakan motor masing-masing dan tidak berbarengan. Menghindari kecurigaan yang lain.

Walaupun ini terdengar seperti mereka begitu percaya diri, padahal sebenarnya tidak. Mereka hanya bersikap hati-hati. Apalagi Ammar sudah mengetahui kalau mereka saling kenal. Tidak menutup kemungkinan cowok itu membocorkannya pada banyak orang. Semakin banyak orang yang tahu semakin berbahaya posisi mereka. Kecuali ide yang akan Abidzar sampaikan nantinya disetujui oleh Yesa. Mereka tidak akan lagi bersikap seperti ini di depan siswa-siswi lainnya.

Abidzar berkaca terlebih dahulu sebelum memasuki cafe. Ia perlu menata diri dulu, meskipun tidak ada siapa-siapa di dalam, penampilan tetap yang paling utama.

"Lo nggak nunggu lama, kan?" Abi segera bertanya ketika melihat Yesa sudah sampai lebih dulu. Bahkan gadis itu memesan minumannya terlebih dahulu.

"Nggak lama, kok. Gue juga baru dateng. Maaf pesen minuman dulu, gue haus banget. Di luar terlalu panas." Abidzar mengangguk. Ia memaklumi Yesa karena ternyata gadis itu meminta maaf lebih dulu padanya.

"Jadi gimana? Apa lo ada ide buat strategi kita ke depannya gimana?" Abidzar langsung berbicara pada poinnya.

Kini ia mengambil alih, biasanya Yesa lebih dulu yang akan bertanya, sekarang Abidzar yang ingin tahu bagaimana ide gadis itu lebih dulu. Sebenarnya Abidzar yakin idenya yang akan terpilih, tapi mari kita dengarkan bagaimana ide dari Yesa. Apakah lebih bagus dari idenya? Atau justru sebaliknya?

7 September 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro