Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[14] Hanya Ingin

Yang julid .... yang julid ... yang julid. Ekwkwkwkwk ... kalian julid amat sih sama Juan. Jangan julid-julid napa sih, ntar jatuh cinta lho sama Juan. Ngahahahahaha....

Ganteng begini dijulidin. Gak kalah sama si brondong yekan? #maininalis

Betewe, itu yang di mulmed cafe-nya chef Lintar yes. Selain bekerja di hotel yang sama dengan Juan dan Biru. Ia punya usaha sendiri.

Eh, kelupaan. Ada adegan 21++ harap bijak ya memilih bacaan.

✩★✩★✩★✩★✩

Ting!

"Chef! Meja enam belas ingin ketemi langsung sama Chef. Apa bisa?" tanya seorang berseragam waitress, dengan tali celemek menggantung di pinggang.

"Tentu! Apa pesanan ini milik meja enam belas?" tanya Lintar yang tetap fokus plating-nya.

Gadis itu mengambil buku kecil yang terselip di kantong celemeknya, membalik beberapa lembar kertas. "Iya Chef. Kitkat Secret Garden."

"Lima menit lagi. Saya sendiri yang ngaterin ke depan." Imbuh Lintar.

"Yes chef!"

Belum sampai lima menit Lintar sudah menyelesaikan plating-nya. Membanting pelan celemeknya di atas meja pantry, Lintar tersenyum puas dengan hasil akhir dessert buatannya.

Lintar tersenyum semringah, melihat siapa customer yang berada di meja enam belas.

"Mommy ... Chef Lintar is coming!" Sorak gembira seorang bocah laki-laki berkacamata. Meski dengan terbata-bata tapi sanggup membuat Lintar semakin tersenyum lebar.

"This is it. Kitkat Secret Garden, special for Biru."

Biru kembali bersorak gembira melihat dessert yang tersaji di depannya.

"Mommy ... mommy ... look ... It's so Cool..." ucap Biru dengan senyum tiga jarinya.  Lintar mengambil duduk di sebelah Biru lalu mengacak rambut Biru.

Elisa hanya tersenyum, mendapati putranya begitu bahagia saat melihat dessert cokelat favoritnya.

Lintar dan Elisa hanya diam mendengarkan segala celotehan Biru, mungkin bagi sebagian orang mendengar Biru berbicara panjang lebar bukanlah hal penting.

Lain halnya dengan Elisa. Sungguh celotehan Biru yang panjang lebar adalah salah satu mukjizat yang benar-benar ia syukuri, walau tak selancar anak-anak lainnya saat berbicara.

Nada suara terdengar putus-putus, namun masih bisa Elisa dengar.

"Kamu hebat, Mbak. Biru juga anak yang hebat." Ungkap Lintar tetap memandang Biru yang bercerita apa saja disela kunyahannya.

"Ya! Biru memang anak yang hebat. Sehabat ibunya."

Lintar mengerutkan keningnya. "Ibunya?"

"Aku hanya ibu angkatnya."

"Jadi?"

"Long story, Lin."

"Try me, Mbak."

Elisa menghembuskan napas napas panjangnya. "Aku menemukan ibunya tergeletak dalam keadaan babak belur, ditoilet salah satu mall. Tak ada orang yang mengaku sebagai sanak saudaranya, saat aku dan Rich membawanya ke rumah sakit . Dia hampir keguguran, tapi masih terselamatkan.

Ibunya kritis dalam kurun dua bulan, hanya dari infus Biru mendapatkan asupan gizi. Setelah itu keadaan semakin memburuk. Dia mengalami depresi hebat, hingga selalu berusaha ingin menghilangkan nyawanya sendiri. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia begitu mencintai Biru saat ia mendapatkan kesadarannya.

Diusia kehamilannya yang kesembilan aku dan Rich lengah, dia berlari keluar rumah dan akhirnya tertabrak mobil hingga terpental beberapa meter. Selain gegar otak dan patah tulang parah pada kaki, dia juga meengalami koma hampir selama dua tahun." Elisa memandang sendu ke arah Biru yang kini belepotan cokelat.

"Ya Tuhan!" Lintar beralih duduk di samping Elisa dan memeluknya dari samping. "Dia benar-benar ibu yang hebat. Biru juga anak yang hebat. Tak mudah menjadi pengidap Cerebral Palsy*." Kali ini Lintar tak bisa menyembunyikan kekagumannya pada Biru.

"Aku dan Rich selalu membawanya terapi seminggu dua kali, meski perkembangannya tak begitu pesat. Fokus kami lebih pada agar Biru bisa kembali berjalan, agar ia tak lagi ketergantungan pada kursi roda." Elisa menyusut airmatanya, dan mencoba tersenyum saat Biru menyuapi potongan dessertnya.

"Kalian adalah orangtua hebat."

"Makasih!"

"Ngomong-ngomong, sampai kapan kalian di sini? Aku harus kembali bekerja. Nanti aku bisa dipecat."

Elisa terkekeh. "Kamu yang punya. Siapa yang bakalan mecat kamu."

"Diiih, embak ih. Masa iya makan gaji buta." Lintar berucap asal.

Elisa tertawa mendengarnya. "Sana pergi! Kalo kamu di sini, nanti Biru minta nambah lagi."

Lintar berdiri dari duduknya, dan mengacak rambut Biru. "Kiddo. Have a nice your dessert."

"Thank ... you, Uncle!"

"Thanks, Lin. Udah dengerin ceritanya Biru."

"Apapun itu, Mbak. Aku menyanyangi Biru juga." Lintar pamit kembali ke dapur.

Sejenak ia menatap Biri yang sedang asik makan, dengan diiringi celotehan khasnya.

Jujur ia begitu dikuasai kemarahan, begitu mendengar ibu kandung Biru babak belur di dalam toilet tanpa seorang pun yang menolong.

Lelaki mana yang tega melakukan hal itu pada seorang wanita. Sungguh hal pengecut seperti itulah membuat harga diri sesama pria merasa ikut terluka.

Ia juga pria, dan pria tak melukai fisik seorang wanita. Melukai hati para wanita memang sudah kodrat seorang pria, tapi tidak dengan melukai fisik mereka.

Ck! Masukan saja penisnya ke dalam Nitrogen cair. Biar membeku dan ditendang sekalian biar hancur. Malu sama titit lah.

Lintar hanya tahu jika Elisa adalah istri dari seorang Richard Dummont. Lelaki berkebangsaan Prancis yang ia kenal sewaktu mengambil study lanjutan di Le Cordon Bleu*. Di Paris, Prancis.

Richard lah yang dulu pemilik cafe tempat ia mengambil kerja part time untuk menyambung hidup di Paris. Sejak saat itu mereka berteman, walau terkadang Lintar lah yang merasa sungkan atas kebaikan Richard.

Saat tahu Richard dan keluarganya ada di Indonesia. Lintar tanpa sungkan menawarkan bantuan yang mereka butuhkan.

Tak hanya itu, Richard juga menawarkan kerja sama dalam mengembangkan cafe dessert miliknya.

Satu hal yang mengusik pikiran Lintar. Ia seakan familiar dengan mata Biru. Mata yang sering ia tatap setiap hari. Mata seorang wanita yang selalu menganggapnya bocah.

Sialan!

○●○●○●○●○

"What the fuck! Kamu ngapain ada di kamarku?" Umpat Biru begitu ia melihat Juan tengah duduk santai di sofa kamarnya dengan bersendekap.

"Kita butuh bicara, Bi."

"Nggak ada yang perlu kita dibicarain lagi. Pergi dari kamarku, Juan!" Biru tak menghiraukan Juan dan berjalan menuju ranjangnya. Mengambil sehelai kaos dan sepasang dalaman dari tas ranselnya.

"Nggak sebelum kita bicara!" Juan menahan geramannya.

Tanpa aba, Juan menyentak lengan Biru hingga menabrak dada bidangnya. "Kita perlu bicara, Bi!"

Biru berontak. Membuat baju yang dibawanya terjatuh ke lantai. "Sialan kamu Juan! Nggak ada yang perlu kita bicarain lagi."

Usaha Biru sia-sia, yang ada ia malah terjungkal ke belakang dan terjerembab di atas kasurnya. Dengan posisi Juan berada di atas tubuhnya yang hanya tertutupi selembar handuk.

Kedua paha Biru diapit oleh kaki Juan dan mendudukinya. Membuat posisi Biru terkunci, dan tak bisa berkutik.

"Bi! Listen to me!" Bentak Juan. Kali ini ia mengunci kedua tangan Biru dengan masing-masing tangannya.

"PERGI! JANGAN DEKAT-DEKAT AKU LAGI! PERGI JUAN! MENJAUH DARIKU! APA-" teriakan Biru terbungkam oleh bibir Juan yang sudah melumatnya dengan kasar.

Biru menggeleng-gelengkan kepalanya, berharap ciuman Juan terlepas. Tangan Juan terlalu cepat bergerak.

Sementara itu salah satu tangannya mengurai ikatan handuk Biru, hingga menampilkan gundukan kenyal yang kemudian ditangkup oleh kedua tangan Juan.

Meremasnya perlahan namun kuat, membuat Biru terpekik kaget yang Justru dimanfaatkan oleh Juan menelusupkan lidahnya dan menginvansi mulut Biru.

Napas Biru pendek-pendek dan memburu. Ciuman Juan membuat oksigen dalam paru-parunya menipis.

"Kenapa kamu menghindariku, Bi? Kita hanya perlu bicara." Tanya Juan dengan suara serak. Sama halnya dengan Biru, Juan pun juga membutuhkan oksigen dalam paru-parunya.

Biru hanya memalingkan wajahnya, lima tahun mereka berpisah. Kembali berdekatan dalam keadaan seintim ini. Biru tak yakin bisa menhan batasannya. Biru melihat kabut gairah di mata Juan, itu sebabnya ia memalingkan wajah.

Jika terus menatap manik mata Juan, bisa dipastikan Biru akan kembali tergulung dalam pusaran gairah yang Juan ciptakan.

"Juan!" Ucap Biru tercekat. Menyadari jika bibir Juan berganti haluan menggulum payudara Biru.

Demi Tuhan! Biru tak mau diperlakukan seperti ini lagi.

"Juan...." Biru terengah akan stimulus yang diberikan Juan.

Biru memukuli dada Juan, bahkan mendorongnya ditengah-tengah serangan lidah dan tangan Juan. Namun tak seinci pun Juan bergerak dari tempatnya sekarang.

"Oh Tuhan! Juan!" Biru terisak ketika Juan menggulum payudaranya secara bergantian. Rasa tersengat dan terbakar kembali menggulungnya. Lidah Juan di sana, meninggalkan jejak basah di dadanya. "Juan hentikan! Atau aku akan sangat membencimu sampai aku mati."

Mendadak gairah Juan padam, mendengar isakan Biru beserta kata-kata Biru yang begitu menohoknya.

"Ya Tuhan! Bi! Maaf ... maafin aku." Juan beranjak dari paha Biru dan memandang keadaan Biru yang setengah telanjang akibat perbuatannya.

Biru beringsut memiringkan tubuhnya, dan kembali terisak. Merapikan handuknya yang berantakan, guna menutupi tubuhnya yang setengah telanjang. Membiarkan bahunya terekspos tanpa tertutupi.

Mengacak rambutnya dengan frustasi, Juan benar-benar merasa dirinya lelaki brengsek saat ini.

"Bi. I'm sorry! Maafkan aku." Juan membetulkan posisi Biru, lalu mengambil selimut di bawah kakinya, dan menyelimutinya hingga ke dada.

Tanpa pikir panjang, Juan mengikuti Biru untuk tenggelam di dalam selimut. Menarik tubuh ramping Biru dan memeluknya dari belakang.

Tak ada obrolan diantara mereka. Hanya desau angin malam yang dihiasi rintik hujan menabrak kaca jendela kamar Biru.

"Aku tahu, Maaf aja nggak pernah cukup untuk menebus kejahatanku lima tahun lalu. Aku ... dibutakan oleh cinta, hingga setega itu sama kamu. Jangan pernah maafin aku, jika memang kamu ngehukumku atas perbuatanku yang dulu." Juan menenggelamkan wajahnya diceruk leher Biru dan menghirup lamat-lamat wangi shampo aroma stroberi.

Wangi yang tanpa sadar ia rindukan selama kurun waktu lima tahun terakhir. Bahkan Juan memilih memakai shampo dengan merk yang Biru pakai biasanya, hanya karena ia begitu merindukan wangi ini.

"Aku bodoh! Menyia-nyiakan kamu yang begitu tulus mencintaiku. Hukum aku, Bi! Seberat apapun itu. Aku menerimanya."

Biru tetap bergeming tanpa suara. "Aku udah dapat karma atas perbuatanku."

"Empat tahun lalu, aku mengalami kecelakaan. Kakiku terjepit, dan efek kecelakaan itu membuatku mendapatkan vonis jika aku takkan bisa memilik anak."

Deg!

Tubuh Biru mendadak kaku, kala Juan mengumamkan kata 'anak'.

Juan merasakan perubahan pada tubuh Biru lebih memilih memeluknya lebih erat lagi. "Aku salah, Bi. Aku salah!"

Kembali Biru menitikkan airmatanya lagi. Kenapa begitu susah meninggalkanmu, Juan.

Dering ponsel Biru memecah keheningan di dalam kamar biru. Meski samar namun tetp terdengar.

Mendengar nada dering yang berbeda dari biasanya. Biru langsung meloncat dari kasurnya, menghiraukan pandangan Juan yang penasaran dengan tingkah Biru yang sedang mengubek isi ranselnya.

"Halo."

"..."

"Ya Tuhan! I'm on my way!"

"..."

"Baiklah, bye!"

Biru terlalu panik, dan Juan merasakannya. Bahkan wanita itu mengabaikan keberadaannya yang masih terduduk di atas kasurnya. Ia bahkan tanpa sungkan berganti pakaian tepat di depan Juan.

Damn you, Bi!

Juan lelaki normal, jika disuguhkan hal seperti itu ia juga bisa bergairah. Tapi tidak untuk saat ini. Juan tahu Biru sedang tergesa-gesa.

"Ada apa, Bi?" tanya Juan begitu mendapati Biru seperti orang kebingungan.

Cekalan dilengannya membuat Biru berhenti mondar-mandir sambil menatap ponselnya.

Juan tahu Biru tak pandai mengontrol kepanikannya. Memegang kedua bahu Biru, Juan menelisik ke manik mata Biru. "Ada apa? Tell me, Bi!"

"Aku harus kembali ke Jakarta. Aku harus ke rumah sakit. Sekarang! Ya Tuhan, bagaimana ini?"

Biru berontak. Ia mulai panik. Racauan terdengar dari bibirnya yang terlihat membengkak akibat cumbuan Juan tadi.

"Bi! Look at me!" Juan merangkum wajah Biru dan memandangnya lekat-lekat. "Rileks. Lihat aku! Aku akan mengantarmu ke Jakarta. Jangan panik. Oke!" Biru hanya mengangguk patuh.

Juan mengandeng tangan Biru dan membawanya turun ke lantai dasar rumahnya sendiri. Setelah mengunci rumah, Juan membawa Biru ke garasi. "Tunggu di sini. Aku ngambil kunci mobil."

Kebiasaan Biru dikala panik adalah meracau. Disela-sela menunggu Juan kembali, Biru kembali meracau dan mondar-mandir disertai dengan mengigiti kuku jarinya.

Juan yang melihatnya, kembali merangkum wajah Biru. "Hei ... hei ... stop it, Bi! Semua akan baik-baik aja. Oke. Sekarang tenang. Aku anterin kamu ke Jakarta, kita akan langsung ke rumah sakit. Jadi tenangkan dirimu. Ok!" Biru mengangguk lagi.

"Ayo!" Juan menggandeng tangan Biru dan mendudukannya dibangku depan.

Diperjalanan, Biru memang terlihat tenang. Tak ada lagi racauan, ia hanya mengigiti kuku jarinya. Juan yang melihat tingkah Biru, mengambil tangan Biru dan mengenggamnya erat.

Biru yang masih diliputi kepanikan, hanya bisa membalas genggaman tangan Juan. Ia butuh ditenangkan.

"Semua akan baik-baiak saja, tenanglah, Sayang."

Usapan jempol Juan menghantarkan sebuah ketenangan yang Biru butuhkan saat ini.

Ya, ia hanya butuh ditenangkan. Itu saja!

✩★✩★✩★✩★✩★✩

Note:
Cerebral Palsy:
Cerebral palsy adalah gangguan gerakan, otot, atau postur yang disebabkan oleh cedera atau perkembangan abnormal di otak, paling sering terjadi sebelum kelahiran. Tanda dan gejala muncul selama masa bayi atau prasekolah. Secara umum, cerebral palsy menyebabkan gangguan gerakan yang terkait dengan refleks berlebihan atau kekakuan, postur tubuh yang abnormal, gerakan tak terkendali, kegoyangan saat berjalan, atau beberapa kombinasi dari gangguan tersebut. Efek cerebral palsy pada kemampuan fungsional sangat bervariasi.

Le Cordon Bleu : Didirikan di Paris pada tahun 1895, Le Cordon Bleu telah menjadi salah satu lembaga yang paling menonjol. Le Cordon Bleu menawarkan program mulai dari pelatihan kuliner ke kurikulum universitas di makanan dan minuman, perhotelan dan pariwisata.

Le Cordon Bleu menyediakan calon profesional kuliner kesempatan untuk mengubah ambisi mereka menjadi kenyataan. Fokus pada teknik menguasai memberikan siswa kepercayaan diri dan pengetahuan untuk menerapkan apa yang telah mereka pelajari untuk setiap gaya masakan. Lulusan menerima ijazah yang diakui di seluruh dunia, paspor bagi kehidupan membuka pintu untuk karir yang sukses.

——————————————————

Wagelaslah, saya nulis chap terpanjang dalam sejarah. Aje gile 1850 word booo.. uuugh! Mantul kali. Wkwkwkwkwkwk.

Yasudin. Silakan dibaca. Jangan voto dan komen kalian begitu membakar semangat saya.

Surabaya, 13-12-2018
-Dean Akhmad-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro