Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[20] Cuma Itu

"Nikah yuk, Neng!" ajak Lintar yang mendapat pelototan dari Biru.

"Kamu gila, Lin!"

"Gila gara-gara kamu, Neng!" Kekeh Lintar kemudian menyedot es kopinya yang berada dalam gelas plastik label Starbucks.

"Nggak segampang itu, Lin." Biru mengalihkan matanya keluar jendela kaca.

"Apanya? Soal usia atau masa lalu kamu?" Biru menolehkan kepalanya cepat.

"Lin-"

"Aku nggak peduli, Neng. Itu masa lalu kamu. Nggak ada urusan sama aku. Terus aku kudu cemburu sama masa lalumu?"

Ok. Kali ini Biru agak ngeri mendapati reaksi Lintar yang begitu santainya. Terlebih mengubah panggilan yang biasanya gue-elo jadi aku-kamu.

"Aku anak di luar nikah, Neng. Bahkan ibuku sendiri rela membuangku di bak sampah begitu aku dilahirkan."

Terhenyak, Biru menoleh cepat ke arah Lintar, mendapati tatapan kosong pria bermata sipit itu tengah menekuri susana gerimis di luar jendela.

Biru tak tahu harus apa. Bagaimana cara Menenangkan pria lebih muda darinya ini.

Biru kembali menyesap minuman hangatnya, dan meletakkannya kembali. "Gimana ceritanya kamu kenal sama Richard dan mbak Elisa?"

"Simple sih. Gue kecopetan, ditolongin mas Richard, lalu dikasih kerjaan juga begitu tau gue mahasiswa perantauan." Balik lagi aksen gue-elo milik lintar.

"Mereka emang terlalu baik," bisik Biru menyesap minumannya.

"Saking baiknya, gue bahkan rela ngasih mereka apa yg diminta. Tanpa mas Richard gue nggak akan pernah bisa survive di negeri orang.

"Sekarang kamu tahu siapa aku, mending kamu jauh-jauh dari aku-"

"Dan ngebiarin elo berjuang sendiri? Nggak akan, Neng. Setelah tau elo mamanya Biru. Gue semakin yakin buat jadiin elo bini gue."

Biru terkekeh mendengar ucapan Lintar. "Nggak semudah itu, Lin. Aku bukan seperti wanita kebanyakan. Aku nggak sesempurna itu."

"Sempurna dalam definisimu apa, Neng?"

"Wanita baik-baik. Bibit, bebet, dan bobotnya jelas. Single, dan masih perawan. Auw-" Biru mengadu kesakitan merasakan dahinya disentil.

"Ck! Kebiasaan banget sih. Gue nggak butuh itu. Elo tinggal iyain aja, maka seumur hidup gue bakalan setia sama elo."

Biru meneguk ludahnya susah payah. Dulu ia begitu menginginkan yang namanya pernikahan dan komitmen.

Akan tetapi, semenjak Juan mencampakkannya ia tak lagi berharap pada suatu hal sakral tersebut. Dirinya merasa minder. Ia bukan wanita baik-baik begitu juga untuk pria baik-baik.

Dan Lintar adalah pria baik-baik itu.

Lintar beranjak dari tempat duduknya dan langsung menarik tangan Biru begitu saja, hingga wanita berambut hijau itu kewalahan mengimbangi langkah lebar Lintar.

"Lin lepasin!" seru Biru berusaha menarik tangannya dari cengkeraman Lintar.

"Ck! Nurut napa sih, Neng," gerutu Lintar yang masih menarik tangan Biru.

Lintar dan Biru kembali ke bangsal VVIP tempat Elisa sedang dirawat pasca melahirkan.

Pemandangan yang tersaji begitu Lintar membuka pintu adalaha Richard yang sedang menggendong putranya, yang sampai sekarang Biru tak tahu siapa namanya.

"Mas, keberatan nggak kalo aku bawa Biru sama mamanya berlibur ke Bali?" tanya Lintar to the point.

Sedangkan Biru hanya melotot tak percaya, mendengar pertanyaan Lintar.

Richard sendiri menganggkat kedua alisnya tinggi-tinggi. "Kalau aku tidak mengijinkannya?"

Lintar menarik genggaman tangannya hingga membawa tubuh Biru oleng, dan membentur bahu Lintar.

Hey, sejak kapan cengkeraman Lintar berubah menggenggam tangannya.

"Tetap aku bawa mereka!" Tegas Lintar yang membuat Richard menyipit.

"Dan ... alasan apa yang membuatmu ingin mengajak Blue dan Biru berlibur?"

Lintar melangkah mendekati Richard, tanpa melepaskan genggaman tangannya pada Biru.

"Ijinkan aku melamar Biru, Mas. Aku ingin menikahi Biru..."

Elisa dan Biru jelas terperangah, tapi tidak dengan dengan Richard yang semakin menghunuskan tatapan tajamnya.

"Biru?"

"Eh ....," alis Lintar yang tadi berkerut mengurai perlahan begitu menyadari. "Hell ... no. I mean it's Blue. Oh, gosh! Hell ... aku bukan pedofil, astaga!" Racau Lintar begitu menyadari kekeliruannya.

Richard yang tadinya berwajah gahar, malah terbahak melihat klarifikasi Lintar.

"Rich ... kamu membuat Lintar salah tingkah," pekik Elisa yang tak tahan lagi menahan tawanya.

Sedangkan Lelaki bule itu malah terbahak melihat kelucuan Lintar barusan.

Jangan tanya bagaimana wajah Lintar sekarang, jelas warna kuning langsatnya berubah menjadi kemerahan seperti kepiting rebus.

"Apa yang bisa kamu berikan pada Blue, Guntur?" Kali ini Richard kembali pada wajah seriusnya.

Lelaki ini jelas begitu protektif terhadap Blue juga Biru. Ia tak mau kejadian Blue lima tahun lalu terulang kembali. Tidak untuk yang kedua kalinya.

"Kesetiaanku, Mas," jawab Lintar dengan suara mantap dan tegas.

"Kau yakin akan hal ini, Guntur?"

"Ya! Aku yakin!"

"Lin, pernikahan bukanlah hal yang main-main." Kali ini Elisa unjuk bicara.

Biru merasakan remasan lembut tangan Lintar, menyalurkan jutaan keyakinan yangvia coba salurkan melalui interaksk kecil tadi.

Pandangan mereka beradu sejenak, kemudian senyum Lintar tersungging di kedua ujung bibirnya.

"Dan aku nggak pernah main-main akan hal ini, Mbak ..., seyakin perasaanku sama Blue." Tanpa memotong tatapan mereka.

Kali ini Biru dibuat tak percaya dengan tindakan nekat Lintar.

○●○●○●○●○

Lintar terdampar di apartemen Biru. Oh, tidak. Justru Lintar yang memaksa Biru menerima kehadirannya.

Biru mendengkus sebal, mendapati Lintar sudah mengacak-acak dapurnya.

Sebenarnya siapa pemilik apartemen ini?

"Ck! Nggak suka banget sih. Pacar sendiri juga." Biru mendelik, tapi tak dihiarukan oleh Lintar yang semakin sibuk menghadap kompor dan kawan-kawannya.


Entah ini konspirasi alam, atau hanya Biru yang terlalu terbawa perasaannya sendiri. Tapi ... memandang punggung Lintat terlapisi kaos putih polos yang sedikit kebesaran, tak menyurutkan kesan seksi kala pria berwajah oriental itu sedang menunduk. Fokus pada hidangannya.

Rasa-rasanya punggung Lintar seolah memanggil Biru untuk segera memeluknya. Mungkin terasa hangat dan menyenangkan bisa bergelung manja dipunggung itu, juga menghirup aroma vanila yang menguar dari balik tubuh tegap Lintar.

"Akh!" Biru mengaduh kesakitan, ketika merasakan keningnya terasa sakit.

Menggosoknya perlahan, Biru menghunuskan tatapan tajam pada Lintar yang sudah menahan tawa.

"Sakit tau!" Adu Biru mengusap kening yang di getok Lintar dengan sendok.

"Kamu pasti mikir mesum?" Telisik Lintar menyipitkan matanya.

"Enak aja. Enggak lah." Sewot Biru tak terima.

"Iya juga nggak apa-apa kok, Neng." Lintar menyeringai tengil, kemudian meletakkan sepiring hidangan dengan garnis yang cantik tepat di depan Biru.

"Cuma ini yang ada di kulkasmu." Lintar mulai menusuk daging kerang tersebut dengan garpu dan melahapnya dengan tenang.

Biru yang kadung penasaran sama rasanya juga melakukan hal yang sama. Sebenarnya ia sedikit tak tega memakannya, hidangan ini terlalu cantik untuk di makan.

"Gulai ...," gumam Biri begitu kerang tersebut mendarat di mulutnya.

Kadar kepekaan Indera pencecapnya seolah naik menjadi delapan puluh persen, begitu dihadapan pada makanan.

"Makan, Neng."

"Kupikir kamu cuma bisa bikin dessert, nggak taunya bisa juga bikin makanan seperti ini."

"Ehm ... orangtua angkatku punya restoran makanan Indonesia di Aussie, itu sebabnya aku nggak terlalu buta sama cita rasa masakan Indonesia." Jelas Lintar disela kunyahannya.

Biru hanya menggendikkan bahu, kemudian kembali melahap masakan Lintar tanpa bicara lagi.

Lintar tak mengijinkan Biru mencuci piring bekas makanan mereka, malah menghalau Biru agar duduk saja di sofa dan menonton televisi.

Bukannya nurut, Biru malah mengambil sebotol Yakult yang tersisa dan meminumnya dalam sekali teguk.

"Ini apartemenku, Lin. Kalo kamu lupa."

"Soon to be ... bakalan jadi punyaku juga." Lintar membilas kedua tangannya kemudian mengelapnya dengan lap khusus yang tersampir tak jauh tempatnya berdiri.

Untuk kesekian kalinya Biru mendengkus sebal mendapati jawaban Lintar.

"Masih ada Yakultnya?" Biru menggeleng. "Yaaa ... padahal aku juga pengen."

"Beli aja sendiri ntar pulangnya."

Tanpa aba, Biru merasakan sesuatu yang kenyal dan lembut menekan bibirnya, membuat wanita yang tengah duduk di kursi pantry hanya bisa terkesiap dan mengerjab bingung.

"Rasanya asem," celutuk Lintar melempar seringaian tengilnya, lalu membalikkan tubuhnya.

"Lintar ... sialan kamu!" umpat Biru menendang udara. "Suka benget nyuri ciuman!"

Ada yang menahan pinggul Biru saat ia akan beranjak dari duduknya, sesaat ia merasakan tubuhnya melayang hingga bokong seksi miliknya mendarat di atas meja.

Biru kalah cepat. Menadapati dirinya sudah diapit oleh kedua tangan Lintar yang bertumpuh pada meja, juga kedua kakinya mengapit paha Lintar.

Biru yang mendadak merasakan wajahnya bersemu memerah, juga memanas memilih memalingkan wajah. Menghindari tatapan Lintar.

"Baru kali ini aku segila ini, Neng," bisik Lintar tepat berada di lehernya.

Sekarang ia menyesali keputusannya memalingkan wajahnya, begitu tau justru Lintar kembali mengendus leher Biru. Apalagi kelabilan gue-elo jadi aku-kamu yang suka berubah-ubah.

"Nikah sama aku, ya, Neng," pinta Lintar yang mulai mengecupi leher Biru, kemudian turun ke bahunya yang masih tertutupi kaos tipis.

"Nggak semudah itu, Lin." Biru meraih kepala Lintar menyejajarkannya.

Lintar meraih pergelangan tangan Biru, mengelus pelan tiga garis bekas luka vertikal dengan jempol besarnya.

"Ini-"

"Percobaan bunuh diri."

Lintar menatap bekas luka tersebut, dengan tangan kiri ia menopang tangan Biru dan menyentuh perlahan luka tersebut dengan jemari panjangnya.

Darah Biru mendesir mendapati Lintar menulusuri bekas lukanya, juga mengecup pelan pergelangan tangannya tepat pada bekas luka tersebut. Ada gelitikan aneh dalam perutnya, yang anehnya membuat perasaan Biru menghangat.

"Say it, Neng. Just say yes!"  Lirih Lintar menatap dalam tepat ke manik mata Biru.

Tatap Lintar menghipnotis Biru, seakan-akan dirinya tenggelam dalam tatapan tersebut.

Tanpa sadar Biru mengangguk samar, membuat senyum simpul terbit di wajah Lintar.

"I love you, Neng," bisik Lintar kembali memagut bibir.

Biru gelapan tak siap. Kala Lintar menempelkan bibirnya, dan merasakan sensasi aneh itu lagi. Seolah-seolah ada kepakan sayap kupu-kupu dalam perutnya bertebarangan, ketika Lintar melumat lembut bibirnya. Begitu lembutnya membuat Biru ikutan terhanyut dalam pagutan yang diciptakan Lintar. Tak ada gairah yang mengebu-gebu, hanya ciuman lembut dengan sejuta perasaan.

"Please ... Stop me, Neng," bisik Lintar di sela-sela cumbuannya yang sudah turun ke dagu menuju leher Biru.

Riak-riak gelora, mulai menampakkan diri. Hingga membuat keduanya tak lagi mampu menggelak. Dengan cekatan Lintar meraih tungkai Biru dan melingkarkannya di pinggang, kemudian membawa masuk ke dalam kamar milik Biru menutupnya dengan tendangan kecil di daun pintu hingha tertutup. Saling membagi letupan-letupan    yang kian membesar.

✩★✩★✩★✩

Hayooooo yang senyum-senyum sendiri. Wkwkwkwkwkwk. nyaidasimah pasti dikau ngikik nih baca part ini.

Masih recet nih, tp usaha buat apdet bang Lintar.

Semoga menikmati, makasih untuk vote juga saran dan kritik kalian. Sowry kalo belom bisa balesin komen kalian. Masih recet banget aku.

See ya ...

Surabaya, 13/01/2019
-Dean Akhmad-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro