Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 2 - On The Verge

"Mereka yang menggenapi takdirnya bertemu dengan Tuhan." Lelaki itu berbicara, suaranya seperti menggema dalam perpustakaan. "Namun, bagi mereka yang mendahului takdirnya bertemu dengan saya."

"Anda ...?" Biru mengernyit, suara sosok itu cukup familiar baginya.

Sesosok pria berambut cepak rapi itu berdiri dan memutar tubuhnya, menunjukkan sebagian wajahnya yang tertutup topeng masquerade, senyum yang menyimpan rahasia terlukis di wajahnya.

"Memanjat pagar sekolah itu dilarang, loh, sebagai alumni kamu harusnya cukup paham."

"Tunggu, Anda ...." Tubuhnya mulai bergetar, itu jika tebakannya benar.

Sosok itu meraih penutup wajahnya, melepasnya hingga Biru benar-benar bisa melihat wajah sosok itu dengan jelas. Saking jelasnya sampai Biru jatuh berdebum dengan rahang yang menganga, suara dan tangannya yang menunjuk sosok itu bergetar. Ia tahu betul siapa lelaki itu, lelaki yang terus memandanginya dengan tajam di hari saat Odysean melompat dari atap sekolah, tanpa berkata sepatah apapun.

"P-Pak Pustakawan ...." Biru tidak dapat mengontrol keterkejutannya, tetapi kemudian ia tertawa dengan nada tidak percaya.

"Ha! Aku pasti sudah meninggal, 'kan?"

"Belum." Lelaki itu kembali mengenakan topengnya dan bergerak ke arah Biru, lalu berjongkok, memandang mata Biru dengan pandangannya yang menusuk. "Sayangnya, kamu belum mati. Kamu hidup tapi juga mati di saat yang sama, setidaknya sampai itu bisa dibuktikan." Pustakawan itu berdiri dan mengulurkan tangannya.

"Hah?" Pandangan Biru kosong, sama sekali tidak memahami kata-kata yang masuk ke dalam telinganya.

"Berdiri, ini akan jadi malam mendengarkan yang panjang."

Biru dengan ragu-ragu meraih tangan itu, lalu mereka berjalan menuju ke meja terdekat. Aroma teh melati tiba-tiba saja menguar dari sebuah teko yang ia tidak tahu sejak kapan benda itu ada di atas meja.

"Kamu mau mati?" Pustakawan itu menuang teh ke salah satu cangkir dan memberikannya ke Biru.

Biru mengangguk, Pustakawan itu tidak mengatakan apapun dan hanya menatap Biru dalam waktu yang lama. Biru baru tersadar bahwa tidak ada suara detik jam di sini, bahkan suara angin pun juga tidak ada, keheningan ini terlalu ganjil dan mengerikan baginya.

"Kenapa saya ada di sini?" tanya Biru, memecah keheningan.

"Karena kamu mencoba untuk mati."

"Begitu ...." Biru meraih cangkirnya, cairan hanya berwarna cokelat dengan harum melati yang segar itu membasahi tenggorokannya. Ah, ia memang belum mati. "Kalau begitu, apakah dulu ... Ody—Odysean—juga ke tempat ini?"

Pustakawan itu menghembuskan napas panjang. "Dahulu sekali? Iya, lima tahun lalu? Tidak. Aku juga sudah mencarinya ke mana-mana, ia harusnya berada di sini dan kukirimkan kembali ke kehidupannya."

"Apa? Dahulu sekali? Dikirim kembali?"

Pustakawan itu mengangguk. "Kau juga akan dikirimkan kembali ke kehidupanmu."

Rahang Biru mengeras. "Tidak mau."

"Itu bukan sebuah permintaan, itu keputusan yang final."

"Apa yang membuat Anda berhak mengatur hidup saya?" jawab Biru dengan ketus.

Pustakawan itu hanya tersenyum dan menyesap teh melatinya. "Lalu, apa yang membuatmu berpikir kalau kau bisa melewati takdirmu sendiri?"

Mulut Biru hanya membuka dan menutup mendengar pertanyaan tersebut. "Jika aku harus hidup kembali karena aku mencoba melompat, kenapa Ody tidak?"

"Apa yang terjadi dengan Odysean adalah anomali," jawab Pustakawan, "tapi kau bisa mengubahnya?"

Alis Biru menyatu. "Mengubah apa?"

"Orang-orang yang mendahului takdir biasanya berkerliaran di luar sana, tentu saja, mereka bukan lagi orang-orang." Pustakawan itu menekankan kata terakhir dan menaik-turunkan kedua jari telunjuk dan jari tengahnya, seperti mengutip sebuah perkataan. "Kalian menyebutnya sebagai hantu gentayangan, tapi aku menyebut mereka sebagai pengelana—wanderers."

Biru menengok ke cangkir teh miliknya, melihat cairan di sana yang bergelombang, membentuk lingkaran-lingkaran dari arah dalam ke luar, membuat bayangannya terdistorsi, sambil telinga dan otaknya mencoba memahami apa yang hendak disampaikan.

"Apa yang terjadi pada Odysean lima tahun lalu, hingga dia tidak ada di sini sekarang, adalah anomali yang ia buat jauh sebelum itu, saat itu ia pernah datang ke tempat ini."

"Jadi, dia bahkan sempat mencoba untuk mengakhiri hidupnya jauh sebelum itu?" Biru bergumam.

"Cobalah untuk tenang dan jangan menghakimi dirimu sendiri untuk itu." Pustakawan itu berdiri dan mengajak Biru untuk berdiri juga. "Kita akan berkeliling di sini sebentar."

Mereka meninggalkan deretan meja dan kursi, lalu kembali ditelan oleh deretan rak-rak buku yang tinggi dan penuh oleh buku-buku berbagai ukuran dan ketebalan. Ada yang besar, juga ada yang seukuran buku normal pada umumnya, ada yang lebih kecil seperti buku saku. Ada buku-buku yang cukup tipis, dan ada juga yang cukup tebal.

"Tunggu, di sini tidak ada buku pelajaran."

Pustakawan itu mengangguk.

"Tempat ini juga menjadi lebih besar dari apa yang aku ingat—"

"Tidak ada habisnya, bukan?" Pustakawan itu memotong apa yang hendak dikatakan Biru, menyebabkan Biru hanya mengangguk.

"Ini bukan di sekolah?"

"Bukan." Pustakawan itu menyapukan tangannya menelusuri setiap buku yang ada di rak. "Buku-buku di sini adalah kisah-kisah dari tiap jiwa manusia, bukumu ada di sini, juga buku Odysean ... dulunya."

Mereka berhenti di sebuah rak yang memiliki satu lubang kosong, sepertinya dulu di sana ada sebuah buku, yang sampai sekarang tidak pernah dikembalikan. "Selain itu, setiap buku yang ada di sini adalah milik 1 orang, dikali dengan tiap berapa juta atau milyaran kemungkinan yang bisa saja terjadi terhadap seseorang tersebut. Perpustakaan ini bertambah luas seiring seberapa luas semesta dapat berkembang. Rak yang kosong ini adalah salah satunya."

"Salah satunya?" tanya Biru, penasaran.

"Buku Odysean dulu ada di sini, dan ada di beberapa tempat lainnya, semuanya memuat kisah-kisah yang berbeda."

"Lalu apa yang terjadi? Kenapa di sini kosong?"

"Odysean mencurinya, tepat sebelum ia hidup kembali, jauh sebelum tragedi itu terjadi."

Biru hanya bisa memandang ke kekosongan itu dengan rasa iba dan cemas, serta khawatir akan apa yang dilakukan Odysean sampai ia harus berada di tempat ini adan mencuri buku yang menyimpan kisah hidupnya sendiri.

"Ikuti aku, kamu bisa saja tersesat di sini!" Pustakawan itu memberikan instruksi.

Lelaki itu segera bergegas mengekor di belakang si Pustakawan, dan betul saja, ada beberapa rak yang memiliki sebuah jeda di antara deretan buku-buku.

"Tidak semua buku berhasil ia curi, tapi itu tetap saja menjadi masalah, karena mencuri buku di perpustakaan ini dan membawanya ke dunia akan mengakibatkan adanya hal-hal yang terjadi di luar perhitungan saya. Seperti tidak adanya jiwa Odysean di perpustakaan ini, padahal ia belum menggenapi takdirnya. Ini seperti ... ia sengaja menghapus eksistensinya, bahkan bukan cuma di dunia saja, tapi juga di sini."

Mendengar itu hati Biru seketika mencelus. Sesungguhnya hidup seperti apa yang dijalani oleh Odysean sehingga ia merasa begitu putus asa dan menghilangkan segalanya?

"Ini adalah bukunya." Pustakawan itu menunjuk sebuah buku berukuran normal yang cukup tebal, mungkin sekitar 200 hingga 300 halaman. Buku itu memiliki sampul kertas warna biru yang bergradasi dengan warna oranye di sepertiga bagian bawahnya. "Lalu, ini bukumu."

Biru mendongak ke sebuah buku yang sama besar dengan buku milik Odysean, tetapi bersampul seluruhnya biru tua dengan judul "Biru Kalasenja" yang berwarna putih. Melihat itu, tatapannya melunak, dan matanya mulai menghangat.

"Tapi, kamu tidak bisa memilikinya sekarang," ujar si Pustakawan itu dengan nada yang melunak, "kamu harus kembali."

"Tapi ...," pertahanan air mata Biru runtuh seketika, "kenapa? Jika aku kembali sekarang, ibu dan adik-adikku akan khawatir, bisa saja aku terbaring di rumah sakit tanpa melakukan apapun, selain hanya menjadi mulut yang meminta makan. Ody juga tidak akan kembali, tidak akan ada yang berubah, juga tidak adil bagi Ody, jika aku kembali, ia harusnya kembali juga!"

"Bisa."

"Apa?"

"Odysean bisa kembali, kamu bisa melakukannya, oleh karena itu, kamu harus kembali."

"Ody bisa kembali." Biru menjatuhkan buku kehidupan milik Ody ke lantai. "Bagaimana ... bagaimana caranya?"

"Saat kau kembali nanti, kau akan melihatnya, dan mungkin, sekarang kau bisa menyelamatkannya dari tragedy yang akan menimpanya."

Biru hanya bisa menatap mata sang Pustakawan yang tersembunyi di balik topeng masquerade yang ia kenakan. "Anda tidak berbohong? Anda tidak berbohong, bukan?" tanyanya, tidak percaya.

Pustakawan itu menatap mata Biru dengan penuh arti. "Kembalilah ke kehidupanmu, genapi takdirmu sampai saatnya kita bertemu lagi, dan jika kamu ragu, ingatlah, itu tidak akan lama."

Dikatakan seperti itu, Biru hanya menunduk, pikirannya penuh untuk mempertimbangkan Keputusan apa yang ia ambil. Jika pun ia tidak bisa mati sekarang, ia tidak mau menjadi hantu, atau pengelana, atau apapun itu, karena ia akan tetap terjebak di dunia dan tidak ke mana-mana. Jika kembali ... ia dapat bertemu dan menyelamatkan Odysean.

"Tidak akan lama?" tanya Biru, "Anda bisa menjamin itu?"

Pustakawan itu mengangguk. "Bertemu Odysean dan menyelamatkannya, tidak lama kemudian, kita akan bertemu kembali."

Itu artinya, nanti ia pasti akan tetap mati, bukan? Pupil mata Biru membulat, sebulat keputusan yang akan ia katakana sekarang.

"Bawa aku kembali," ujar Biru, final.

Pustakawan itu tersenyum dan membimbing Biru untuk berdiri, lalu menepuk Pundak dan mengelus puncak kepalanya, kemudian mememluk Biru dengan erat. Entah kenapa, Biru merasa hangat dan nyaman, ia jadi membalas pelukan tersebut.

"Lihat ke atas."

Biru mendongak, melihat lampu-lampu temaram yang menerangi perpustakaan berkedip, seperti memiliki temponya sendiri.

"Pergilah, ikuti lampu dan kupu-kupunya, jangan pernah lihat ke belakang." Badan Biru diputar dan didorong sedikit.

Biru tersenyum, dengan mantap ia mulai melangkahkan kaki menyusuri gang-gang di antara rak perpustakaan, seiring dengan lampu-lampu yang di atas menerangi jalannya. Tak butuh waktu lama hingga ia sampai di penghujung perpustakaan, tangannya menarik gagang pintu hingga terbuka, memperlihatkan dinding masif yang terbuat dari bunga-bunga yang menjalar-jalar. Saat ia melangkah maju, kebingungan mulai melanda, tetapi seekor kupu-kupu berwarna biru tua terbang dari belakang kepalanya dan terus terbang melaju di depannya.

Ikuti lampu dan kupu-kupunya.

Lelaki itu lantas mulai mengejar si kupu-kupu, menyusuri labirin tanaman yang ternyata memiliki lampu-lampu taman yang cantik dan berkedip-kedip seiring irama jantungnya. Biru dan kupu-kupu itu terus menembus labirin yang berkelok-kelok, hingga mereka sampai di pusat labirin, di sana ada sebuah air mancur dengan sebuah lampu yang juga berkedip.

Kupu-kupu itu terbang rendah dan mendarat di lampu tersebut, seakan paham, Biru pun melangkah ke dalam kolam air mancur dan memegang cahaya itu, sebelum kemudian ia ditelan oleh pendarannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro