Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

31

by svrinai

part of zhkansas

...

Aneta melirik ke sekitar. Elon membawanya ke sebuah kafe yang penuh dengan orang-orang berseragam SMA. Walau pembicaraan tak bisa dihindari, tetapi tempat ini memang tenang. Tak ada yang terbahak-bahak atau mengeluarkan suara yang mengganggu. Kalau pun ada perkatan yang keras, yang terdengar hanyalah beberapa orang yang sedang bertukar pikiran tentang pelajaran.

Itu tidak mengganggu. Tempat ini memang dikhususkan hanya untuk para pelajar.

"Lo tahu tempat ini dari mana?" tanya Aneta penasaran.

"Internet." Elon mengeluarkan lembaran soal Kimia yang telah dia siapkan semalaman. "Katanya sih cocok buat orang kayak lo."

"Orang kayak ... gue? Emangnya gue kayak gimana?" tanya Aneta sambil berbisik.

"Eum, gimana, ya?" balas Elon sambil berbisik juga.

Tempat ini mirip seperti perpustakaan, tetapi yang membedakannya adalah perpustakaan lebih tertutup, menyediakan buku-buku, dan tidak boleh makan atau membawa makanan. Sementara tempat ini bagian depannya berdinding kaca, tidak menyediakan satu pun buku, dan yang terpenting adalah bisa memesan makanan. Meja-meja di kafe ini juga memiliki penyangga khusus minuman untuk menghindari hal-hal tak diinginkan seperti minuman yang tersenggol tangan saat asyik belajar. Meskipun ada bagian dinding kaca, tetapi suara-suara dari luar tak begitu berisik karena lokasi tempat ini menjorok ke dalam sebuah lorong kecil.

Sebenarnya, kafe ini seperti kafe pada umumnya. Hanya saja tempat ini khusus bagi para murid SMA. Aneta jadi berpikir apakah tempat ini mendapatkan untung karena bagaimana pun murid SMA memiliki waktu terbatas untuk di luar rumah dibanding para mahasiswa. Tak heran pengunjungnya sedikit.

"Katanya, tempat ini dibuat bukan buat nyari untung," kata Elon pelan. Aneta mengernyit, menunggu penjelasan lebih. "Katanya sih dibuat sama orang yang dulu pengin punya tempat khusus kayak gini."

"Hei, lo tahu banyak banget, ya, soal kafe ini?"

"Gue baca ulasannya di google." Elon menaruh kertas HVS kosong di depan Aneta, lalu tersenyum miring. "Ayo, jawab soal-soalnya. Nanti yang jawabannya banyak salah harus nurutin 1 kemauan dari yang jawabannya lebih banyak benarnya."

"Serius, nih? Nggak curang, kan, lo?"

"Iya, serius. Gue berusaha nggak lihat soalnya. Langsung gue download dari web langganan, terus print sambil ngalihin pandangan, terus gue masukin ke dalam tas."

Aneta mengerutkan hidung menatap Elon. "Kalau pun lo nggak curang, mana menang gue lawan peringkat 1 di kelas?"

Elon memajukan tubuhnya, lalu berbisik. "Gue lemah di Kimia."

Aneta langsung memandang kertas kosongnya. "Ayo kita mulai kalau gitu."

Tepat saat mereka mulai fokus, kafe itu kedatangan seseorang pelanggan baru. Seseorang yang juga masih mengenakan seragam SMA. Mata Aneta masih bisa menangkap di sekitarnya walau samar-samar. Fokus Aneta semakin menipis ketika cewek berambut di bawah bahu yang memakai seragam SMA itu mendekat ke arah meja yang dia gunakan bersama Elon.

Beberapa detik kemudian, siswi itu sudah tiba di samping mejanya dan berhenti. Membuat Aneta tak lagi sepenuhnya fokus pada soal-soal karena saat ini wajahnya teralihkan pada senyum tipis seorang cewek yang tertuju pada Elon.

"Hai! Elon?" sapa cewek itu, agak keras.

Elon mendongak heran. Alisnya terangkat tinggi-tinggi. Untuk sesaat dia bingung, tetapi kemudian dia akhirnya menyadari siapa yang baru saja duduk di kursi kosong sampingnya tanpa permisi.

"Alia?" tanya Elon, berbisik.

"Iya, ini gue. Tetangga lo," balas Alia, sembari melirik Aneta yang duduk berhadapan dengan Elon.

Aneta tak lanjut mengerjakan soal dan memilih untuk menyimpan pulpennya di atas kertas. Elon melihat ekspresi Aneta yang datar itu tertuju kertas, membuat Elon segera menatap Alia dengan tak nyaman.

Aneh. Meskipun Alia tak punya hubungan apa-apa dengannya, bahkan mereka saja tak dekat, tetapi Elon merasa seperti sedang selingkuh.

Padahal dia dan Aneta juga tak pacaran.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Elon, memandang Alia meski enggan.

"Mampir. Hehe. Gue kebetulan ke sini atas rekomendasi temen gue." Alia mengalihkan pandangan pada Aneta. "Temen lo, ya?"

Elon menatap Aneta dan hanya gergumam. "Hm."

"Oooh, kirain pacar."

Aneta mengangkat wajahnya dari kertas, lalu melihat cewek yang baru saja bicara dengan intonasi menyebalkan. Aneta juga tak tahu mengapa intonasi cewek bernama Alia itu terasa menyebalkan di pendengarannya. Lalu sekarang, ketika pandangan mereka bertemu, Aneta merasa Alia memandangnya dengan sinis.

Aneta berusaha berpikir positif bahwa mungkin saja Alia tak ada niat untuk memandangnya seperti itu, tetapi pikiran Aneta berubah ketika Alia tersenyum miring dan segera menatap Elon sambil tersenyum cerah lagi.

Apa-apaan...? batin Aneta.

"Elon? Terus nanti lo pulang naik apa?"

"Seperti biasa," balas Elon sembari menatap lembaran soal.

"Pulang bareng, yuk? Kita kan satu arah."

"Ah, gue masih ada urusan nanti."

"Kalau gitu gue tungguin lo aja gimana? Memangnya urusan apa, sih?"

Suara Alia keras. Menggebu-gebu. Aneta sampai lihat sekeliling dan ada beberapa orang yang melirik cewek itu. Aneta menatap Alia dan berusaha mengambil perhatiannya. "Maaf sebelumnya."

Alia menghentikan ucapannya dan menatap Aneta dingin. "Ya?"

"Jangan berisik di sini," kata Aneta hati-hati. "Lo datang ke sini buat apa? Nggak mau belajar kayak yang lain? Dilihatin sama orang-orang soalnya."

"Eh?" Alia menatap sekeliling dan langsung terdiam saat itu juga.

"Mau belajar bareng?" ajak Aneta.

Alia tak menggubris ucapan Aneta dan langsung menatap Elon. Kali ini suaranya lebih rendah. "Lo sibuk sampai jam berapa?"

"Enggak tahu, sih. Mungkin sampai dua jam ke depan?" balas Elon.

"Asal nggak sampai malem, ya? Awas nanti Bokap lo marah. Hehe." Alia tak tahu, ucapannya membuat kemarahan Elon bangkit. "Gue jadi ingat! Waktu kecil lo nangis disamperin Bokap lo gara-gara mainnya terlalu lama."

"Hei." Elon menatap Alia tak nyaman. Alasan dia tak lagi bersosialisasi dengan teman-teman sekompleks karena fakta bahwa papanya yang keras dan sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga sudah menjadi rahasia umum. "Gue dan cewek gue lagi belajar."

"Eh?" Aneta dan Alia sama-sama terkejut.

"Kalau misalkan lo mau nunggu silakan aja, tapi kayaknya kali ini bukan waktu yang tepat untuk nostalgia," lanjut Elon, membuat Alia jadi bungkam seribu bahas. "Mau nunggu?" Elon memandang Alia, lalu beralih pada Aneta dan kembali menatap Alia lagi. "Kalian berdua nggak mau kenalan gitu?"

"Pacar?" tanya Alia pada akhirnya. "Kalian ... pacaran?"

"Mungkin?" balas Elon, acuh tak acuh.

Alia terkekeh. "Kok mungkin? Bercanda, ya?"

Sungguh. Elon ingin segera Alia pergi dari sini. "Iya, mungkin. Soalnya belum gue tembak. Nanti mau gue tembak."

Tiba-tiba saja Alia bangkit dari duduknya dan keluar dari kafe itu dengan langkah cepat.

"Aduh, kenapa sih dia?" Elon menghela napas panjang, lalu menatap Aneta. "Sori tadi bawa-bawa lo. Habisnya gue nggak bisa mikir jernih lagi saking keselnya."

Aneta tersenyum, menyembunyikan rasa sakitnya. Dia harusnya langsung paham bahwa ucapan Elon pada Alia hanyalah omong kosong belaka, tetapi dia terlanjur terbawa perasaan.

"Hei, lo nggak nyadar dia tuh suka sama lo?" tanya Aneta.

"Suka gimana? Kita aja nggak deket. Sekadar tetanggaan doang." Elon berusaha fokus dengan lembaran soalnya lagi. "Ah, tahu ah. Gue nggak mood."

Dia ngambek? Aneta membatin, melihat ekspresi wajah Elon yang baru kali ini dia lihat.

"Gimana, nih? Jadi nyelesaiin soal? Apa lain kali aja? Pulang, yuk?" Elon memberikan rentetan pertanyaan yang membuat Aneta pada akhirnya menyadari bahwa suasana hati Elon yang buruk itu memang serius.

Elon gelisah. Semua itu terlihat lewat caranya bertanya, ekspresinya, dan juga gerak tubuhnya. Kenapa? Aneta ingin bertanya, tetapi pasti hanya akan membuat Elon tak nyaman.

Aneta merapikan kertas-kertas dan alat tulis miliknya di atas meja. "Kita lanjutin lain kali aja gimana? Kayaknya gue mau jalan-jalan bentar, terus pulang."

"Beneran?" tanya Elon. Binar senang tampak di matanya.

Aneta tersenyum kecil. "Iya, beneran."

***

Aneta mengarahkan kameranya ke jalanan yang penuh kendaraan. Dia senang mengambil gambar candid. Sesuatu yang alami, tanpa disengaja, mempunyai cerita yang menyenangkan.

"Gandengan tangan, yuk?"

Aneta memelankan langkah saat Elon mengambil kesempatan untuk menggenggam tangannya. "Enggak, ah. Ngapain."

"Foto. Kenang-kenangan," kata cowok itu.

Aneta memutar bola mata, tetapi dia berhenti dan mengabadikan tangan mereka yang saling menyatu. Dia bersikap tak peduli, tetapi pada akhirnya mengikuti kemauan Elon yang juga merupakan kemauan Aneta dari dalam hati.

"Sekalian kalau nyeberang nanti pegangin gue." Elon menarik Aneta, membuat Aneta tak bisa menyeimbangkan tangannya hingga salah mengabadikan momen. Melihat kesempatan yang ada, Aneta memotret Elon dari belakang saat cowok itu masih saja menariknya untuk melangkah cepat.

Aneta menutupi mulutnya dengan kamera, menyembunyikan senyum yang tak bisa dia tahan.

"Kenapa lo susah ditarik?" Elon menoleh bersamaan dengan satu gambar yang Aneta dapatkan.

Cewek itu buru-buru menurunkan kamera. Wajahnya tegang, lalu berbisik, "nggak sengaja kepencet. Kayaknya muka lo lucu, deh. Mau lihat hasilnya?"

Elon mengulurkan tangan. "Sini gue lihat sendiri." Lalu Aneta langsung memberikan kamera miliknya. Bukannya melihat hasil foto Aneta, cowok itu justru memotret Aneta. "Sekarang satu sama, kan?"

"Apa?" tanya Aneta heran.

Elon menunjukkan wajah Aneta yang lucu. Aneta berusaha mengambil kameranya kembali, tetapi Elon mengangkat kamera itu tinggi-tinggi sambil tertawa.

"Siniin!" seru Aneta, berjinjit berkali-kali sampai akhirnya menyerah. "Nanti gue hapus."

"Nggak boleh. Harus lo kirim ke gue."

"Bakalan gue hapus!"

"Itu hasil jepretan gue. Masa lo mau hapus, sih?"

"Komuk tahu!"

"Gue juga, kan?"

"Tapi—"

"Nggak boleh protes," kata Elon sebelum Aneta meneruskan kata berikutnya. Dia menarik tangan Aneta dan menaruh kamera cewek itu di sana.

"Nanti gue hapus," kata Aneta sambil menjauh.

Elon langsung menangkap tangannya. "Gue ngambek, nih?"

"Nggak peduli juga."

"Anetaaa," panggil Elon sambil berusaha membuka tangan Aneta yang terkepal. Ingin menggenggamnya. "Jangan hapus. Kirimin ke gue."

"Iyaaa, astaga jangan digituin. Sakit tahu."

"Masa, sih? Gue megangnya pelan, loh."

"Ya itu lo yang rasain. Beda yang gue rasain." Tangan Aneta berhasil lepas dari tangan Elon, lalu segera memukul lengan cowok itu. "Ish. Rasain, tuh"

"Aw?" Elon mengusap lengannya. "Nggak sakit, tuh?"

"Haaa, terserah." Aneta berlari menjauh.

"Anet! Net! Net Net!" panggil Elon, iseng. "Net awas lo nginjek tahi ayam."

"Emang di sini ada tahi ayam?!" tanya Aneta dengan suara keras dan menoleh sebentar. Kemudian cewek itu kembali mempercepat langkah, takut Elon mengejarnya.

Elon tertawa melihat Aneta semakin menjauh. Dia tidak ingin mengakhiri hubungan yang seperti ini bersama Aneta. Sudah dari dulu dia mengajak Aneta untuk pacaran jika dia mau, tetapi Elon mengkhawatirkan banyak hal.

Dari yang Elon tahu, jika seorang pasangan memutuskan untuk mengakhiri hubungan karena suatu hal, maka keduanya akan bermusuhan. Elon tidak mau itu terjadi. Itu jika Aneta menerimanya. Jika Aneta menolaknya, maka Elon khawatir hubungan mereka tidak bisa kembali seperti sekarang ini. Elon tak mau ada kecanggungan lagi di antara mereka padahal Aneta sudah bersikap santai di hadapannya dibanding dulu.

Masih banyak hal lagi yang Elon pikirkan. Hal yang paling jelas adalah bukan saat yang tepat untuk mengajak Aneta pacaran. Belum lagi, Aneta juga tidak ingin pacaran, kan?

"HEI!" teriak Aneta dari jauh. Cewek itu melompat pelan, tangan kanannya melambai-lambai. "NGGAK MAU PULANG?"

Belakangan ini, rasa ingin memiliki Aneta jadi begitu besar.

"Gimana, niiih?" Elon frustrasi sendiri. "Rasanya pengin nembak sekarang."

***



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro