Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

32

by svrinai

part of zhkansas

...

"Lo mau jadi cewek gue?"

Itu adalah bisikan yang muncul di benak Elon dan merupakan sebuah rencana yang tak bisa Elon katakan. Lebih tepatnya bukan tidak bisa, tetapi Elon yang sudah berumur 16 tahun itu belum pernah pacaran dan tak tahu cara baik menembak seorang cewek.

Apalagi kepada Aneta yang merupakan cinta pertamanya.

Ya, Elon mengakui dengan tegas bahwa Aneta adalah cinta pertamanya.

Tangan yang lebih kecil dari tangannya itu ingin sekali Elon genggam lagi, tetapi dia masih cukup tegang untuk menggenggamnya.

Elon memelankan langkah untuk berada sedikit di belakang Aneta dan memperhatikan Aneta sambil berpikir. Bagaimana ya cara baik menembaknya? Atau bertanya pada Rangga, Mulyo, dan Key saja? Atau kakaknya, Malvin? Dia kan sudah pernah pacaran. Atau langsung mengatakan saja bahwa dia menyukai cewek imut di depannya ini?

Elon menggaruk kepala belakangnya frustrasi. Tak sengaja dia melihat sebuah keluarga kecil. Seorang ayah, ibu, seorang anak perempuan di gendongan ayahnya, dan bayi mungil di dalam kereta bayi yang sedang didorong oleh ibunya.

Kira-kira, seperti itu masa depannya dengan Aneta?

Atau cukup satu anak saja, ya? Kalau saja laki-laki bisa melahirkan, dia akan menggantikan Aneta melahirkan banyak anak mereka.

"Elon."

DEG. Elon langsung menatap Aneta dengan terkejut. Detak jantungnya menjadi cepat dalam beberapa detik.

Aneta menaikkan alis. "Mau nyeberang?"

"Iya, lah." Cowok itu berdiri di samping Aneta. Detak jantungnya kini kembali normal. Jemarinya menyentuh jemari Aneta tanpa mengatakan apa-apa, lalu perlahan-lahan digenggamnya tangan mungil cewek itu.

Apa semua tangan cewek sekecil ini? Elon membatin. Tangannya imut.

Keduanya bergeming di tepi jalan, menunggu lampu hijau untuk pejalan kaki menyala, dan tangan yang tak mau saling melepas itu menjadi perhatian orang-orang yang tak sengaja melihat keduanya.

***

Setelah memastikan Aneta menaiki bus sekolah, Elon bergegas untuk pergi. Mika bilang ada perkumpulan dan Elon adalah salah satu orang yang wajib datang. Elon pikir dia beruntung karena malam ini papanya akan pulang terlambat karena ada pertemuan yang harus dia lakukan. Elon yakin tak salah dengar karena papanya mengatakan hal itu langsung kepada mama.

Sekarang juga masih pukul empat sore. Masih ada banyak kesempatan bagi Elon untuk ikut pertemuan. Dia satu kali menaiki kendaraan umum, lalu setelah itu berjalan kaki selama lima belas menit sampai akhirnya tiba di sebuah rumah mewah berwarna putih bak istana yang ketika dia masuki hanyalah sebuah bangunan yag terlihat belum jadi.

"Lo telat," kata Mika, duduk di atas sebuah meja sambil menguap. Matanya terlihat berat. Penampilannya selalu saja terlihat seperti orang yang tidak pernah tidur. "Anak-anak udah pada balik."

"Yes." Elon tersenyum lebar sambil mengayunkan sikunya. Pantas saja suasana terasa sepi di ruangan paling luar. Di bagian dalam terdengar suara para anggota yang sedang latihan bela diri. "Gue boleh langsung pulang, dong, Kak?"

"Nggak mau denger sesuatu? Ini tentang lo, sih." Mika menggaruk kepalanya.

"Apaan?"

"Lo jadi pemain lagi."

Elon bergeming.

"Lo jadi salah satu pemain untuk target yang udah ditemuin sama Tigris. Targetnya cewek kelas XI. Namanya Sheera. IPA 6." Mika menjelaskan. "Nggak ada yang pasang nama lo sebagai pemenang. Gue aja nggak yakin apa lo bisa buat cewek itu jadi pacar lo."

Elon tertawa riang, membuat Mika menaikkan alis tinggi-tinggi.

"Cuma mau ngasih info itu, kan?" tanya Elon sambil melambaikan tangannya, siap-siap berbalik. "Oke, gue catat. Namanya tadi siapa? Sheera? Kakak kelas, ya. Oke!"

Mika mengernyit heran melihat kepergian Elon begitu saja. "Lah, bocah. Malah kesenengan?"

***

Elon senang bukannya bersungut-sungut seperti saat pertama kalinya dia menjadi seorang pemain Game Over. Itu karena terlintas di pikiran Elon bahwa untuk saat ini, Aneta aman dari posisi target. Menjadi pemain bukanlah masalah baginya. Dia cukup tak melakukan apa pun seperti saat dia menjadi pemain Game Over untuk kali pertama dan memutuskan untuk mundur di masa awal dia menjadi siswa baru STARA, jauh beberapa bulan lalu.

Tak perlu bersusah payah mendekati target yang merupakan seorang kakak kelas itu. Jika pun Tigris mengancamnya, maka Elon akan dengan tegas membongkar permainan itu pada Aneta. Aneta pasti akan percaya padanya. Elon juga yakin Aneta bukanlah tipe cewek yang bisa menjaga rahasia. Lalu Elon tak perlu khawatir akan apa pun lagi.

Membayangkannya rasanya mudah. Apa karena dirinya saat ini memang menggampangkan semuanya? Elon menggeleng kencang. Tak mau memikirkan hal yang belum terjadi.

Permen karet yang dia kunyah sejak tadi mulai hambar. Dia membuangnya ke sebuah lubang selokan. Masuk tepat sasaran walau saat ini yang menyinari tempat itu hanyalah lampu jalanan. Dibukanya headphone yang sejak tadi mengalunkan musik jaz.

Hari sudah malam. Sekitar pukul tujuh lewat sedikit. Tak ada perasaan khawatir akan pulang malam karena dia yakin malam ini Papa pulang terlambat. Selama ini, papanya juga tidak pernah tiba-tiba pulang lebih cepat. Makanya beberapa kali dia masih bisa keluar di malam hari.

Jantungnya berdegup kencang ketika melihat mobil Papa terparkir di garasi yang terbuka. Cowok itu menjauh, bersembunyi di dekat sebuah pohon depan rumah orang lain dan segera menyimpan headphone ke dalam tasnya.

"Hah." Elon menghela napas pendek. "Bilang aja habis dari kerja kelompok," gumamnya dengan bibir bergetar.

Ternyata dia setakut itu pada papanya sendiri.

Berkali-kali melihat Malvin dipukuli membuatnya jadi cemas seperti sekarang. Meski dia telah berusaha menjadi anak yang penurut, tetapi ada suatu waktu dia tak bisa menahan diri untuk melakukan apa yang dia inginkan.

Elon memberanikan diri untuk pulang. Dia masuk lewat garasi dan menyimpan sepatunya di sana. Terkejut melihat keberadaan papanya yang duduk di ruang tengah, Elon langsung menunduk dan meneguk ludah. Dia tak mungkin lewat tanpa mengucapkan salam. Jika lewat begitu saja dan berpura-pura tak tahu keberadaan papanya yang jelas ada di sana, maka masalahnya akan menjadi jauh lebih buruk.

Elon berdiri mematung saat papanya berdiri dan menatapnya. Panas dingin. Itu yang dia rasakan sekarang, efek dari rasa takut yang semakin menguat. Perasaan takut itu semakin besar saat Papa berjalan ke arahnya dengan langkah lebar ditambah lagi menatapnya dengan rahang mengeras.

"Dari mana?" tanya Regazka, papa Elon. Bahkan sebelum Elon membuka mulut, tamparan keras langsung dia layangkan ke pipi Elon hingga anaknya itu terjatuh ke lantai begitu saja. "Papa bilang dari mana?"

Elon tak bisa bicara. Tak bisa juga menghindar. Hanya meringkuk melindungi wajah dan kepalanya secara refleks dari tendangan Regazka.

"PA! JANGAN, PA!" Suara gedoran pintu kamar dan teriakan memilukan dari Mama membuat Elon tanpa sadar meneteskan air mata. Papa bahkan sengaja mengunci Mama di dalam kamar agar bisa menghukum Elon tanpa gangguan.

Padahal baru satu kali dia berbuat nakal. Kenapa separah ini? Elon tak bisa membayangkan betapa sakitnya menjadi Malvin selama ini.

"Kamu nggak mau jawab, hah?" tanya Regazka. Diambilnya sebuah cambuk di sofa, lalu kembali menghampiri Elon yang sudah berdiri. Dia melayangkan cambukan itu dan tepat mengenai pinggang Elon. Elon terjatuh, memeluk pinggangnya yang kesakitan.

"Sekarang kamu pacaran? Bukannya belajar?!"

Elon menatap papanya terkejut. Regazka memperlihatkan sebuah foto di ponsel. Foto Elon dan Aneta yang sedang berada di kafe. "Papa ambil dari mana?"

"Jawab dulu!" teriak Regazka sambil melayangkan cambukan di betis Elon, membuat cowok itu menjerit kesakitan sampai terduduk.

"Dia bukan pacar aku. Dia temen aku!" seru Elon, memegang kakinya yang perih.

"Sekarang kamu mulai bohong? Kalau temen kenapa sampai pegang-pegangan tangan? Kenapa sampai pulang jam segini? Papa akan cari anak itu kalau kamu berani bohong."

"Papa kenapa, sih?" tanya Elon, berbisik. Mendengar ancaman terakhir Regazka membuatnya jadi semakin frustrasi. "Aku kan udah jujur. Dia temen aku, Pa. Temen kelas."

"Temen kelas? Kamu sendiri yang bilang kalau dia pacar kamu. Alia nggak mungkin bohong soal itu."

"Alia?" gumam Elon sambil memandang papanya, terkejut. "Dia yang ngasih ... tahu?"

"Kenapa? Untung saja Alia ngasih tahu, kalau nggak kamu lama-lama bakalan mirip kayak kakak kamu itu."

"Alia," gumam Elon, lalu meneguk ludah. Selama ini yang Elon tahu, Alia bahkan hampir tak pernah bicara dengan Mama. Apalagi dengan Papa. Elon menarik rambutnya. "Ah, sialan."

PLAK

Sebuah tamparan diberikan Regazka kepada Elon, membuat Elon sempat linglung meski masih bisa berdiri.

"Sekarang kamu bahkan berani ngomong gitu?"

Elon menatap papanya putus asa. "Papa kalau nyari pelampiasan, selalu ke kami, ya? Kalau Papa punya masalah, selalu jadiin kami samsak?"

PLAK

Elon merasakan dadanya semakin sesak saat tamparan kembali melayang di pipinya.

"Papa akan cari anak itu karena sudah buat kamu jadi kurang ajar begini."

"APA?" teriak Elon, kesal pada perkataan papanya dan khawatir pada Aneta. "Aku udah bilang dia itu temen aku. Temen kelas. Aku harus apa biar Papa percaya?"

"Pokoknya kalau Papa lihat kamu bareng dia lagi, Papa akan langsung samperin anak itu dan peringatkan dia supaya nggak jadi perempuan penggoda." Regazka menunjuk lantai. "Berdiri di situ sekarang. Balik badan. Buka seragam kamu."

Elon menegang. Sekujur tubuhnya kaku. Regazka memegang sebuah cambuk dan membuat anaknya itu jadi ketakutan.

"Cepat! Atau kamu mau Papa tambahin jumlah cambukannya?"

"Apa...?" bisik Elon, menangis sambil berbalik di tempat yang papanya tunjuk. Dia membuka seragam sekolah dan juga kaosnya dan berdiri menahan rasa sakit di punggung saat cambukan demi cambukan mengiris kulitnya sedikit demi sedikit.

"Ingat. Papa nggak pernah main-main dengan kata-kata Papa," kata Regazka sambil melayangkan cambukan di punggung Elon, membuat anak bungsunya itu tersentak karena merasakan perih. "Kamu denger, kan? Jawab, Elon!"

"Iya...," balas Elon, menahan perih dan tangis.

Cambukan sekali lagi. "Papa bilang apa tadi?" tanya Regazka.

"Papa ... nggak pernah main-main dengan perkataan Papa."

Cambukan kembali melayang. "Sebelum itu!"

"Papa...." Elon meringis kesakitan. "Papa bakalan cari tahu anak itu kalau aku deket-deket dia lagi."

"Jadi intinya?" tanya Regazka, tetapi Elon hanya diam. Regazka kembali melayangkan cambukan, membuat anaknya itu tersentak kaget dan kesakitan. "Jawab!"

"Intinya...." Elon menggigit bibirnya hingga berdarah. "Aku nggak akan pernah deket-deket dia lagi."

"Papa akan pegang ucapan kamu." Regazka berhenti mencambuk Elon. "Masuk ke kamar. Minta Mama kamu obatin luka-luka kamu itu," lalu Regazka pergi ke ruang kerjanya, menutup pintu dengan keras.

Elon terduduk. Dipeluknya dirinya sendiri sambil menangis pilu. Seluruh tubuhnya sakit. Juga perih. Hatinya pun sama. Dia takut pada ancaman papanya. Dia khawatir Aneta yang tak bersalah akan terseret oleh kekejaman Papa.

Elon memungut kaos, seragam, dan juga tasnya, lalu melangkah sambil meringis di sepanjang jalan. Tiba di depan kamarnya, dia menatap nanar kunci yang menggantung. Diputarnya kunci itu, lalu dia membuka pintu dan mendorongnya. Mama berdiri menatapnya dengan wajah sembab.

"Elon...," bisik Mama, mendekat dan menangis melihat tubuh Elon yang penuh luka cambuk. Mama keluar dari kamar untuk mengambil obat. Itu yang selalu Mama lakukan jika Malvin terluka. Obat yang selalu ada. Jika habis, maka langsung dibeli lagi.

Elon menjatuhkan semua barangnya di tengah pintu, lalu berjalan lemah dan terduduk di lantai ujung tempat tidurnya. Mama muncul membawa kotak obat. Wajah Mama sembab karena tangis. Tangannya bergetar ketika membuka kotak tersebut.

"Sakit banget, ya, Nak?" tanya Mama ketika tangannya yang bergetar itu menangkup wajah Elon.

"Ma?" bisik Elon.

"Ya, Nak?" balas Mama sambil menangis.

"Aku bakalan laporin Papa ke polisi. Semua luka ini akan aku jadiin bukti. Atau nggak, ke Komisi Perlindungan Anak."

Mama langsung panik dan tangannya makin gemetaran di wajah Elon. "JANGAN!"

Mata Elon membelalak tak habis pikir. Ini bukan respons yang dia harapkan dari mamanya.

"Kenapa...?" tanya Elon, berbisik. "Ini bukan hukuman dari seorang Ayah. Papa udah ngelakuin tindakan kriminal. Bukan cuma ke aku ataupun Kak Malvin, tapi ke Mama juga, kan? Papa udah sering ngelakuin kekerasan dalam rumah tangga. Apa kita semua harus diam terus kayak gini?"

"Jangan...," bisik Mama, lemah.

"Kenapa?" tanya Elon dengan suara serak dan pandangan yang mengabur. "Kenapa Mama kesannya jadi pengin lindungin orang yang jelas-jelas salah di sini...? Aku bakalan tetap laporin Papa—" Elon membelalak saat Mama bersujud di hadapannya. "Ma!"

"Elon, Mama mohon jangan. Jangan laporin Papa ke polisi. Jangan, Nak. Mama mohon jangan!"

Apa yang Mama lakukan membuat Elon merasakan kekecewaan yang mendalam.

"Sekarang aku ngerti kenapa Kak Malvin milih untuk selalu berontak," bisik Elon, menatap mamanya yang masih bersujud dan menangis, terus memohon padanya. "Karena Mama selalu lindungin Papa yang jelas-jelas salah."

"Mama mohon jangan, ya, Nak?" Mama bangun sambil menangkup lagi pipi Elon. "Ya? Mama mohon jangan...."

"Oke, kalau itu yang Mama mau." Elon mengepalkan tangannya kuat-kuat. Kenapa mamanya jadi seperti ini? "Sebagai gantinya, jangan cari aku kalau aku pergi dari rumah ini."

***

Elon pernah mendengar bahwa tak ada yang berani mengganggu Tigris dan orang-orangnya jika sudah tahu Tigris berasal dari keluarga mana. Maka, Elon membuang harga dirinya untuk sesaat dan menjadi pengemis untuk mencapai tujuan.

Dibukanya pintu ruangan Tigris. Dia beruntung, Tigris sedang ada di markas. Cowok itu tengah duduk di sebuah sofa, memainkan tablet, lalu melirik Elon sambil tersenyum kecil.

"Semua yang ada di ruangan ini barusan udah gue usir," kata Tigris. "Jadi, apa hal penting yang pengin lo omongin? Langsung aja. Nggak perlu basa-basi."

"Gue mau minta bantuan," kata Elon percaya diri. Dia sudah memikirkan semuanya.

Tigris tersenyum misterius. "Apa?"

"Gue bakalan lakuin apa pun. Nggak akan berontak lagi di Geng Rahasia. Asal lo janji dua hal." Elon meneguk ludah. "Semua yang ada di Geng Rahasia nggak boleh nyentuh temen gue yang namanya Aneta, terutama lo. Dan kedua, izinkan gue untuk tinggal di sini."

"Jadi, lo kabur dari rumah?" tanya Tigris tepat sasaran. "Permintaan gue cuma satu. Gampang, kok."

Elon tahu, makna gampang bagi Tigris tak sama dengan Elon. "Apa?"

"Ikut permainan Game Over dengan serius," balas Tigris.

***


 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro