문제
"Satu macha latte dan satu cheesecake. Apakah ada tambahan lagi?" tanya seorang gadis muda dengan senyum sopan. Ia mengawasi layar di depannya dengan seksama disertai pergerakan tangannya yang cepat memencat tombol.
"Itu saja, terima kasih." jawab sang pria sambil menyerahkan sejumlah uang untuk membayar pesanannya.
Sebuah desahan ringan muncul dari ujung mulut Camillia. Ini merupakan minggu pertama sejak ia memutuskan contract-nya dengan perusahaan Soo-jung. Mulai sekarang ia sudah tidak berhubungan lagi dengan Soo-jung maupun Bangtan. Hidupnya kembali seperti semula.
"Permisi, apakah kau begitu bodoh! Aku jelas-jelas memesan—" suara teriakan sengit seorang pelanggan membuat Camillia berlari secepat mungkin ke arah temannya yang sepertinya kewalahan.
Camillia langsung berdiri di samping temannya agar ia dapat memahami situasi aneh yang sedang terjadi.
"Maaf atas kelalaian kami, apakah ada yang bisa kubantu?" tanya Camillia sopan ke arah pelanggan yang marah besar itu.
"Aku tadi jelas-jelas. . ." ucapannya terhenti ketika ia melihat wajah Camillia dan sama halnya dengan Camillia yang terkejut melihat pelanggan itu.
"Ha-rin a! Lihat! Inilah pelacur yang menghasut Jimin ketika kita bermain bersamanya tiga bulan yang lalu!" teriaknya bersungut-sungut sambil menarik temannya ke arahnya.
Ha-rin tidak berkata apa-apa dan tetap diam. Tangannya bergerak kearah gelas kopi panas di meja itu. Seketika itu ia menumpahkan semua isi gelas itu kearah Camillia.
Camillia merasakan panas cairan itu meresap ke bajunya, namun ia tetap membeku di tempat. Meskipun wajahnya melepuh ketika terkena kopi, tidak ada rintihan apapun yang datang dari dirinya.
Sebaliknya, ia memberikan senyuman manis dan mengulang pertanyaannya.
"Apakah ada yang bisa kubantu?"
Suara bell ringan mengejutkan seisi ruangan. Semua mata menoleh kearah pria yang baru memasuki ruangan itu. Ia tidak mengetahui apapun yang terjadi sebelum kedatangannya, namun kemarahan terpampang jelas di kedua matanya ketika ia melihat sosok Camillia yang basah kuyup.
Tanpa mengucapkan apapun, ia menarik tangan Camillia dan menggeretnya keluar toko.
"Jimin-oppa!" teriak Ha-rin yang bermaksud menghentikan pria itu sebelum meninggalkan toko itu.
"Jangan memanggil namaku, aku merasa malu mendengarnya keluar dari mulutmu!" balas Jimin kembali dengan kasar. Ia tidak berteriak, namun caranya mengutarakan kalimat itu sudah cukup jelas membuat semua orang di toko itu merasakan kemarahannya.
Jimin terus menarik Camillia tanpa mendengar celotehannya hingga mereka akhirnya sampai di depan mobil sedannya.
"Bbali ta! [Cepat masuk]" ujarnya kearah Camillia.
"Let me go, you bastard!" balas Camillia sambil mencoba melepaskan tangan Jimin.
Tangan Jimin bergerak mengacak-acak rambutnya sebelum ia akhirnya menyerah.
"Lia ssi, tolong. . . sekali ini saja kabulkan keinginanku. Aku tidak memintamu menciumku, maupun memelukku. Aku tidak memintamu tidur denganku maupun menjadi pacarku. Aku hanya memintamu untuk memasuki mobilku, apakah itu sesulit itu?"
Ucapannya itu tepat sasaran di hati Camillia. Hatinya yang dikuasai Jimin memintanya untuk menuruti perintah pria itu. Namun, kepalanya yang dipenuhi logika memintanya untuk melakukan sebaliknya. Camillia berlangkah maju dan memasuki mobil pria itu.
Sepanjang perjalanan tak ada satupun yang berniat berbicara. Suasana yang menyelimuti mereka begitu tegang dan kaku.
Setelah sekian jam menyupir mereka akhirnya sampai di depan Sungai Han. Camillia tetap diam dan mengikuti pergerakan Jimin ke arah sebuah kursi. Perlahan-lahan ia menyandarkan tubuhnya di bangku tersebut.
Jimin memutar kepalanya ke arah gadis yang terduduk di bangkunya. Ia ingin tertawa ketika menyadari betapa jauh di antara mereka.
"Lia ssi, mungkin bisa ada lima hingga enam orang yang duduk di antara kita. Geserlah kesini!" ujarnya dengan suara datar. Namun hatinya ingin sekali tertawa melihat tingkah Camillia.
"Bangku ini sepertinya kekecilan, aku bisa pindah ke bangku selanjutnya jika kau mau." balas Camillia tanpa menoleh kearah Jimin. Wajahnya terlihat santai, namun rasa gugup telah menyelimuti sekujur tubuhnya dari kaki hingga leher. Tangannya yang terduduk diatas lututnya mencengkeram kuat.
Jimin menunggunya lemah sebelum bergeser dengan cepat kearahnya. Ia tahu bahwa Camillia pasti akan melawan karena itu ia mencegatnya seketika itu juga.
"Menurutku begini lebih nyaman, tidakkah begitu?" tanya Jimin tepat di samping telinga Camillia.
Camillia menoleh kearahnya dengan tatapan mata tajam khasnya.
"Lepaskan tanganmu sebelum kupatahkan saat ini juga." gerutunya sambil menatap sepasang mata Jimin dengan menusuk.
"Aku tidak akan melepaskan tanganku sebelum kau menjawab pertanyaanku."
Camillia memutar kepalanya ke kiri agar tidak melihat wajah Jimin. Namun ia merasakan tangan Jimin menyusuri pipinya dan menarik kembali dagunya dengan kasar.
"Apa maumu?" ujar Camillia dengan nada seolah-olah ia tidak percaya akan perbuatan Jimin barusan.
Jimin pelan-pelan mendekati bibirnya dan langsung mencium wanita itu. Ia meletakkan satu tangannya di pinggang Camillia untuk menariknya lebih dekat lagi, dan satunya di belakang kepala Camillia. Ia sudah cukup lama menahan hasratnya untuk memiliki gadis ini.
Satu delikan Camillia cukup untuk membangunkan binatang buas yang lama tertidur dalam Jimin. Ciumannya itu perlahan-lahan berlari kebawah leher Camillia. Tangan Jimin merogoh kemeja Camillia untuk membukanya agar ia bisa sampai ke pundaknya. Camillia sendiri ikut terhanyut dalam ciumannya, namun ketika ia sadar akan perbuatannya ia langsung berhenti.
Ia segera beranjak dari kursinya dan melandakan serangan ke wajah Jimin.
Plak!
"Dasar pria tidak tahu diri!" gerutunya sebelum berjalan pergi meninggalkan Jimin sendirian di bangku itu.
Camillia merutuki dirinya berkali-kali sambil berjalan menyusuri Sungai Han. Mengapa ia begitu bodoh untuk jatuh dalam perangkap Jimin? Mengapa ia selalu mendengarkan ucapan Jimin yang omong kosong ketika ia sebenarnya tahu bahwa itu semua kebohongan belaka?
🌼🌼🌼
"Kau apa?" teriak para member Bangtan bersamaan ketika melihat bekas tamparan Camillia yang masih merah di wajah Jimin.
"Aku tidak heran bahwa kau akan menciumnya, tetapi aku heran mengapa kau begitu nafsu sampai ke titik itu," ujar Tae-hyung yang seolah-olah tidak percaya ketika mendengar cerita Jimin.
"Hyung, menurutku kau kali ini keterlaluan. Aku memang memintamu mengejarnya, tetapi tidak seperti ini! Kau seolah-olah memakai tubuhnya hanya untuk—"
"Diamlah, Jung-kook! Aku tidak memanfaatkannya! Aku benar-benar mencintainya! Karena itu—" teriak Jimin kembali seolah-olah tidak terima dengan ucapan Jung-kook.
"Tetap saja hyung! Jika Soo-jung mengetahui perilakumu terhadap Camillia, ia bisa mencincangmu hidup-hidup!" balas Jung-kook kembali berapi-api.
Seketika itu keheningan menyelimuti ruangan. Jimin diam terpaku menatapi Jung-kook. Amarah dari sekujur tubuhnya bangkit, memacu tangannya untuk melandakan serangan di wajah Jung-kook. Para member lain langsung berlari kearah mereka untuk melerai pertengkaran mereka. Sepasang mata Jimin yang dipenuhi amarah mengejutkan para member lain.
"Sudahlah Jimin, kenapa kau malah membabi buta ketika dinasehati begini?" tanya Yoon-gi sambil mencengkram lengan Jimin untuk menahannya sebelum ia menyerang lagi. Namun, Yoon-gi kejutnya bukan main ketika menatap kearah pandangan Jimin. Meskipun Jimin dipenuhi kemarahan, Yoon-gi dapaat melihat kekecewaan dan kesedihan yang mendalam. Satu hal yang pasti, selama hidupnya ia tidak pernah melihat tatapan mata itu keluar dari Jimin.
Crazy in love? Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan situasi Jimin.
"Jimin-a, selama hidupku, aku memang tidak pernah jatuh cinta sepertimu. Tetapi, satu hal yang kuyakini bahwa perbuatanmu ini tidak pantas. Kau sebaiknya meminta maaf kepada Camillia." ujar Yoon-gi disertai desahan lemas sambil beranjak dari tempat duduknya di samping Jimin.
"Tetapi, hyung. . . Bagaimana jika ia meninggalkanku?" tanya Jimin dengan suara serak.
"Jika itu yang terbaik baginya, maka biarkan ia pergi."
Jimin termenung diam tanpa menyadari kepergian Yoon-gi. Ia hanya bisa mendesah lemah, "Itulah masalahnya. . . Aku tidak bisa melihat diriku ditinggalkan seorang wanita."
— End of Chapter Twelve : 문제 —
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro