Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lokal AU (5)

Part terakhir dari BokuAka versi lokal Indonesia!

Jangan lupa kasih komen ehe ( ꈍᴗꈍ)

.
.
.

"Ahh, cincinnya!" Akaashi membungkuk mengambil cincin perak yang tadinya tersemat di jari manis.

"Huff, hampir saja..." Akaashi melirik ke arah saluran pembuangan, hampir saja cincin pertama yang ia dapatkan masuk ke dalam selokan.

Saat ini Akaashi berada di kamar mandi, membilas tubuhnya dari guyuran air hujan agar tidak masuk angin.

Akaashi memasangkan cincin itu kembali di jarinya, senyumnya mengembang.

Syuuu~ Semilir angin malam menerpa tubuh telanjang Akaashi, membuat tubuhnya menggigil.

Tanpa melihat, Akaashi menggapai arah daun pintu.

"Huh? Eh?" Hanya ada handuk di sana.

Akaashi baru menyadari ia mandi tanpa membawa baju ganti, sekarang bagaimana?

Andai ia sendiri, Akaashi takkan peduli keluar tanpa sehelai benang.

Tapi di dalam rumahnya ada Bokuto, dan ia tidak mungkin meminta pria itu menutup mata begitu saja.

Posisi kamar mandi tepat berhadapan dengan dapur, kemungkinan Bokuto berada di sana sangat tinggi.

Cklek. Pintu kamar mandi terbuka, Akaashi mengintip keluar.

Bokuto dengan bertelanjang dada sedang membuat teh panas.

"Oh? Dah selesai mandinya? Sini minum teh dulu biar anget."

Bokuto tersenyum, rambut yang biasanya di sisir ke belakang kini di sisir seadanya dengan jari, sebagian jatuh ke depan.

Tubuh atletis dengan kulit pucat, di mana otot yang dibentuk memiliki lekukan yang menggiurkan untuk disentuh.

Apa lagi roti robek dan dada bidang yang terlihat kokoh.

Gulp.

Akaashi menguatkan hatinya, toh dia juga lelaki. Meski tidak berisi seperti Bokuto.

Tap. Tap. Tap.

Akaashi melangkahkan kakinya keluar, dengan handuk tersampir di pinggul.

Bokuto yang tengah menyesap teh sesekali melirik.

Wajah ayu yang bersemu tipis, rambut basah. Tubuh yang tidak terlalu kurus, ramping, dan harum sabun.

Sosok cantik itu kini mendekat.

"Mandi sana, nanti Mas masuk angin."

Akaashi menyisir poninya ke belakang telinga, menatap Bokuto dengan iris zamrud yang sayu.

Ohok! Oehok! Ohok! Bokuto tersedak, tidak kuat melihat Akaashi yang menggoda iman.

"M-Mas??" Panik Akaashi.

Bokuto mencoba menahan batuknya, dan mendorong Akaashi.

"Pake baju sana, dingin gini ko bugil."

Wajah Akaashi bersemu mendengarnya, ia melirik Bokuto dengan bibir cemberut.

"Mas juga cuma pake celana kan? Nanti aku antarin handuk sama baju ganti."

Akaashi membawa pakaian basah Bokuto bersamanya untuk digantung--dikeringkan.

"Ah, kalau Mas lepas celana nanti kasih ke aku--wah! Maksudku ketika Mas di kamar mandi!" Akaashi dengan panik menutupi wajahnya.

Pasalnya Bokuto membuka celananya di depan Akaashi.

"Katanya tadi lepas?" Bokuto benar-benar telanjang bulat sekarang.

"T-tapi ga gini juga Mas!"

Bokuto hanya tersenyum, "Reaksi perawan gemes juga kalau dilihat." Batinnya.

"Iya iya, ni aku ke kamar mandi."

Blam. Pintu kamar mandi tertutup dan kini hanya ada Akaashi dengan pakaian Bokuto di kursi.

"Hahhh..." Akaashi menghela nafas lega, tapi entah kenapa ia sedikit kecewa.

"Harusnya tadi aku tidak menutup mata." Sesalnya, Akaashi ingin melihat bagian privasi Bokuto.

"Hah?" Tersadar mulai berpikir jorok, Akaashi segera bergegas membawa pakaian Bokuto untuk dikeringkan.

Sementara Bokuto...

"Anjir, ga bakal dicap mesum kan?" Ia menyesali tindakannya yang berlebihan.

"Yah, paling engga ni cawat ku bawa." Bokuto sengaja membawanya untuk dicuci, bukannya apa, cuma ya... Ya kali celana dalam minta digantungin sama pasangan baru jadi belum 24 jam?

.
.
.

Tok. Tok. Tok.

"Mas, ini handuk sama baju gantinya."

Akaashi yang sudah berpakaian mengetuk pintu kamar mandi.

Kriet. Pintu terbuka, Bokuto melongok keluar dengan senyum cerah.

Kepalanya masih dipenuhi shampoo, tubuhnya juga masih dibalur busa sabun.

"Makasih ya Dek? Ah iya, aku minta sabun sama sampo nya." Walau sabun dan shampoo itu sudah Bokuto pakai tanpa izin.

"Santai Mas, dari pada pakai air aja." Akaashi tertawa.

"Idih, gemes banget tawanya." Batin Bokuto.

"Mas mau makan mie ga? Di rumah cuma ada itu soalnya." Ini pertengahan bulan dan Akaashi lupa membeli bahan makanan pokok, karena itu hanya ada mie.

"Boleh deh kalau engga ngerepotin."

Akaashi mengangguk mengiyakan dan berlalu ke dapur, sementara Bokuto melanjutkan mandinya.

Akaashi membuka lemari berisi stok Mie, lalu rak-rak kayu berisi berbagai rempah seperti jahe, kunyit, dan lainnya.

Dapur Akaashi cukup sederhana, dengan lantai kayu dan dinding batu bata merah.

Lemari kayu berupa rak-rak besar yang diisi rempah, meja dapur yang dipenuhi jejeran botol kaca untuk Jamu. Peralatan masak yang menggantung di dinding, serta kuali besar yang disusun rapi di dalam lemari kaca.

Akaashi mempunyai dua buah kompor, satu untuk produksi Jamu dan satu untuk ia memasak biasanya. Kompor dari tanah liat dengan bahan bakar arang, serta kompor biasa dengan bahan bakar dari tabung gas.

Di langit-langit terdapat beberapa tanaman rempah yang menggantung beserta pot nya, lalu tanaman yang sengaja dikeringkan.

Di ruangan itu terdapat satu jendela berukuran besar, jendela itu berlapis. Lapisan pertama berupa kaca yang bisa digeser, lalu papan kayu yang berada menghadap ke luar.

Di dekat kaca, terdapat meja dapur dengan susunan bumbu masak, dan sekeranjang telur.

Dapur Akaashi terlihat seperti ruangan di mana seorang Penyihir membuat ramuan sihirnya dalam cerita dongeng.

"Untung masih ada mie dan telur."

Kalau tidak, Akaashi akan menyajikan jahe goreng pada Bokuto.

"Mau masak berapa bungkus?" Bokuto sudah selesai mandi, ia keluar sambil mengeringkan rambutnya.

Bokuto mengenakan selembar kaos dan celana selutut. Akaashi mempunyai pakaian oversize dan keduanya membalut tubuh Bokuto dengan tepat, tanpa terlihat sesak.

"4 bungkus Mas." Akaashi memanaskan air tanpa menoleh ke arah Bokuto.

"Banyak banget--" Growl~! Perut Bokuto berbunyi.

Akaashi menoleh, senyum sinisnya terpantri.

"Cacingnya Mas Kou sabar ya, airnya belum mendidih."

"Idih dibilangin cacingan, roti sobek gini."

"Roti sobek yang ga bisa disobek."

"Mau nyoba sentuh?"

"Eh?"

"Huh?"

Keduanya saling pandang, bersemu merah.

"Ish, Mas Kou candaannya mesum." Akaashi cemberut.

"Ehehe, tapi suka kan?" Akaashi hanya diam dengan bibir cemberut.

Bokuto tersenyum simpul, mengambil tempat duduk dan menyesap teh.

Memperhatikan Akaashi yang fokus memasak Mie.

Akaashi mengenakan satu set piyama motif Abnormal Titan berwarna biru.

Selera yang meresahkan.

.
.
.

Meski mie dan teh yang disantap sudah habis, hujan masih mengguyur tanpa ada tanda-tanda akan reda.

Karena hari sudah larut, Bokuto mau tidak mau bermalam di tempat Akaashi.

Mengingat rumah kontrakan Akaashi sederhana, di mana hanya ada satu kamar, satu ruang tamu, satu dapur, dan satu kamar mandi.

Ini adalah rumah kedua yang Akaashi tempati, ia pindah dari rumahnya yang dulu karena terus terbayang orang tuanya.

"Aku tidur di luar aja."

Bokuto memutuskan untuk tidur di ruang tamu, meski hanya beralaskan karpet.

"Jangan Mas, di kasur aja."

Akaashi ingat kasurnya cukup besar untuk di tempati dua orang.

Bokuto mendelik, pikirannya sudah melayang.

"Kalo Mas nakal waktu kamu tidur gimana?"

Akaashi bersemu merah, ia meremas ujung pajamanya dengan gelisah.

"A-aku ga papa kalau itu Mas."

Deg. Deg. Deg. Detak jantung Bokuto berpacu dengan cepat. Iseng-iseng berhadiah ajakan?

"M-mas susah ngontrol diri kalau dah di ranjang lo?" Bokuto bertanya lagi, memastikan apakah Akaashi akan berubah pikiran.

Iris zamrud itu menengadah.

"Asal Mas pelan-pelan di awal, karena ini pertama kalinya aku..." Akaashi semakin bersemu, keringat perlahan mengucur dari kening.

Padahal suhu malam ini terasa sangat dingin menusuk tulang.

Bokuto meneguk ludah, tidak menduga ia akan mendapat jahe muda anget untuk menghabiskan malam.

.
.
.

Semilir angin berhembus, dan suara hujan yang menggemas nyaring mengisi malam yang dingin.

Membangun suasana untuk sepasang kekasih bergumul di atas kasur untuk menghangatkan diri.

Chu. Bibir keduanya menempel, sekedar itu.

Bokuto menjauhkan wajahnya, melihat Akaashi yang merah padam.

Ini pertama kalinya Akaashi berciuman, tentu ia kebingungan harus melakukan apa.

"Haha, jangan gugup." Kekeh Bokuto dan menangkup sisi wajah Akaashi.

Akaashi hanya mengangguk, menutup kedua matanya.

Ingin rasanya Bokuto menjerit karena sosok di depannya terlihat sangat menggemaskan.

Pengen diuyel-uyel.

Bibir keduanya sekali lagi menempel, sensasi lembut menyapa bibir Akaashi.

Perlahan Bokuto menggerakkan bibirnya, melumat bibir bawah Akaashi.

"Ah!" Akaashi memekik, Bokuto menggigit bibirnya.

Membuat bibir Akaashi terbuka, dan Bokuto tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia menelusupkan lidahnya masuk.

"Mmmngh~" Erangan Akaashi di sela ciuman, ia meremas kaos yang Bokuto kenakan.

Lidah basah Bokuto menyapa lidahnya, mengajak bergulat. Sensasi asing itu membuat Akaashi menggeliat geli.

Erangan Akaashi semakin menjadi saat lidah Bokuto bergerak menyentuh langit-langit mulutnya.

"Mmngh~" Akaashi menepuk pundak Bokuto, kehabisan udara.

Bokuto melepaskan bibir Akaashi, meninggalkan jejak saliva pada rahang bawah Akaashi.

"Cuma ciuman kamu udah ngeres?"

Mata Akaashi setengah terpejam, ia mengikuti ke arah di mana Bokuto tengah menatap.

Selangkangan Akaashi membentuk gundukan.

Blush~ Wajah Akaashi semakin memerah.

"Lihat? Mana basah banget." Bokuto meremas gundukan itu, membuat sesuatu merembes membasahi piyama Akaashi.

"Mmh~ ahh~" Akaashi mengerang, Bokuto menarik celananya lepas.

Membuat bagian bawah Akaashi telanjang bulat.

Kejantanan Akaashi mengeras, meneteskan precum, membuat pucuk penisnya mengkilap basah.

"Imutnya~"

Perempatan imajiner muncul di kening Akaashi, merasa diremehkan.

Iris zamrud itu melirik ke arah selangkangan Bokuto, di mana gundukan yang lebih besar dari milik Akaashi melintang dari tengah ke pinggir kanan--that's mean, posisi kejantanan Bokuto di dalam celana.

"Hm?" Srak! Akaashi menarik celana Bokuto turun.

Boing! Membuat kejantanan Bokuto yang menegak menampakkan dirinya.

Akaashi meneguk ludah, ia tidak menduga dibalik tonjolan besar itu akan... Sebesar ini.

"Oya? Oya?" Bokuto tersenyum miring melihat Akaashi yang semakin gugup.

"Ternyata kamu sangean juga ya?"

Akaashi sama sekali tidak bersuara, ia masih menatap milik Bokuto.

Berpikir apakah benda itu akan muat di dalam dirinya.

"Dari pada diliatin, coba pegang."

Uwaah... Tukang Listrik anunya nyetrum juga ga ya?

Pasalnya, Akaashi berjengit saat tangannya ditarik. Menyentuh rokok daging di depannya.

Aroma maskulin yang asing juga menyapa indra penciuman Akaashi, aroma Bokuto begitu kuat di bawah sini.

Akaashi tanpa sadar menunduk.

"O-ohh?" Bokuto terkejut dengan pergerakan Akaashi, pemuda itu mendekatkan wajahnya.

Mengecup pucuk penis yang kemerahan.

"A-aku cuma pernah liat di video, j-jadi..." Akaashi mendongak, menatap malu-malu.

Oh, astaga. Ingin rasanya Bokuto menerkam sosok cantik ini layaknya Harimau menerkam mangsanya.

Akaashi membuka mulutnya, memasukkan pucuk penis Bokuto.

"Shhh..." Bokuto mendesis nikmat, ia meremas helai raven Akaashi sebagai pelampiasan.

Akaashi mencoba memasukkan lebih dalam, tapi sampai setengah pun tidak berhasil. Akaashi hampir tersedak.

"Lihat, Dek Keiji tersedak dan ga bisa masukin semua."

Bokuto tahu Akaashi akan terpancing, dan benar saja.

Akaashi mencoba memasukkan penis Bokuto sekali lagi ke dalam mulutnya.

Sambil berpegangan pada kedua paha Bokuto, Akaashi dengan perlahan memasukkan Bokuto perinci.

Hingga bibirnya mencapai pangkal penis.

"Ahh~ enak banget Dek." Bokuto mengerang, seluruh batang penisnya di dalam Akaashi.

"Fuuu... Mmnnn...."

Akaashi berlinang air mata, tenggorokannya terasa sakit karena Bokuto.

Akaashi menggerakkan bibirnya, mencoba menyedot Bokuto. Lidahnya juga bergerak melumat batang penis.

Bokuto menggigit bibir.

"Ummh?" Kepala Akaashi ditarik menjauh, membuat mulutnya terbebas dari penis Bokuto.

Akaashi duduk bersimpuh, dan Bokuto setengah berlutut di depannya. Jari Bokuto menyibak bibir Akaashi, menggesekkan penisnya pada bibir plum yang basah.

"Tahan ya Dek, jangan digigit."

"Huh? Ummhh!!?" Akaashi tersentak kaget, Bokuto mendorong penisnya masuk.

Jeritan Akaashi teredam.

Bokuto mengocok mulut Akaashi dengan penisnya, Deep Throat.

Bokuto menahan kepala Akaashi dengan kedua tangannya, sambil memaju mundurkan pinggulnya dengan buas.

Akaashi mencakar paha Bokuto, melampiaskan rasa perih karena tenggorokannya disodok.

Tanpa memperdulikan kuku yang menancap di paha, Bokuto menjilat bibirnya.

Semakin terbakar nafsu melihat Akaashi terlihat begitu kacau, mengerang, dan menangis secara bersamaan.

Beberapa tusukan dan Bokuto menggeram.
Ia mendekap erat kepala Akaashi, menyemburkan hasratnya.

Spuuuurt! Spuuurt! Spuuurt!

"Ghuuu...uuh..." Iris zamrud Akaashi memutih, tubuhnya bergetar hebat.

Rasa manis dan sedikit pahit menyapa indra pengecap Akaashi, cairan itu menyemprot bagian dalam mulutnya.

Cukup lama keduanya berdiam dengan posisi itu hingga Bokuto melepaskan dekapannya.

Plop! Bokuto menarik kejantanannya dari mulut Akaashi.

Sambil mengatur nafas, Bokuto duduk dan meraih wajah Akaashi yang belepotan.

Iris zamrud yang berair, bibir yang terbuka dan meneteskan sperma bercampur air liur.

Wajah yang bersemu dihiasi peluh dan percikan sperma, pipi basah karena air mata, dan hidung yang meneteskan cairan--entah ingus atau sperma Bokuto.

Bokuto mengelap bibir Akaashi yang belepotan dengan ibu jarinya, mengecup bibir ranum Akaashi.

Bokuto sedikit merasa bersalah karena mengedepankan nafsunya, membuat Akaashi begitu kacau hanya karena melakukan Fellatio.

"Hmm?" Bokuto menoleh ke arah bawah, di mana selangkangan Akaashi terlihat becek.

Akaashi mencapai puncak hasratnya tanpa Bokuto sadari.

Pemuda manis itu muncrat hanya karena Fellatio.

Throb. Bokuto kembali mengeras, ia ingin mencicipi Akaashi sekarang juga.

"Dek, lanjut ga?"

Sejenak Akaashi terdiam, ia menatap Bokuto sambil mengatur nafas. Meski lucu memikirkan ia mencapai puncak hasrat karena menghisap sebuah penis, Akaashi tidak pernah merasakan sensai ini seumur hidupnya.

Akaashi mengangguk mengiyakan, ia telah terbuai oleh nafsu.

.
.
.

Pagi harinya, Akaashi terbangun dengan tubuh yang terasa ngilu.

Seluruh tubuhnya dipenuhi bercak kemerahan dan bokongnya terasa perih.

"Mas Kou..." Hanya ada Akaashi di atas kasur.

Ah, iya. Bokuto bilang pagi ia ada pekerjaan, mungkin itu alasan Akaashi tidak dibangunkan.

Akaashi meraih piyamanya yang tergeletak di sisi ranjang, paling tidak menutupi bagian atas tubuhnya.

"Aw..." Akaashi merintih, pinggulnya ngilu.

Mengingat tadi malam mereka melakukannya hingga Akaashi pingsan, Akaashi bahkan tidak ingat sudah berapa kali ia dibuat mencapai puncak hasratnya karena Bokuto.

Bokuto terlalu mengerikan di atas ranjang.

"Uuff..." Akaashi merintih setiap mengambil langkah, belum lagi sensasi dingin dan basah yang mengalir di paha dalam.

Yup, Bokuto tidak memakai kondom.

"Loh? Dah bangun?"

Iris zamrud yang bengkak karena semalaman menangis itu membelalak.

Menatap sosok jangkung bertubuh tebal yang tengah memakai dapurnya.

Akaashi membenarkan kacamata dengan gugup, tidak menduga Bokuto masih berada di rumahnya.

"Aku kira Mas kerja?"

"Hu'um, tadi di telfon kalau ada yang menggantikan ku, jadi aku off dulu."

Bokuto membelakangi Akaashi, memperlihatkan punggung tegap penuh cakaran kuku Akaashi.

Melihay bekas cakaran yang memerah itu membuat Akaashi bersemu.

"Aku lagi buat nasgor, cuci muka aja dulu."

Bokuto menoleh dan tersenyum simpul.

"Atau mau tunggu di kasur? Aku yakin kamu ga bakal kuat duduk di atas kursi."

Akaashi semakin bersemu, Bokuto tahu tubuhnya terasa seperti jeli.

Sebelum kembali ke kamar, Akaashi kepikiran sesuatu.

"Apa nanti Mas pulang?"

"Pulang kemana?"

Akaashi mengerjap, lalu menggaruk lehernya yang tidak gatal.

"Tunggu... Mas mau tinggal di sini?"

"Di sini atau rumah ku yang dulu?"

Akaashi berpikir sejenak, rumah yang dulu?

"M-Mas pindah ke sini aja." Pinta Akaashi, ia sedikit merasa tidak nyaman jika harus tinggal ditempat di mana Bokuto memiliki kenangan dengan orang lain.

Membayangkan dirinya mengerang di kamar yang sama dengan Name, Akaashi takut arwah Name akan menghantuinya.

"Baiklah, nanti aku ambil barangku dulu. Kamu istirahat aja di kamar."

Akaashi mengangguk mengiyakan.

.
.
.

Setelah hari itu, Akaashi sepakat untuk tinggal satu atap dengan Bokuto.

Setelah mengambil beberapa barang yang dirasa perlu dan pakaiannya, Bokuto menjual rumah lama yang dulunya ia tempat dengan mendiang istrinya, Name.

Bokuto juga mengajak Akaashi untuk mengunjungi makam Name, mengenalkan pengganti sang mantan istri.

Keseharian mereka terus berlanjut, di mana Bokuto menjadi tukang listrik dan Akaashi yang menjual jamu sambil bekerja sebagai editor halaman berita.

.
.
.

Sementara itu di sesuatu tempat...

"Ternyata ide yang bagus aku memaksa hujan turun." Name mendengus sambil tersenyum miring.

Yup, name menjadi arwah yang cukup usil.

*****

Author Note :

Hmmm... Endingnya monoton, tapi apa yang salah dengan keseharian yang damai?

Dan name yang menghantui BokuAka ( '◡‿ゝ◡')

14 Oktober 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro