Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15

by svrinai

part of zhkansas

...

Hati Aneta menjadi tak keruan, tetapi Aneta masih punya pikiran positif tentang Elon. Lebih tepatnya sesuatu yang dia sebut pikiran positif adalah sebuah harapan. Elon pasti diperintah oleh seseorang yang lebih dewasa dan menurut hanya karena terpaksa.

Meski apa pun bisa terjadi di dunia ini—termasuk Elon yang membeli alat itu untuk dirinya sendiri—, tetapi Aneta lebih yakin bahwa tak mungkin Elon yang menggunakannya.

Ditatapnya sekitar untuk memastikan lagi keberadaan Elon, tetapi dia tak menemukan keberadaan cowok itu. Elon sudah pergi. Jeda waktu keluar dari minimarket di antara mereka memang cukup untuk membuat mereka tak bertemu.

Vina terus bicara di sepanjang dia mengemudi. Mobil yang dia lajukan cukup pelan, membuat mereka yang harusnya tiba di rumah lebih cepat kini menjadi lambat. Aneta tak bisa fokus sekarang, tetapi dia tetap berusaha untuk mendengarkan perkataan Vina. Baru kali ini kakaknya itu banyak bicara seolah mengeluarkan semua beban yang selama ini dia pendam.

"Gue males ngasih tahu ini, tapi gue nggak mungkin diem aja disaat gue tahu lo masih terlalu polos. Walaupun gue nggak tahu lo punya temen kayak gimana, tapi gimana kalau lo punya temen yang malah ngarahin lo ke hal yang negatif? Orang-orang kayak lo tuh gampang banget terpengaruh lingkungan. Nggak heran kan banyak orang yang tadinya nggak neko-neko, tiba-tiba berubah drastis karena salah pilih teman?"

Aneta melirik kakaknya yang semakin menggebu-gebu. Dia tak pernah tahu Vina punya teman yang buruk. Pikiran Aneta justru mengarah kepada Erfan. Aneta pikir Vina menjadikan pengalamannya sendiri sebagai acuan.

"Mending tahu dari awal sebagai bentuk kewaspadaan diri, daripada tetap polos dan lo enggak tahu punya temen baik apa berengsek yang ujung-ujungnya malah lo dibego-begoin. Satu lagi hal yang harus lo tahu. Gue tahu lo pinter, tapi ini sebagai hal mendasar aja. Mau tahu, kan?"

"Apa...?"

"Lo tahu kan kalau haid itu tandanya cewek udah bisa hamil kalau ngelakuin gituan tanpa pengaman?"

Aneta tahu dari pelajaran Biologi, tetapi Aneta tak bersuara atau menggerakkan kepalanya untuk mengangguk. Vina mulai membuat Aneta tak nyaman dan dia ingin segera mengakhiri pembahasan ini.

Aneta hanya tidak ingin membahas hal-hal yang bersifat dewasa bersama dengan orang lain. Sekali pun itu kakaknya sendiri. Masih banyak pembahasan lain yang bisa mereka jadikan topik selain itu.

"Aneta, gue peringetin lo buat nggak berbuat hal yang enggak-enggak. Sekarang, siapa aja bisa ngelakuin hal gituan bahkan orang yang lo nggak sangka-sangka juga ngelakuinnya."

"Gue nggak mungkin ngelakuin hal kayak gitu. Gue juga tahu norma kali. Udah. Nggak usah bahas lagi," balas Aneta cepat dan suara yang agak meninggi. Dia sudah terbawa emosi.

Vina langsung membelalakan mata karena terkejut. "Ah...." Cewek itu mengulang kembali kejadian beberapa menit lalu di memorinya dan baru menyadari bahwa dirinya terlalu menggebu-gebu membahas hal yang ternyata membuat Aneta tak nyaman.

"Iya, kita kan ... beda," lanjut Vina, lalu tak mengatakan apa-apa lagi.

Hanya ada keheningan di dalam mobil itu setelahnya. Mereka tak lagi saling bicara. Kedekatan di antara mereka malam itu kembali berakhir dengan canggung.

***

Setelah turun dari mobil yang Erfan kendarai tak jauh dari komplek, Elon lalu mengambil sepeda yang dia sembunyikan dan dia kendarai dengan cepat hingga tiba di rumah. Disimpannya sepedanya itu di tempat semula dan sebisa mungkin dia buat sama persis untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan beruntun dari papanya nanti.

Tak ada mobil papanya di garasi rumah dan semakin membuatnya mempercepat langkah. Elon memastikan mamanya tidak berada di dekat ruang kerja papanya sebelum memasuki ruangan itu.

Dia mencari ponselnya di dalam laci dan tak menemukan benda itu di sana. Dia harus lincah disaat tubuhnya mulai gugup karena dikejar waktu. Apa yang dia lakukan sekarang ini akan berakibat fatal jika ketahuan oleh papanya. Namun, Elon tak bisa tenang jika tak segera menghubungi Aneta karena ingin mengakhiri kesalahpahaman tadi.

Elon sudah mencari di berbagai tempat tersembunyi dan tak juga menemukan ponselnya itu. Tatapannya terpaku pada sebuah kotak kecil di rak tinggi. Elon segera memeriksa kotak tersebut dan menemukan ponselnya di dalam sana. Dia segera menyalakan ponselnya. Kakinya bergerak, menghentak beberapa kali di ubin, menunggu ponselnya segera menyala. Setelah berhasil menyala, Elon langsung menelepon Aneta sampai berkali-kali. Namun, satu pun tak diterima cewek itu.

Tiba-tiba saja seluruh tubuhnya berhenti bergerak setelah mendengar suara mesin mobil yang tak asing. Itu suara mobil papanya. Buru-buru Elon mengirimkan pesan kepada Aneta dan setelah memastikan pesan itu terkirim, dia segera mematikan ponselnya dan mengembalikannya ke tempat semula.

Elon melangkah cepat untuk keluar dari ruangan itu, tetapi teralihkan sesaat oleh sebuah pigura berukuran kecil yang terpajang di atas meja kerja papanya. Foto yang sebelumnya tak dia perhatikan karena terlalu fokus mencari ponselnya. Di sana ada potret sebuah keluarga yang terlihat bahagia. Sepasang suami istri yang tersenyum ke arah kamera, bayi dengan ekspresi polos yang tak lain adalah dirinya, dan balita berumur satu tahunan itu adalah kakaknya.

Elon keluar dari ruangan itu dan segera menutup pintu dengan hati-hati dan tanpa menimbilkan suara. Dia tak menyangka untuk seorang yang ringan tangan seperti papanya ternyata menyimpan foto keluarga di atas meja kerjanya.

Tenggorokan Elon terasa kering. Dia sudah berhasil bersikap santai. Dia turun dari tangga dan berpapasan dengan papanya yang baru akan naik.

"Mau ke mana?"

Elon hampir memperlihatkan rasa terkejutnya pada papanya itu. Pakaiannya memang belum dia ganti. "Ini mau ke dapur buat ambil minum. Tadi habis sepedaan, Pa. Baru aja pulang kok."

"Oh." Papanya meneruskan langkah dan melewati Elon. "Awas aja kalau kamu macam-macam di luar sana kayak kakakmu."

Elon meneguk ludah. Dia tak membalas dengan sebuah ucapan dan memilih untuk segera ke dapur setelah memastikan papanya memasuki kamar. Elon mengambil minum dan duduk di kursi.

Dia merenung cukup lama di sana. Terutama tentang ucapan Rangga yang ternyata berefek besar pada dirinya, berujung membuatnya tersiksa. Dia berdiri dan mencuci gelasnya di wastafel. Dia tak akan menjadikan perkataan Rangga sebagai patokan lagi.

Dan memutuskan untuk bersikap apa adanya di hadapan Aneta mulai detik ini.

***

Aneta melempar barang-barangnya ke atas tempat tidur. Beberapa berjatuhan ke lantai. Dia tak peduli dan langsung melemparkan tubuhnya sendiri ke atas tempat tidur. Suasana hatinya buruk. Dia ternyata tak suka jika topik seputar hal-hal dewasa menjadi pembahasan dalam sebuah percakapan dengan orang lain.

Bukan apa-apa. Aneta sadar dirinya seperti apa. Dia terlalu pemikir untuk segala hal sampai taraf yang berlebihan. Saat Aneta mulai berpikir bahwa Vina seolah mengeluarkan uneg-unegnya, Aneta jadi tak bisa lagi berpikir jernih.

"Siapa aja bisa ngelakuin hal gituan bahkan orang yang lo nggak sangka-sangka juga ngelakuinnya."

Aneta menutup mata. Dia berharap pikirannya salah, tetapi Vina seolah-olah sedang menceritakan dirinya sendiri. Aneta mengepalkan tangannya, kesal. Sejauh apa Erfan menghancurkan Vina? Aneta menggeleng kencang. Dia tak mau berpikir terlalu jauh dan membuatnya jadi stres.

Aneta membuka kelopak matanya dan melirik ponselnya yang tergeletak begitu saja. Dia ingat tak membawa ponselnya saat keluar tadi. Diambilnya ponsel itu, lalu dia terkejut melihat notifikasi yang muncul.

9 panggilan tak terjawab dan 1 pesan baru.

Semuanya dari satu nama kontak bernama Elon.

Elon: Ayo ketemu besok. Gue mau ngomong langsung sama lo tentang apa yang lo lihat barusan

***

Aneta tiba di sekolah terlambat dari rencana awal. Padahal dia sudah bertekad untuk tiba lebih pagi dari biasanya. Rasa mulas di perutnyalah yang membuat rencananya hancur. Apa yang dia rasakan seperti saat hari pengumuman penerimaan siswa-siswi baru di STARA ditambah jantung yang berdegup kencang. Akan tetapi, degupan jantungnya kali ini jauh lebih kencang. Perasaannya pun tak keruan.

Padahal dia hanya akan bertemu dengan Elon dan membicarakan apa yang sebenarnya terjadi semalam. Apa yang menjadi masalah bagi Aneta sekarang adalah dia tak tahu di mana dia harus bertemu dengan Elon. Dalam kelas? Depan kelas? Luar kelas? Aneta mencoba menghubungi Elon satu kali, tetapi nomor Elon yang dia hubungi sedang tidak aktif.

Aneta menginjakkan kakinya di koridor dengan langkah lunglai, lalu dia berhenti ketika seseorang menghadang langkahnya. Belum melihat siapa pelakunya, tiba-tiba saja tangan Aneta ditarik begitu saja hingga membuat Aneta terkejut. Aneta tak bisa mengeluarkan sepatah kata. Namun, Aneta bahkan belum sempat kesal ketika melihat sosok itu dari belakang.

Ya, Elon. Sedang menariknya dengan buru-buru. Membawanya ke sebuah tempat sepi.

Belakang sekolah.

Tak ada siapa-siapa di sana. Ah, sekarang ada dua manusia yang tak lain adalah dirinya dan Elon. Elon membawanya ke dekat dinding dan cowok itu berdiri di hadapannya dengan ekspresi cemas.

"A—anu...." Aneta terbata-bata dan melihat sekitar. Lidahnya semakin kelu ketika menyadari jaraknya dengan Elon begitu dekat.

Elon menghela napas panjang dan mengusap rambut belakangnya. Tatapannya tak lepas memandang sepasang mata Aneta sementara sepasang mata yang dia tatap itu langsung menatap ke lain arah.

"Soal semalam." Elon mulai bicara dengan suara pelan. "Apa yang lo pikirin tentang gue?"

Aneta memberanikan diri untuk menatap mata Elon. "Semalam? Ah..., gimana, ya...."

"Yang gue beli semalam itu, gue disuruh orang," kata Elon sambil mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya. "Gue nggak pernah berbuat macem-macem. Serius. Gue nggak mau lo salah paham."

Aneta terdiam dan menunduk. Ada rasa senang yang muncul dalam hatinya. Kenapa Elon harus menjelaskan situasi yang sebenarnya? Saat Aneta hampir berpikir bahwa dirinya istimewa bagi Elon, Aneta lalu dihadapkan pada logika bahwa teman kelas mana pun akan meluruskan kesalahpahaman agar tak ada rumor palsu yang terdengar suatu saat.

Aneta jadi berpikir bahwa Elon hanya tak ingin Aneta salah paham sebagai teman kelas.

"Semalam gue langsung pergi karena ngerasa situasinya nggak memungkinkan untuk ngejelasin semuanya. Kayaknya lo di sana nggak sendirian, kan? Gue khawatir kalau ngejelasin apa yang terjadi malah buat orang yang bareng lo itu jadi ikut salah paham tentang lo yang kenal sama gue. Gue pikir gue bakalan ngejelasinnya lewat panggilan telepon, tapi karena lo nggak angkat gue jadi berubah pikiran buat ngejelasinnya secara langsung kayak sekarang." Elon menjeda kalimatnya untuk sesaat. "Ah, gue jadi terlalu cepat ngomong karena khawatir banget lo mikir yang enggak-enggak tentang gue."

"Hah? Enggak, kok." Aneta mengangkat pandangannya dan melambai kedua tangannya. "Semalam gue juga langsung mikir kok kalau pasti lo disuruh sama orang yang lebih dewasa buat beli. Gue juga lebih banyak mikir positifnya dibanding mikir yang enggak-enggak. Kalau gue mikir yang enggak-enggak tentang lo karena apa yang gue lihat semalam, gue pasti udah kecewa banget."

"Kecewa? Banget?"

"Eh?" Aneta membelalak. "Ma—maksud gue ya sebagai teman kelas gue pasti bakalan kecewa kalau punya teman kelas yang perilakunya kayak gitu, ta—tapi karena intuisi gue bilang lo nggak seburuk itu, jadi ya... ya gitu...."

Aneta meneguk salivanya. Kata-katanya jadi tak keruan karena salah bicara.

"Ah, iya." Elon mengangkat wajahnya dan menatap langit, lalu tertawa. Kemudian dia kembali menatap Aneta. "Nggak nyangka pertemuan kita di luar sekolah malah ada di situasi yang canggung dan bikin salah paham. Gue janji nggak akan mau lagi disuruh beli gituan."

Aneta refleks memainkan jemarinya. "Hehehe, iya...."

"Syukurlah. Sekarang udah nggak salah paham, kan?"

Meski pertanyaan Elon membuat Aneta bertanya-tanya "mengapa dia bertanya seperti itu kepada seseorang yang hanyalah teman kelas?", tetapi Aneta tetap mengangguk dan mencoba untuk tidak berpikir terlalu jauh.

"Beneran?" tanya Elon, memastikan.

"Iya, beneran...." Aneta membalas tanpa mau menatap cowok itu karena saat ini Aneta merasa sedang dikuliti oleh tatapan orang di depannya.

Elon memiringkan kepalanya dan tersenyum tipis. "Beneeraaan?"

Aneta terkejut dengan ritme bicara Elon. "Iyaaa, beneran," balas Aneta, tak sadar mengikuti cara Elon berbicara.

Elon berdecak, lalu dia agak menunduk untuk melihat wajah Aneta lebih dekat. "Lo nggak nyaman ya sama gue? Apa selama ini lo juga nggak nyaman sama kelakuan gue?"

Aneta langsung menatap Elon. "Kenapa ... tiba-tiba lo nanya gitu?"

"Nanya aja. Jadi, apa lo nggak nyaman atau malah biasa aja?"

"Biasa aja, kok," balas Aneta tanpa pikir panjang.

"Setelah ini gue bakalan bertingkah semau gue, lo nggak apa-apa, nih?

"Haaah? Maksud lo?"

Elon terkekeh. "Gue lagi berusaha bersikap santai di depan lo."

Aneta langsung terdiam karena kalimat Elon barusan membuatnya jadi salah paham. Ditatapnya Elon lamat-lamat, berharap cowok itu menambahkan kata-katanya lagi, tetapi yang ditatap justru sedang tersenyum tak jelas.

Elon mundur selangkah dan mengulurkan tangan. "Ayo ke kelas. Mau bareng nggak?

"Lo duluan aja. Nanti ada yang lihat malah salah paham."

"Ya udah. Lo duluan aja kalau gitu. Gue mau ke kantin. Sampai ketemu di kelas." Elon melambai-lambaikan tanganya sambil berlari kecil, lalu dia berhenti dan menoleh kembali untuk melihat Aneta. "Ah, lo mau ikut ke kantin?"

"Buat ... apa?"

"Makan bareng."

"Enggak, udah," balas Aneta dengan suara pelan nyaris tak terdengar oleh Elon.

"Ya udah. Bye bye." Elon melambaikan tangannya, lalu kembali menghadap ke depan dan berlari meninggalkan tempat itu.

Setelah memastikan Elon pergi, Aneta berjingkrak tanpa dia sadari. Lalu dia berhenti dengan terkejut. Kedua tangannya yang mengepal masih setengah terangkat. Dia merasa aneh. Kenapa dia kegirangan seolah baru saja mendapatkan hadiah yang dia dambakan selama ini?

Aneta kembali memasang ekspresi datar dan melangkah ke kelas walau dalam hatinya dia sungguh kegirangan. Dia sampai tak sadar sudah tiba di lorong kelasnya. Alona melambai-lambai dari jauh dan berlari menghampirinya.

"Lo kenapa dari tadi senyum-senyum sendiri?"

Pertanyaan Alona membuat senyum Aneta hilang. Ternyata senyum di wajahnya kembali muncul tanpa dia sadari. Aneta tak mau menjawab dan berlari memasuki kelasnya.

Ada apa dengan dirinya?

Perasaannya menjadi semakin aneh hari ini.

***


 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro