Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

36 »« Fate be Damned



Perasaanku tidak enak.

Rafellia menggigit bibir sebelum mengambil napas dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan. Raven yang melihat ekspresi sang sepupu jadi memandang Rafellia dengan penuh keheranan.

"Ada apa?" tanya Raven tanpa menghentikan gerakan kakinya. Ya. Ia dan Rafellia memang masih berada di tengah-tengah lantai dansa sekarang.

Rafellia menggeleng. Gadis itu menatap tepat pada kedua bola mata Ravendale Ratliff yang tampak bersinar di tengah gelapnya penerangan aula kastil. "Aku hanya merasa lelah," tutur gadis vampir tersebut.

Tatapan khawatir langsung didapatkan Rafellia dari Raven yang kini sudah menghentikan gerakan dansanya. "Kau lelah? Mau kuantarkan ke kamar? Nanti aku akan bilang pada Paman dan Bibi kalau kau kelelahan dan butuh istirahat."

Lagi-lagi, Rafellia menggelengkan kepalanya. Gadis itu membuat gestur tangan menyilang, yang menandakan kalau ia baik-baik saja dan Raven tidak perlu khawatir padanya.

"Tapi-"

"Raven, aku baik-baik saja."

Ravendale Ratliff menghela napas dan mengangguk. Laki-laki yang seumuran dengan Fellia itu mengulurkan tangannya ke depan sang sepupu. "Kalau begitu, mau lanjut berdansa, Tuan Putri?" tanya Raven disertai senyum lebar.

Kekehan lembut Rafellia Reeves terdengar setelahnya. Gadis itu tersenyum tipis. Sangat tipis hingga Raven tidak bisa melihatnya. Apalagi dengan keadaan aula kastil yang remang-remang seperti sekarang. "Kau tahu Raven? Terkadang, aku lelah menjalani hidup sebagai seorang putri bangsawan yang dikutuk."

"Fellia, kau-"

"Ada banyak larangan dan aturan. Aku hanya ingin hidup bebas. Bolehkah aku pergi jauh dari sini?"

"Fellia!"

Seruan keras Ravendale Ratliff membuat semua orang menghentikan gerakan dansa mereka. Semua tatapan para tamu kini mengarah pada Rafellia dan Raven. Lampu aula yang semula dimatikan dan dibuat remang-remang, kini kembali dinyalakan.

Tangan Rafellia gemetar, bibirnya juga terkatup rapat saat tatapan tajam Raven terasa menusuknya dibalik topeng hitam laki-laki itu. Ia sangat tahu apa arti tatapan tersebut. Kemarahan. Raven adalah orang yang paling benci jika ia sudah mengatakan hal sensitif seperti tadi.

Namun, ia tidak bisa menahan diri. Fakta bahwa ia adalah anak yang dikutuk itu terus menghantui dirinya. Ia lelah. Ia lelah jika harus terus berpura-pura kalau ia baik-baik saja. Padahal ia sangat tertekan. Setiap malam, ia selalu merenung dan berpikir.

Apakah ia akan terbebas dari kutukan jika seandainya ia tidak lahir sebagai keturunan terakhir Kerajaan Revia?

"Aku tidak suka kau berbicara seperti itu!"

Rafellia tersentak. Gadis itu tersadar dari lamunannya saat suara Raven kembali terdengar. Baru saja ia hendak membalas, ia bisa merasakan tarikan kuat di tangan kanannya. Pelakunya adalah Raveena Reverie yang entah sejak kapan sudah berdiri di tengah-tengah ia dan Raven.

"Cukup! Aku tidak tahu apa yang membuat kalian sampai seperti ini, tapi yang jelas ... hentikan sikap kekanak-kanakan kalian sekarang juga. Kita masih berada di tengah-tengah pesta kalau kalian lupa."

Raven berdecih, sementara Rafellia melepaskan cengkraman tangan Raveena dan memilih untuk segera pergi dari aula pesta. Ia membutuhkan sedikit privasi. Biar saja Kak Reveena yang mengurus kekacauan ini.

"Kamu mau pergi ke mana, Fellia?!" seru Raveena, tapi sama sekali tak digubris oleh sang empunya nama. Rafellia terus saja berjalan cepat sembari mengangkat sedikit gaunnya dan naik ke lantai atas. Bisik-bisik dari para tamu undangan pun mulai terdengar. Membuat Raveena jadi mengepalkan kedua tangannya tanpa sadar. "Ck! Sial! Sebenarnya apa yang terjadi, Raven?"

Bukannya menjawab pertanyaan sang kakak sepupu, Ravendale Ratliff malah membuang muka dan melangkah meninggalkan Raveena Reverie yang terperangah di tempat.

Sementara para orang tua yang melihat kejadian itu dari sudut meja anggur di sebelah kanan aula kastil hanya terdiam dengan ekspresi mereka masing-masing. Namun tatapan tajam Raja dan Ratu Revia tak luput dari pengamatan Ayden yang baru saja kembali bersama Rick dari ruang tahta. Ayden tentunya juga melihat semua kejadian yang terjadi pada beberapa saat lalu ...

... dan Rick adalah orang pertama yang berhasil melihat perubahan warna mata Ayden dari hitam ke kuning keemasan saat laki-laki itu tengah dilanda amarah.

Mungkin Ayden sendiri tidak akan menyadarinya jika Rick tidak memberitahu sahabatnya itu kalau dia hampir saja kehilangan kontrol.

"Tenangkan dirimu, Ayden. Mate-mu bukanlah gadis yang lemah."

Deg!

Kedua mata Ayden membulat sempurna. "Rick, bagaimana kau-"

Rick menyeringai lebar ke arah Ayden yang masih menunggu jawabannya dengan mata melotot tajam. "Kau lupa siapa aku? Ketua dari The Evencrest Stalkers, Ulrich Frederick, dan aku adalah sahabatmu. Kau tidak akan bisa menyembunyikan apapun dariku, Ayden."

Sial!

Ayden menutup kedua kelopak matanya. Menyembunyikan sepasang mata kuning keemasan yang kini sudah kembali ke warnanya semula, hitam gelap. "Rick, aku-"

"Aku tahu. Ini tidak akan mudah bagi kalian berdua, Ayden." Rick mengalihkan pandangannya ke depan, tepat ke arah para anggota Keluarga Revia yang tengah berusaha kembali membangun suasana pesta karena sempat kacau akibat ulah pangeran dan putri mereka. "Tapi jangan pernah salahkan siapapun atas takdir yang telah Moon Goddess tetapkan untukmu. Jangan salahkan juga Rafellia Reeves yang mungkin belum tahu kalau dia adalah Mate-mu."

Bibir Ayden terkatup rapat. Kepalan tangannya pun mulai terbuka. Helaan napas terjadi setelahnya. "Entahlah, Rick. Aku merasa Moon Goddess tidak adil karena memberikan kutukan seperti ini padaku."

"Kutukan, ya ..."

"Bukankah memang benar? Vampir dan manusia serigala tidak akan pernah bisa bersatu, Rick. Jika sampai aku dipasangkan dengan gadis vampir itu, bukankah ini semua pertanda kutukan?"

Entah kenapa Rick tidak menyukai perkataan terakhir sahabatnya itu, tapi ia juga tidak bisa menyangkal perkataan Ayden. Karena kedua ras tersebut memang tidak mungkin bisa bersatu dalam suatu ikatan cinta.

Namun, kita tidak tahu ke depannya akan berakhir seperti apa, bukan?

"Entahlah, Ayden. Aku tidak bisa berkomentar apapun tentang hal ini. Tapi kalau kau memang ingin melepaskan kutukan ini, bukankah ada satu cara?"

"Satu cara?" Ayden mengangkat sebelah alisnya, penasaran. "Apa itu?"

"Ritual penolakan. Kau bisa melakukan penolakan pada Moon Goddess jika kau memang tidak ingin Fellia yang menjadi pasanganmu, bukan?"

Ayden terdiam. "Kau benar, Rick. Aku kan bisa me-reject-nya."



Jujurly, aku pas nulis part ini tuh rasanya campur aduk. Apalagi pas Ayden bilang mau me-reject Rafellia sebagai mate-nya atas saran dari Rick.

Ikut sakit hati aku, hiks😭

Gimana perasaan Fellia ya, kalau ternyata dia tidak diinginkan oleh pasangannya?

Nyesek banget nggak, sih? :(

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro