Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[16] Rasanya Seperti Itu

"Who is he, Ma?" Pertanyaan polos bocah tersebut membuat sekujur tubuh Biru menegang, dan Juan menyadari hal itu.

Juan melirik sebentar ke arah Biru yang masih menunduk, namun kemudian matanya kembali memandang sosok bocah laki-laki yang sedang duduk di kursi roda itu.

Anak itu memaksa pria bule yang dipanggilnya Daddy, untuk segera mendekat kearah Biru dan dirinya.

"Mama ... who is he?" tanya bocah itu lagi. Kali ini Biru berbalik dan memaksakan seulas senyuman.

"Hai, Baby," sapa Biru yang menekuk lututnya agar sejajar dengan anak lelaki itu, dan mengacak rambutnya. "Kenapa ikut ke sini? Ini sudah malam, harusnya sudah tidur."

"Aku mau menemani Mommy Elisa. I miss you, Mama," ucap si bocah yang langsung memeluk tubuh Biru.

"I miss you too, Kiddo."

Juan masih mengamati interaksi antara Biru dengan bocah laki-laki tersebut, hingga mata mereka bersirobok. Membuat sebuah gelenyar aneh tiba-tiba muncul dan menyelinap ke rongga dadanya, sesuatu yang menggetarkan.

"Is he my Papa?" Bisikan anak lelaki itu masih terdengar oleh telinga Juan. Sontak saja jantung Juan seperti terhempas jauh dari tempatnya, turun ke perutnya dan berkumpul dengan usus besar, dan membuat gejolak itu hadir kembali.

"Papa?" lirih Juan menatap manik mata seperti kepunyaannya.

Haruskah ia bahagia? Dipanggil Papa adalah impiannya semenjak lima tahun yang lalu, kemudian ada yang memanggilnya demikian Juan merasa satu buncahan yang tak bisa ia bendung lagi.

Biru menelan ludahnya perlahan, lalu mengembuskan napanya. "Yes, Bi. He is your Papa." Mendengar jawaban Biru, kehangatan yang menyebar di dalam dadanya tadi menguap seketika. Tubuhnya seolah dialiri listrik membuatnya menegang tanpa ampun, hingga otot-ototnya dan persendianya melemas. Membuat tubuh Juan terhuyung ke belakang.

Satu hentakkan kuat menyambar wajahnya, saking kuatnya Juan tak mampu menahannya hingga ia terjungkal ke lantai. Kepalanya terantuk ujung kursi besi, menambah pedih pukulan yang mendarat tepat di pipinya. Tak hanya sudut bibirnya yang robek, kini ia juga merasakan ada cairan hangat meluruh dari kepalanya menuju rahangnya, dan menetes hingga ke kaos putih yang ia pakai.

"Merde basique!*" Satu tonjokan kembali bersarang, kali ini pelipis Juan yang merasakannya.

"Folle!*" Satu tonjokan kembali mendarat di pipinya, hingga ia merasakan jika mulutnya mengeluarkan darah.

"Cruelle!*" Juan yakin jika pukulan kali ini mampu merontokan giginya.

Cukup! Dengan sisa tenaga yang ia punya, Juan mendorong tubuh jangkung Richard hingga terhuyung ke belakang. Meski bukan tulang rusuknya yang terkena bogeman mentah lelaki bule itu, tetap saja terasa menyakitkan. Terutama bagian kepalanya.

Tertatih, Juan beranjak dari posisinya semula kemudian membungkuk, dan meludah. Hanya cairan merah yang keluar beserta dua giginya. Entah gigi sebelah mana.

Pandangan beralih pada sosok Biru yang memandangnya datar, tanpa ekspresi.

Richard hanya mendengkus kesal, dan merapikan lengan kemejanya yang berantakan sekalian menggulungnya sesiku. Umpatan bahasa asing yang tak Juan mengerti kembali terlontar dari bibir Richard, seraya mencengkram kaos Juan. "Dasar banci!"

"Rich, enough!" Cegah Biru ketika Richard akan melayangkan bogemannya.

Juan masih menyeka sisa-sisa darah di sudut bibirnya, juga rembesan yang keluar dari helaian rambutnya.

"Susul Elisa!" Putus Biru.

"Tap...."

"Elisa dan anak kalian lebih membutuhkanmu."

Richard mendesah lelah, Biru benar Elisa lebih membutuhkannya sekarang. Toh, sekarang wanita ini sudah lebih bisa menguasai emosinya ketimbang lima tahun yang lalu. Mencoba memercayakan keputusan Biru, Richard mengangguk dan menciun kening Biru sebelum akhirnya meninggalkan Juan dan Biru. Hanya berdua saja.

Juan meringis ketika seorang perawat tengah membersihkan luka-lukanya. Ia tak menampik jika bogeman Richard sukses membuat dirinya bisa seperti ini.

Hanya saja, untuk kali ini ia memang mengalahkan egonya dan menerima setiap pukulan yang bersarang diwajahnya.

Jika mengingat apa yang ia lakukan pada wanita berambut hijau di depannya, luka ini belum lah seberapa. Dan itu sukses menonjok ulu hatinya secara tak kasat mata. Rasanya begitu sakit.

Tubuhnya tak kalah kekar dengan pria Prancis itu, namun pukulannya begitu terasa meyakitkan. Lalu bagaimana rasanya kala ia menyarangkan pukulan dan tendangan yang disarangkan pada tubuh ringkih Biru saat itu?

Apa yang sudah ia lakukan lima tahun lalu, Tuhan? Juan menyugar rambutnya dengan jemari tangannya, mencoba menghalau rasa yang seakan menghimpit dadanya.

Lihatlah. Wanita selembut Biru berubah menjadi wanita dingin dengan wajah tanpa ekspresi. Dan ia lah pelaku utama yang sudah mengubah Biru.

"Bi," panggil Juan mendapati tatapan Biru menerawang.

"Diamlah, Juan," sahut Biru kemudian berdiri dari duduknya. "Aku tunggu di depan!" Yang kemudian berlalu begitu saja.

Pandangan Juan menerawang pada sosok anak laki-laki yang duduk di atas kursi roda. Sedari tadi ia tak melihatnya. Mungkin pengasuhnya membawa dia pergi, agar tak melihat adegan kekerasab yang dilakukan daddy dan papanya.

Ya Tuhan. Ia punya anak.

Ada haru dan kebahagian bersatu di dalan dada. Lalu gejolak itu muncul kembali, membuat jantung Juan berdetak tak keruan. Anehnya ia menyukai sensasi tersebut, meski ia tahu bahwa jantungnya berdetak diatas rata-rata.

Papa, ya?

Batin Juan mencemooh panggilan yang sempat ia dengar melalui mulut putranya. Juan mendengkus pelan kala menyebut anak lelaki itu putranya.

Tapi Juan tak salah dengar 'kan? Ia mendengar jelas jika Biru mengakuinya jika dia lah papa dari anak itu. Dan Biru adalah mamanya.

Haruskah ia benar-benar merasa bahagia sekarang?

●○●○●○

Ternyata rasanya sesakit itu.

Kiara tak tahu lagi harus bagaimana ketika ia terbagun di pagi hari tanpa Juan di sisinya.

Tak ada pesan tertulis, maupun elektroknik yang mengabarkan di mana keberadaan suaminya. Bahkan kasur di sampingnya terlihat rapi, dan dingin. Seperti tak pernah ada orang yang menidurinya.

Jadi semalam Juan bahkan tak tidur di kamarnya?

Mendesah pelan, Kiara mengedarkan pandangannya menyeluruh pada kamar Juan-semasa bujang. Bisa dihitung dengan jari berapa kali ia mengunjungi rumah orangtuan Juan, dan ini pertama kalinya ia menginap di sini.

Kiara tak pernah benar-benar memperhatikan kamar inin. Setiap kali ia berkunjung, mertuanya selalu memasang wajah tak bersahabatnya dan selalu menyinggung nama Biru. Mantan sahabatnya itu.

Kamar yang cukup rapi untuk ukuran pria lajang. Tak banyak poster terpampang di dinding kamar ini, hanya poster band The Rasmus berukuran besar menghiasi dinding tepat di atas kepala tempat tidurnya.

Bahkan Kiara melihat jejeran kaset berpita hingga kepingan dvd yang berisi album-album band tersebut, tertata begitu rapi disebuah rak yang dikhususkan hanya untuk idolanya.

Entah apa yang Juan liat dari band rock asal Finlandia tersebut. Band yang berdiri pada tahun 1994, begitu di gilai oleh oleh Juan.

Tangan Kiara terhenti begitu saja kala jemarinya menyentuh sebuah pigura. Mendadak rasa nyeri itu kembali hadir, membuat dadanya terasa terhimpit dan kehilangan oksigen dalam paru-parunya.

Kiara menatap sendu ke arah pigura tersebut, senyum Biru dan Juan terlihat begitu bahagia tanpa beban.

Sekali lagi denyutan nyeri itu hadir dan meremas kuat jantung dan hati Kiara secara bersamaan. Suaminya bahkan tak pernah sesemringah itu kala berfoto dengannya.

Bahkan Juan tak repot-repot memindahkan foto ini dari atas rak yang berisi koleksinya.

Jadi rasanya memang sesakit ini, saat menemukan jejak masa lalu Juan yang tak benar-benar hilang dari hidupnya. Lebih tepatnya adalah hidup mereka.

✩★✩★✩★

nyaidasimah Olalilalilo nyoh ... nyoh ... nyoh ... wes apdet yes. Ngahahahahaha...

Semoga seneng yak. 😘😘😘
Mengetik diantara kemageran yang naudubilah, akhirnya kelas juga.

Bye. Darla...

Surabaya, 05/01/2019
-Dean Akhmad-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro