19
by svrinai
part of zhkansas
...
Ian keluar dari ruang kelas itu beberapa menit lalu dan membuat Aneta bisa bergerak bebas sekarang. Aneta menggerakkan kedua tangannya yang terikat di belakang dan terikat juga dengan kursi. Ikatan itu adalah simpul mati. Pergelangan tangannya memerah karena berusaha untuk melepas tali itu. Meski kedua kakinya tak ikut diikat oleh Ian, tetapi dia tak bisa mengangkat kursi yang dia duduki sekarang karena merupakan kursi guru yang jauh lebih berat daripada kursi para murid.
Aneta menatap ponselnya di atas tas miliknya sembari berusaha menggeser kursi. Cara Ian mengaitkan kursi dan ikatan di tangan Aneta membuat Aneta kesusahan untuk menggeser posisinya. Pergelangan tangannya semakin sakit sementara lokasi ponselnya masih cukup jauh.
Dia tak melakukan apa-apa lagi ketika mendengar keributan di luar kelas. Ian memasuki kelas itu bersama dengan dua temannya. Aneta ingat siapa yang datang bersama Ian saat ini. Dua orang yang membawa Geisha.
Ian duduk di meja, lalu dia mengamati Aneta dan sekitarnya. "Lo lagi berusaha kabur, ya? Gue kan udah bilang nggak bisa."
"Temen gue di mana?" tanya Aneta pada kedua teman Ian. "Bawa dia ke sini."
"Eng—nggak—bi—sa," kata salah satu dari mereka.
"Dia di ruangan lain," sahut Ian. "Tenang aja. Dia nggak akan diapa-apain, kok. Dari tadi dia juga nanya-nanya tentang lo."
"Terus mau kalian apa, sih?" Aneta menghela napas panjang. "Nggak mungkin temen gue punya masalah sama kalian, kan? Tolong lepasin dia. Dia nggak ada urusannya dengan ini."
"Supaya dia bisa cari pertolongan di luar sana dan nolongin lo. Gitu kan harapan lo?" tanya Ian, lalu tertawa. "Nanti gue lepasin. Tenang aja. Nanti lo juga gue lepasin, kok." Ian beralih menatap kedua temannya. "Kalian berdua keluar. Udah pada lihat, kan? Gue nggak salah bawa. Biarin gue berdua sama dia."
"Oke, gue juga pengin mainin anak tadi," kata siswa itu, lalu keluar dari kelas bersama temannya dan menutup pintu rapat-rapat.
"Kasih tahu temen-temen lo buat nggak macem-macem ke temen gue!" seru Aneta, kesal.
"Itu sih bukan urusan gue." Ian mengangkat bahunya. "Kayaknya lo punya jawaban sendiri alasan lo gue bawa ke sini?"
Aneta menunduk. "Kejadian waktu itu, kan? Ada hubungannya sama temen gue?"
"Temen...?" Ian mengernyit. "Bukan pacar, ya? Gue pikir cowok lo. Jadi, kayaknya gue lebih leluasa nih buat berbuat semaunya sama lo?"
Aneta menggigit bibir dalamnya.
"Setengah bener. Setengah enggak. Harusnya sekarang gue hubungi temen lo yang pernah ngerusuh di warnet itu karena temen-temen gue udah enggak sabar buat ngasih dia pelajaran, tapi karena gue bilang pengin bersenang-senang sama lo akhirnya mereka ngikut aja."
Aneta tak bisa berpikir jernih. Kepalanya terasa panas karena menahan emosi.
"Gue bakalan lepasin ikatannya," kata Ian sambil memutari kursi yang Aneta duduki, lalu dia membuka ikatan di pergelangan tangan Aneta dan juga ikatan di kursi. Setelah melepasnya, dia mengikat satu pergelangan tangan Aneta dan memaksa Aneta untuk berdiri.
Aneta dibawa ke dekat meja, lalu cowok itu mengikat tali itu di kaki meja agar Aneta tak bisa ke mana-mana. Meski hanya satu tangan Aneta yang terikat, tetapi Aneta tak bisa bebas menggunakan tanganya yang lain untuk membuka ikatan itu karena keberadaan Ian di dekatnya, tepat di depannya dan membuatnya tak bisa bergerak 1 sentimeter pun.
"Cuma kita berdua di sini. Lo nggak takut?" bisik Ian, tepat di samping telinga Aneta. "Lo gemetaran."
Aneta tak berani bergerak. Dia juga tak bisa mengatakan apa-apa. Dia baru bisa bernapas dengan baik ketika Ian akhirnya memberi jarak di antara mereka.
"Kira-kira cara apa yang bagus supaya kita bisa sering ketemu, ya?" Ian mengurung Aneta dengan menaruh kedua tangannya di atas meja. "Coba pikir.... Hm, foto...? Apa video aja?"
"Minggir nggak?" Akhirnya Aneta bisa bersuara meski dia tak bisa berkata tegas karena rasa takut.
Namun, Ian tak memedulikan ucapannya dan mengatakan sebuah pertanyaan yang membuat sekujur tubuh Aneta menegang.
"Gimana dengan satu foto ciuman kita berdua?"
***
Ketika Elon dan yang lain melihat keberadaan beberapa siswa D'Graham di dekat gerbang SMA Cendei D'Graham, mereka memutuskan untuk memasuki sekolah itu lewat belakang atas saran Malvin.
SMA Cendei D'Graham itu luas dan terdapat banyak gedung yang tidak disusun secara beraturan sehingga Elon merasa beruntung bisa memasuki sekolah itu dengan sembunyi-sembunyi.
Mereka tiba area luar belakang sekolah. Bagian atas tembok terdapat pecahan kaca dari botol kaca bekas yang menyatu dengan tembok itu. Malvin memanjat tembok itu dengan menaruh tangannya di antara pecahan-pecahan kaca dengan sehati-hati mungkin.
Apa yang dia lakukan itu membuat yang lain terpana, kecuali Erfan yang langsung berdecih. "Gue juga bisa."
Malvin berdiri di atas sana. Hanya setengah dari satu sepatunya yang menyentuh bagian atas tembok sementara sepatunya yang lain dia arahkan lurus ke bawah sehingga yang mengenai bagian atas tembok tersebut hanyalah bagian ujung sepatunya.
"Nggak ada orang, tapi kayaknya kedengeran suara sekitar sana." Malvin memandang Erfan. "Lo jadi pijakan yang lain. Gue bantu di bagian atas."
"Nggak mau, ah. Emang gue babu lo?" Erfan berdecak sebal sambil menepuk-nepuk pundaknya. "Cepetan! Siapa yang mau naik duluan?" lanjutnya dan dia masih terus bersungut-sungut dengan suara tak jelas.
"Naik?" tanya Mulyo. "Gi—gila? Harus naik?"
"Iya, lah! Lo pikir kita ngapain ke sini? Nonton?" tanya Key, sewot. Dia lalu menginjak pundak Erfan dan meraih tangan Malvin yang memegangnya dengan kuat. Ketika berhasil memosisikan dirinya seperti Malvin di atas sana, dia lalu menoleh kepada Mulyo dengan tampang songong. "Gue berhasil, nih!"
"Tapi tembok sekolah ini kayak lebih tinggi nggak, sih?" tanya Mulyo, memandang tembok SMA itu dengan penuh keraguan.
Elon bersiap-siap naik. Pandangannya tak sengaja bertemu dengan Malvin.
"Awas kaca," kata Malvin sembari menunduk, menatap Elon yang sedang bersiap-siap untuk menginjak pundak Erfan.
Kedua alis Elon nyaris menyatu. "Tau, kok...."
Aneh. Elon merasa kesal hanya karena pertanyaan Malvin dan bagaimana kakaknya itu memandangnya, membuatnya seolah-olah dipandang lemah.
Key turun lebih dulu. Ketika Elon berhasil tiba di bagian atas tembok, dia langsung melompat ke bagian dalam SMA Cendei D'Graham. Setelah itu, Rangga mendarat di sampingnya. Di balik tembok yang membatasi terdengar suara Mulyo dan Erfan yang bertengkar kecil.
Setelah beberapa menit terlewati, akhirnya Mulyo mendarat dengan kedua kaki yang lemas. Erfan berdiri di atas tembok sambil memandang Mulyo dengan tampang kesal menahan emosi. Dia dan Malvin lalu turun bersamaan. Malvin mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk berhenti. Dia berjalan tanpa menimbulkan suara untuk berbelok ke jalanan kecil yang merupakan celah antar gedung.
Elon berusaha untuk tetap berpikir logis. Meskipun sejak tadi hatinya tak bisa tenang. Rasa bersalah dan kekhawatirannya pada Aneta membuat pikiran dan juga hatinya menjadi kacau. Dia melihat ke belokan itu karena suara berisik dari percakapan beberapa orang. Malvin lalu muncul dan menyeret dua siswa D'Graham. Dari wajah kedua siswa itu, mereka baik-baik saja. Tidak kena pukul atau semacamnya.
Malvin mendorong dua siswa D'Graham yang memegang rokok itu ke dinding. "Gue udah bilang nggak bakalan ngapa-ngapain kalian kalau mau diajak kerjasama."
"Sial. Emang lo siapa? Lo pikir gue takut?" Salah satu dari mereka langsung berdiri dengan kesal, tetapi kemudian mengamati seragam Elon dan yang lain. Dia lalu menatap temannya yang masih duduk menikmati sisa rokoknya. "Mereka emang udah datang? Ian belum ngomong apa-apa?"
"Tahu, tuh. Katanya mau seneng-seneng dulu sama tuh cewek."
"Apa?" Elon langsung menghampiri siswa D'Graham yang baru saja bicara itu dan menarik kerah kemejanya. "Sial. Barusan lo ngomong apaan? Di mana temen gue?!"
"Ya kali kami mau langsung ngasih tahu?" tanya siswa itu dengan pandangan mengejek. "Dia di kelas ... di mana, ya? Kayaknya sekarang dia udah diperkosa?"
Elon menarik kencang kerah kemeja dan mengarahkan tinjunya ke wajah siswa itu, tetapi tinjunya tak berhasil mendarat di wajah siswa itu karena tangan Elon baru saja ditahan oleh Malvin.
"Jangan bikin tangan lo luka karena mukul orang."
Perkataan Malvin membuat Elon berdecak kesal dan melepaskan tangannya dari kerah kemeja siswa tersebut yang sedang tertawa sambil merokok.
"Lo nggak punya pengalaman berantem, kan? Lo memangnya bisa terima konsekuensinya kalau dia ngebales lo dan muka lo kena tonjok?" tanya Malvin.
"Sial," umpat Elon sambil berdiri. Kedua tangannya mengepal di sisi paha. Dia paham maksud Malvin mengatakan hal demikian, yaitu karena jika Elon terkena pukul di wajah atau tempat-tempat yang mudah terlihat maka papanya akan langsung tahu dan ... semua akan berakhir.
"Lo nggak boleh berantem. Gue peringatin," kata Malvin lagi. "Biar gue aja."
Key mengernyitkan dahinya. Di menatap Malvin, lalu beralih ke Elon. "Hah?"
"Mau ke mana lo?" tanya Erfan sambil menahan siswa yang diam-diam ingin kabur.
Malvin berjongkok di samping siswa yang sebelumnya ingin dipukul oleh Elon. "Jawab. Selama gue ngomong baik-baik. Di mana cewek yang lo maksud tadi?"
"Gue kan udah bilang. Nggak akan gue kasih—" Ucapannya terputus karena pukulan dari Malvin. "Anj—"
BUK
"Ber—"
BUK
"Breng—"
BUK
Semua yang melihat hanya bisa melongo dalam diam. Malvin tak membiarkan siswa D'Graham itu menyelesaikan ucapannya. Wajah siswa itu jadi babak belur sekarang.
"Masih nggak mau ngasih tahu?" tanya Malvin.
"Sial...." Siswa itu meludahkan salivanya yang bercampur dengan darah. "GUE NGGAK AKAN KASIH TAHU—!"
BUK
Satu pukulan lagi, lalu Malvin menariknya dan mendorongnya ke sebuah pohon. Malvin meminta tali kepada Rangga yang sudah disiapkan sebelumnya, lalu dia mengikat siswa itu di pohon dan tak lupa mengikat mulutnya.
"Sepertinya dia juga nggak mau ngomong apa-apa. Daritadi bibirnya nggak mau kebuka." Erfan mendorong siswa yang lain ke hadapan Malvin.
"Beneran?" tanya Malvin.
Siswa itu menutup bibirnya rapat-rapat dengan panik.
"Hah.... Sepertinya kalian lebih takut sama yang namanya Ian, ya? Gue jadi makin nggak sabar buat ketemu dia." Malvin memukul titik lemah siswa itu hingga pingsan.
"Kenapa nggak lo buat babak belur?" tanya Erfan. Padahal dia ingin menonton satu pertunjukan lagi.
"Entahlah?" Malvin menatap Elon yang terus-terusan memandang jalan yang berbelok. "Mungkin karena dia nggak ngomong macam-macam kayak yang satunya."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro