Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 1 - Curtain Call

"My life amounts to no more than one drop in a limitless ocean. 

Yet, what is any ocean, but a multitude of drops?"

David Mitchell, Cloud Atlas

----

Biru menyebut malam ini adalah malam penebusan dosa baginya.

Lima tahun lalu, di hari terakhir ujian nasional, ia gagal menyelamatkan sahabatnya. Atau bahkan lebih dari itu, dari awal, dia telah gagal menjadi seorang sahabat. Barangkali ia hanya seorang pemeran figuran, yang bahkan berdiri di balik bayang-bayang pemeran utama yang menyilaukan.

Nama pemeran utama itu adalah Odysean, orang-orang memanggilnya sebagai Sean, sementara Biru—bahkan, khusus untuk dirinya dan Tari—ia bisa memanggil lelaki itu sebagai Ody. Odysean punya segalanya: materi, fisik, dan, bakat, sementara Biru hanyalah remaja culun yang tidak dapat menjalin hubungan pertemanan dengan baik sampai akhir masa sekolahnya.

Biru, sebagai sahabat yang baik, bahkan merasa iri dengan semua yang dimiliki Odysean. Itu sampai kenyataan menghantamnya sama berat dengan gravitasi menarik tubuh Odysean untuk meluncur dengan sangat kencang dari atap sekolah. Hari terakhir ujian nasional telah mengubah hidupnya dan cara pandangnya: bahwa Biru adalah orang yang gagal dalam segalanya, bahkan untuk memahami sahabatnya, seseorang yang selalu berada di sekelilingnya, ia tidak bisa—bahkan, menyimpan rasa iri kepadanya.

Suasana di sekolah hari itu langsung berubah mengerikan, begitu juga Biru yang hancur saat melihat tubuh sahabatnya itu jatuh di atas kebun bunga mawar milik kepala sekolah. Riuh rendah sirine saat itu menggaung mengaburkan berbagai pertanyaan dari kepolisian dan media yang mewawancarainya.

Berita kematian Odysean adalah berita yang tak mau ia percayai, ia selalu berharap lelaki itu datang di pensi terakhir sekolah, bercanda bersama dengannya di hari-hari tanpa pelajaran pasca ujian di tahun terakhir masa putih abu-abu mereka, bahkan sekalipun datang dengan kaki pincang, Biru akan tetap memyambutnya dan memeluknya.

Namun, lelaki itu tidak pernah kembali, acara wisuda dan pelepasan yang ia hadiri tidak dihadiri oleh Odysean. Tari, sebagai salah satu sahabat dekat mereka, menghampiri Biru saat itu dan memberikan sesuatu langsung ke genggaman tangannya.

"Selamat ulang tahun." Gadis itu tersenyum lemah.

Benda yang ada di tangan Biru saat itu adalah sebuah kotak yang disampul kertas kado berwarna-warni.

"Di dalamnya ada hadiahku dan juga hadiah Ody."

"Ody, di mana dia?" tanya Biru, sambil melihat ke sekeliling.

Tari tersenyum dan menggeleng. "Ia menitipkan ini padaku." Lidahnya kelu, kalimatnya berhenti di situ.

Biru hanya tersenyum. "Terima kasih."

"Biru," panggil Tari. Hening sejenak sampai gadis itu memeluk Biru yang juga mematung. "Jaga dirimu baik-baik, mari bertemu di lepas pantai yang pernah kita janjikan, aku tidak mau kehilangan seseorang yang kusayangi lagi."

Pelukan itu adalah kabar terakhir dari Tari setelah wisuda yang digelar bertepatan dengan hari ulang tahunnya.

Sepulangnya dari acara wisuda, ia membuka kadonya. Tari memberikannya sebuah buku novel dari penulis yang ia suka, sementara di sebelahnya ada gantungan kunci dengan boneka berisi dakron. Di sebaliknya ada bekas jahitan yang terlihat aneh dan tidak rapi, barangkali ini adalah kado dari Ody.

Biru saat itu tahu persis apa yang dimaksud dari gantungan kunci tersebut. Bergegas dan dengan jantung berdebar-debar, ia mengambil gunting, membedah jahitan yang tidak rapi itu dan mengambil dua carik kertas yang dimasukkan ke dalamnya, yang satu merupakan kertas catatan kecil berwarna biru, dan yang satu adalah kertas dengan warna krem agak kekuningan.

Ia membuka kertas yang berwarna biru terlebih dahulu, di sana ternyata tertulis pesan dari Odysean.

"Selamat ulang tahun yang ketujuh belas.

Maaf tidak bisa hadir di pesta ulang tahunmu, sekaligus pesta perpisahan kita, hehe.

Juga, maaf, jika aku terlalu egois.

Kamu adalah salah satu warna terbaik yang sudah digoreskan ke hidupku, terima kasih!

Sahabat selamanya. —Odysean"

Saat itulah kenyataan sekali lagi menghantamnya, menghancurkan kastel harapan yang ia bangun tinggi-tinggi. Fakta bahwa Odysean tak akan pernah kembali membuat air matanya mengucur deras, air mata yang tak pernah ia keluarkan sejak hari pemakaman Odysean. Masih sambil bercucuran air mata, ia kembali memasukkan semua kertas it uke dalam boneka gantungan kunci, lalu menjahitnya.

Kini, gantungan kunci itu sudah kumal, dan berada di dalam genggamannya. Dahulu, ia merasa iri dengan kehidupan Odysean, sekarang, tanpa Odysean, hidupnya jadi makin tidak berarti. Tidak ada yang kunjung membaik setelah kepergian sahabatnya itu, tetangga-tetangganya masih bergunjing bahwa ia adalah anak haram yang ditelantarkan ayahnya, atau bagaimana Ibunya yang menikah lagi tapi justru diselingkuhi dan meninggalkan kedua anak kembarnya, yang kini menjadi adik kembar Biru.

Bekerja selepas lulus SMK juga tidak mengubah apapun, Biru masih terbangun tengah malam dengan napas tersengal-sengal setelah memimpikan Odysean yang tersenyum ke arahnya, lalu menerjunkan diri. Sudah berapa kali ia berpindah-pindah tempat kerja karena performa kerjanya tidak memenuhi kualifikasi perusahaan? Bahkan, ia baru saja diberikan surat peringatan, dua lagi dan ia pasti harus mencari pekerjaan baru.

Di saat yang bersamaan, ia melihat temannya sudah mengikuti berbagai kegiatan leadership di luar negeri, atau berfoto dari atas sebuah hedung bertingkat, atau menangis haru bersama teman-teman satu kampus dengan tulisan semprotulation. Sementara Biru bagaikan kecoa yang harus bertahan hidup dari satu toilet ke toilet lainnya dan gagal di semua kesempatan ujian perkuliahan.

Biru adalah orang yang gagal dalam mencapai apapun dalam hidupnya, luka dan aib untuk hidup ibunya, dan sahabat tidak berguna bagi Odysean yang memerlukan bahu untuk bersandar di saat-saat sulitnya.

Maka dari itu, sepulangnya dari bekerja, ia tidak pulang ke rumah. Ia pergi ke SMK-nya dulu, lalu diam-diam berhasil menyelinap dari salah satu pagar sekolah yang tidak dijaga oleh satpam. Biru menyusuri koridor gelap dan menaiki salah satu kelas, sampai ke lantai atap.

Sekarang di sinilah ia, di tempat yang sama saat lima tahun lalu Odysean memutuskan untuk melompat terjun. Ia menyalakan ponselnya dan menyambungnya dengan pelantang telinga berkabel. Tak butuh lama bagi ibu jarinya untuk menggulir layar dan menekan sebuah lagu yang dinyanyikan oleh band favorit Odysean—yang kemudian menjadi kesukaannya dan Mentari.

Lagu berjudul "days daze dizzy" milik Amor Fati mengalun tegas di dalam telinganya. Band ini adalah band indie yang sedang popular, yang kebetulan adalam alumni ekskul band dari sekolah Biru dan Odysean, sekaligus yang menjadi inspirasi bagi Odysean untuk menekuni musik. Ia menutup matanya, merasakan alunan lapisan gitar-bass dan melodi kibor yang mendengung di dalam telinganya.

Drifting away ... drifting away ....

To you ....

Biru memanjat dinding parapet setinggi pinggang orang dewasa, membuka telapak tangan menghadap ke luar tubuhnya. Awan mendung bergerak hendak menyelimuti bulan purnama yang bersinar pucat, bau petrikor samar-samar tercium terbawa angin, sebagai penanda bahwa sebentar lagi turun hujan.

Lima tahun lalu, sang pemeran utama sudah melakukan curtain call-nya, sekarang, sang pemain figuran dapat merasakan tangannya digamit, seperti akan mengajaknya untuk membungkuk ke hadapan para penonton.

"Aku pulang." Biru tersenyum, lalu melangkah ke luar dinding.

Gravitasi segera menarik berat tubuhnya ... untuk jatuh ke sebuah lantai keramik. Ponselnya jatuh berdebum, menarik pelantang telinga miliknya untuk tercabut keluar. Biru terduduk di atas lututnya, keringat dingin membasahi tubuhnya, dan jatungnya berdegup kencang.

"Hah?" Biru perlahan mengangkat tubuhnya untuk berdiri, napasnya tersengal-sengal, tetapi ia juga bingung karena ia bukannya mendarat di tanah keras di bawahnya, tulang-tulangnya juga masih tersambung dengan rapi dan sehat.

Apa yang terjadi? Pertanyaan itu terulang-ulang dalam benaknya.

Sepanjang matanya menyisir ruangan tempat ia berada sekarang, ia hanya bisa melihat rak-rak buku yang bahkan tingginya melebihi tinggi tubuhnya, sementara di tiap ujung lorong, ia hanya menemukan sederetan jendela yang membingkai warna hitam legam di luar sana.

"Ah, ini ...." Dengan langkah terseok-seok, Biru menyusuri rangkaian rak-rak tersebut dengan cermat.

Jika ia tidak salah ingat, tempat ini adalah perpustakaan sekolahnya dulu, meski ia tidak yakin apakah memang betul perpustakaan sekolahnya dulu sebesar ini? Karena rangkaian rak-rak ini terlihat seperti tidak berujung, dan tiap ia melangkah ke ujung rak, sederetan jendela itu terasa justru bergerak menjauh darinya.

Menyadari keluar dari sisi samping rangkaian rak-rak sepertinya tidak berguna, ia memutar arah, berjalan di antara rak-rak buku. Meski begitu, perjalanan menyusuri rak buku itu juga terasa lama dan lambat, tapi sebuah meja di ujung sana tidak terlihat menjauh. Jadi, Biru yakin saja atas pilihan yang dibuat instingnya.

Pelan tapi pasti, rak-rak itu makin menipis, digantikan dengan susunan meja-meja panjang dan sederetan kursi, lampu-lampu temaram mengiringi langkahnya, juga menyinari sebuah sosok yang sedang duduk memunggunginya.

"Mereka yang menggenapi takdirnya bertemu dengan Tuhan." Lelaki itu berbicara, suaranya seperti menggeman dalam perpustakaan. "Namun, bagi mereka yang mendahului takdirnya bertemu dengan saya."

"Anda ...?" tanya Biru setelah dirasa cukup dekat, suara sosok itu cukup familiar baginya.

Sesosok pria berambut cepak rapi itu berdiri dan memutar tubuhnya, menunjukkan sebagian wajahnya yang tertutup topeng masquerade, senyum yang menyimpan rahasia terlukis di wajahnya.

"Memanjat pagar sekolah itu dilarang, loh, sebagai alumni kamu harusnya cukup paham."

"Tunggu, Anda ...."

Sosok itu meraih penutup wajahnya, melepasnya hingga Biru benar-benar bisa melihat wajah sosok itu dengan jelas. Saking jelasnya sampai Biru jatuh berdebum dengan rahang yang menganga, suara dan tangannya yang menunjuk sosok itu bergetar. Ia tahu betul siapa lelaki itu, lelaki yang terus memandanginya dengan tajam di hari saat Odysean melompat dari atap sekolah, tanpa berkata sepatah apapun.

"P-Pak Pustakawan ...."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro