Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

33

by svrinai

part of zhkansas

...

Aneta bingung. Elon menjadi berbeda akhir-akhir ini. Tepatnya, hari setelah Elon mengajaknya ke kafe.

Ketika ketiga teman Elon memaksanya untuk bergabung bersama Aneta dan yang lain, Elon langsung pergi entah ke mana. Walau kadang Elon masih memandangnya, tetapi tidak menyapa. Hanya senyum tipis yang diberika Elon pada Aneta, itu pun hanya sekilas. Nyaris tak terlihat jika saja Aneta berkedip di waktu yang bersamaan.

Aneta bertanya-tanya bahkan menyalahi diri sendiri, mungkin saja ada kesalahan yang dia lakukan hari itu hingga membuat Elon menghindar. Akan tetapi, dia mengingat dengan pasti bahwa bahkan mereka berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing tanpa ada masalah sedikit pun.

Bukan hanya Aneta yang menyadari perubahan Elon, tetapi teman-teman dekat Elon maupun Aneta juga merasakannya. Elon yang biasanya berusaha mengambil kesempatan untuk selalu di sisi Aneta kini tak lagi melakukan hal demikian.

"Lo beneran nggak mau ke kantin?" tanya Alona, bingung dan juga khawatir. Dua hari ini Aneta menjadi murung. Alona menduga penyebab semua ini pasti karena Elon yang entah kenapa bersikap tak biasa sampai membuat teman sebangkunya galau.

Sekarang saja Elon pergi entah ke mana. Dia langsung buru-buru keluar kelas sesaat setelah guru keluar melewati pintu.

"Kami tinggalin nggak apa-apa?" Dania membungkuk. Kepalanya menoleh kepada Aneta yang sedang menaruh wajah di atas kedua tangan yang terlipat. "Mau titip nggak? Nanti langsung gue bawain."

"Nggak usah, Dan. Makasih banget," kata Aneta pelan. Tak mau mengangkat matanya yang memanas. "Kayaknya gue ngantuk."

"Ya udah, nanti kalau ada apa-apa atau mau pesan sesuatu langsung chat aja, ya?" tanya Dania dan Aneta langsung mengangguk.

Dania, Alona, dan Geisha segera pergi dari kelas. Aneta melirik kepergian mereka tanpa mengubah banyak posisinya semula. Perutnya terasa sakit. Dia diam-diam menghirup minyak kayu putih sejak tadi. Selain itu, pikirannya sedang tak keruan. Belum lagi perasaan malas yang muncul membuatnya ingin tidur.

"Ke UKS nggak, ya," gumamnya, lalu menghela napas panjang. Dia membayangkan berbaring di kasur UKS dengan nyaman. Aneta akhirnya menegakkan punggung dan perlahan-lahan berdiri untuk keluar kelas. Langkahnya pelan. Ditumpahkannya minyak putih yang banyak ke telapak tangannya, lalu dia usapkan ke seluruh lehernya.

"Eh, eh, si Aneta udah nggak dideketin Elon lagi, ya?"

Aneta langsung menghentikan langkah sebelum melewati pintu. Kelas sedang kosong, tetapi beberapa murid IPA 5 sedang menongkrong di koridor. Tak nyaman baginya jika tiba-tiba lewat. Aneta memutuskan kembali ke bangkunya, tetapi terhenti oleh perkataan seorang siswi.

"Denger-denger, beberapa hari ini Elon lagi PDKT sama kakak kelas."

Aneta memegang bagian tubuh yang melindungi jantungnya. Ada rasa sesak di sana.

"Hah, serius lo? Terus Aneta? Bukannya Aneta cewek yang Elon suka?"

"Kalau gue lihat-lihat, Aneta Elon aslinya temenan biasa. Mereka kan cuma dijodoh-jodohin sama anak-anak di kelas. Aslinya mereka berdua temenan, iya nggak, sih?"

"Ada benernya juga. Masa PDKT-an selama itu?"

"Mereka itu kayak Key dan Alona versi nggak barbar."

Mereka terlalu berisik sampai Aneta masih mendengar perkataan mereka meskipun sudah menutup telinga. Aneta akhirnya memutuskan untuk ke UKS. Kali ini, dia benar-benar keluar kelas sambil memainkan tutup minyak kayu putihnya, menarik perhatian para penggibah yang terkejut melihat kemunculan Aneta yang tak mereka sangka-sangka.

"Astaga. Kok Aneta ada di kelas? Bukannya udia dah pergi bareng Alona dan yang lain?" Bahkan saat mereka terkejut pun terdengar keras.

Sekumpulan cowok di koridor yang akan Aneta lewati membuat Aneta memelankan langkah hingga akhirnya berhenti. Dia memutar tubuh untuk mencari jalan lain, tetapi suara keras yang berasal dari cowok-cowok yang Aneta tak kenali membuat Aneta mengurungkan niatnya untuk segera pergi.

Percakapan mereka tak akan menarik perhatian Aneta jika mereka tak menyebut-nyebut nama Elon.

"ELON, OI! AGRESIF BANGET LO MAU NEMBAK CEWEK!"

Aneta memandang arah tontonan sekelompok cowok yang merupakan senior itu. Dilihatnya Elon yang sedang menarik tangan seorang cewek menuju area belakang sekolah.

Napas Aneta terasa berat. Matanya berkaca-kaca, tak bisa dia tahan. Dia memalingkan wajah dan segera melangkah menuju toilet siswi agar tak ada yang melihatnya sedang menangis.

***

Tangan Elon ditepis oleh kakak kelas yang dia ganggu beberapa hari ini. Sheera, namanya. Kakak kelasnya itu memandangnya dengan bingung, tetapi tak juga mengatakan sesuatu.

Elon menunduk, memijat pelipisnya yang berdenyut. Dia harus menjauhi Aneta karena papanya tak pernah main-main dengan perkataannya. Mungkin saja ada siswa yang papanya perintahkan untuk memata-matai kehidupan sekolahnya. Bahkan bisa saja kegiatan mengikuti Sheera belakangan ini juga telah diketahui oleh papanya. Hanya saja, Elon memang sudah tidak tinggal di rumah semenjak Tigris membiarkannya untuk menginap di markas sampai waktu yang entah kapan.

Alasan mengapa Elon tidak jujur saja pada Aneta karena Elon tak mau Aneta tahu dia punya seorang ayah yang seperti itu. Elon tak mau setelah papanya benar mendatangi Aneta dan melakukan sesuatu hal yang mungkin saja akan melukai hati Aneta, pandangan Aneta padanya jadi tak sama lagi seperti sebelumnya.

"Apa yang lo ... mau?" tanya Sheera.

"Kerjasama, Kak," bisik Elon, mendekat perlahan pada Sheera hingga membuat Sheera mundur selangkah. "Kerjasama yang saling menguntungkan. Kalau lo merasa terganggu dengan cowok-cowok yang deketin lo beberapa hari ini, ayo pura-pura nerima gue sebagai cowok lo. Lo pasti tahu soal Game Over, kan? Tapi selain itu, lo juga harus bantuin gue. Ada risiko lain kalau orang-orang tahu kita pacaran."

Sheera terdiam, mengingat kembali apa yang dialaminya belakangan ini. Dia memang sudah curiga bahwa permainan Game Over yang selalu menjadi pembicaraan hangat di STARA itu berkaitan dengan apa yang dia alami. Dia tak menyangka ada seorang adik kelas yang juga adalah seorang pemain. Sheera tak begitu mengerti banyak hal tentang Game Over, tetapi hal yang pasti adalah bahwa dia tak perlu merasa terbebani dengan yang namanya adik kelas. Sheera memandang Elon sebagai bocah yang tak perlu membuatnya khawatir. Dibanding cowok seangkatannya apalagi senior yang membuatnya merasa tak nyaman.

"Risikonya apa...?" tanya Sheera, ingin mendengarkan apa yang Elon sedang rencanakan. Dari raut wajah Elon saja sudah kentara bahwa dia juga tak menginginkan permainan itu.

"Risikonya, lo mungkin aja akan didatengin Bokap gue. Mungkin juga ngancem supaya kita putus," balas Elon.

Sheera mengernyit. Apa Elon adalah anak Papi?

"Apa dengan kita pacaran, permainan itu berakhir?" bisik Sheera.

"Gue nggak yakin kalau mereka berhenti deketin, tapi soal permainan gue yakin akan berakhir setelah kita putus."

"Kalau kita pacaran, mulainya kapan?"

Pertanyaan Sheera membuat Elon menatap cewek itu dengan tatapan tak percaya. "Lo ... terima?"

"Kesepatakannya." Sheera memperjelas.

Elon tertawa, lalu dia berjongkok menaruh wajahnya di atas lengan. Meskipun Tigris menyuruhnya untuk serius, tetapi percobaan untuk mengajak Sheera kerjasama justru membuahkan hasil yang dia inginkan.

"Hei...?"

Elon berdiri kembali dan menatap Sheera dengan senyuman cerah. "Kalau gitu, Kak, kita mulai detik ini juga. Kakak bisa akting nggak?"

"Maksud lo, apa ... kita harus terlihat kayak orang yang pacaran?"

"Ya. Senormalnya aja. Itu udah pasti, kan?"

***

"Elon anj*r! Lo beneran pacaran sama Kakak kelas?"

Teriakan Key yang membahana jam istirahat kedua di kelas itu membuat para murid yang tadinya mengantuk jadi membelalakkan mata.

"Lo denger dari mana?" tanya Elon, baru bangun dari tidurnya. Dia biasanya tak mudah bangun, tetapi karena pertanyaan Key membuatnya segera sadar dari tidur.

"Kakak-kakak kelas yang nongkrong di sana tuh, ngebicarain lo yang waktu pendekatan singkat dan gercep banget nembaknya!" teriak Key, histeris saking tak masuk nalarnya. Seorang Elon pacaran? Bukannya Elon selalu dekat dengan Aneta? "Eh?"

Key baru mengingat akan hal itu. Aneta! Dipandanginya kursi Aneta. Cewek itu sedang sibuk menyalin apa yang tertulis di papan tulis dengan santainya seolah tak mendengarkan apa pun.

Di samping Aneta, ada Alona yang sedang menggerakkan tangan di depan leher sambil menatap Key dengan tatapan membunuh.

Alona dan Dania yang frustrasi. Sikap Aneta yang seolah tak mendengarkan apa-apa itu malah membuat mereka berdua khawatir pada Aneta. Mereka menghubungkan alasan Aneta tak ke kantin adalah benar karena Elon.

"Neeet, nanti pulang sekolah ke warung bakso yang kemarin. Ikut, yaaa?" tanya Alona ketika Aneta membereskan barang-barangnya di meja.

"Ng? Kayaknya gue harus cepat pulang. Kemarin soalnya udah pulang telat," balas Aneta. Pandangannya masih bisa menangkap Elon yang sedang keluar dari kelas.

Aneta berdiri dari bangkunya dan mengejar Elon yang sudah jauh dari jangkauannya. Kedua kaki Aneta berlari sesuai hatinya meski dia sudah berusaha untuk tetap menjaga harga diri.

Untuk apa dia mengejar cowok yang rumornya baru saja memiliki pacar?

"Elon?" Tangan Aneta kini menyentuh tangan Elon, membuat cowok itu berhenti dan menatapnya terkejut. Aneta tak tahu mengapa dia berlari secepat ini. "Ayo kita bicara."

Hentakan tangan Elon yang pelan membuat hati Aneta teriris. Dia ingin menangis, tetapi tak lucu kan menangis di sini?

"Gue mau ngomong sesuatu," bisik Aneta, parau. Matanya sudah berkaca-kaca.

Elon menarik tangan Aneta dan membawanya ke tempat teraman untuk bicara berdua. Dia memastikan area itu benar-benar tidak terjangkau pandangan orang lain.

"Apa?" bisik Elon, tenggorokannya tercekat melihat tatapan Aneta yang tak biasa. Elon langsung memalingkan wajah karena merasa ada yang memperhatikan. Tak ada siapa-siapa. Dia memegang kepalanya sambil menghela napas. Dia jadi berlebihan dalam berpikir.

"Lo beneran pacaran sama kakak ... kelas?" tanya Aneta dengan suara pelan nyaris seperti sebuah bisikan.

Elon mendengarnya. Bahkan jika Aneta tak mengeluarkan suara dan hanya menggerakkan bibir, maka Elon langsung tahu. Cepat atau lambat, Aneta juga akan tahu. Mereka tak boleh berdekatan seperti ini.

"Iya, kenapa?"

Setelah Elon menjawab seolah tanpa beban, tubuh Aneta terasa baru saja dihantam oleh batu yang besar. "Nggak pa-pa."

Aneta tersenyum. "Mau ... mastiin aja." Dia masih berusaha bicara dengan normal walau ada getaran dalam suaranya.

Telunjuknya mengarah tak menentu. "Gue pergi dulu kalau gitu. Selamat, ya...."

Elon melihat kepergian Aneta dengan perasaan menyesakkan di dadanya.

***

Suara tangis kencang yang berasal dari kamar Aneta membuat dua perempuan lain di rumah itu jadi khawatir berat. Terutama Vina. Pikirannya sudah ke mana-mana mendengar suara tangisan Aneta yang tak berhenti sejak setengah jam yang lalu. Dia terus bertanya-tanya hanya dalam hati. Apa terjadi sesuatu? Apa seorang laki-laki menyentuh tubuhnya hingga membuatnya menangis sesenggukan begini?

Walau secara pengalaman dulunya Vina tak sampai menangis kencang seperti Aneta, tapi Aneta ..., adiknya yang polos itu pasti mengalami sesuatu yang sangat berat.

"Ck." Vina memegang kepalanya. Satu-satunya yang dia pikirkan hanyalah tentang keperawanan.

Tentu saja, Mama tak punya pikiran ke arah sana. Ada banyak hal yang bisa membuat Aneta menangis seperti sekarang. Bisa persoalan sahabat juga atau nilai yang rendah. Walau selama ini Aneta memang tak pernah menangis seperti ini, tetap saja Mama memikirkan kemungkinan terbaik di antara yang terburuk.

"ANETA!" Vina sampai menggedor pintu, membuat tangisan Aneta di dalam sana semakin kencang dan sesenggukan. "BUKA PINTUNYA!"

"Vina...," tegur Mama, lalu menggantikan Vina mengetuk pintu. "Sayang buka, ya? Mama mau peluk kamu, Nak...."

Tak ada balasan, tetapi suara tangis Aneta perlahan mengecil. Bukan berarti ada tanda-tanda anak bungsungnya itu akan berhenti menangis. Dari sesenggukannya saja sudah terasa sakit hatinya masih perlu dia keluarkan.

Tak lama kemudian, suara kunci diputar dari dalam. Mama segera mendorong gagang pintu dan akhirnya dia dan anak sulungnya bisa masuk. Aneta sedang menekuk lutut sambil bersandar di dinding dekat pintu. Dia masih sesenggukan menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangan.

Aneta berusaha berhenti menangis, tetapi dia tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. Rasa sesak di dadanya masih terasa. Mama duduk di sampingnya, lalu merengkuhnya dalam pelukan hangatnya. Tangis Aneta kembali kencang. Perlahan-lahan rasa sesak di dadanya menjadi menipis, tetapi dia masih tak bisa berhenti menangis sampai rahangnya terasa kaku.

"Hei," bisik Vina yang hanya bisa berdiri melihat adiknya terluka. "Lo ... disakitin sama cowok?"

Tentu saja Aneta tak menjawab. Adiknya itu justru menyembunyikan wajahnya di dada sang Mama sambil terus menangis. "Mama hik ... jangan ngomong apa-apa ke Papa kalau aku nangis."

"Hei, gue tanya lo kenapa?" Vina tak bisa tenang sebelum mendapatkan jawaban. Kepalanya terasa pusing karena memikirkan hal terburuk.

"Bu—uhk—kan apa-apa, kok." Suara Aneta tersendat-sendat.

"Ya, kalau bukan apa-apa kenapa lo sampai nangis kayak gini?" tanya Vina, frustrasi.

Mama memandang Vina sambil menggeleng, mengisyaratkan untuk jangan bertanya-tanya dulu.

"Bener!" seru Aneta dengan suara serak. "Bener bukan apa-apa, tapi rasanya sakit banget.... Maaa!"

"Iya, Nak." Mama mengusap lembut punggung anak bungsunya.

"Masalahnya cuma sepele, tapi aku sampai nangis kencang kayak gini," bisik Aneta, tetapi dia tak mau menjelaskan masalahnya apa. Mama juga tak menuntut cerita.

Lalu Vina pun akhirnya menduga bahwa Aneta menangis sesenggukan karena patah hati.

***

Aku tidak bisa melupakan bagaimana hari itu aku menangis. Rasanya seperti gila.

Segala bayangan bahagia yang muncul dalam kehaluan rupanya berakhir buruk. Aku pikir, kisah tentangku dan Elon berakhir dalam sebuah hubungan yang bernama pacaran.

Namun, bahkan sebelum itu terjadi, aku sudah patah hati.

Aku pikir perasaanku terbalas, rupanya aku salah. Kedekatan kami selama ini tak berarti apa-apa baginya. Aku tak menyangka dia menjalin hubungan dengan kakak kelas secepat itu. Benar. Jika aku tak sengaja melihat wajah kakak kelas itu, maka aku akan merasa membencinya. Aku benci mengakui bahwa senior itu memiliki senyum yang manis. Saat melihatnya, pikiranku langsung bertanya-tanya, "apakah seperti itu tipe ideal Elon selama ini?"

Hal yang paling jelas bahwa aku dan kakak kelas itu berbeda jauh.

Dan aku merasa penampilanku yang terburuk. Elon tak tertarik padaku, makanya perasaanku padanya bertepuk sebelah tangan.

Perubahan drastis Elon juga membuatku merasa dibuang, meski kenyataannya tak seperti itu karena kami memang tak punya hubungan apa pun. Elon berubah seperti dia tak pernah dekat denganku sebelumnya. Aku pikir dia menjaga perasaan pacarnya.

Sebulan setelah dia dan kakak kelas itu berpacaran, terdengar rumor di kelas bahwa mereka telah putus.

Aku merasa senang saat itu, tetapi aku tak pernah berani mengajaknya bicara lebih dulu. Aku pikir, Elon akan kembali seperti saat-saat di mana kami akrab.

Itu hanyalah harapan yang tak pernah menjadi kenyataan.

Elon tetap tidak dekat denganku seperti dulu. Seolah aku memang tak pernah akrab dengannya.

Segala kenangan menyenangkan di antara kami tak berarti apa-apa lagi.

Hingga akhirnya, kami berpisah kelas di kelas XI. Aku juga berpisah dengan Alona, Dania, Geisha. Bahkan Key, Mulyo dan Rangga. Tak satupun di antara mereka menjadi teman kelasku.

Semua mengalir.

Kami menjalani hidup masing-masing.

Hingga akhirnya, kelas XI terlewati dengan hampa.

Kini, kami semua telah menjadi murid kelas XII dan tak dekat seperti dulu lagi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro