17
by svrinai
part of zhkansas
...
Selama Elon bicara, baik hati maupun pikiran Aneta semakin tak keruan. Dia terpaku, nyaris terbawa suasana. Andaikan dia tak ingat bahwa apa yang Elon lakukan hanya sebatas permainan, dia pasti langsung berlari dan keluar dari kelas itu karena perasaan malu karena sebuah pernyataan cinta yang nyata.
"Terima! Terima! Terima!" Seseorang berteriak, membuat yang lain ikut meneriakkan kata-kata yang sama sambil bertepuk tangan.
"Perasaan ... Elon nggak nembak. Cuma nyuruh Aneta nunggu Elon dewasa?" tanya Key, sejak tadi dia merasa janggal maka dari itu dia masih kebingungan. Dia menarik-narik satu helai janggutnya yang baru tumbuh. "Perasaan ada kalimat Elon yang beda dari yang gue arahin?"
"Masa?" tanya Mulyo, ikut berpikir keras. "Enggak, deh?"
"Tapi gue nggak yakin, ya? Kayaknya beda? Kayak ada yang beda, tapi apa, ya?" Key semakin berpikir keras."
"Udah, kan?" Elon kembali ke tempatnya dan duduk. Ekpresinya sama seperti sebelumnya. Seolah apa yang dia lakukan barusan tak membuatnya malu atau pun canggung kepada Aneta. "Botolnya manaaa?"
"Ayo, Net! Jangan bengong aja. Hihi." Alona cekikan sembari memeluk lengan Aneta dan mengajaknya untuk duduk di tempat semula.
Aneta berusaha menenangkan hatinya dan pikirannya yang sudah tidak fokus.
"Itu cuma permainan, Aneta!" Aneta menyeruakkan kalimat itu berkali-kali di dalam hatinya.
Akan tetapi, dia tak bisa melupakan kata-kata Elon dan terus memikirkannya mungkin ... sampai dia dewasa nanti.
***
"Serius? Lo nggak mau ikut?"
Aneta menggeleng kepada Dania yang baru saja bertanya padanya. "Iya, gue kan mau singgah ke ruang guru. Kalau gitu, gue duluan, ya?" Kemudian Aneta berlari keluar dari kelas itu menuju tempat tujuannya.
Dania melengos. Alona pun sama. Keduanya memasang ekspresi sedih, lalu menatap Geisha yang juga sedang bersiap untuk keluar dari kelas.
"Lo juga yakin nggak mau jalan-jalan gitu? Refreshing diri?" tanya Dania pada Geisha.
"Iya, gue ada urusan jadi mau langsung pergi," balas Geisha.
"Ya udah kalau gitu." Dania melambaikan tangannya. Satu tangannya yang lain menarik Alona keluar dari kelas.
"Barengan, yuk?" Ajak Alona pada Geisha. Cewek itu langsung menyusul. Mereka pun berjalan bersama.
Setelah Dania dan Alona pergi, Geisha melihat sekelilingnya yang masih cukup ramai. Para murid STARA sedang menunggu jemputan. Kendaraan-kendaraan yang digunakan para murid pun tak pernah putus dari gerbang.
Geisha memegang erat tali tas ranselnya dengan kedua tangan, lalu menoleh ke kiri. Dilihatnya dua siswa yang menggunakan seragam berbeda. Khas SMA Cendei D'Graham yang merupakan sekolah tetangga. Cowok-cowok itu menatapnya sembari tertawa.
"Udah gue perhatiin dari beberapa hari lalu, dia yang paling kelihatan kalem dan gampang dibodohi," kata salah satu dari siswa D'Graham itu.
Geisha masih bisa mendengarnya meskipun dua cowok itu berusaha untuk berbisik. Geisha langsung menunduk. Pegangan tangannya di tas semakin erat ketika kedua cowok itu melangkah hingga berhenti di dekat Geisha yang sendirian.
Cowok itu sengaja memosisikan dirinya tepat di samping Geisha. Posisi murid STARA lain tak cukup dekat dengan Geisha sehingga membuat dua siswa D'Graham itu leluasa dalam melancarkan aksi.
"Temen lo yang namanya Aneta ke mana?" tanya salah satu dari mereka.
Geisha hanya terdiam.
"Dia diem aja," kata yang lain. "Gue nggak salah pilih umpan, kan?"
"Lo makin bikin dia ketakutan, tuh. Haha." Siswa itu tersenyum semringah dan semakin yakin dengan dugaannya bahwa cewek di sampingnya sekarang hanyalah cewek polos mendekati bodoh. Tak sia-sia mereka menguntit ketiga teman Aneta untuk dimasukkan ke dalam rencana sebagai umpan. Dibanding dua cewek lainnya yang berisik dan bisa saja berteriak dalam kondisi terpojok, cewek di sampingnya itu lebih diam.
Dugaan kedua siswa D'Graham itu tentang Geisha sekarang adalah Geisha pasti sedang ketakutan dan tak bisa melakukan apa pun bahkan dengan berteriak sekalipun di tempat seramai ini.
"Lanjut aja?" tanya siswa itu kepada teman di sampingnya.
"Lanjut." Siswa yang ditanya segera menyodorkan ponselnya kepada Geisha. Layar tersebut menampilkan foto Aneta yang diambil dari jauh. "Lo kenal dia, kan? Baru aja dia diculik sama temen gue. Kalau lo mau temen lo selamat, ikut kami sekarang. Kalau lo nggak nurut, temen lo bakalan celaka."
***
"Terima kasih, Bu." Aneta menunduk pada guru yang ditemuinya. Setelah guru tersebut merespons ucapannya, Aneta pamit dan segera keluar dari ruangan itu.
Dia tiba di gerbang sekolah yang semakin sepi. Hanya ada beberapa murid yang sedang bercengkerama menunggu jemputan. Perhatiannya tertuju pada toko yang menjual roti di seberang jalan. Aneta melirik kendaraan sekitar untuk menyeberang, tetapi dia menahan langkahnya ketika seseorang yang pernah dia lihat sekali berdiri tepat di sampingnya sembari memegang bahunya pelan.
"Ada mobil," kata cowok itu.
Seketika mobil melewati jalanan di depan Aneta dengan kecepatan di atas rata-rata normal, membuat Aneta semakin terkejut. Beberapa siswa yang ada di sana berteriak karena saking kagetnya. Suara makian dari beberapa siswa terdengar samar-samar di telinga Aneta.
Aneta segera menyingkir dan menoleh saat merasakan sentuhan dari tangan yang besar itu masih ada di bahunya. Setelah memandangi wajah cowok itu dalam beberapa detik, Aneta kembali memalingkan wajahnya untuk menatap lurus ke toko di depan sana.
Benar. Dia tak salah ingat wajah cowok itu. Cowok D'Graham bernama Ian yang saat itu berada di dekat tempat persembunyian Aneta dan Elon.
Perasaan Aneta jadi tak enak. Dia khawatir kedatangannya di STARA untuk membalaskan dendam teman-temannya hari itu, meski bisa saja cowok bernama Ian itu datang ke STARA untuk mengunjungi pacarnya yang mungkin saja ada di sana.
Akan tetapi, mau dia sepositif apa pun dalam berpikir, kedatangan cowok di sampingnya ini mencurigakan. Aneta bisa merasakan cowok itu terus-terusan menatapnya sejak tadi.
Pandangan Elon yang menatapnya diam-diam dan cowok di sampingnya ini jelas berbeda.
Suasana hati Aneta jadi buruk dan tak ingin lagi menyeberang untuk membeli roti. Dia mundur selangkah, bersiap-siap untuk pergi. Ketika Aneta ingin lewat di belakang Ian, cowok itu langsung menghadang jalan Aneta dan membuat Aneta mau tak mau berhenti.
"Bahkan lo nggak bilang makasih?" tanya Ian sembari menaikkan alis.
"Ah, makasih," balas Aneta sambil menunduk kecil tanpa mau menatap cowok itu.
Ian memicing, lalu memiringkan kepalanya. Kemudian dia menunduk untuk menyejajarkan wajahnya dengan Aneta hingga cewek itu terkejut dan sontak mundur. Ian tertawa. "Sepertinya lo kenal gue? Dari tadi lo terlalu jaga jarak."
"Hah?" Aneta berpikir cepat maksud pertanyaan Ian. "Kenal? Justru karena gue nggak kenal makanya gue jaga jarak."
Mata Ian sedikit membulat karena terkejut dengan ucapan dari cewek di depannya itu. Ditambah lagi, ekspresi tak suka yang Aneta berikan padanya membuat harga dirinya jadi terluka. Padahal dia sudah menyiapkan rencana matang untuk mendekati Aneta dengan perlahan, tetapi dari respons cewek itu sudah tergambar jelas bahwa Aneta tahu dirinya dan melihatnya dengan jelas hari itu.
"Duluan, ya, Kak." Aneta segera pergi setelah menunduk pelan.
Bahu Ian terangkat karena tawa kecil. Meski sebelumnya Aneta agak kurang ajar karena intontasi bicaranya, tetapi kali ini cewek itu terdengar lebih sopan dan lembut. Ian berdiri tegak sembari menutup wajahnya, lalu dia menoleh untuk melihat Aneta yang berjalan dengan langkah lebar seolah sedang berusaha menjauh dan menghindarinya.
"Kak, boleh minta nomor Kakak nggak?"
Ian menoleh dan melihat dua cewek STARA menyodorkan ponsel. Cowok itu menaikkan alis tinggi-tinggi.
"Boleh." Diambilnya ponsel cewek itu, lalu dia mengetik nomor palsu. Dia mengembalikan ponsel cewek itu yang tak bisa menyembunyikan ekspresi senang di wajahnya.
Ian tersenyum kecil, lalu ketika berbalik senyumnya menghilang. Dia melangkah buru-buru untuk mengejar Aneta yang sudah semakin jauh. Hampir saja dia kehilangan jejak Aneta jika saja dia tak ingat bentuk tas selempang yang cewek itu pakai.
"Tunggu!" Ian berhasil menangkan pergelangan tangan Aneta, membuat cewek itu langsung berhenti dan terkejut.
"Lepas!" Aneta berusaha menarik tangannya.
"Jangan bertindak seolah-olah gue sedang berusaha nyulik lo!" seru Ian. "Atau lo mau temen lo yang bareng temen gue sekarang diapa-apain sama mereka?"
Aneta berhenti berontak karena terkejut mendengar perkataan Ian. "Te ... men?"
"Ya, temen lo ada tiga, kan? Nggak tahu, nih, temen gue nyulik yang mana." Ian menarik Aneta ke tempat yang aman untuk mengancam Aneta. Sementara Aneta mengikutinya dengan perasaan berkecamuk.
Ketika Ian berhenti di sebuah tempat umum di mana tak mungkin ada orang lain yang mendengarkan pembicaraan mereka, Aneta langsung menarik tangannya dari Ian.
Ian menatap Aneta sambil mendengkus, lalu dia menghubungi salah satu temannya yang segera diterima di seberang sana. "Rencana B. Umpan udah siap, kan?" tanya Ian, tak berhenti menatap Aneta walau sedetik pun. "Kirimin gue fotonya."
Aneta tak bisa bertindak tanpa tahu kebenaran dari ancaman cowok itu. Ian memperlihatkan sebuah foto yang diambil di dalam ruang kelas yang asing dan di dalam foto itu ada Geisha yang sedang duduk di sebuah bangku dengan ekspresi ketakutan.
"Ck." Tangan Aneta mengepal kuat. Ditatapnya Ian dengan pandangan heran. "Maksud lo apa? Kenapa temen gue ada di sana?"
"Kalau lo nggak yakin gue bakalan video call temen-temen gue."
Bukan itu jawaban yang Aneta inginkan. Aneta menghela napas ketika melihat senyum semringah dua siswa D'Graham yang terpampang di layar.
"Yan? Gue beneran nggak boleh apa-apain cewek ini? Tangan gue gatel dari tadi, nih."
Aneta kesal mendengarnya. Apa siswa-siswa D'Graham selalu semenjijikkan ini?
"Jangan." Ian melirik Aneta yang sedang menahan marah. "Lo nggak boleh nyentuh dia sebelum gue duluan yang nyentuh."
Aneta mencoba untuk mengambil ponselnya di dalam tas untuk segera menghubungi Elon karena Aneta tak begitu tahu mengenai SMA itu.
Ian mengulurkan tangannya ke arah tangan Aneta yang masuk ke dalam tas. "Pilihan lo cuma satu. Pegang tangan gue. Nggak boleh yang lain."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro