Yes, belongs to you ⭐🌏 (2)
Lanjutan chapter Body and Money~✨
BokuAka Yakuza AU
WARNING!!! Apa yang Bokuto (36) lakukan pada Akaashi (17) di chapter sebelumnya itu tidak dibenarkan. Meski karena keduanya saling menyukai, jika melihat usia berdasarkan norma masyarakat maka itu dianggap salah.
Hubungan romansa yang terlalu dini, ditambah lagi berlandaskan kekerasan akan memberikan dampak pada psikologis korban. Jadilah pembaca yang bijak!
*****
"Ahhh, bajingan itu menusukku..."
Keluh remaja itu sambil meremas perutnya yang terluka, duduk terkapar di pinggir jalan.
Hujan yang mengguyur membuat suhu tubuhnya menurun, membasuh darahnya yang keluar.
Ia mendengus melihat orang-orang yang berlalu lalang hanya memandang tanpa membantunya.
Masyarakat yang peduli? Omong kosong.
"Astaga, kenapa kamu bersimbah darah?" Seru seorang wanita sambil setengah berlari sambil membawa payung.
Wanita itu mendekat dan membuat hujan tidak menyentuh remaja itu lagi.
.
.
.
Seorang pria menyulut rokoknya dalam keheningan.
Tubuh atletisnya dibalut yukata Hijau, dan haori hitam bertuliskan 兎 yang berarti kelinci. Ia juga memakai sandal kayu, membuat langkah kakinya berderak.
Teringat seorang wanita bersurai hitam yang sedikit ikal.
Wanita yang dulunya selalu menghantui benaknya.
Tersenyum sambil menitikkan air matanya.
"--kun...."
Memanggil namanya seperti anak kecil.
Sambil menyesap rokoknya, pria itu berjalan di antara kubangan darah yang bersimbah.
Di mana tumpukan mayat berserakan di sekelilingnya.
Kepalanya menengadah, di mana langit malam berada.
Bulan bersinar pucat di atasnya.
Terdengar nada lirih yang mengiringi langkahnya, kepalanya mengangguk mengikuti dentuman nada lagu.
"Lost in paradise~"
Senandung bibir yang terselip rokok.
"Night and day are fading out."
Ia membentangkan tangannya, seakan tengah merangkul seseorang.
"When time gets rough."
Tubuhnya berputar di antara mayat, tiada peduli jika kakinya menginjak jasad-jasad itu.
"Access to your love."
Ekspresinya teduh, seakan tengah menatap seseorang yang ia cintai. Kedua tangannya lalu terkulai ke bawah.
"Lost in paradise."
Pria itu menghirup dalam rokoknya, lalu mencabut katana yang menancap di tubuh seseorang yang tidak jauh berada darinya.
"Night and day are fading out."
Sekali hentakan kuat, darah yang melumuri pedang itu memercik meninggalkan bilah besi yang mengkilat tajam.
"Keep on dance now."
Iris emas itu berkilat tajam, menyarungkan pedangnya kembali pada sabuk yang terikat pada pinggangnya.
"Hey hey hey hey hey~"
Seorang pria berwajah rubah dengan setelan jas hitam mengekor di belakang lelaki yang tengah bersenandung.
"Bokuto-sama, suasana hati anda sedang bagus ya?"
Lelaki yang dipanggil Bokuto-sama itu menyeringai.
"Heheh, yah, karena aku sudah mendapatkan apa yang aku mau!"
Iris hazel pria itu tersenyum, bibirnya juga melengkung naik. Nama pria itu Konoha Akinori, tangan kanan Bokuto.
Meski usianya 10 tahun lebih tua, Konoha selalu menunduk hormat pada Bokuto.
Bokuto selalu melarang Konoha untuk memperlakukannya seperti Bos karena tidak suka, baginya Konoha adalah teman pertamanya.
Walau terkesan seperti kaka beradik, Konoha hanyalah bawahan yang sejak dulu diperintahkan untuk menjadi penjaga Bokuto.
Karena sudah mengenal Bokuto cukup lama, Konoha tahu sifat kekanak-kanakan Bokuto ketika senang mendapatkan apa yang ia mau tidak pernah hilang.
"Apa ini karena Akaashi-sama?"
Nyanyian Bokuto berhenti, ia menoleh dengan senyum lebar terpantri.
"Yap."
Konoha mengangguk paham.
"Apa anda mengencaninya?"
Wajah Bokuto menjadi kusut, Konoha meneguk ludah, ia menginjak ranjau.
"Tidak... aku memaksanya dengan uang." Bokuto sendu, ia menyentuh kedua ujung jari telunjuknya bersamaan.
"Apa aku akan dibenci???"
Konoha hanya diam, jika ia menjawab iya maka Bokuto akan sedih, jika ia menjawab tidak maka Bokuto juga akan bersedih karena tahu Konoha berbohong.
Apapun pilihan yang tersedia membuat Konoha menggali kuburnya sendiri.
.
.
.
Akaashi mengerjap, pandangannya sedikit kabur.
"Mmh?"
Ada sepasang tangan yang mendekap perutnya, dan orang memeluknya masih tertidur.
Oh, benar. Saat ini Akaashi sedang berada di hotel bersama Bokuto.
Setelah semalaman mendapat sentuhan seksual secara terus, Akaashi jatuh tak sadarkan diri.
Ketika Akaashi mencoba bangun, pelukan diperutnya semakin erat.
Seakan tidak ingin melepaskan Akaashi.
Karena tidak punya tenaga untuk melawan, Akaashi kembali berbaring.
"Udah bangun ya?"
Akaashi berjengit, suara serak dan dalam itu menyapa gendang telinganya.
"......" Akaashi hanya diam.
Melihat tidak ada respon, Bokuto menyesap ceruk leher Akaashi.
Membuat tubuh kecil yang Bokuto dekap bergidik, menegang.
Cukup lama keduanya terdiam, hingga Bokuto membuka suara.
"Wajar jika kamu membenciku."
"......."
"Dari awal aku sudah memaksamu dengan uang..."
Akaashi menggigit bibir, menahan diri agar tidak bersuara.
Dadanya terasa sesak, sakit.
"Sejujurnya, aku menyukaimu."
Akaashi membelalak.
Apa Bokuto sedang bercanda padanya?
"Dan aku tahu kamu tidak mungkin tertarik dengan pria tua sepertiku, bahkan andaikan aku seorang wanita sekalipun, kau mungkin akan membandingkan usiaku dengan ibumu."
Suara Bokuto bergetar.
Akaashi mencoba melepaskan dirinya, ia sudah tidak tahan.
Dekapan itu terlepas, Akaashi menindih perut Bokuto.
Mencekik leher tebal si pria akhir 30 tahun.
"Kamu..." Kemarahan Akaashi memuncak, alisnya menukik turun.
Bokuto tidak melawan, hanya menatap wajah Akaashi dalam diam.
"Maaf, Ji." Akaashi semakin terbakar amarah, semakin erat mencekik Bokuto.
"JANGAN MINTA MAAF!!!"
Dada Akaashi terasa bergejolak, seakan jantungnya akan meledak.
"Sungguh, aku menyukaimu--"
"DIAM!"
Akaashi merasa kesal, sangat kesal.
Namun kenapa air matanya menetes?
Bulir bening itu kini berjatuhan di atas wajah Bokuto.
"Hiks." Akaashi terisak, ia menangis sejadi-jadinya.
Bokuto menggenggam tangan Akaashi, mengarahkan jari jemari lentik itu untuk mencengkram lehernya.
"Kuatkan cengkramanmu Ji, tekan ibu jarimu di sini."
Bokuto membuat Akaashi mencekiknya.
"Buat aku tersedak karena jakunku, dengan begitu aku akan mati kehabisan udara."
Akaashi menggigit bibirnya, ia mengikuti arahan Bokuto.
Tapi... Melihat ekspresi teduh yang Bokuto buat, Akaashi kehilangan tenaganya.
"Ji?" Bokuto terheran, Akaashi melepas cengkramannya.
Tertunduk dan menangis.
"Kena...pa?" Suara Akaashi serak, terdengar pilu.
"Kenapa kamu baru mengatakannya sekarang?"
Bokuto terdiam, menatap Akaashi yang kacau.
"Aku... selalu sendirian, dan aku benci itu..."
Akaashi mengusap matanya yang terus berair.
"Aku takut, jika aku membuka hati hanya untuk dipermainkan... Tapi..."
Akaashi kembali menatap Bokuto, iris zamrudnya memerah.
"Koutarou-san..."
Bokuto segera bangkit dan mendekap Akaashi yang terisak.
Tidak biasanya anak itu memanggil nama depannya.
"Shhh, jangan nangis Ji."
Bokuto mengusap anak sungai yang mengalir, tak tega dengan Akaashi.
"Bukankah kamu membenciku?"
Akaashi menggeleng.
"Kamu menyukaiku?"
Akaashi menatap Bokuto dalam diam, meraih wajahnya dan...
Chu♡ mengecup bibir Bokuto.
"Kamu seriusan?" Akaashi menganggukkan kepalanya.
Ketika seseorang berada di titik terbawahnya dan menerima uluran tangan.
Entah dari orang asing yang aneh sekalipun, jika orang tersebut bisa mengisi kekosongan yang ia rasakan...
Akan muncul perasaan nyaman, berlarut menjadi bergantung, hingga cinta.
Wajar jika di suatu kondisi korban penculikan akan mencintai orang yang menculiknya.
Stockholm syndrome.
"Sejak kapan Ji?"
"Aku.. tidak tahu, hanya saja setiap kali kamu bersama wanita lain aku merasa kesal."
Bokuto teringat dulu ia pernah minum dengan para wanita dan Akaashi minta diantar pulang oleh Konoha.
"Meski kita berdua lelaki?"
"Memangnya apa yang salah dengan jenis kelamin?"
Akaashi merengut kesal.
"Apa yang salah dengan saling mencintai?"
Akaashi melihat ke arah bawah, menggenggam penisnya sendiri.
"Benda ini juga tidak berguna." Mengingat Akaashi yang menjadi Uke aka Bottom.
"Jangaaan~ aku ga mau." Bokuto dengan panik mendekap erat Akaashi.
"Aku suka kamu apa adanya."
"Apa karena aku mirip dengan ibuku?"
Bokuto menggembungkan pipinya.
"Sebenarnya aku bohong suka dengan ibumu."
Akaashi terdiam, mengerjap bingung.
"Tunggu, apa?"
"Aku... bohong kalau suka ibumu."
Hold a sec... Jadi dari awal Bokuto...?
"Uaah, dasar pedo."
"Heeey!" Sungut Bokuto tidak terima.
.
.
.
20 tahun yang lalu.
Di mana Bokuto dan ibu Akaashi dulu menjadi tetangga sejak kecil.
Bokuto yang berasal dari keluarga Yakuza, dan ibu Akaashi yang hanya orang biasa.
Keduanya berteman baik, karena Klan Bokuto memiliki sikap yang ramah terhadap orang lain.
Berbeda dibandingkan kebanyakan Yakuza yang menonjolkan dirinya bahwa ia memiliki kasta tertinggi.
Seorang remaja lelaki berjalan di bawah guyuran hujan, menuju seseorang yang tengah duduk terdiam di atas jalanan.
"Oy, cewe."
Wanita yang dipanggil itu menengadah, ia tersenyum.
"Apa aku masih terlihat seperti seorang gadis untukmu?"
Wanita itu duduk di atas dinginnya aspal, bajunya basah.
Membuat perut buncitnya tercetak, ia tengah mengandung.
"Bokuto-kun?"
Remaja membawa payung, membuat wanita itu tidak kehujanan lagi.
Ekspresinya Bokuto terlihat sedih, seakan terluka.
"Jangan begitu, wajahmu jadi jelek."
"Bukankah sudah ku bilang jangan bersama si brengsek itu?"
Wanita muda itu hanya tersenyum, mengelus perutnya.
"Andai waktu bisa diulang, aku takkan termakan rayuannya."
Ibu Akaashi hanya tersenyum, pundaknya bergetar.
"Aku sudah tidak peduli dengan hidupku, tapi anak ini... dia tak bersalah."
Iris zamrud itu tertuju pada perutnya.
"Aku tidak ingin orang-orang berpikir buruk tentangnya, dia masih sebersih salju."
Ibu Akaashi terisak, nafasnya tercekat.
"Aku... takut, Kou-chan..." Sambil memeluk perut, air matanya jatuh.
"Bisakah aku menjadi seorang ibu?"
Senyum lebar dengan bibir yang gemetar, dengan anak sungai yang deras mengalir.
Meski hatinya remuk, ibu Akaashi masih terlihat cantik.
Bokuto berjongkok, mengusap pipi ibu Akaashi yang basah.
"Kamu akan menjadi ibu yang hebat."
Ekspresi serius, tak ada niat mengejek. Iris emas itu menatap lurus, seakan menaruh keyakinan pada setiap kata yang ia ucapkan.
"Hentikan tangismu, wajahmu jadi jelek."
Ibu Akaashi terkekeh, mengacak-acak helai kelabu Bokuto dengan gemas.
Layaknya seorang kakak dan adik.
"Hehe, bocah ini."
.
.
.
5 tahun kemudian setelah Akaashi lahir.
"Kou, titip Keiji sebentar ya?"
Bokuto mengangkat alisnya tinggi, menatap bocah berusia 5 tahun yang digandeng seorang wanita cantik.
"Kamu pikir aku penitipan anak?"
"Ayolah, mana mungkin aku mengajak anak kecil untuk pertemuan Yakuza."
Bokuto melirik Akaashi kecil yang menatapnya dengan bingung.
"Baiklah, tapi jika ia menangis aku akan memukulnya--aduh!" Bibir Bokuto dicubit.
"Kamu mukul dia, aku laporkan ke ayahmu."
"Dasar tukang adu!"
"Hehe, bocah ini." Ibu Akaashi mengacak-acak helai kelabu Bokuto.
"Gah, jangan perlakukan aku seperti anak kecil!" Bentak Bokuto dan Ibu Akaashi hanya tersenyum sambil menjauh.
"Keiji-kun, ini Koutarou nii-chan." Akaashi menganggukkan kepalanya.
"Calam kenal, Kou Nii-chan."
Zabb! Sebuah panah transparan menusuk dada Bokuto.
Senyum ceria dengan wajah berseri-seri itu terlihat sangat menggemaskan!!!
"Hehe, dia imutkan?" Cengir ibu Akaashi.
"Mana ada." Ketus Bokuto.
"Heh, anak ini. Kalau kakak ini nakal bilang saja sama kakak yang satu itu." Ibu Akaashi menunjuk seorang pemuda bersurai keemasan dengan mata rubah yang mengawasi mereka dari kejauhan.
Pemuda itu terkejut saat Ibu Akaashi melibatkannya, mau tidak mau pemuda itu mendekat.
"Namanya Konoha Nii-chan."
"Ona-nii-chan?"
Konoha berjongkok di hadapan Akaashi kecil.
"Ko-no-ha-nii-chan." Eja Konoha.
"Ona-nii-cha!"
Konoha meremas kemejanya sambil tertunduk, gemas dengan Akaashi.
"Hehe, kalian takkan bisa menahan keimutan Keiji!" Tawa Ibu Akaashi dengan penuh kebahagiaan.
Bokuto hanya berdecak kesal melihat tingkah bodoh wanita yang lebih tua darinya itu.
Ibu Akaashi berjongkok di depan Akaashi, mengecup kening anak itu dan menyodorkan kelingkingnya.
"Mama akan cepat pulang, jadi jangan nakal, oke?"
Akaashi kecil menyodorkan kelingkingnya, mengait kelingking ibunya.
"Hu'um, Keiji ga bakal nakal!"
Ibu Akaashi terkekeh dan beranjak pergi, meninggalkan anaknya bersama dua orang pemuda.
"Oy, bocah!" Bokuto berjongkok, menyamakan tingginya dengan Akaashi.
"Kau sudah makan?" Akaashi menggeleng, lalu mengangguk.
Perempatan imajiner muncul di kening Bokuto.
"Yang benar yang mana??"
Akaashi menggigit bibirnya, matanya berair.
"B-Bokuto-sama..." Cegat Konoha khawatir.
"Kamu lelaki kan? Jangan nangis."
Akaashi mengangguk, tp air matanya semakin menggenang.
"Bocah ini--" Bokuto terdiam, Akaashi menyodorkan sebuah permen.
"K-kalau marah-marah, kata mama enaknya makan yang manis-manis."
Bokuto membeku, Akaashi menatapnya dengan iris zamrud yang berair, wajah bersemu, dan bibir yang mengerucut.
Deg.
Bokuto meremas kaos yang ia kenakan, bingung dengan detak jantungnya yang berdetak begitu cepat.
"Konoha, kenapa detak jantung seseorang berdetak semakin cepat?"
Konoha mencoba berpikir.
"Tergantung penyebab Bokuto-sama, bisa karena penyakit, takut--"
"Maksudmu aku takut dengan anak kecil?!"
"Ehh? Bukan, dengarkan dulu..." Jika tidak dijelaskan dengan benar, Konoha yakin kelingkingnya akan hilang detik itu juga.
"Lanjutkan."
"G-gugup, merasa tertantang, atau sedang jatuh cinta..."
Bokuto mengangkat sebelah alisnya, heran.
"Konoha, jangan bercanda."
"A-anda ingin saya melakukan riset?"
Bokuto melirik Akaashi yang sedang menahan tangis.
"Tidak, tidak usah, aku cari sendiri saja."
Bokuto menggenggam tangan kecil Akaashi dan mengajaknya pergi.
"Ayo kita cari makan." Akaashi kecil hanya mengangguk.
Dan selama bersama Akaashi, Bokuto dibuat kebingungan dengan detak jantungnya yang berdebar.
Hampir seminggu Ibu Akaashi menitipkannya pada Bokuto, dan selama itu pula Bokuto merasa jantungnya seakan akan meledak.
"Konoha, panggil Shirofuku agar memeriksa kondisi tubuhku."
Shirofuku merupakan dokter kepercayaan di keluarga Bokuto.
"Apa anda merasa tidak enak badan?"
"Entahlah, aku juga bingung setiap kali bersama bocah itu dadaku seperti bom waktu."
Tidak mendengar jawaban dari Konoha, Bokuto menoleh dah mendapati bawahannya itu menutup mulutnya dengan wajah syok.
"Kenapa kau?"
"S-saya tahu anda tidak tertarik bermain dengan wanita, t-tapi Akaashi-kun baru berumur 5 tahun..."
"Hah?"
"Eh? Bukan ya?"
"......." Bokuto terdiam.
"Haha, saya hanya bercanda." Tawa Konoha.
"......."
"B-Bokuto-sama?"
Bokuto tidak menjawab.
Konoha segera merogoh ponselnya, lalu menunjukkan foto wanita cantik yang secara random muncul di internet.
"B-bagaimana, Bokuto-sama?"
"Dia terlalu banyak memakai make up."
"Aku tidak suka wanita yang lebih tinggi dariku."
Konoha lupa menanyakan tipe yang Bokuto sukai.
"Bokuto-sama, wanita seperti apa yang ingin kamu kencani?"
"Wanita yang pendek, warna rambutnya hitam, matanya berwarna zamrud. Aku tidak terlalu peduli dia pintar atau tidak, yang pasti dia menggemaskan."
Konoha menunjukkan foto ibu Akaashi.
"Dia menarik sebagai nenek lampir."
Kemudian, Konoha dengan gemetar menunjukkan sebagian foto seseorang yang dipotong.
Rambut ikal hitam, iris zamrud, dan senyum yang terpantri, meski hanya sebagian terlihat cantik.
"Ohh, meski fotonya terpotong dia terlihat cantik, wanita dari distrik mana--eh?"
Jejeng~ itu foto Akaashi.
Bokuto berkeringat dingin, menatap Konoha yang gemetar.
Wajah keduanya memucat.
Di usianya yang 24 tahun, Bokuto menyadari bahwa ia hanya tertarik pada Akaashi Keiji.
.
.
.
Saat ini.
Akaashi menatap Bokuto dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
"Setidaknya kamu tidak melecehkanku saat aku masih 5 tahun."
"Keijiiiii~" Rengek Bokuto, rasa bersalahnya semakin menumpuk.
Akaashi mendengus melihat pria dengan janggut tipis itu menangis seperti bayi.
"Shh, kamu jelek kalau begitu."
Bokuto menatap Akaashi, ia seakan melihat ibu Akaashi.
Sudah lama sekali Bokuto tidak berbicara dengan sosok kakak yang takkan segan mengomeli orang berdarah Yakuza.
Bokuto terkekeh, mendekap erat Akaashi yang kebingungan.
"Hehe, iya aku jelek~"
*****
Author note :
Akaashi (20) telah bersama Bokuto (39) selama 3 tahun, dan selama itu Akaashi yang pada awalnya membenci Bokuto mulai terbiasa.
Ketika Akaashi sudah terbiasa, ia tanpa sadar menerima Bokuto.
Efek hubungan dengan rentang usia jauh dengan berlandaskan pelecehan seksual dapat memberikan berbagai efek pada korbannya.
Dia akan menjadi depresi, trauma, dan sulit berinteraksi dengan orang lain karena rasa takut.
Atau... Dia akan memutar balikkan fakta yang ia lihat dan berpikir bahwa itulah bentuk cinta dari orang lain.
Karena bentuk cinta beragam.
Ada yang berpikir kasih sayang adalah bentuk cinta yang sebenarnya.
Ada juga yang berpikir kekerasan adalah cara menyampaikan cinta.
Ada juga yang berpikir kerja keras menghasilkan uang tanpa memberikan perhatian adalah bentuk cinta.
Menurutmu, bagaimana bentuk cinta seharusnya?
Next last chapter dari BokuAka Yakuza AU!!!
8 September 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro