23
by svrinai
part of zhkansas
...
"I-iya...."
Aneta merasa tak ada alasan yang wajar baginya untuk memegang tangan Elon. Dia tidak dalam keadaan mendesak seperti saat masih di dalam D'Graham. Namun, dia juga enggan untuk menarik tangannya dari genggaman cowok yang saat ini menyejajarkan langkah dengannya itu.
Mereka berjalan tanpa mengatakan sepatah kata. Sesekali Elon melihat sekitar, khawatir jika saja ada siswa D'Graham yang melihat mereka. Dia singgah sebentar di tempat yang aman untuk mengetahui keadaan Malvin saat ini. Ketika dia ingin menelepon kakaknya itu, sebuah pesan dari Malvin langsung masuk dan mengurungkan niatnya untuk menelepon Malvin.
Elon mengetik dengan satu tangan. Aneta memperhatikan itu. Ukuran ponsel Elon bahkan lebih dari 6 inchi. Mungkin Elon masih bisa mengetik dengan satu tangan, tetapi Aneta menjadikan tangannya sebagai patokan. Sulit baginya mengentik di ponsel yang berukuran lebih dari 6 inchi hanya dengan satu tangan. Ketika Aneta akhirnya sadar tangan mereka masih saling menggenggam, dia buru-buru melepasnya dan segera membelakangi Elon sambil memainkan jemarinya sendiri.
Hentakan tangan Aneta yang tiba-tiba membuat Elon juga akhirnya sadar. Dia mengusap tengkuk tanpa sadar, lalu kembali fokus pada ruang percakapannya dengan Malvin.
Malvin
udah beres
santai aja pulangnya. gaperlu nengok ke sana kemari
semua udah gue beresin
Elon refleks melihat ke arah SMA Cendei yang tertutupi oleh bangunan lain. Malvin ternyata memperhatikannya. Dia merasa telah banyak merepotkan Malvin. Apa dia harus bertindak sejauh itu? Elon menyadari apa yang Malvin lakukan semata-mata bukan hanya karena ingin membantu, tetapi juga karena kepentingan dirinya sendiri yang ingin menghajar seseorang. Akan tetapi, bagaimana pun Malvin banyak membantunya dan yang terpenting sekarang adalah Aneta maupun Geisha aman dari siswa-siswa nakal D'Graham yang ingin melukai dua cewek itu.
Elon: makasih kak
Malvin: oh ya
Elon: lain kali jangan lihat gue kayak gue ini anak kecil
Malvin: ?
Aneta telah berbalik dan melihat Elon sedang senyum-senyum sendiri. "Siapa?" tanyanya, agak cemberut.
Elon menyimpan ponselnya ke dalam tas. Sekarang tak ada yang dia khawatirkan. Setidaknya untuk hari ini. "Ah, kakak gue. Dia bilang buat nggak usah khawatir lagi."
Jawaban Elon membuat Aneta terdiam sesaat. "Lo punya kakak?"
"Iya." Elon mengangguk dengan bangga. "Dia yang tadi di kelas dan nyuruh kita pergi."
"Apa?!" Aneta terkejut karena tak menyangka bahwa Malvin yang selama ini Aneta anggap sebagai seorang yang problematik ternyata adalah kakak dari teman kelasnya sendiri.
Terlebih lagi, dia dan Riri tak pernah membahas informasi ini. Apakah Riri juga tahu fakta itu?
Elon menaruh telunjuknya di depan bibir. "Rahasian, ya?"
"Ah?"
"Kalau Malvin itu kakak gue."
"Kena ... pa?" tanya Aneta, bingung.
"Ya, enggak apa-apa. Jarang yang tahu." Elon berpaling sesaat. "Gue ngasih tahu lo karena pengin lo tahu aja."
"Oh...." Aneta menunduk. Dia menggesek ujung sepatu depannya di atas jalan yang dia injak karena salah tingkah. Dia merasa percakapannya dengan Elon menjadi lancar dan membuatnya lupa akan hal buruk yang terjadi hari ini padanya.
"Mungkin gue akan sulit nyamperin Kak Malvin langsung. Jadi, sampaiin rasa terima kasih gue ke kakak lo. Karena dia kita bisa berhasil lolos dari anak D'Graham." Setelah mengatakan hal itu sambil menatap ke bawah, Aneta lalu mencoba untuk menatap wajah Elon. "Tadi lo bilang ada dua senior?"
"Iya," balas Elon. "Tahu Erfan? Dia tiba-tiba nongol aja mau ikut, tapi sekarang enggak tahu dia di mana."
"Erf...." Aneta tak melanjutkan ucapannya. Ternyata satu senior itu adalah Erfan. Kenapa harus cowok yang sudah menghancurkan kakaknya?
"Lo sendiri? Punya kakak?"
"Punya...." Aneta segera mengalihkan pembahasan. "Elon ..., makasih udah nolongin gue."
"Udah jadi tanggung jawab gue buat mastiin keselamatan lo karena gimana pun gue yang buat lo jadi terlibat dengan D'Graham." Elon mulai mengeluarkan segala yang mengganggunya sejak tadi. "Gue justru ngerasa kurang lindungin lo. Gue nggak bisa kayak kakak gue atau pun lainnya yang sampai berantem."
"Huh? Emang ngatasin masalah kayak gini tuh harus dengan berantem? Gimana pun itu yang namanya kerja tim."
"Gue pengin kelihatan gentle?" kata Elon, jujur.
"Apa...?"
"Ya, keren aja gitu kalau gue punya kenangan lindungin lo sampai babak belur."
"Elon!" teriak Aneta tanpa sadar. Dia yang malu mendengar kata-kata Elon yang menggelikan, membuatnya menunduk dan menutup mulut tanpa sadar. "Kenapa lo punya pemikiran cringe kayak gitu, sih?" bisiknya.
Elon menyeringai. Dia semakin merasa ingin mengisengi Aneta lewat kata-katanya. "Lo nggak anggap keren? Biasanya kan gitu kalau di film aksi."
"Heh, film aksi apaan?"
Elon terkekeh. "Pokoknya setiap pulang sekolah kita harus selalu bareng. Gue harus mastiin lo pulang dengan selamat. Oke?"
"Nggak usah buat diri lo repot sampai segitunya. Ke depannya gue akan lebih bisa jaga diri. Gue juga bakalan ngomongin ini ke Geisha buat nggak percaya omongan orang asing kalau ada yang mau niat jahat lagi."
"Bagus."
"Bentar. Jangan gerak." Aneta menyentuh pelipis Elon, lalu menyentuh rambut di dekat pelipis cowok itu. Dia membelalak setelah jemarinya merasakan tekstur kaku di rambut Elon. "Darah... kering?"
Tubuh Aneta lemas. Dia baru ingat siswa D'Graham tadi sempat melemparkan kaca ke arah Elon. "Astaga, kepala lo ... berdarah."
"Masa, sih?" Elon memegang pergelangan tangan Aneta, berniat menjauhkan tangan Aneta darinya, dan saat itu juga Elon memperhatikan pergelangan tangan Aneta. "Merah...."
"Iya, darah lo di pelipis. Di rambut-"
"Bukan." Elon menarik satu tangan Aneta lagi dan memperhatikan kedua pergelangan tangan cewek itu. Dia mengusapnya pelan. "Sakit?"
"Eng... nggak." Aneta juga baru menyadari tangannya yang memerah karena tali yang mengikatnya. "Enggak apa-apa. Enggak sakit...."
"Bohong." Elon lalu memegang tangan Aneta dengan lembut dan segera berbalik untuk melangkah. "Di dekat sini ada apotek. Habis beli obat, kita pulang."
"O-ke." Dan Aneta tak protes. Dia mengikuti Elon sembari berusaha meredam jantungnya yang kembali berdegup dengan kencang.
***
Dear diary....
Ini aku. Aneta.
Aku kembali menulis lagi, tetapi kali ini tidak di lembaran-lembaran kertas seperti sebelumnya. Melainkan di aplikasi pengolah kata dalam notebook-ku.
Kapan terakhir aku menulis diary, ya? Ah, SD! Itu bermula ketika aku mendapatkan rundungan dari beberapa murid SD sekelasku. Namun, setelah perundungan itu berhenti, aku tak menulis diary lagi karena hidupku setelah itu antara damai sekaligus menoton. Apa yang terjadi selalu terulang. Selalu sama. Tak ada yang spesial. Hanya rutinitas rutin setiap hari yang membuatku tak punya alasan untuk menulis diary.
Tak ada hal menarik yang bisa aku ceritakan. Masa-masa SMP-ku juga biasa saja. Pertemanan, sekolah, ekstrakurikuler, les. Semuanya menoton.
Ah, aku ingat! Aku sempat menulis diary karena masalah Kak Vina. Namun, hanya terhitung dua kali karena aku pikir untuk apa menulis kesedihan. Aku ingin melihat ke depan. Tak ingin membuat kenangan buruk tentang keluargaku.
Namun, sekarang-tepatnya semenjak semester genap ini-aku menulis diary lagi.
Ini menggelikan, tapi entah kenapa aku kembali membuat diary setelah mengetahui siapa peringkat pertama di kelasku.
Dan nama pertama yang muncul di diary-ku adalah ... Elon.
Yah, siapa lagi si peringkat pertama itu jika bukan dia? Sosok yang membuatku tak percaya bahwa dia lah yang mendapatkan peringkat satu itu.
Sudah beberapa minggu terlewati di masa semester genap kelas sepuluh. Aku tak menyangka banyak hal terjadi belakangan ini, terutama apa yang terjadi hari ini. Aku sudah menceritakan kejadian hari ini yang memakan 3 lembar kertas. Itu benar.... Sebanyak itu. Aku baru sadar menulis kejadian hari ini seperti menulis cerita pendek. Seolah aku tak ingin melewatkan satu pun detail cerita yang terjadi padaku dengannya.
Setelah menulis banyak hal di sebuah kertas yang membuat tangan dan jari-jariku pegal, aku jadi berpikir untuk menulis sebuah cerita di notebook. Terpikirkan olehku untuk menulis cerita panjang seperti sebuah novel karena aku akan menceritakan banyak hal secara detail tentangku dengannya.
Aku ingin merekam kejadian di antara kami lewat tulisan yang aku ketik.
Kejadian besok dan seterusnya. Sampai aku memutuskan untuk berhenti sendiri.
Bagaimana aku memulai tulisannya, ya? Aku gugup. Ah, tidak. Aku terus mengetik semua yang aku pikirkan. Bahkan untuk paragraf yang tidak penting ini. Baiklah.
Aku akan memberitahukan siapa yang akan menjadi sorotan dalam tulisan ini.
Elon.
Namanya hanya Elon.
Dan sepertinya ... aku telah menyukainya.
Aku tak tahu ke depannya kisah kami akan seperti apa. Akan tetapi, apa aku boleh berharap? Aku ingin tumbuh bersama Elon sampai kami sama-sama dewasa. Aku akan menulis apa yang terjadi dan menuangkan ekspresi hanya lewat tulisan ini karena aku tak mungkin bisa memperlihatkan segala ekspresiku di dunia nyata kepada orang lain.
Aku tak tahu tulisan ini apakah akan sepanjang novel. Namun, yang jelas, aku mengharapkan kisah yang panjang bersamanya. Mungkin sampai kami dewasa nanti?
Itu mustahil....
Apakah aku masih semangat menulis tulisan seperti ini tentangnya?
Jika ini adalah sebuah novel, maka yang kutulis sekarang adalah bagian dari prolog.
Benar. Ini baru prolog. Maka dari itu perjalanan masih sangatlah panjang. Entah apa yang terjadi di epilog tulisan ini nanti.
Aku menantikannya.
Dan aku berharap, epilog dari tulisan ini nantinya adalah sebuah akhir yang bahagia.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro