Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20

by svrinai

part of zhkansas

...

Key menyatukan kedua tangannya dan memandangi Malvin dengan mata yang berbinar-binar. Dia langsung paham mengapa siswa pertama dihajar habis-habisan sementara yang satu lagi dibuat langsung pingsan. Itu karena siswa pertama tadi telah mengatakan sesuatu yang kotor dari mulutnya.

Key langsung mengernyit karena sejak tadi dia bertanya-tanya dalam hati, mengapa Malvin dan Elon tampak akrab?

"Kenapa nggak lo buat dia pingsan juga?" tanya Erfan pada siswa yang ritsleting celananya sedang dibuka oleh Malvin.

"Habis gue pukulin, kan. Nanti dia malah mati," balas Malvin. Siswa di hadapannya itu berteriak tak jelas sembari memandangnya dengan emosi. Malvin berhasil menarik celana siswa itu hingga tersisa hanya boxer yang melindungi tubuh bagian bawahnya. Siswa itu berteriak tak jelas karena mulutnya tersumpal.

"Astaga. Lo nggak gue apa-apain. Nanti gue balikin," balas Malvin sambil mengganti celana sekolahnya dengan celana SMA Cendei D'Graham. Dia tak mengambil baju siswa itu karena terdapat bekas darah. Alhasil, Malvin hanya menggunakan kaos hitamnya sendiri sebagai atasan. Dia melempar seragam sekolahnya itu ke atas pohon.

"Mati?" Erfan menatap Malvin setelah beberapa saat melamun. "Lo belajar dari pengalaman? Lo pernah buat orang lain mati, ya?"

"Iya, kenapa? Lo mau jadi yang kedua?" Malvin sibuk menarik celana siswa yang sedang pingsan. Dia melempar celana itu kepada Erfan. "Pakai."

Erfan mengangkat celana itu dan memandangnya dengan jijik. "Gue ... pake ini?"

"Ya." Pandangan Malvin beralih kepada Elon yang sedang tak tenang. "Gue tahu lo nggak tenang, tapi jangan melangkah sendiri. Kita nggak tahu ada berapa orang yang menunggu di dalam sana."

Elon menghela napas panjang. Dia menarik kata-katanya kembali tentang bangunan sekolah ini yang menguntungkan mereka. Justru ini merugikan Elon. Dia akan sulit mencari Aneta.

"Kalian berempat tunggu di sini." Malvin mengutak-atik ponselnya, lalu ponsel Elon bergetar. "Terima. Jangan pernah matiin. Gue dan Erfan bakalan kasih tahu kelas mana aja yang kosong."

Elon menerima panggilan itu dan langsung menyalakan pengeras suara.

"Kalian berempat tunggu di sini dulu. Gue bareng Erfan mau lihat situasi." Malvin mulai pergi.

"Heh, bngst. Emang lo siapa berani ngatur-ngatur gue?" tanya Erfan.

"Dari tadi lo banyak bacot, tapi tetap ngikut juga, kan."

"Sialan." Erfan tak bisa mengelak. Dia juga tak mau pergi begitu saja dari hal menyenangkan ini. Belakangan ini hidupnya terasa membosankan sehingga dia butuh penyegaran dan pengalaman baru.

Mereka terkadang menyebar untuk mengecek kelas, lalu kembali bertemu di tempat awal agar Erfan bisa memberitahukan kelas mana saja yang sudah dia cek. Malvin memberitahukan Elon lewat panggilan telepon yang tak pernah putus.

Keduanya telah mengecek semua bangunan-bangunan di bagian Utara dan hanya menemukan kelas-kelas yang kosong. Kemudian mereka menyusuri bangunan di Timur. Erfan memeriksa kelas di lantai 1 sementara Malvin menaiki tangga untuk mengecek kelas-kelas yang ada di lantai 2.

Malvin memeriksa kelas demi kelas yang ada. Sebuah kelas yang baru saja dia buka ternyata diisi oleh beberapa siswa yang sedang bersantai. Beberapa di antaranya bahkan sedang tidur. Beberapa dari mereka yang sedang menikmati rokoknya menatap Malvin sambil mengernyit.

Malvin mengamati penjuru kelas dan mengambil kesimpulan bahwa kelas ini lah tempat di mana para siswa D'Graham berkumpul.

Salah satu dari mereka mencelutuk. "Kayak nggak asing."

"Iya, lah. Dia anak D'Graham."

"Maksud gue bukan anak D'Graham juga." Siswa itu mengernyit dan langsung turun dari meja yang dia duduki. "Sial. Gue inget. Dia mirip anak STARA yang itu!"

"Udah gue duga bakalan ada yang kayak gini," kata Malvin ketika dia menoleh untuk menatap Erfan yang baru saja datang menghampirinya. "Di sini terlalu banyak sih. Nyaris sekelas."

"Deretan kelas XI di bagian Timur lantai 1 semuanya kosong," kata Erfan, lalu dia terkejut melihat banyaknya siswa D'Graham di dalam sana.

"Denger nggak? Kelas XI lantai 1 kosong." Malvin menarik pintu kelas itu dan menutupnya dari dalam setelah Erfan juga ikut masuk untuk bersiap-siap menghadapi banyaknya siswa D'Graham yang lebih dulu mengangkat bendera perang.

"Haha, kalian terlalu percaya diri, ya?" tanya seorang siswa D'Graham yang mulai maju.

Malvin mengakhiri panggilan teleponnya dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. "Lebih baik lo jawab pertanyaan gue secepatnya. Di mana posisi Ian sekarang?"

***

"Bukannya ini pertanda buruk?" tanya Key.

Elon menatap layar ponselnya dalam diam.

Mulyo menendang pelan kaki siswa D'Graham yang masih pingsan itu. "Hei, hei. Senior tadi nggak bikin orang mati, kan?"

"Masih napas nggak?" tanya Rangga, lalu ikut menendang kaki siswa D'Graham tersebut. Sementara siswa yang satunya masih terikat di dinding tanpa melakukan apa pun karena lelah berteriak dan berontak. Dia telah pasrah di hadapan para siswa kelas X STARA.

"Eh, ngomong-ngomong kenapa dia ngelarang lo buat mukul, ya? Seolah gamau lo terluka. Emangnya kalian punya hubungan gitu? Sepupu, ya? Dilihat-lihat emang lo ada miripnya sih, tapi dari segi mana, ya? Ah, miripan gue nggak sih sama dia?" tanya Key.

"Nggak tahu," balas Elon dengan suara pelan. Elon lalu berdiri dan memandang ketiga temannya yang menunggu jawabannya, tetapi bukan pertanyaan Key yang ingin Elon jawab sekarang. "Gue nggak bisa diem aja dan nunggu kayak orang bego di sini."

"Gue ikut!" seru Key dengan semangat.

Rangga menatap Elon. "Memangnya lo ada rencana. Saran dari kakak kelas tadi kan supaya lo nggak kena pukul. Kayaknya dia khawatir sama lo? Ada benernya juga sih soalnya kan lo belum pernah berantem. Kalau lo berantem, ini kali pertamanya lo berantem. "

Rangga benar bahwa Elon belum pernah bertengkar. Meskipun dia latihan di markas, dia tidak akan mungkin mengatakan kepada siswa D'Graham yang mengajaknya berkelahi untuk tidak melukai wajahnya.

"Terus, dengan diem doang di sini itu akan nyelesaiin masalah?" tanya Elon.

Rangga menggaruk kepalanya. "Ya, sih...."

"Kita bisa cari Aneta tanpa harus berantem, kan?"

"Caranya?"

"Hindari pertengkaran. Lari dan sembunyi kalau ada anak D'Graham yang ngejar. Kalau situasi udah baik, lanjut cari Aneta." Elon mulai melangkah. "Kalau kalian setuju, ikut gue."

Ketiga temannya langsung mengekorinya. Elon memimpin langkah dan mulai mengamati lorong yang sepi ketika mereka memasuki area bangunan. Dia pergi ke bangunan yang belum dicek oleh Malvin dan Erfan.

Elon berharap dia akan terhindar dari siswa D'Graham dan bisa menemukan Aneta secepatnya, tetapi seorang siswa D'Graham muncul di dari belokan koridor dan langsung berhenti ketika melihat Elon dan lainnya. Dua detik kemudian dia langsung berlari mengejar Elon karena mengenalnya.

Elon sudah berlari lebih dulu bahkan sebelum siswa itu mengejarnya. Rangga dan Mulyo melakukan hal yang sama, tetapi tidak dengan Key karena dia menahan siswa D'Graham tersebut.

"Kalian duluan aja!" seru Key sembari berteriak kepada teman-temannya yang berhenti karena Key yang tak ikut lari. "Orang ini agak susah ditahan!"

"Kita nggak punya pilihan lain," kata Rangga, lalu berlari lebih dulu. "Ide Key bagus juga. Kalau kita ketemu anak D'Graham lagi, biar gue dan Mulyo yang ngalangin. Lo lanjut cari Aneta. Kami bakalan nyusul. Gue bakalan nelepon."

"Oke...," balas Elon. Sejujurnya, dia memiliki ide lain bagaimana agar Aneta lebih cepat ditemukan, yaitu menyerahkan diri kepada siswa-siswa D'Graham karena bagaimana pun dirinya lah yang dicari oleh mereka. Akan tetapi, konsekuensi dari ide tersebut yang tak bisa Elon atasi nantinya.

Elon, Rangga, dan Mulyo tak lagi berlari dan kembali mengecek kelas satu per satu dengan cara melihat ke jendela. Namun, di tengah aktivitas mereka itu ada dua orang siswa D'Graham yang muncul.

"Ini kan udah jam segini, ya? Tapi kenapa ada aja sih yang nongkrong di sekolah?" tanya Mulyo heran.

"Apalagi? Mereka nunggu gue," balas Elon.

"Apa?"

"Bukan waktunya jelasin semuanya. Cepat cari tempat sembunyi." Elon mulai mencari arah baru untuk berlari.

"Gue bakalan halangin dia dan lo tetep cari Aneta!" seru Rangga, bersiap-siap maju.

"Mereka ada dua. Lo nggak bisa sendiri," kata Mulyo. Dia menatap Elon. "Kami bakalan nyusul."

"Oke." Elon mengambil langkah cepat dan menyusuri bagian belakang bangunan kelas yang sudah dia cek sebelumnya. Dari suara yang dia dengar, Elon sadar baik Rangga maupun Mulyo sedang kesusahan menghalangi dua siswa D'Graham itu.

Elon menoleh dan dilihatnya dua siswa D'Graham yang tadi dihadang oleh Rangga dan Mulyo. Elon berbelok, lalu bersembunyi di antara dua bangunan yang merupakan celah kecil. Diliriknya sebuah raket rusak, lalu dia ambil dan dia pastikan pegangannya masih kokoh. Bagian yang rusak hanyalah benang raketnya.

Elon berdiri dan menyandarkan lengannya dengan rapat di dinding. Dia tak bisa terus sembunyi seperti ini dan memanfaatkan apa yang ada di tangannya sekarang. Suara sepatu dari dua siswa itu semakin dekat. Ketika memastikan mereka hampir melewatinya, Elon langsung keluar dari tempat persembunyian dan memukul wajah mereka dengan bagian benang-benang raket yang rusak itu secara bergantian. Keduanya linglung dan sama-sama memegang hidung mereka.

"Sialan lo! Ah, anj*ng!" Salah satu dari mereka mimisan.

"Kalian terlalu semangat ngejarnya. Gue jadi nggak punya pilihan lain," kata Elon, lalu kembali berlari.

"AWAS ELON!"

Teriakan dari Mulyo membuat Elon menoleh dan salah satu dari siswa D'Graham itu ingin menerjangnya. Elon mengangkat kakinya dan mendaratkan tendangan di pipi siswa itu dengan gerakan refleks. Dia sendiri terkejut. Dan semakin terkejut ketika siswa yang dia tendang itu kini tergeletak di lantai koridor karena pingsan.

"Ah...." Elon berdiri dengan kaku menatap siswa itu. "Nggak sengaja."

"Gila?" tanya Mulyo dengan suara pelan. Dia terkejut dengan kejadian barusan.

"Le—lehernya nggak ... patah, kan?" bisik Rangga, shock.

"Pastiin dia masih napas!" Elon kembali berlari untuk lanjut mencari Aneta.

Suara berisik dari lantai 2 bangunan Timur membuat Mulyo dan Rangga teralihkan sejenak dari dua siswa di dekatnya.

Mulyo berdecak. "Kayaknya dua senior kita lagi dibantai habis-habisan."

"Ho'oh," balas Rangga. "Mana mungkin bisa benang lawan banyak orang sementara mereka cuma berdua."

***

Brutal.

Tak ada kata lain selain satu kata itu yang menggambarkan seorang Malvino Adcena di kandang lawan.

Bahkan Erfan yang tadinya menjadi partner Malvin, kini memutuskan untuk berada di luar kelas dan mengunci pintu dari luar agar tak ada yang bisa kabur dari Malvin. Dia tak masalah menjadi penjaga pintu "neraka" itu. Justru dia menikmati suara keributan di dalam sana. Erfan keluar dari kelas itu tanpa mendapatkan luka dari lawan. Hanya buku jemarinya yang terluka karena memukul beberapa siswa D'Graham.

Di dalam sana, Malvin berdiri memegang sebuah kursi kelas dengan entengnya. Tak ada sedikit pun luka di wajahnya bahkan bagian tubuhnya yang lain. Tangannya yang memegang kursi telah dia lilit dengan sebuah kain sehingga tak ada lecet akibat memegang kursi kayu yang berat.

Sementara siswa-siswa D'Graham yang dia hadapi tak ada yang tak terluka di bagian wajah. Beberapa di antara mereka terluka di bagian jidat. Ada juga yang pipinya lebam karena bekas pukulan Erfan. Bahkan salah satu dari mereka hidungnya patah.

Selain wajah, tubuh bagian lain mereka juga terluka. Lengan, pundak, kaki, tangan, punggung. Masing-masing memiliki setidaknya satu anggota tubuh yang terkena hantaman kursi dari Malvin. Mereka pun sadar bahwa Malvin tidak mengeluarkan semua tenaga maksimalnya saat mengayunkan kursi untuk mereka.

Wajar saja. Jika Malvin menggunakan tenaga maksimalnya untuk mengayunkan kursi itu, maka siswa-siswa D'Graham tersebut bisa-bisa terluka parah.

"Gue kan udah ngomong baik-baik. Padahal kalian tinggal jawab di mana anak yang namanya Ian. Kalian malah lebih milih buat berantem," kata Malvin sambil bergerak maju, membuat beberapa dari siswa D'Graham langsung mundur.

Mereka sempat mencoba melakukan hal yang sama dengan apa yang Malvin lakukan, yaitu menggunakan kursi sebagai alat untuk melawan. Akan tetapi, semua tak sesuai harapan mereka karena kursi itu terlalu berat. Bahkan ada yang bekerjasama mengangkat satu kursi untuk melemparkannya kepada Malvin. Namun, semua gagal.

Orang gila. Mereka jadi sadar bahwa sosok yang mereka hadapi adalah orang gila.

"Dasar pecundang! Bajingan lo! Beraninya cuma pakai alat, doang!" seru salah satu siswa D'Graham.

"Lo pikir gue nggak mau pakai tangan kosong?" tanya Malvin sambil mengangkat kursi itu ke atas meja hingga membuat yang lain terkejut. "Sekali lagi gue tanya, di mana Ian?"

Tak ada suara. Sebagian dari mereka menunduk, tak mau menjawab.

"Gue hitung sampai tiga. Kalau nggak ada yang balas, salah satu dari kalian bakalan gue siksa. Satu ..., dua..., ti...."

"Sial! Apa susahnya sih tinggal ngasih tahu doang!" seru seseorang. Dia menatap Malvin dengan tegas. Sementara siswa-siswa D'Graham lain menatapnya sambil melotot kesal.

"Jadi, di mana?" tanya Malvin.

***

Aneta beruntung. Ponsel Ian yang berdering membuat cowok itu memutuskan untuk menjauh dari Aneta untuk menerima panggilan telepon yang penting. Aneta tak menyangka cukup lama Ian bicara dengan seseorang lewat telepon itu. Ketika Ian fokus bicara dengan lawan bicaranya itu, Aneta berusaha sebisa mungkin untuk lepas dari ikatan tali itu.

Sayangnya, Ian mengikat kedua tangan Aneta di kaki sebelum fokus dengan ponselnya. Ikatan tali Ian di kaki meja itu juga sangat erat, membuat Aneta tak bisa menggerakkan ikatan tali itu ke bagian bawah.

Dia tak berhasil sedikit pun. Semua usahanya sia-sia dan hanya membuatnya lelah karena mengeluarkan tenaga yang berlebihan. Untungnya dia terikat dengan posisi duduk di lantai, membuatnya jauh lebih bisa bergerak dibanding hanya duduk di kursi. Meski begitu, tetap saja tangannya yang terikat di belakang terasa pegal.

Aneta menjadi lebih diam ketika Ian selesai bicara. Cowok itu mendekat, membuat Aneta semakin takut.

"Ck, apaan, sih? Berisik!" seru Ian sembari mengarahkan pandangannya ke jendela kelas, tepatnya mengarah ke sumber suara yang mengganggu dari bangunan lantai 2 di bagian Timur sekolah.

"Lupain soal mereka." Ian berjongkok di hadapan Aneta dan membuka aplikasi kameranya. "Lanjut yang tadi," katanya dengan senyum miring.

Aneta menunduk, tetapi kemudian dagunya diangkat dengan paksa.

"Siapa yang nyuruh lo nunduk?" Ian mengernyit. "Siapa, huh?"

Aneta tak mau bicara. Dia tak mau ketika dia bicara, kata-kata yang keluar dari mulutnya justru akan memancing emosi Ian dan bisa saja Aneta akan semakin celaka.

"Jangan bergerak!" seru Ian, penuh dengan penekanan. Dia menjauhkan ponselnya yang akan memotret dirinya dengan Aneta. Ian memiringkan kepala dan semakin mendekat, membuat Aneta memalingkan wajahnya dengan refleks. "Sial. Gue bilang jangan ber—ARGH SIALAN!"

Ian mundur, lalu dia meringkuk di lantai sambil memegang selangkangannya dan terus-terusan berteriak.

Aneta meneguk ludah. Dia refleks menendang titik sensitif Ian karena wajah cowok itu terlalu dekat. Aneta terus berusaha menggerakkan ikatan tali di kaki meja itu agar mengendur, membuat pergelangan tangannya menjadi panas karena gesekan.

Sia-sia. Tak akan berhasil. Simpul yang Ian gunakan terlalu kuat. Sementara cowok yang sudah dia tendang masa depannya itu kini terduduk, menatapnya dengan penuh amarah.

"Pilihan salah kalau lo cari gara-gara sama gue!" kata Ian, membuat Aneta tak bisa lagi berpikir dengan baik. Tanpa dia sadari air matanya sudah luruh ke pipi dan tentunya Ian tak akan peduli itu. Cowok itu sudah dilingkupi kemarahan yang mendalam.

"PILIHAN SALAH KALAU LO CARI GARA-GARA SAMA GUE!"

BRAK

Pintu kelas itu baru saja ditendang dari luar, membuat Aneta terkejut. Ian kebingungan bercampur marah ketika melihat ke arah pintu.

"Ck, nggak dikunci!" teriaknya, lalu beralih menatap Aneta. "Lo bakalan mampus nggak cuma di tangan gue sekarang." Dia kembali menatap pintu. "Kalian berdua cepetan masuk b*ngs*t! Kenapa lama?!" teriak Ian kesetanan. Pikirannya sudah tak keruan karena rasa sakit akibat tendangan Aneta.

Pintu kelas terbuka.

Elon masuk menenteng sebuah raket dan langsung memukul wajah Ian bagaikan shuttlecock.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro