14
by svrinai
part of zhkansas
...
Elon membatu setelah melihat wajah Aneta dari dekat. Cowok itu meneguk ludah. Kepala Aneta yang berada di atas lengannya membuatnya tak bisa bergerak. Meski begitu, tangannya yang berada di atas perut Aneta juga tak ingin dia singkirkan karena terbawa situasi.
Suara percakapan dari beberapa orang yang Elon kenali membuat Elon akhirnya kembali sadar akan realita. Cowok itu menarik tangannya dari perut Aneta hingga Aneta bisa dengan cepat menjauh darinya.
Aneta berdiri dengan kikuk. Elon melakukan hal yang sama. Bedanya, Elon langsung melangkah ke pintu sementara Aneta masih berdiri diam memandang punggung cowok itu yang menjauh.
"Gue kan udah bilang dari tadi buat nyusul!" seru Mulyo, kesal. Dia tiba di depan kelas lebih dulu dan melihat Elon yang sedang menenteng tas. Kepala Mulyo miring ke kiri ketika melihat ada orang lain di kelas itu selain Elon. "Eh? Hm...."
Elon melewati Mulyo begitu saja, membuat semua yang ada di sana kebingungan. Terutama Aneta yang masih bergeming melihat kepergian Elon.
"Kalian kenapa?" Key menggaruk kepalanya, menyadari sesuatu hal yang tak terduga telah terjadi di antara Elon dan Aneta. Dilihatnya Elon yang sudah semakin menjauh tanpa mengatakan sepatah kata. "Woi, tungguin!"
Key berlari. Mulyo dan Rangga pun ikut menyusul.
Sementara Aneta sendirian di kelas itu sambil mengusap lengannya. Dia menatap ubin lantai dengan perasaan yang campur aduk.
***
"Kalian kenapa?" Key makin penasaran. Walau tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi dia sempat melihat raut wajah sedih Aneta dan mata cewek itu yang berkaca-kaca. Ditambah saat ini Elon sedang memukul kepalanya sendiri berkali-kali.
"Iya, nih. Habis terjadi sesuatu, ya? Lo apain anak orang?" tanya Mulyo dengan tatapan curiga.
Elon tak menggubris pertanyaan-pertanyaan mereka dan terus melangkah. Dia sendiri tak berpikir akan ke mana, tetapi kakinya melangkah begitu saja di jalan menuju warnet langganan yang memang sering dia lalui.
"Selain itu, lo pergi gitu doang kayaknya, ya? Nggak sempet pamit sama Aneta?" tanya Rangga. Dia makin yakin jawaban dari pertanyaannya adalah benar karena Elon terkejut, tetapi tetap saja teman kelasnya itu masih terus melanjutkan langkahnya.
Mulyo mendekat. "Terjadi sesuatu, ya? Ceritain, dong—"
"Ck, diem lo semua!" seru Elon.
Bukannya menurut, ketiga temannya itu semakin bertanya-tanya. Namun, Elon tetap tak mau peduli. Dia tak sadar kakinya sudah tiba di teras warnet. Dia langsung mengambil tempat kosong. Rangga yang melihat lokasi Elon langsung memesankannya tanpa banyak bertanya lagi.
Elon segera memakai headphone, tetapi beberapa detik kemudian dia melepas headphone itu dan menggantungnya di leher.
Dia melakukan sebuah kesalahan, yaitu meninggalkan Aneta tanpa mengatakan sesuatu setelah apa yang terjadi pada cewek itu.
Aneta pasti terkejut atas musibah yang dialaminya. Elon bahkan tak sempat bertanya kondisi cewek itu. Satu-satunya yang memenuhi pikiran Elon sejak tadi adalah karena pikirannya yang ternyata punya sisi kotor.
Bagaimana mungkin di kondisi seperti itu terlintas di pikirannya untuk mencium Aneta?
***
"Ya ampun." Aneta memegang perutnya yang sakit. Sudah berulang kali dia mencoba untuk buang air besar, tetapi selalu tak berhasil. Justru rasa sakit di perutnya kali ini agak berbeda dengan keinginan untuk buang hajat.
"Hah, astaga capek." Aneta berbaring di tempat tidurnya dan rasanya berat untuk membantu mamanya menyiapkan makan malam. Rasa sakit itu kembali muncul, membuatnya bergegas ke kamar mandi.
Tiba di kamar mandi, Aneta langsung menurunkan celananya dan duduk di toilet. Matanya membelalak ketika melihat bercak merah di celana dalamnya.
"D—darah?"
Aneta terkejut dan dia masih bergeming memandang sesuatu yang tak biasa keluar dari tubuh bagian bawahnya itu. Dipakainya kembali celananya dan berjalan keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang lemas. Ketika teringat akan mamanya yang sedang di dapur, Aneta langsung berlari kencang menuruni tangga.
Jantungnya berdegup kencang. Ada rasa cemas juga bahagia. Ketika dulu Vina bertanya mengapa Aneta tak juga mendapatkan haid pertamanya, Aneta merasa ada yang salah dalam pertumbuhannya. Ketika SMP, disaat teman-teman kelasnya membahas mengenai menstruasi, hanya Aneta yang tak terhubung dengan pembahasan mereka.
"Ma." Aneta berhenti di dekat kulkas sembari memandang mamanya yang sedang memasak.
"Iyaa," balas Mama sembari menyipik sup yang sedang dia buat.
"Aku haid."
Mama menoleh dengan ekspresi terkejut dan tak bisa berkata-kata.
"Iya, Ma. Aku haid. Ada darah di celana dalamku. Mama mau lihat?" tanya Aneta tanpa pikir panjang.
Mamanya tertawa karena Aneta begitu polosnya mengatakan hal barusan dengan bersemangat pula. Mama mematikan kompor dan menatap Aneta untuk bicara lebih serius. "Nggak perlu. Nah, sekarang kamu ke Vina. Mintain pembalutnya terus pakai. Mama mau nyiapin makan malam dulu."
"Kak Vina?" bisik Aneta.
Mama mengangguk-angguk. "Iya, soalnya Mama kan udah nggak pakai pembalut biasa lagi."
Aneta ingat mamanya memakai sebuah cup silikon yang saat itu membuat Aneta bertanya-tanya tentang cara memakainya. Aneta mendapatkan jawaban dari mamanya bahwa perempuan yang memakai benda itu lebih baik pada perempuan yang sudah sudah menikah.
Aneta segera ke kamar Vina. Dia jadi gugup untuk meminta sesuatu yang tak pernah dia minta sebelumnya. Aneta tak bisa membayangkan bagaimana ekspresi Vina ketika mendengar permintaan tak biasa itu. Dia segera mengetuk pintu kamar Vina dengan pelan. Terdengar suara sahutan tak jelas dari dalam. Tak lama kemudian, pintu kamar Vina terbuka.
Kakak perempuan yang berbeda satu tahun darinya itu menaikkan alis tinggi-tinggi. Ekspresi kesalnya tergambar jelas. "Apa?"
"Mama bilang ... pembalut," balas Aneta pelan dan ragu-ragu.
"Loh? Mama make lagi? Kan udah enggak," kata Vina dengan cepat.
"Bukan buat Mama."
"Terus? Tetangga gitu?"
"G—gue."
Bibir Vina terkatup rapat. Beberapa saat kemudian dia bersuara. "Oh...? Serius?"
Aneta mengangguk kecil.
"Kapan?" tanya Vina, masih sedikit terkejut. Dirinya sendiri mendapatkan haid pertamanya di kelas 6 SD.
"Barusan. Mau lihat?" tanya Aneta dengan semangat.
"Enggak...." Vina menggeleng perlahan juga sedikit kaget dengan pertanyaan polos adiknya itu, lalu dia berbalik dan membiarkan pintu terbuka lebar. Dibukanya lemari tempat di mana dia menyimpan stok bulanan dan hanya menemukan dua pembalut yang tersisa.
Dia menoleh pada Aneta yang masih berdiri di depan kamarnya. "Tinggal segini. Ayo ke minimarket. Sekalian gue mau belanja."
***
"Perasaan rumah gue nggak lewat sini. Malah makin jauh. Lo mau nyulik gue, ya?"
Elon memandang Erfan tak habis pikir. Pantas saja dia merasa ada yang tidak beres. Seseorang yang dia ajak bicara, Erfan, sedang pura-pura fokus mengemudi. Padahal seniornya itu bukanlah pengemudi yang baik.
Elon mengacak-acak rambut bagian belakangnya. Pasrah. Dia sudah curiga ketiga Erfan menawarinya tumpangan untuk pulang dari markas. Padahal Elon sudah berniat untuk pulang dengan kendaraan umum dan menikmati suasana sendiri.
Erfan menghentikan mobilnya di sebuah parkiran kecil depan minimarket. "Turun. Beliin gue rokok dan kondom."
Elon membelalak. Meski pergaulan bebas Erfan bukan hal yang mengejutkan lagi bagi orang-orang yang mengenal cowok itu, tetapi tetap saja Elon tak terbiasa.
"Mulut lo keseleo, kan?" tanya Elon malas.
"Gue serius. Cepetan sana. Nih." Elon menyodorkan dua lembar uang. "Rokok seperti biasa. Satunya yang large."
"Gila." Elon berdecak. Dia menepis punggung tangan Erfan dengan pergelangan tangannya. "Gue nggak mau. Beli sendiri sana."
Erfan menghela napas dan melirik sekitar. Entah kenapa dia memutuskan untuk pergi ke minimarket yang beberapa kali dia datangi setelah teringat seseorang.
Ditatapnya Elon yang masih bersedekap malas. "Ei, bentar doang. Lo nggak akan ditanyain umur segala macam, kok. Tinggal beli aja. Udah."
"Masa nggak nanya-nanya," balas Elon. Bukan persoalan tabu yang membuatnya enggan untuk turun, tetapi karena Elon hanya malas saja.
"Wo—"
Elon menyambar uang di tangan Erfan. "Nggak usah banyak bacot," katanya, lalu keluar dari mobil.
Terdengar suara tawa terbahak dari Erfan di dalam mobil. Sementara Elon segera memasuki minimarket dan berdiri di antrean dengan perasaan dongkol.
***
"Bedanya apa?"
"Yang ini ada sayapnya. Kalau nggak ada sayap kadang suka miring. Kadang nyusut ke tengah jadi nggak nyaman."
"Night.... Panjang banget. Ini buat malam, ya?"
"Iya, selain pakai malam biasa gue pakai siang juga di hari pertama atau kedua kalau haid gue lagi lancar banget."
"Oh.... Ini apa?"
"Itu namanya pantyliner. Biasa gue pakai di hari terakhir banget buat jaga-jaga karena kadang masih ada yang keluar. Buat keputihan juga kalau lagi banyak dan kalau bepergian jauh."
Vina lalu berdeham karena mendengar dua orang di sampingnya tertawa kecil. Vina menyadari dua cewek itu sedang menertawakan Aneta yang terus bertanya-tanya.
Aneta tak menyadari tawa dua orang itu yang kini sudah pergi karena sibuk membaca pembalut berbagai merek.
"Udah cukup segini. Masih ada yang mau lo beli?" tanya Vina.
Aneta menatap kakaknya sambil menggeleng pelan.
"Ya udah. Ayo ke kasir."
Aneta mengangguk dan mengekori Vina sambil menenteng keranjang belanja. Mereka langsung mengantre. Aneta melihat sekeliling karena bosan, lalu tatapannya terpaku pada seseorang. Meski hanya melihat orang itu dari belakang, tetapi Aneta yakin seseorang yang dia pandangi saat ini adalah Elon.
Aneta ingin menyapa, tetapi dia terlalu malu. Ada beberapa orang yang mengantre sehingga jaraknya dengan Elon tidak cukup dekat untuk menyapa dengan suara pelan. Aneta tak sengaja memperhatikan barang terakhir yang Elon beli.
Elon mengambil barang-barang yang dibelinya—yang tak begitu jelas Aneta lihat—dan memasukkannya ke dalam hoodie. Aneta keluar dari antrean dan saat itu juga Elon menoleh padanya.
Aneta hanya bisa memandang kaku. Begitu pun dengan Elon. Elon langsung memalingkan wajah dan melangkah dengan cepat keluar dari minimarket.
Aneta merasa kecewa. Elon juga melakukan hal yang sama di perpisahan sebelumnya. Pergi begitu saja tanpa meninggalkan sepatah kata. Wajah Aneta jadi murung dan memikirkan apa yang membuat Elon jadi menghindar. Satu-satunya jawaban yang memungkinkan adalah kejadian setelah Aneta terjatuh.
Sambil melamun, Aneta melangkah sedikit demi sedikit hingga tiba di depan kasir. Vina yang mengurus setelah Aneta mengangkat keranjangnya. Aneta melirik barang yang Elon beli. Sebelumnya, Aneta tak melihat yang Elon beli dengan jelas dan sekarang fokusnya hanya tertuju pada gambar-gambar buah pada kemasan kotak kecil.
Stroberi? Anggur? Aneta membatin. Permen? Kayaknya enak.
Aneta mengangkat tangannya, ingin menyentuh barang itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja punggung tangannya ditampar pelan oleh Vina dan membuatnya terkejut. Ditatapnya kakaknya itu yang memandangnya dengan kening berkerut.
"Lo ngapain, sih?" tanya Vina, berbisik. Vina melirik kasir laki-laki yang menahan senyuman.
"A—ah?" Aneta memainkan jarinya dan tak mau menyentuh apa pun sekarang. Dari pandangan dan tekanan suara Vina, Aneta yakin dia telah melakukan sebuah kesalahan.
Vina membayar barang belanjaannya dan segera mengambil struk dan kembalian. Dia juga mengambil kantong belanja sesaat sebelum Aneta mengambilnya.
Alhasil, Aneta hanya mengekori Vina dari belakang. Aneta merasa telah membuat suasana hati Vina jadi buruk.
"Lo nggak tahu, ya? Duh polos banget. Itu namanya kondom. Alat kontrasepsi. Dipake kalau berhubungan badan," kata Vina penuh penekanan ketika dia dan Aneta sudah berada di dalam mobil dan bersiap-siap melajukan mobil.
Aneta terdiam. Blank.
"Buat ngeseks. Dipake di alat kelamin cowok supaya spermanya nggak masuk ke rahim cewek karena kalau sampai sperma cowok masuk ke rahim cewek, bisa-bisa cewek hamil," lanjut Vina.
Itu juga Aneta tahu, tapi memang baru kali ini dia melihat wujud bungkusan kondom itu. Dia juga memilih diam karena tak ingin menginterupsi kakaknya.
Selain itu, pikiran Aneta jadi campur aduk.
Oke, sekarang dia tahu bungkusan kondom itu seperti apa meski tak tahu bentuk isinya. Akan tetapi, Elon membeli benda semacam itu ... untuk apa?
Aneta merasa baru saja terjun ke jurang yang dalam.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro