Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22

by svrinai

part of zhkansas

...

Letak meja dan kursi di kelas itu berantakan karena beberapa kali meja-meja tersebut terdorong oleh Ian yang tak bisa lolos satu kali pun dari serangan seseorang yang tak dia kenali itu. Wajahnya babak belur. Seluruh tubuhnya sakit akibat terbentur dengan benda-benda di sekitarnya.

Pikiran Ian langsung ke mana-mana setiap kali mendapatkan serangan. Apakah ini akhir dari hidupnya? Siapa siswa yang memukulinya itu? Tak mungkin siswa D'Graham yang mengajarnya tiba-tiba. Darimana dia mendapatkan celana milik siswa D'Graham jika memang dia berasal dari STARA?

Ian tak bisa menerima apa yang terjadi padanya. Apa salahnya? Dia bahkan tak mengenal sosok itu. Ian lalu mengingat Aneta. Jika itu karena dia telah mengganggu Aneta yang merupakan siswi dari STARA, maka semua yang dia dapatkan ini masuk akal. Sudah menjadi hal biasa ketika ada yang diganggu oleh murid dari sekolah lain, maka pengganggu itu akan mendapatkan pembalasan berkali-kali lipat bahkan tawuran pun tak dapat dihindari.

Namun, Ian tak menyangka satu sosok itu akan membuatnya jadi tak berdaya. Baru kali ini dia dilempar bagaikan benda mati. Dia tak bisa membalik waktu. Membuat sekolah terlibat dalam masalah mereka hanya akan membuat dirinyalah yang rugi. Sekolah tak akan percaya padanya sekalipun dia melakukan playing victim.

Satu-satunya hal yang membuatnya jadi bersemangat adalah pembalasan dendam. Suatu saat dia akan mencari sosok di depannya itu dan menghancurkannya bagaimana pun caranya.

Namun, semua pemikiran itu harus dia tarik kembali. Dia tak bisa melakukan apa pun sekalipun itu berlari ke pintu kelas. Pakainnya ditarik, dipaksa terbuka, membuat harga dirinya tercabik-cabik. Momen seperti ini yang sempat dia bayangkan untuk dia lakukan kepada Aneta dengan pemikiran hanya untuk bersenang-senang, tetapi semua berbalik kepada dirinya sendiri.

Dia tak mampu bicara untuk mengeluarkan berbagai umpatan akibat rasa sakit yang diterimanya dari pukulan bertubi-tubi dari monster di depannya itu. Bibirnya sebagian kebas, sebagian sakit, bengkak, dan berdarah. Sebelah matanya mulai merasakan hal yang sama.

Semua terlalu sakit hingga membuatnya semakin tak bisa menggerakkan tubuh. Dirinya hanya pasrah ketika melihat siswa itu dengan sebelah matanya yang menyipit karena terkena pukulan. Satu matanya yang lain telah menutup dan lebam.

Kini dia terbaring tak berdaya di atas lantai yang dingin dan hanya mengenakan celana dalam. Ketika dilihatnya cahaya yang berasal dari blitz kamera ponsel, dia langsung menghalau wajahnya dengan tangan.

Semua yang ingin dia lakukan kepada Aneta untuk mengancam, kini berbalik kepada dirinya sendiri dengan cara yang mengenaskan.

Dia benar-benar dipermalukan.

"Tugas lo adalah mastiin semua temen lo untuk nggak buat onar lagi dengan murid STARA yang terlibat hari ini."

Telinga Ian berdenging. Rasanya telinganya juga ikut terluka. Dia hanya mampu mengangguk perlahan.

"Inget baik-baik, oke? Gue masih terlalu baik karena nggak buat lo telanjang bulat sebelum gue foto. Kalau kalian nyelekain salah satu dari mereka, foto lo bakalan terpampang di internet dengan tulisan penjahat kelamin. Bukan gue yang akan sebarin, tapi lo sendiri."

Ian terdiam kaku. Apa maksudnya?

Ian mendapatkan garis besarnya. Dia membayangkan bagaimana siswa STARA itu mendatanginya dan memaksanya untuk mengunggah fotonya sendiri ke internet, lalu setelah itu dia akan kembali dipukuli. Dibuat babak belur dua kali lipat lebih parah daripada yang dirasakannya sekarang.

Dia sudah merasakan apa itu ketakutan akan kematian dan Ian tak mau merasakannya untuk yang kedua kalinya.

***

"Yang di sana belum."

Aneta tak begitu memperhatikan perkataan Elon. Dia fokus melihat tangannya dan tangan Elon yang berpegangan. Rasanya canggung. Juga terasa aneh. Tubuhnya terasa kaku saat dia berlari di situasi sekarang.

Aneta mencoba untuk mengalihkan perhatiannya walau hatinya sedang tak keruan sekarang. Lari mereka menjadi pelan ketika Elon melihat ke dalam kelas lewat jendela.

"Itu Geisha!" seru Elon, lalu dia menarik Aneta memasuki kelas itu dan keduanya langsung terkejut melihat dua siswa D'Graham yang tergeletak di lantai begitu saja.

Geisha berdiri dari bangkunya. Kedua tangannya bergerak gelisah di depan dada sembari matanya melirik ke dua siswa D'Graham tersebut, lalu Geisha menunduk dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan sambil menangis.

Aneta melepaskan genggaman tangannya di tangan Elon, lalu mendekati Geisha untuk menenangkannya. Aneta mengangkat tangannya karena berniat untuk mengusap bahu Geisha, tetapi dia terlalu canggung. Mereka tak begitu dekat. Aneta juga tak tahu apakah Geisha nyaman dengan kontak fisik dari orang asing karena Aneta sendiri tak terbiasa dengan kontak fisik. Namun, Aneta akhirnya menarik Geisha ke pelukan kakunya dan menepuk-nepuk punggung teman kelasnya itu dengan ragu-ragu.

"Sekarang ada gue dan Elon di dekat lo...," kata Aneta dengan suara pelan. Dia tak tahu apa yang telah Geisha alami, tetapi pasti itu sangat membuat Geisha trauma.

"Ngomong-ngomong, ada yang datang nolongin lo, ya?" tanya Elon saat menoleh kepada Geisha. Cewek itu mengangguk dengan perlahan.

Entah siapa yang membuat dua siswa D'Graham ini pingsan, tetapi bukan hal penting untuk menanyakan hal itu kepada Geisha yang masih terkejut dengan apa yang terjadi padanya. Elon mengajukan pertanyaan itu secara tiba-tiba karena terkejut melihat jari salah satu siswa D'Graham itu yang bentuknya aneh. Setelah dia memperhatikan bahkan sedikit menyentuh jari siswa itu, ternyata satu jarinya telah patah. Elon lalu memastikan napas kedua siswa tersebut dan dia bersyukur keduanya memang hanya pingsan.

Siapa yang sesadis ini? Malvin...? Jangan-jangan sebelum datang menemui Ian? Dia juga sempat membuat siswa di belakang sekolah pingsan. Atau ... jangan-jangan Erfan?

Elon terlalu banyak berpikir sampai dia tak sadar waktu terus berjalan. Suara berisik dari lantai 2 membuatnya menoleh untuk melihat ke jendela, lalu suara geraman kecil membuatnya kembali menatap dua siswa tersebut. Salah satu dari mereka bergerak. Elon berdiri, lalu menatap Geisha dan Aneta. Dia mendekatkan telunjuknya ke bibir. Tangannya mengarah ke pintu kelas, menyuruh mereka untuk segera keluar.

Mereka melangkah hati-hati keluar dari kelas itu. Aneta dan Geisha berjalan di depan dan tanpa sadar berpegangan tangan. Keduanya berlari kecil untuk sampai di gerbang sekolah D'Graham.

Sementara itu Elon sibuk menghubungi Key dan yang lainnya. "Lo di mana?"

"Sembunyi di salah satu kelas," jawab Key. "Gue bareng Rangga dan Mulyo di sini. Gila, tadi kami dikejar-kejar kayak dikejar orang gila. Lo di mana? Masih nyari Aneta?"

"Udah ketemu. Ada Geisha juga."

"Heh? Geisha?"

"Nanti gue jelasin. Lo keluar lewat gerbang cepet. Mumpung di area ini enggak ada siapa-siapa."

"Gerbang. Wah, kayaknya deket sini. Eh, eh. Itu kalian. Ini gue yang di jendela!"

Elon tiba di dekat gerbang, lalu melihat rentetan bangunan. Dilihatnya Key yang melambai-lambai dari dalam sana. "Cepetan ke sini! Sebelum ketahuan lo," kata Elon, lalu

Elon lalu mengakhiri panggilan teleponnya, lalu memandang Aneta dan Geisha yang berdiri di trotoar. Dia tak mau ke sana dan mengganggu pembicaraan mereka. Elon memilih untuk tetap menunggu Key dan yang lain.

Aneta dan Geisha saling pandang. Tanpa ada yang berniat membuka percakapan.

"Soal hari ini...," kata Geisha akhirnya meski dengan suara yang sangat pelan, seperti bisikan. "Lebih baik jadi rahasia kita yang bersangkutan aja. Alona atau pun Dania nggak usah tahu. Gue ... nggak mau mereka khawatir."

Aneta mengangguk. Dia bukannya tidak ingin berbagi cerita kepada Dania dan Alona, tetapi Aneta ragu berbagi cerita mengingat bagaimana sifat dua temannya itu. Aneta pikir, Geisha memiliki pemikirannya yang sama dengannya, yaitu ingin kejadian hari ini terkubur.

"Lo pulang bareng Elon, kan?" tanya Geisha. "Kalau gitu gue juga harus pulang."

"Maaf," kata Aneta, membuat Geisha mengurungkan niatnya untuk segera melangkah. "Gara-gara gue lo jadi terlibat dalam masalah ini."

Geisha menggeleng kencang. "Jangan salahin diri lo. Gue yang harus minta maaf karena ... nggak bisa ngatasin situasi kayak gini." Geisha melambai sambil berbalik. "Sampai ketemu besok...."

Lidah Aneta kelu. Tangannya terangkat. Dia ingin berteriak menghentikan Geisha dan mengajaknya pulang bersama, tetapi langkah Geisha terlalu cepat dan buru-buru. Aneta menurunkan tangannya dan hanya bisa memandang Geisha.

Semuanya akan baik-baik saja, kan?

"Geisha mana?!" Rangga berhenti setelah berlomba lari dengan Key dan Mulyo. Tatapannya tertuju kepada siswi berseragam STARA yang dipandangi. "Ah..., dah pergi."

"Wah, anak-anak D'Graham parah banget!" seru Key.

"Kalian ikutin Geisha. Pastiin dia sampai naik kendaraan dengan aman," kata Elon.

"Kalau gitu kita permisi." Key memiting leher Mulyo dan Rangga. Ditatapnya Aneta dan Elon. "Kalian juga jauh-jauh dari sini. Nanti ketangkep lagi," katanya, lalu berlari sambil membawa Mulyo dan Rangga yang tersiksa di tangannya.

"Mereka juga ... datang?" Aneta menoleh kepada Elon dan cowok itu mengangguk.

"Ya, ada dua senior juga yang ikut ngebantu banget," balas Elon sembari tersenyum tipis.

"MAKASIH DAN MAAF UDAH NGEREPOTIN KALIAN!" teriak Aneta. Dia telah berusaha mengeluarkan keberaniannya karena mengetahui Key dan yang lain juga ikut membantu. Kedua kelopak matanya sampai terpejam kuat-kuat karena usahanya untuk berani bicara. Aneta merasa hatinya menghangat ketika ketiga teman kelasnya itu berbalik dan mengucapkan kata-kata yang sama.

"SAMA-SAMA, ANETA!"

Kedua tangan Aneta yang terkepal di depan dada kini dia turunkan. Matanya berkaca-kaca karena sedih dan haru. Waktu yang terlewati hari ini terasa panjang.

"Ayo." Elon memasukkan jemarinya di ruas-ruas jemari Aneta, membuat Aneta jadi tertegun karena merasakan jantungnya kembali berdegup kencang.

Elon melangkah ke depan, lalu berjalan mundur tanpa melepaskan genggamannya di tangan Aneta. "Kita cari tempat yang aman. Ayo."

***


 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro