Stalker? No! I'm--
Office Coworker Akaashi dan High school student Bokuto. Age-gap.
Akaashi tidak menduga kalau tetangga kecilnya selalu menguntit ketika ia...
.
.
.
"Ahhh... akhirnya aku bisa pulang." Akaashi menghela nafas lelah, pinggangnya benar-benar remuk karena seharian duduk.
Menjadi orang dewasa tidak seindah yang ia kira, bahkan ketika ia memilih untuk hidup sendiri dan mengurus semuanya seorang diri.
Hanya saja ia cukup beruntung, memiliki rumah sendiri dan tetangga yang ramah meski ia sendiri jarang bersosialisasi. Bahkan rumah itu ia dapat tepat di dekat rumah lamanya dulu, hanya saja karena pekerjaan kedua orangtuanya pindah ke Osaka sementara ia menetap di Tokyo.
Rumah mereka terlalu besar untuk ia tinggali sendiri, dan kedua orangtuanya setuju jika mereka menjual rumah lama. Sementara Akaashi membeli rumah baru yang sederhana dan minimalis, bukan apartemen, melainkan rumah yang berdiri sendiri di atas tanah dengan pekarangannya.
Dirinya cukup beruntung di usia 23 tahun, ia memiliki pekerjaan tetap meski melelahkan. Dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dan juga memiliki rumah sendiri.
Terbilang ia sukses untuk di usianya yang masih muda.
"Aku lapar."
Iris zamrud itu melirik smartphonenya, sekarang sudah pukul 11 malam. Apakah masih ada orang yang berjualan?
"Aku beli makanan di kombini saja."
Akaashi mengeratkan jaketnya dan lanjut berjalan, mengingat toko swalayan berada satu arah dengan rumahnya.
"Aku akan mencari makan malam, lalu--" Bibirnya kelu, ekor matanya menangkap siluet seseorang yang begitu tinggi dan besar di belakangnya.
Tap. Tap. Tap.
Akaashi mengerut, ia segera memperlebar langkahnya hingga hampir berlari. Membuat ransel di punggungnya tergoncang karena momentum.
Di saat itu ia sadar ia tidak sendiri.
"Seriusan? Astaga..." Akaashi mencoba bersikap tenang meski kakinya menggila.
Tap. Tap. Tap. Terdengar langkah kaki yang juga mengikuti kecepatannya di belakang.
Oh, sial.
Air mata menggenang, jalanan sepi dan tidak ada kantor polisi. Akaashi tidak mau dirampok ketika ia baru saja gajihan! Ini awal bulan dan ia ingin menikmati uangnya!
Hampir dibuat putus asa, ia melihat cahaya toko menerangi jalan.
"Syukurla--" Di depannya sudah terlihat kombini yang ia tuju, editor muda itu segera melesat ke dalam seperti tengah dikejar harimau.
"Selamat datang...? Akaashi-kun?" Pemilik toko dengan surai blonde itu menyernyit heran, dan tentunya ia kenal dengan pemuda itu karena mereka tetanggaan.
"Aku... hahh--dikejar--uek--" Akaashi hampir memuntahkan lidahnya sendiri, sudah terlalu lama tidak berolahraga membuat ia mudah lelah.
"Ada yang menguntitmu?" Ukai melirik layar komputernya, di mana cctv tepat berada di depan toko.
Begitu melihat siapa yang ada di luar sana, Ukai tertawa. "Akaashi-kun, tidak apa, dia hanya anak SMA."
Akaashi yang tengah mengatur nafasnya kebingungan, "Anak... SMA?"
Anak SMA keluyuran jam 11 malam?
"Akaashi-kun, kamu sejak kecil di sini ingat? Kamu lupa dengan Kou-chan?"
Kou-chan? Oh?
"Dia--" KLINING~! Terdengar bel dari arah depan, seorang lelaki tinggi besar memasuki kombini. Ia mengenakan hoodie tanpa lengan yang memperlihatkan otot lengannya, celana pendek selutut, dan sepatu khusus.
Ketika tudung hoodie diturunkan, wajah rupawan dengan bulir keringat terlihat jelas. Rambut jabriknya sedikit berantakan dan basah, sepasang ear phone berada di kupingnya.
"Akaashi?" Itu adalah orang yang ia kira mengejarnya tadi.
"Bokuto-kun?"
Bagaimana ia lupa jika anak SMA ini selalu keluar malam untuk lari? Otak ototnya selalu memikirkan olahraga!
"Maafkan aku Bokuto-kun, ku pikir kamu orang jahat." Akaashi membungkuk meminta maaf, "Kamu mau cemilan? Kebetulan aku kemari mencari makan malam, kamu bisa mengambil apapun."
"Eeh?! Tidak! Jangan repot-repot Akaashi! Sebenernya aku yang harus minta maaf karena membuatmu ketakutan!"
Akaashi menggembungkan pipi dan mengerucutkan bibirnya, "Ukai-san dia biasanya membeli apa?"
"Paket bento isi yakiniku dan roti yakisoba."
"Masukkan itu ke dalam tagihanku."
"Akaaaaashiiiiii~"
Pada akhirnya, Bokuto mengantar Akaashi pulang--ia memaksa--setelah si raven membeli apa yang ia mau.
"Uhh... Akaashi, kalau mau kamu bisa berhenti dulu untuk mengunyah itu??" Bokuto melirik yang lebih tua, Akaashi tengah mengunyah bakpao daging sambil berjalan.
"Tidak apa, aku takkan tersedak." Sahut Akaashi santai.
Bokuto meneguk ludah, ia tidak pernah bosan melihat orang ini makan. Cara dia menggigit dengan mulut lebar itu, mengunyah makanan di dalam pipi yang menggelembung seperti hamster.
Menggemaskan!
Bokuto jadi ragu, sebenarnya Akaashi benar-benar berusia 23 atau tidak??
"Ini sudah di rumahku, terimakasih Bokuto-kun."
"A-ah?? Ya! Aku akan pulang!" Seru Bokuto dan berpamitan.
Akaashi mengangguk mengiyakan, sejenak ia berpikir kenapa anak SMA mengantarkan pria 20 tahunan sepertinya untuk pulang. Bukankah terbalik?
Ah, sudahlah.
.
.
.
"Akaachi, kau mau jadi pacarku?"
"Bokuto-kun, kamu belum bisa membaca kanji, belum dewasa, dan tubuhmu masih lebih kecil dariku."
"Kalau begitu... kalau aku belajar, jadi orang dewasa, dan lebih tinggi darimu...???"
"Haha, akan ku pikir lagi, sekarang kerjakan tugas bahasa inggrismu seperti yang aku jelaskan tadi."
"Hu'um!!!"
.
.
.
Akaashi meletakkan barang-barangnya di atas sofa, sedikit menghilangkan beban di pundaknya. Lalu meletakkan makanan yang baru saja ia beli di atas meja dapur.
Sambil membuka jaketnya, ia berjalan menuju kamar mandi.
"Yosh, air panas mulai terisi." Akaashi mengatur deras air yang keluar ke dalam bath up. Karena uap yang cukup banyak membuat kacamatanya berembun, ia menggeser jendela di samping bath up.
Tidak terlalu lebar, yang penting ada celah kecil agar angin malam bisa masuk. Untungnya jendela itu cukup tinggi, jadi walaupun ia lupa menutup, tidak mungkin ada orang yang bisa memasuki rumahnya.
Setelah menyiapkan air panas, Akaashi berjalan menuju keranjang kotor. Meletakkan kacamatanya di dekat wastafel, memperlihatkan wajah ayu tanpa bingkai kacamata. Bulu mata lentik dengan netra zamrud itu mengerjap, sedikit memicing karena tidak melihat.
Akaashi melepaskan satu persatu kain yang melekat ditubuhnya.
"Astaga, ini bau sekali~" Akaashi melempar kaos kakinya yang beraroma busuk.
Membuka kancing celananya dan menarik turun kain berwarna cream itu lepas dari kaki jenjangnya yang mulus. Ia memang sudah kehilangan ototnya yang padat, membuat kaki itu terlihat cukup lembut dan berisi, terutama pahanya yang bulat.
Melepas satu persatu kancing kemejanya, membuat punggung tegap itu telanjang. Otot dada yang kini menjadi empuk dengan pucuk dada merah muda yang tenggelam, perut chubby yang lembut. Kulitnya yang pucat sedikit memerah karena suhu yang menerpa.
Jari jemari lentik itu kini menelusup di antara kulit dan kain terakhir, ia membungkuk dan melepas celana dalamnya. Membuat kejantanannya yang menggantung di antara kaki terbebas di udara.
Akaashi Keiji telanjang bulat.
Setelahnya ia mengambil tempat duduk, menyalakan shower dengan air hangat menerpa tubuhnya. Sejenak ia meleleh dengan sentuhan lembut yang menerpa.
Akaashi membersihkan rambut ikalnya yang berdebu, mencuci mukanya yang seharian ini terpapar polusi, menyikat setiap jengkal tubuhnya yang seharian ini berkeringat.
"Aa-aah..." Akaashi memekik ketika ia tidak sengaja menggosok area privatnya dengan sedikit kasar. Perih.
Ia baru menyadari rambut di bawah sana cukup ikal dan lebat. Kapan terakhir kali ia mencukur mereka?
Tangannya mengelus hutan kecil di bawah sana, menyibak helainya dengan jarinya, menggosokkan cairan sabun di antara mereka.
Setelah area privatnya penuh sabun, Akaashi membilas tubuhnya. Menggosok sisa sabun dan sampo, beranjak dengan tubuh basah kuyup.
"Umm... gunting..." Ia menggeledah lemari kecil di mana ia menaruh berbagai barangnya seperti pasta gigi di dekat wastafel.
Mendapatkan benda yang ia cari, Akaashi kembali duduk di kursi kecil itu. Mengambil sejumput rambut kemaluannya dan...
Ctk. Ctk. Ctk. Menggunting mereka perlahan.
Akaashi menggigit bibirnya, membuat erangan pelan terdengar ketika ia lagi-lagi tidak sengaja mencabut helai bulunya karena tersangkut di gunting.
Tubuhnya sampai tersentak kaget karena rasa sakit, ia bahkan merintih dan mencoba mengelus bagian yang sakit dengan mata berair.
"Uhh.." Akaashi kembali melanjutkan untuk mencukur, ia menahan penisnya yang layu untuk mendapat akses lebih. Menggunting sedikit demi sedikit rambut ikal yang melingkari pangkal penisnya.
Ketika ia mencoba daerah selangkangannya, Akaashi kebingungan merasakan tekstur di tangannya.
"Apa...? Sejak kapan??"
Akaashi mencoba menunduk meski terhalang penisnya sendiri, melebarkan kedua pahanya maksimal. Jari jemarinya mengelus pangkal pahanya, di mana rambut halus itu tubuh menjalar turun hingga di sekitar cincin keriputnya.
Melirik gunting di tangannya dan merasa benda itu takkan bisa meraih bulu di bawah sana, Akaashi menyerah. Ia menyiram helai ravennya yang jatuh dan menyimpan gunting itu kembali setelah dikeringkan.
Berpikir sebelum pulang kerja ia kan membeli cream pencukur untuk mengurus itu.
Akaashi kini melangkah masuk ke dalam bath upnya, menikmati sensasi hangat yang secara perlahan menyelimuti tubuhnya hingga ke leher.
Membuat bibirnya kembali mengeluarkan erangan nikmat lirih, "Ah~💕 Mmhn~💕 Ahh~💕"
Iris zamrudnya terkatup, bulu matanya yang lentik berisitirahat di atas pipi merah. Akaashi Keiji benar-benar meleleh dalam air panas.
Ia benar-benar terlena, tanpa mengetahui sepasang mata memperhatikannya dari celah jendela.
Menatap lekuk indah yang basah, wajah ayu yang bersemu, mencoba mencuri dengar suara halus yang terdengar samar.
"Akaashi..." Bibirnya menggeram, penisnya benar-benar terasa sesak di dalam celananya.
Terus memperhatikan Akaashi yang tengah menggosokkan air panas pada lengannya, memberikan pijatan kecil pada kulit lehernya.
Iris emas itu melebar ketika ia melihat Akaashi menegakkan tubuhnya dari bak air panas, membuat leher, pundak, dan dadanya terpampang jelas. Lengan yang lebih tua terentang ke atas, menggeliat, lalu kembali bersandar dengan lemas.
Lalu memicing ke arah pucuk dada yang berbentuk seperti sepasang bibir, tidak seperti puting pada umumnya yang menyembul dan itu terkesan menggemaskan.
"O-ohh--" Ia menggeram, sudah tidak bisa menahan diri untuk tidak mengeluarkan kejantanannya yang tercekik. Mengocok batang penisnya ketika ia melihat Akaashi tengah meraba dadanya sendiri, seakan berkomentar jelek kenapa putingnya seperti perempuan.
Iris emas itu memicing saat Akaashi melebarkan areolanya, membuat titik kecil yang diyakini lubang puting susu kemungkinan berada. Ditambah ekspresinya yang menggemaskan, alis berkerut dan bibir cemberut.
"Akaashi--" Nafsunya sudah tidak bisa dibendung.
.
.
.
"Ah~ mandi sehabis pulang kerja memang yang terbaik." Akaashi berjalan keluar dari kamar mandi dengan handuk tersampir di leher, kaos oversize yang memperoleh tulang selangka dan menutupi seperempat pahanya.
Lelaki muda itu berjalan menuju kulkasnya, mengambil persediaan susu.
"Ditambah besok hari sabtu..." Ia bisa bersantai sejenak.
.
.
.
Esok harinya, Akaashi berpikir untuk kembali berendam meski hari masih pagi. Entah kenapa ia ingin merasakan sensasi hangat yang memijat kulitnya.
Namun karena ini pagi hari, jadi dia membuka jendela kamar mandinya dengan penuh. Tidak mungkin ada yang bisa melihat--
"KOU, BISAKAH KAMU TURUN KE BAWAH DAN BELIKAN IBU KECAP??"
Akaashi tersentak kaget, ia lupa dengan tetangganya. Sedikit mengintip keluar jendela dan ia baru menyadari... Kamar di lantai dua di seberangnya tepat di atas kamar mandinya.
"Hmm... tidak, hahaha." Ia tertawa sendiri membayangkan seseorang berada di atas sana dan menonton dirinya mandi.
Coba Akaashi ingat, rumah di sebelah kamar mandinya adalah rumah si anak SMA yang tadi malam mengantarnya pulang. Ia memiliki 2 kakak perempuan yang sudah menikah, jadi hanya si anak lelaki dan kedua orang tuanya tinggal di sebelah
Jauh sebelum ia memiliki rumah sendiri, Akaashi dan anak SMA itu cukup akrab di masa kecil. Di mana yang lebih muda sering mengunjungi rumahnya yang memiliki jarak 5 rumah jauhnya.
Entah magnet apa yang membuat anak itu mau bermain dengannya yang selalu suram, namun Akaashi tidak mempermasalahkannya. Ia malah senang punya teman bicara meski jarak usia mereka terpaut 6 tahun.
Bagi Akaashi, tetangga yang kini sudah lebih tinggi darinya bagaikan sebuah bintang besar yang menyinari angkasa gelap.
.
.
.
"Aah--💕" Rintihnya pelan ketika kedua tangannya meraba pangkal pahanya yang terekspos.
Di atas kasur, piyama tak berkancing, kaki telanjang, basah kuyup, dan nafas berat.
Kejantanannya yang begitu basah berdenyut dengan pucuknya mengkilap. Bibir keriputnya juga berkedut nakal, basah karena saliva dan cairan precumnya sendiri.
Keinginan untuk di isi begitu kuat.
Tak peduli dengan kacamata yang melorot, ia mencoba meraih lacinya, mencari teman kencannya di atas kasur.
Sebuah dildo, sekotak kondom, dan sebotol cairan pelumas berada di sana.
Berhasil mendapatkan barang yang ia cari, pemuda itu menggigit sebuah bungkusan kecil. Memasangkan kondom dengan cairan lubrikasi pada sebuah dildo berwarna merah muda.
Jakunnya bergerak turun saat ia membandingkan ukuran miliknya dan dildo itu, sangat berbeda.
Setelah mengganjal pinggul dengan bantal, pemuda itu menahan kakinya yang terbuka dengan menyelipkan kedua tangannya dari bawah.
"Auhh..." Ia mencoba mengintip di antara visual jelas dan buram karena kacamatanya miring, menyaksikan bagaimana pucuk benda itu memasukinya perlahan.
Nafasnya semakin berat saat mendorong benda itu semakin dalam, ingin rasanya mengatupkan kedua kakinya yang gemetar. Tapi tidak, ia ingin lebih.
"Ooh~💕" Benda itu berhasil menggesek titik kenikmatan, prostatnya dengan tepat dikecup.
Kepalanya bergerak ke kanan ke kiri dengan gelisah, hampir memekik karena tidak tahan akan sensasi dimasuki.
"Tenanglah, Keiji... ini baru setengah..." Ucapnya menguatkan diri dan... SLURP! Benda itu dengan sempurna mengisi dinding rektumnya hingga ketepian.
"Oh--💕 so big--💕"
Kepalanya menengadah, lidahnya tergantung di atas langit-langit mulutnya. Rasa nikmat semakin menjalar ke sekujur tubuhnya.
Mulai terbiasa dengan benda asing di dalam tubuhnya, pemuda itu menekan tombol di ujung benda itu. Membuat dildo vibrator itu bergetar pada prostatnya.
Nafasnya semakin berat, dan sensasi panas di perutnya menguat. Ia akan mencapai puncak hasratnya.
"Aah~💕 G-gonna cum--💕" Air matanya menggenang, ia ingin belaian untuk pelengkap.
Jari telunjuknya memainkan putingnya sendiri, sementara tangannya yang lain mengocok penisnya yang bocor. Gerakan tangannya tidak terlalu cepat karena sentuhan perlahan sudah membuat ia menggelinjang, begitu sensitif.
Beberapa kocokan pelan, pinggul pemuda itu tersentak naik dengan kedua kaki kaku di atas udara. Cairan putih bening keluar dari pucuk merah mudanya, mengotori perut, dada dan wajahnya sendiri.
Tersentak akan sensasi nikmat membuat ia tidak sengaja mencubit keras putingnya sendiri, erangannya hampir lepas.
Dan ia sedikit berimajinasi nakal untuk membayangkan seseorang tengah menggunakan lubangnya, merasakan jepitan nakal dari dinding rektumnya yang becek.
"Aah--💕" Ia terbujur lemas di atas kasur, masih dengan bokong tersumpal dildo.
Tubuhnya menggeliat, memeluk bantal sambil merapatkan kedua kakinya yang gemetar. Menggoyangkan pinggulnya perlahan membayangkan skenario liar akan seseorang yang masih ingin menyantap tubuhnya.
Pemuda itu tidur menyamping, sambil mendekap bantal ia kembali membuka pahanya. Mencoba menarik dildo yang memberikan stimulasi berlebih.
"Aah💕 Tidak-- aku tidak sanggup--💕" Ia meringis, penisnya yang lemas berkedut mengeluarkan cairan bening.
Tidak tahan akan sensasi jika benda itu kembali di dorong masuk. Ia menarik benda itu keluar dari tubuhnya, membiarkan erangan lega lolos dari bibir M nya.
Meski sudah cukup sering memainkan tubuhnya, pemuda itu tidak pernah berhasil untuk mengocok rektumnya sendiri dengan dildo itu.
Tidak pernah, ia tidak sanggup. Itu terlalu nikmat.
Setelah membersihkan selangkangannya sendiri dengan tisu, ia tertidur di atas kasurnya yang basah dan berantakan. Mendengkur halus karena lelah.
.
.
.
Selama dua hari, Akaashi sama sekali tidak keluar. Ia menghabiskan waktunya hanya di dalam rumah, menikmati waktu bersantainya sendirian.
Hingga... seseorang mengetuk pintu rumahnya.
"Permisi, Akaashii!!"
"Iyaa?" Akaashi membuka pintu rumahnya dan mendapati Koutaro dengan sekeranjang makanan.
"Ibu menyuruhku untuk memberikanmu ini, dia pikir kamu sakit karena dua hari ini tidak keluar."
Akaashi lupa mereka tetangga sejak kecil, tentu melihat sesuatu yang tidak biasa jadi mengkhawatirkan.
"Astaga, tidak perlu repot-repot... tolong katakan pada ibumu aku baik-baik saja, hanya menikmati waktu libur di dalam rumah--Bokuto-kun?"
Akaashi mengerjap heran, Bokuto terlihat mengalihkan pandangannya. Wajahnya merah padam, apa yang salah?
"Y-ya?" Sahut yang lebih muda gugup.
Akaashi tidak sadar saat ini ia mengenakan kaos belelnya, leher kaos itu cukup melar. Membuat ilusi leher jenjang yang indah, memperlihatkan tulang selangkanya yang seksi, pucuk dadanya tenggelam, dan samar-samar perutnya yang sedikit montok di bawah pusar.
Bokuto yang lebih tinggi 15 cm darinya tentu bisa melihat semuanya dengan jelas!
"Kamu sakit?" Sayangnya Akaashi tidak peka.
"Tidak, aku..." Bokuto menatap Akaashi, tepat di mata.
Lututnya menyerah.
"Uh? Eh??" Akaashi tersentak ketika kedua tangan Bokuto meremas pundaknya. Dan sesuatu yang kenyal menyentuh bibirnya.
Bokuto menciumnya, dan setelahnya anak itu mendorong Akaashi ke dalam rumah dan ia menutup pintunya dari luar.
Sejenak Akaashi terdiam, mengerjap bingung. Menatap makanan dalam dekapannya, lalu daun pintu di depan wajahnya.
"Oh? Ahahaha! Dia masih melakukannya!"
Akaashi tertawa, ia membawa keranjang makanan itu ke meja dapur sambil terus menertawakan hal tadi.
Ia jadi teringat ketika Bokuto masih kecil dan memintanya menjadi kekasih, dan semenjak itu dia merengek ingin mencium Akaashi.
Awalnya di pipi, lalu Akaashi menggodanya dengan "Kamu mau jadi kekasih kan? Cium di bibir." Dan anak sd itu benar-benar menurutinya, membuat Akaashi sedikit kewalahan karena takut mengajari anak sd yang tidak-tidak.
Namun orang tua mereka tidak mempersalahkan, berpikir itu hanyalah permainan anak-anak.
"Sebentar..." Tawa Akaashi terhenti, Bokuto terus menciumnya sejak anak itu SD. Hingga hari ini...
"Eh?" Wajahnya merah padam sekarang, ini seriusan? Bokuto masih memiliki perasaan padanya?
Akaashi menghela nafas, Bokuto tumbuh dengan begitu tampan. Tubuhnya atletis, dan ia pasti digilai anak perempuan seusianya. Kenapa dia masih mengejarnya?
"Jika aku bertemu dengannya lagi, aku akan mengajaknya bicara." Mengingat dirinya orang dewasa di antara mereka berdua.
.
.
.
"Dia sangat cantik, huh?
Bahkan untuk seorang lelaki.
Yah, meski dia lebih tua dari kita."
"Kan? Aku sudah bilang padamu--"
"Aku jadi penasaran apakah tubuhnya juga seperti perempuan--aduh?! Kenapa kau memukulku?"
"Tidak ada alasan khusus."
"Ayolah Bokuto, kau akrab dengannya bukan? Lelaki feminin itu cukup binal kau tahu--baiklah, baiklah, maafkan aku,
aku hanya bercanda.
Tolong jangan menghajarku lagi."
"Tutup mulutmu dan jangan pernah melihat ke arah bokong Akaashi lagi!"
"Hm? Aku tidak pernah bilang
soal bokongnya."
"Diamlah Konoha."
.
.
.
Waktu berputar kembali di hari Senin. Saat berangkat kerja, Akaashi melihat keluarga Bokuto tengah menyiapkan toko mereka. Ya, mereka berjualan sayuran dari hasil kebun.
"Akaashi-kun? Bagaimana acarnya?" Seru Tuan Bokuto yang melihatnya.
"Enak seperti biasa Pak, dan maaf merepotkan kalian, kemarin aku baik-baik saja di rumah."
Nyonya Bokuto yang tadinya meletakkan lobak segera mendekati keduanya, "Kamu membuat Kou-chan khawatir dan merengek untuk memberikanmu jagung rebus!"
Akaashi mengerjap, "Kou-chan?" Jadi yang mengkhawatirkannya bukan orang tuanya?
"Benar, dia sampai berkata selama dua hari kamu tidak nampak keluar. Hanya menjemur cucian lalu hilang di dalam rumah." Tambah Nyonya Bokuto, "Aku sampai dibuat kebingungan kenapa anak itu bertingkah seperti itu."
Akaashi hanya tersenyum, sedikit tidak enak karena Bokuto muda membuat keributan di rumahnya sendiri.
.
.
.
Akaashi tenggelam dalam pekerjaannya seharian ini hingga hampir ketinggalan kereta malam. Untungnya toko kosmetik yang biasanya ia datangi juga masih buka.
Jadi Akaashi bisa pulang dan mendapatkan barang yang ia mau. Ketika menyusuri jalanan pertokoan, ia melihat seseorang tengah mengunci pintu tokonya.
"Bokuto-kun?"
Orang yang dipanggil itu menoleh, "Akaashi? Kamu baru pulang?"
"Iya, aku baru pulang..." Akaashi pikir ia tidak perlu bertanya, Bokuto selalu membantu toko keluarganya. Tidak perlu basa basi.
"Mau pulang bareng?" Bokuto mengangguk dengan semangat.
"Tentu!"
Namun... keduanya kembali diam. Seakan tidak ada bahan percakapan. Dan mereka sudah hampir sampai di rumah Akaashi, mengingat rumahnya di sebelah rumah Bokuto.
"Kaashi? Kamu marah?" Bokuto yang memulai.
Akaashi terus berjalan tanpa menoleh, "Soal apa?" Sedikit berbohong tidak apa kan? Seakan tidak tahu.
"Anu... kemarin, aku... menciummu."
Akaashi tengah memeriksa kunci rumahnya, "Tidak apa Bokuto-kun, ini tidak ada bedanya dari kita keci--"
Tepat ketika ia membuka pintu rumahnya, tubuhnya di dorong masuk. Akaashi hampir terjatuh dan untungnya sebuah tangan kokoh menahan bobot tubuhnya.
"Huh? Ap--"
"Akaashi, aku serius!"
Tiada raut wajah yang terkesan kekanakan, Akaashi tidak tahu jika bocah ingusan yang selalu merengek padanya akan tumbuh menjadi pria jantan.
Akaashi mencoba menutupi rona merah di wajahnya, ia mendorong dada di remaja dengan tangannya yang gemetar.
"Kamu sungguhan? Aku... laki-laki."
"Tidak peduli! Bagiku kamu paling cantik!"
Akaashi memekik sakit, kedua tangannya dikunci. Mau melawan pun ia kalah tenaga, dan Bokuto merupakan anak yang sangat tinggi.
"Kalau kamu tidak suka katakan."
Belum selesai Akaashi memproses apa yang ia dengar, bibirnya dicumbu. Itu bukanlah ciuman yang lembut, cukup berantakan dan sedikit kasar.
Bibirnya diemut, gigi mereka terpentuk, dan lidah Bokuto dengan buas menelusup masuk. Mengirimkan sensasi asing yang tidak pernah Akaashi rasakan.
Tentu saja, dia tidak pernah berkencan seumur hidupnya!
Erangan Akaashi menjadi saat kaki Bokuto memisahkan pahanya, menelusup di antara selangkangannya, lutut si remaja menggesek area privatnya dengan pelan.
Akaashi gemetar, ia terbuai, namun juga merasa takut. Ia mencoba berontak karena paru-paru tercekik.
Bokuto menurut, ia melepas cumbuannya, menciptakan seutas benang saliva yang kini jatuh di rahang bawah Akaashi. Menatap wajah ayu yang merah padam, mata berair dan hidung basah.
Begitu kacau hanya karena ciuman.
"Kamu tahu? Aku tidak tahu bagaimana aku harus membuktikan perasaanku padamu, tapi jika dengan ini kamu percaya..."
Akaashi kembali mengerang ketika kepala Bokuto berada di sisi lehernya, mengecup daun telinganya yang memerah.
"Kamu membenciku?" Bisiknya tepat di kuping Akaashi, membuat yang lebih tua menggelengkan kepalanya.
Bulu romanya meremang.
"Aku... aku terlalu tua untukmu, d-dan aku yakin para gadis juga menyukaimu."
Bokuto mendecakkan lidahnya, ia menggeram marah.
"Aku tidak peduli opinimu, aku bertanya soal perasaan mu!"
Di sini Akaashi menciut, ia kehabisan kata. Tidak pernah ia melihat remaja manis ini mengerut kesal.
"Aku hanya menyukaimu, sejak dulu, bahkan sekarang! Kamu kira aku bercanda karena aku anak-anak? Kapan kamu melihatku sebagai orang yang pantas??"
Akaashi terhenyak, dan lagi, ia hanya menatap iris emas di atasnya dalam diam.
"Uh?? Boku--" Tubuh Akaashi tiba-tiba digendong ala putri, dia di bawa menuju kamarnya.
"Jika kamu kesusahan untuk bicara, akan ku buat tubuhmu yang bicara."
Bokuto melempar Akaashi ke atas ranjangnya, membuat tubuhnya melambung di atas bantalan empuk. Untungnya kasurnya juga cukup besar, jadi Bokuto juga bisa merangkak naik ke atas.
"Eh? Tungg--"
Bokuto tidak peduli, ia melepaskan ransel Akaashi, melutuci pakaian yang lebih tua meski sepasang lengan memukuli dadanya.
"Berhenti! Bokuto-k--"
"Kamu tahu? Kebiasaanmu untuk mandi dengan jendela terbuka itu tidak bagus." Bokuto melepas kancing kemeja Akaashi satu persatu, menatap lapar pada kulit pucat di bawahnya.
"Kita memang pernah mandi bersama saat aku sd, tidak ada yang aneh memang. Namun saat smp, aku tidak sengaja melihatmu di kamar mandi saat berkunjung dulu, duduk di bawah shower dengan kaki terbuka lebar..."
Bokuto sudah membuka semua kancing kemeja Akaashi, "Tengah mengocok penismu seorang diri."
Akaashi merah padam, ia ingat di hari itu ibunya bilang Bokuto memasuki kamarnya, tapi setelah itu dia pulang tanpa mengatakan sepatah kata.
Di rumahnya yang lama, kamar mandi ada di setiap kamar tidur. Jadi Akaashi muda tentu tidak perlu merasa was-was untuk melakukan hal nakal, tapi ia tidak pernah berpikir jika ia dilihat.
"Aku tidak pernah bisa lupa mengenai orang cantik yang ku sukai begitu erotis, dan malam harinya... aku mimpi basah untuk pertama kali."
Bokuto meremas pinggul Akaashi, membuat ia menahan erangan karena geli.
"Kamu tahu siapa yang ada dalam mimpiku?"
Akaashi sudah tahu jawabannya.
"Kamu mungkin akan merasa takut jika aku bilang selama ini aku terus memperhatikanmu, untungnya kamu kuliah juga tidak begitu jauh, tidak perlu pindah rumah."
Tangan Bokuto merayap ke atas, menangkup dada Akaashi yang agak montok. Otot dadanya di masa sekolahnya kini menjadi lembut.
"Dan aku merasa beruntung kamu memilih tetap tinggal di sini, bahkan tepat di samping rumahku."
"A-aah~" Akaashi merengek, jari telunjuk Bokuto mencolek putingnya yang tenggelam.
"Dengan kamar mandi tepat di bawah kamarku, dan kamarmu tepat di samping kamarku." Bokuto semakin tergiur dengan perubahan ekspresi Akaashi.
"Kamu sengaja membuka jendela agar aku bisa lihat bukan?"
Akaashi melotot, wajahnya semakin merah padam. "T-tidak, aku--"
"Aku juga tahu apa yang kamu lakukan selama 2 hari di rumah, benda itu ada di dalam laci bukan?"
Akaashi mati kutu, Bokuto tahu semuanya. Kenyataannya... Akaashi memang bukan anak baik seperti yang orang tuanya bayangkan.
Dia seorang homoseksual, dan karena takut akan sosial dia tidak pernah mau berkencan. Berakhir dengan membelai tubuhnya sendiri dengan mainan dewasa.
"Bokuto-kun... aku ingin mengatakan kamu menjijikan, tapi..." Air mata Akaashi menggenang, "Aku lebih menjijikan darimu."
Tawa Bokuto lepas, "Itu sepadan bukan? Seorang pecandu seks dan stalker bersama."
"T-tolong jangan katakan seperti itu, aku..." Akaashi menangis, air matanya dengan deras jatuh di atas dadanya.
Bokuto dengan lembut meraih wajahnya, mengusap anak sungai dengan ibu jarinya. Menjilat pipi yang basah dan merona, lalu mengecup kuping si raven.
"Aku menyukaimu."
Akaashi membuka matanya, menatap iris emas di atasnya mencari kepastian. Ia tidak pernah memikirkan hubungan romantis dengan Bokuto, namun sentuhan si remaja menggoyahkannya.
"Aku--"
"Shhh, kamu tidak perlu menjawab sekarang." Kecupan di bibir, lagi.
"Bolehkah aku menyentuhmu?"
Dan Akaashi tidak menolak, ia membiarkan tubuhnya dalam kukungan Bokuto. Bergetar ketika tangan yang lebih besar mengelus perutnya, bergerak turun meraba tonjolan basah di antara kakinya.
"Bisakah kamu mengajariku hal dewasa, Kaashi?" Nada riang dan alis bergoyang kekanakan, seperti di masa lalu di mana Bokuto memintanya mengajari rumus matematika.
"T-tentu..."
.
.
.
Cumbuan kembali bertaut, saling mengemut bibir dengan panas. Erangan yang lebih tua teredam di antara kecipak basah.
Akaashi tidak sadar jika Bokuto tengah melucutinya, membuka sabuk dan resliting celananya. Menarik kain itu setelah memutuskan ciuman mereka.
Menatap celana dalam berwarna abu-abu dengan bagian depan yang menggelembung basah.
"Kamu terangsang hanya karena ciuman?"
Akaashi menggigit bibirnya, tidak pernah menduga seseorang dengan tangan yang lebih besar darinya meraba area privatnya.
"Eh?! Jangan--" Akaashi melayangkan protes ketika kakinya di angkat, bokongnya terangkat dari kasur.
Bokuto menarik lepas celana Akaashi beserta celana dalamnya, membuat bagian bawah tubuhnya benar-benar telanjang bulat.
Dan ketika kedua kakinya direnggangkan, Akaashi semakin terbakar malu sampai-sampai menutup wajahnya dengan tangan.
Sementara Bokuto seakan terhipnotis dengan apa yang ia lihat. Penis basah yang setengah mengeras melengkung naik, sepasang biji kembar padat yang menggantung, dan cincin keriput merah muda.
Ditambah bulu-bulu halus yang tidak terpotong habis di atas penisnya, serta bulu-bulu halus yang masih tidak terjamah tubuh menuruni buah zakar, mengitari lubang anusnya.
"T-tolong jangan lihat... a-aku belum cukuran."
Bokuto sama sekali tidak bersuara, ia hanya menunduk di antara kedua kaki Akaashi. Menyentuh kulitnya dengan nafas hangat.
"B-Bokuto-kun!" Rengek Akaashi mencoba mendorong kepala yang kini berhadapan dengan penisnya.
"Kamu cantik."
BLUSH~💕 Akaashi terbakar malu.
Bokuto dengan takjub memandang, ia selalu melihat dari kejauhan, dan kini... ia juga bisa menyentuhnya.
Iris emas itu menengadah, menatap wajah ayu yang bersemu, dada yang naik turun, dan perut montok yang sedikit terlipat.
Telanjang, dan cantik.
Bokuto meneguk ludah, impiannya untuk menyentuh pria idamannya tercapai.
Dengan gemetar ia kembali meremas payudara kanan Akaashi, memijatnya perlahan, memainkan ibu jarinya pada pucuk dada.
"Ahh~💕" Erangan Akaashi keluar ketika putingnya yang lain dicumbu, dimainkan di antara bibir tipis Bokuto.
Akaashi bisa merasakan gigi-gigi karnivora di antara areolanya yang dihisap, dan lubang putingnya ditusuk dengan lidah basah.
Sentuhan ini membuat Akaashi semakin meleleh.
Dan ketika ia mencoba meremas sprei di bawah tubuh, ia tidak sengaja menyenggol milik Bokuto. Membuat bibir yang tengah mencumbu putingnya menggeram.
"Bokuto-kun..." Akaashi memberanikan dirinya, merabah sesuatu yang keras melintang di atas pinggul yang lebih muda.
"Huh?" Akaashi membelalak, ia dengan penasaran meremas, mencoba memastikan kalau ia hanya berkhayal jika milik Bokuto lebih besar darinya..
"Shh, Akaashi nakal ya?" Bokuto terkekeh, sambil menjilat puting ia berbisik. "Mau lihat?"
Meneguk ludah gugup, Akaashi mengangguk. Bokuto melepaskan dirinya, lalu duduk di samping tubuh Akaashi. Seakan memberi instruksi agar dia membuka celananya.
Akaashi bangun dari tidurnya, merangkak mendekati Bokuto. Tangannya terangkat, meraih ujung celana trainingnya dan... BOING~!
Penis dengan ukuran yang cukup besar berdiri tegak di hadapan Akaashi, tebal, berurat, pucuk merah mudah yang basah.
Akaashi sampai membeku di tempat.
"Kenapa? Lebih kecil dari mainanmu?"
"Eh? B-bukan--"
"Lalu??"
Bokuto cukup usil untuk mengerjainya, dan Akaashi dibuat semakin salah tingkah melihat senyum kekanak-kanakan yang lebih muda.
"Ini... lebih besar..." Ingin rasanya Akaashi menggali lubang dan tenggelam.
Bokuto tertawa sambil melepas seluruh pakaiannya, sekarang ia telanjang bulat.
"Ayolah Akaashi~ kalau kamu hanya diam karena malu, bagaimana kamu mengajariku hal nakal?"
Bokuto mengocok penisnya di hadapan Akaashi, tangan besarnya dengan tepat membungkus penisnya sendiri, bergerak naik turun untuk memompa.
"Ughh..." Akaashi sedikit tersinggung, mengingat ia yang lebih tua tapi dikerjai habis-habisan.
"Oh?" Iris emas itu melebar, Akaashi menunduk di hadapan selangkangannya. Meraih penisnya dengan kedua tangan, membuat tubuh keduanya tersetrum akan kontak kulit.
Akaashi melirik Bokuto sebelum mengecup pucuk merah muda, memberikan sesapan kecil seperti tengah memakan permen. Kedua tangan Akaashi juga mencoba mengocok benda yang cukup panjang itu.
Ini adalah pertama kalinya ia melakukan fellatio, wajar jika gerakan Akaashi cukup kaku. Namun, itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Bokuto terbakar malu.
Meski ia senang menggoda Akaashi, Bokuto juga hanyalah anak SMA yang masih perjaka. Keduanya tidak memiliki pengalaman.
Tepat ketika Akaashi menaik turunkan kepalanya dari seperempat penis itu, Bokuto mendorong kepalanya menjauh.
"A-aku mau keluar... di dalam."
Akaashi menggigit bibir, antar gemas dan malu dengan sikap Bokuto.
"S-sebentar..." Akaashi meraih benda di dalam laci di dekat kasur.
Kondom dan cairan lubrikasi.
"Karena ini pertama untukmu... aku ingin kamu melihat dulu...?" Akaashi tidak menduga jika Bokuto memberikan anggukan setuju.
Sekarang, Akaashi mengangkang di hadapan Bokuto. Kedua kakinya terbuka lebar dengan kejantanan yang begitu basah, tidak memperdulikan rasa tidak nyaman karena area privatnya memiliki bulu halus.
Bokuto menerima dirinya apa adanya.
Jari jemarinya meraih pipi bokongnya, melebarkan cincin keriput yang basah karena precum. Akaashi menuangkan cairan lubrikasi di atasnya, sedikit merintih karena cairan dingin itu memasukinya.
Manik zamrud itu menengadah, menatap iris emas yang terpaku padanya di bawah sana.
Tulang punggung Akaashi meremang.
Jari tengah menyentuh cincin keriputnya, perlahan didorong masuk dengan cairan beraroma stroberi. Perlahan bergerak keluar masuk hingga jari kedua dimasukkan, membuat gerakan menggunting.
"Unggh~💕" Tubuh Akaashi berkedut, jarinya menggesek prostat dengan tepat.
Bokuto mati kutu, ia benar-benar tidak berkedip melihat bagaimana Akaashi memijat lubang anusnya dengan begitu sensual. Jika ia tidak menahan diri, ia akan menyemburkan sperma hanya dengan melihat Akaashi.
Ditonton ketika melebarkan anus, Akaashi semakin memanas. Bagian dalamnya semakin gatal untuk diisi, ia segera mencabut jarinya sendiri, sudah tidak tahan.
"K-kamu pernah mencoba memakai kondom?" Bokuto menjawab dengan gelengan.
Akaashi sekali lagi bangkit, "K-kalau begitu a-akan ku ajari."
Akaashi meraih sebungkus kondom dan merobeknya, mengeluarkan benda berwarna merah muda yang transparan dengan cairan lubrikasi.
Mengarahkan benda itu pada penis Bokuto.
Perlahan-lahan Akaashi memasangkan kondom itu pada penis Bokuto, "Kamu harus memasang mereka hingga menciptakan gelembung kecil di atas sini, agar t-tidak robek saat di dalam."
Namun, Akaashi sadar jika ukuran Bokuto terlalu besar. Kondom itu tidak bisa menutupi seluruh penisnya, masih ada seperempat bagian yang tidak tersentuh.
"A-apa terlalu ketat?"
Bokuto mengangguk pelan, "Sedikit, tapi tidak sakit."
Akaashi harus ingat untuk membeli kondom yang lebih besar.
"Apa kamu merasa tidak nyaman? K-kalau kamu merasa ini aneh, kita b-bisa--"
PSSSSH~💕 Akaashi tidak pernah merasakan penis asli di dalam tubuhnya, dan jika benda itu dengan telanjang masuk--
"Kalau aku tidak mau pakai?" Bokuto menggembungkan pipinya, matanya sedikit berair, ia memelas.
Dan Akaashi terenyuh, ia jadi tidak tega. "B-baiklah, hanya untuk saat ini saja..." Akaashi menarik lepas kondom itu dari Bokuto.
"Sungguh? Tenang! Aku takkan keluar di dalam!" Seru Bokuto riang.
Akaashi ingin menyesal karena terjebak perangkap manis.
"Umh?" Akaashi kembali didorong untuk berbaring, wajah menggemaskan tadi seketika berubah menjadi sedikit... nakal dengan senyuman miring.
"Akaashi~💕" Bokuto menggesekkan kejantanan mereka, menggerakkan pinggulnya maju mundur. Ingin memasuki lubang yang lebih tua sekarang juga.
Setelah Bokuto mengganjal pinggul Akaashi dengan bantal agar akses masuk lebih tinggi, ia mengarahkan pucuk penisnya yang besar dan basah mencumbu bibir keriput.
"Umhh~💕" Akaashi menahan erangan sambil meremas pundak yang lebih muda. Membiarkan kedua pahanya dicengkram, kakinya dibuka selebar mungkin.
Iris zamrudnya terkatup ketika merasakan sesuatu yang besar dan licin menekan pintu masuknya, tempurung jamur Bokuto dengan nakal mencumbu bibirnya.
"Aku masuk."
Akaashi mengangguk memberikan izin, dan daging besar itu perlahan didorong masuk.
Sedikit demi sedikit hingga Akaashi merasa sesak, dinding rektumnya seakan dipaksa untuk dilebarkan. Air matanya sampai keluar.
"Aa--ahh~💕 C-cukup--" Akaashi meremas sprei hingga kusut, lebih dari ini tubuhnya akan terbelah jadi dua!
"Shhh~ rileks, Shi, kamu terlalu ketat.", Desis Bokuto.
"Baru juga setengahnya."
"S-setengah??"
Akaashi mulai takut sekarang, dan itu membuat penisnya menjadi layu.
"Eh? Kenapa? Sakit?" Bokuto panik ketika mendengar isak tangis.
Akaashi terisak sambil menutupi matanya dengan lengan, "T-tidak, maaf-- a-aku hanya takut... i-ini sedikit berbeda k-karena biasanya aku sendirian--"
Sepasang tangan menjauhkan tangan di wajahnya, Akaashi bisa melihat Bokuto tengah menatapnya. Alisnya berkerut sendu, dan senyum tipis terpantri.
"Kaashi, tidak apa, lagi pula tidak sakit kan? Kamu hanya cukup ketat untuk menerimaku."
Kecupan di kening dan usapan ibu jari di atas pipi yang basah, Akaashi merasa lebih baik sekarang.
"Kamu lihat? Kita terhubung Shi." Bokuto melirik ke bawah di mana setengah penisnya di dalam orang yang ia cintai.
Akaashi tidak pernah merasakan kehangatan ketika nafsunya di atas puncak, tidak pernah ada yang mengajaknya bicara. Memberikan sentuhan intim ataupun melihat sisi lainnya di atas ranjang.
"Ahh~💕 Bokuto-kun~💕"
Akaashi mendesah pelan ketika perpotongan lehernya dicumbu, payudara kirinya dibelai. Membuat tubuhnya kembali memanas.
Bokuto memberikan kecupan di atas kulitnya, meninggalkan warna kemerahan dan sensasi geli yang menggelitik. Dadanya diremas dan putingnya dimainkan.
Penisnya kembali mengeras.
Melihat itu, Bokuto kembali mendorong dirinya masuk sambil terus memberikan kecupan sayang. Hingga pangkal penisnya menekan cincin keriput.
"Ahh~💕 terlalu besar~💕" Akaashi terisak, gemetar dalam kenikmatan. Bokuto bahkan belum bergerak, tapi sudah membuat ia hampir mencapai titik di mana ia akan orgasme.
"Shi, kamu merasakan itu?"
"H-huh??"
Akaashi terperangah ketika Bokuto menarik tangannya, mengarahkan telapak tangannya untuk mengelus perutnya sendiri.
Sesuatu yang keras membuat perutnya menyembul.
"A-ahh--" Akaashi semakin merah padam, dan ketika Bokuto mencoba menarik mundur, benda di dalam perutnya juga bergerak.
"Uh?!" Akaashi terperanjat, sesuatu yang panas mengisi perutnya. Ia mendongak dan mendapati Bokuto mengerutkan alisnya, bibirnya cemberut dan wajahnya merah padam.
"B-Boku--"
"Maaf, aku... di dalam..."
Bokuto keluar hanya karena memasukkan penisnya, di sini Akaashi sadar jika dia juga hanyalah anak remaja yang baru melakukan seks.
Akaashi tidak bisa menahan tawanya, ia tersenyum menatap si dominan yang bergetar malu.
"Akaaachiii~!!!"
"Ufufufu~ ehehehe~"
Bokuto masih menggembungkan pipinya, menatal kesal pada yang lebih tua masih tertawa.
"Puas ketawanya?"
"Ufufufu, belu--"
Akaashi tercekat, benda yang tadinya lunak kembali mengeras di dalamnya. Dan sebelum Akaashi bisa bereaksi, Bokuto mengocok dinding rektumnya dengan cepat.
"Ahh~💕 Tungg--Ah~💕 Ah~💕"
Akaashi memekik, sensasi nikmat tiba-tiba mengacaukan pikirannya. Ditambah suara kecipak nakal dari cairan lubrikasi dan sperma ketika Bokuto memaju mundurkan penisnya membuat suasana semakin panas.
"Kenapa berhenti tertawa Shi?"
Akaashi hanya menjawab dengan erangan, tiada kata yang dapat tercipta dari bibirnya yang terpisah.
"Koutarou~💕" Rengek Akaashi dan membuat penis Bokuto berkedut senang.
Sensasi ketika namanya dipanggil dengan desahan membuat Bokuto semakin gencar untuk mengocoknya.
"K-keiji--"
"Iyah~💕 Panggil namaku, Kou~💕"
Akaashi mendekap erat punggung lebar Bokuto, menancapkan kuku-kukunya di atas kulit pucat.
Wajahnya berada di ceruk leher, mendesah tepat di samping telinga Bokuto.
Di antara desahannya, ia berkata "Love you--" dan setelah itu Akaashi mengejang, mengotori perut keduanya yang berhimpitan.
Kesadarannya perlahan hilang tanpa mendengar apa yang Bokuto katakan karena si remaja lelaki masih mengocok dinding rektumnya.
Overstimulated.
.
.
.
Di pagi hari, Akaashi terbangun di atas kasurnya. Tubuhnya terasa begitu lelah dan kaku, lengket, beraroma seperti seks dan... Bokuto.
Ia mencoba bangun tapi sebuah tangan menahannya, melingkari perutnya yang lengket.
"Mmn~" Bokuto memeluknya dari belakang, masih tertidur pulas.
Akaashi menatapnya, mengelus wajah rupawan yang tadi malam begitu bergairah untuk menjamah tubuhnya.
"I love you, Keiji--"
Pssssh~💕 Akaashi bersemu merah mengingat kejadian itu. Agak memalukan jika kembali dikenang.
"Bokuto-kun, hari sudah pagi, bukankah kamu harus kembali agar tidak dicurigai?"
"Mmh~ aku dah bilang numpang tidur ngerjain pr~ nyem nyem~"
"Kalau begitu bangun karena kamu harus sekolah, aku juga harus ke kantor."
Bukannya bangun, Bokuto mengeratkan dekapannya pada Akaashi.
"Aku... lebih suka dipanggil Kou." Ia merajuk.
Akaashi mendengus, "Aku cuma memanggilmu Kou ketika kita hanya berduaan."
Bokuto menggembungkan pipinya, "Kenapa??"
Akaashi bersemu merah, lagi. "A-aku cuma mau cuma kamu yang mendengar suaraku."
Dan Bokuto ikut memerah, "Aku juga! Aku juga!"
Senyum Akaashi merekah, ia meraih rahang bawah Bokuto dan mengecup bibirnya. "Sekarang bangun dan biarkan aku pergi ke kantor."
Dengan berat hati Bokuto menurut.
"Nanti malam aku tunggu di stasiun."
"Eh? Tidak perlu."
"Aku ingin jadi pacar yang baik..."
Dan Akaashi tidak bisa menolak bayi nakal yang kini menjadi kekasihnya.
"Baiklah Kou, nanti aku kabari." Sorakan kebahagiaan menyahut Akaashi.
.
.
.
Di malam sebelumnya setelah Akaashi pingsan, Bokuto tidak sadar. Ia terus menggenjot hingga hasratnya tersalur.
"Ah💕 Keiji💕 Keiji💕"
Mendekap tubuh yang lebih tua, sambil menyentakkan penisnya kuat.
SPUUURTTT!!! Mengejang ketika hasrat tersalur, sensasi dari dinding rektum yang meremasnya seakan ingin memerah spermanya keluar.
"Kei--hmm??" Bokuto kebingungan ketika tubuh yang ia dekap gemetar.
"Uhh--" Akaashi masih dengan wajah terlelap mengerang pelan, dan penisnya yang bocor berkedut mengeluarkan cairan bening kekuningan.
Fssssh~ ia pipis ketika tidur.
"Oh, astaga, Keiji? Kamu ngompol-- eh? Tidur?"
Bokuto dibuat kebingungan dan ia hanya membersihkan kekacauan yang mereka buat seadanya.
Paling tidak mereka tidak tidur di atas sprei basah akan air kencing.
*****
Author Note :
SIAPA YANG KANGEN AKU??? Kayanya ga ada, cuma ada silent reader yang cuma liat tanpa vote atau komen 🥺
Aku harap kamu menyukainya SinarPurnama6 dan maaf karena perlu waktu 3 bulan baru jadi hehe.
Maaf juga jika sedikit berlebihan... aku suka ide yang kamu berikan mengenai anak sekolahan Bokuto yang mengintip Akaashi. Hanya saja... aku merasa ada yang bisa dikembangkan, dan voila~💕 Akaashi mesum.
See you on another request~💕
04052022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro