Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13

by svrinai

part of zhkansas

...

Aneta membiarkan dirinya berjalan paling belakang sembari menikmati setengah potong es k*ko. Tenggorokannya terasa segar, membuatnya merasa tak ingin es itu habis dengan cepat. Suara langkah sepatu dari beberapa orang disertai percakapan yang tak asing lagi, membuat Aneta refleks menepi ke dinding. Meski tak mendengar suara Elon di antara suara percakapan beberapa cowok yang sedang berlari itu, tetapi Aneta sudah bisa menebak bahwa Elon ada di antara mereka yang berlari.

Benar. Elon berlari paling belakang, tetapi posisinya menjadi paling depan ketika Key, Rangga, dan juga Mulyo menyejajarkan langkah mereka dengan Alona, Dania, dan juga Geisha. Alhasil, Elon sudah tak terlihat lagi karena cowok itu tiba di kelas lebih dulu.

Aneta hanya bisa melihat Elon dan tak pernah berani menyapa lebih dulu. Walau kemarin mereka ada dalam kondisi yang mau tak mau membuat keduanya berdekatan, tetapi kondisi itu belum bisa membuat Aneta merasa dekat dengan Elon bahkan untuk mengucap terima kasih karena plester pereda nyeri yang Elon berikan saja sulit untuk dia katakan.

Langkah Aneta memelan ketika menyadari ada perantara yang bisa membuatnya menyampaikan ucapan terima kasih itu. Diambilnya ponselnya dari saku rok, lalu satu dia mulai mengetikkan kata-kata dalam ruang percakapannya dengan Elon yang masih kosong.

Itu adalah sebuah keberanian yang berusaha Aneta kumpulkan dalam waktu singkat.

Makasih udah ngasih yang tadi. Itu. Pereda nyeri..

Ketika ucapan terima kasih itu baru saja terkirim, Aneta merasa ingin menarik pesannya kembali yang terkesan canggung. Aneta menyimpan ponselnya dan segera melangkah bertepatan dengan namanya yang dipanggil beberapa kali oleh Alona dan Dania.

Aneta pikir atau tepatnya dia berharap Elon akan membalas pesannya, tetapi nyatanya tidak ada pesan balasan dari Elon sampai istirahat kedua.

Bahkan ketika mereka tak sengaja saling bertatapan, Elon langsung memalingkan wajahnya. Itu tak aneh karena yang aneh bagi Aneta adalah raut cowok itu ketika bersitatap dengannya menjadi berbeda dari biasanya.

Elon memandang Aneta seolah-olah dia tak mengenal cewek itu.

***

Key menyadari perubahan mendadak pada Elon. Sikap Elon yang tak biasanya itu membuat Key langsung tahu pelaku di balik perubahan Elon. Ditatapnya Rangga dengan pandangan heran, tetapi yang ditatap sedang sibuk bermain game.

Mulyo juga langsung paham akan situasi yang tak biasa tersebut. Mustahil Elon memilih belajar dibanding mendapatkan kesempatan untuk bermain game meski temannya itu merupakan peringkat pertama di kelas.

"Tanggung jawab lo udah bikin galau anak orang," kata Mulyo kepada Rangga yang seolah-olah tuli. "Lo jadi aneh."

Rangga menjeda permainannya, lalu mengorek kuping. Kemudian lanjut bermain.

Key berdecak dan mendekati Elon sambil memelas. "Ayo, dong! Gue kangen siomay depan sekolah. Keburu nggak diizinin Pak Damar, nih?" Key tak bisa membujuk Pak Damar sebaik Elon, makanya Key butuh cowok itu.

Elon menggerakkan tangannya—mengusir—dan lanjut mengerjakan soal. Dia bukan lagi mengerjakan soal-soal pelajaran kelas X, tetapi kelas XI yang tentunya Key, Rangga, apalagi Mulyo tak tahu soal pelajaran kelas berapa di lembaran-lembaran itu.

Elon melakukan hal tak biasa itu di kelas karena ingin mengalihkan sejenak pikirannya dari perkataan Rangga yang masih menghantuinya. Ketika tak sengaja bertatapan dengan Aneta beberapa saat lalu, Elon refleks memalingkan wajah dan dalam hitungan detik itu perkataan Rangga akan keagresifan dan tingkahnya membuatnya jadi tak tenang.

Elon tak tahu lagi bagaimana ekspresinya tadi, yang jelas dia merasa tegang. Khawatir dirinya bersikap di luar batas lagi.

Suasana hatinya buruk sekarang. Diliriknya Aneta di depan sana yang sudah kembali ke kelas, lalu Elon bertopang dagu sambil memikirkan sikapnya kepada Aneta selama ini.

Bel berbunyi tanda istirahat kedua sudah berakhir.

"Gila! Cepet banget bel?" Key mengamuk. "Gue belum makan siomay, anj!"

***

Ketika siswa-siswi lain sibuk membereskan barang-barang mereka ke dalam tas bahkan ada yang sudah keluar dari kelas, Aneta tetap santai tanpa merasa dikejar oleh waktu.

"Nggak pulang, Net?" tanya Alona ketika dia sudah siap untuk berdiri.

"Gue piket besok. Jadi mau beres-beres dulu." Perhatian Aneta sedikit teralihkan oleh keributan yang sudah bisa dia tebak berasal dari siapa saja, kecuali satu orang yang berbeda dari biasanya.

Alona mengalihkan perhatiannya dari cowok-cowok yang baru saja keluar kelas. "Nyadar nggak sih? Elon kayak beda dari biasanya? Jadi lebih diem dan kayak banyak pikiran gitu."

Aneta juga menyadari hal itu dan menduga-duga bahwa mungkin saja ada masalah di luar sekolah yang dihadapi oleh Elon saat ini.

"Muka lo khawatir banget." Dania membungkuk, menatap raut wajah Aneta dengan tatapan iseng. Dia tak bisa mengatakan apa-apa beberapa detik kemudian karena bibirnya dibekap oleh Alona dan ditarik keluar kelas.

Alona melambaikan tangannya. "Dah, Aneta! Sampai ketemu besok, ya!"

Aneta mengangguk-angguk tanpa mengatakan apa-apa.

***

"Warnet! Warnet! Warnet!" seru Mulyo di sepanjang jalan menuju gerbang sekolah. Ucapannya yang berirama itu baru berhenti setelah Rangga menoyor kepalanya.

"Bocah!" seru Rangga, kesal mendengar intonasi suara Mulyo yang dibuat-buat.

Mulyo mendengkus. "Nggak bisa banget lihat orang seneng?"

"Kalian berdua diem, dong!" seru Key, lalu mengalihkan perhatiannya kepada Elon. "Lihat nih bocah satu mikirin apaan sampai kelupaan sesuatu? Lupa apa lo?"

"Handphone gue lihat nggak?" tanya Elon, masih berusaha mencari ponselnya di dalam tas.

Key mengangkat kedua bahunya. "Ya mana gue tahu?"

"Hah. Kayaknya ketinggalan di kelas. Kalian bertiga tunggu di sini. Gue bakalan cepet." Setelah mengatakan kalimat itu, Elon langsung berlari kencang di antara sedikit murid yang berlawanan arah dengannya. Sebagian besar murid memang sudah tak ada di area sekolah karena sudah cukup lama berlalu setelah bel pulang berbunyi. Beberapa saat lalu Elon dan ketiga temannya memang menghabiskan waktu di kantin untuk makan.

Elon tiba di depan kelas dan berhenti sejenak di dekat pintu. Dilihatnya Aneta sedang membelakanginya karena sibuk mengelap kaca jendela kelas. Perhatian Elon tertuju pada Aldi—siswa yang kursinya berada tepat di depannya—yang kini sedang malas-malasan memegang kain dan semprotan pembersih.

Hanya ada dua orang itu di dalam sana, Aldi dan Aneta, membuat alis Elon nyaris saling bertautan. Cowok itu melangkah memasuki kelas dan segera mengintip laci mejanya, lalu menemukan ponsel yang dicarinya sejak tadi. Diambilnya ponsel itu dan dimasukkannya ke dalam tas sembari berjalan keluar dari kelas dengan perasaan yang membingungkan.

Caranya berjalan terlalu ringan sampai suara sepatunya tak terdengar oleh Aneta maupun Aldi. Ditambah lagi mereka membelakangi Elon sehingga makin tak tahu keberadaannya.

"Lo dari tadi nggak mau bantuin?"

Langkah Elon berhenti di dekat pintu setelah mendengar suara Aneta. Dia berbalik dan dilihatnya Aneta sedang menunduk untuk melihat Aldi. Aneta memang sedang berdiri di atas sebuah kursi sementara Aldi duduk dengan malas di kursi lain yang jauhnya sekitar dua meter dari Aneta.

"Kan gue bilang gue lanjut besok aja," balas Aldi sambil menggaruk kepalanya.

"Tapi kata Bunga lo suka telat," kata Aneta saat wajahnya kembali fokus pada kaca jendela.

Aldi menghela napas panjang dan berbalik. Bahunya naik, badannya sedikit ke belakang, dan tangan kirinya langsung memegang dada setelah melihat seseorang di dekat pintu yang memandangnya dengan tatapan membunuh.

Aldi kemudian menyengir. Refleks dia menggaruk kepalanya dan tak bisa mengatakan apa-apa. Diliriknya Aneta yang sedang fokus membersihkan kaca, lalu cowok itu bersiul sambil berjalan keluar kelas dan langsung menarik Elon agar terhindar dari jangkauan mata Aneta.

"Lo piket, kan?" tanya Elon. "Biar gue gantiin."

"Ah?" Aldi tersenyum semringah. Padahal dia yang ingin menawarkan lebih dulu karena tak mungkin Elon menolak. Di dalam sana ada Aneta yang merupakan gebetan Elon. Semua murid X IPA 5 tahu akan hal itu dan sudah menjadi rahasia umum.

"Boleh banget. Nih! Gantiin gue!" Aldi menarik tangan Elon dan menaruh kain dan juga semprotan pembersih di tangan teman kelasnya itu. Aldi memasuki kelas dengan buru-buru untuk mengambil tasnya, kemudian kabur dengan cepat.

Elon memandangi kain dan semprotan pembersih yang ada di masing-masing tangannya, lalu dia memasuki kelas dan melangkah ke dekat Aneta. Dia lupa menyimpan tasnya terlebih dahulu karena pikirannya sibuk menganalisa kaca jendela yang belum dibersihkan oleh Aneta. Lidahnya terasa kelu untuk langsung bertanya kepada cewek itu.

Perkataan Rangga benar-benar berdampak besar pada mentalnya sampai membuatnya takut salah bicara dan takut memperlihatkan tingkah yang berlebihan di depan Aneta.

Elon mulai menyemprotkan cairan pembersih kaca pada kaca dan mulai mengelapnya dengan kain.

"Lo di bagian luar a—ja...." Ucapan Aneta memelan setelah menoleh dan menatap sosok lain yang tak terduga. "Eh?"

Aneta pikir dia sedang berhalusinasi, membuatnya kembali menatap kaca yang sudah mengkilat itu sambil menggeleng pelan.

"Gue gantiin Aldi."

Aneta berhenti menggerakkan tangannya karena mendengar suara Elon. Dia menoleh pelan dan memastikan bahwa penglihatan dan pendengarannya memang tidak salah.

"Kenapa...?" tanya Aneta bingung.

"Pengin gantian aja," balas Elon, lalu berbalik untuk menuju jendela yang sebaris dengan pintu.

"Oh," gumam Aneta, lalu mengikuti Elon dengan lirikan pelan. Ekspresi Elon kali ini pun tak seperti biasanya. Kepala Aneta jadi terasa pusing hanya karena memikirkan perubahan mendadak dari cowok itu.

Keduanya membersihkan kaca dalam keheningan. Aneta membersihkan kaca jendela terakhir di bagian dalam sisi kanan kelas sementara Elon membersihkan kaca jendela di bagian luar sisi kiri kelas. Posisi itu membuat Elon bisa melihat Aneta yang membelakanginya. Hal itu juga membuat Aneta tak bisa membersihkan kaca dengan tenang seolah-olah punggungnya bocor karena merasa dipandangi.

Aneta turun dari kursi dan berpindah ke sisi dalam sebelah kiri. Bagian yang akan membuatnya berhadap-hadapan dengan Elon di mana hanya kaca jendela yang akan memisahkan mereka. Aneta tak mau berada di situasi penuh kecanggungan seperti itu sehingga Aneta selalu membersihkan kaca yang berjarak dengan Elon agar mereka tak bertemu di kaca jendela yang sama.

Setelah Elon selesai membersihkan bagian luar, cowok itu berpindah ke sisi dalam untuk membantu Aneta menyelesaikan yang tersisa.

Aneta yang menghindari kemungkinan situasi sebelumnya kini mendapatkan situasi yang tak jauh berbeda. Alhasil, saat ini mereka membersihkan kaca jendela yang berdampingan hingga membuat keduanya bersisian.

Aneta masih menjadikan kursi sebagai pijakannya sementara Elon tetap hanya menginjak lantai. Posisi Aneta lebih tinggi dari Elon dan membuatnya merasa aneh. Situasi itu terlalu tak biasa baginya. Apalagi Elon yang biasanya mengajaknya bicara lebih dulu, kini tak lagi melakukan itu. Keduanya sama-sama diam dan Aneta merasa waktu berjalan sangat lambat.

Aneta menghentikan gerakan tangannya ketika menyadari dia telah melupakan sesuatu, lalu menoleh ke kaca jendela pertama yang dia bersihkan. Pantas saja tadi dia merasa ada yang kurang. Kaca kecil bagian atas jendela itu masih berdebu. Walau tak sebanyak kaca jendela bawah, tetapi tetap saja membuatnya tak tenang.

"Lo lanjutin yang ini," kata Aneta dengan suara pelan dan kaku, lalu melompat pelan dari kursi.

Elon sempat melihat gerakan cepat Aneta itu dan termenung sesaat karena seperti melihat seekor kelinci yang sedang melompat. Elon tak bisa menyembunyikan senyum semringah saking gemasnya, tetapi tetap saja menahan diri untuk tidak mengatakan sesuatu yang bisa saja membuat Aneta ilfeel.

Lagi-lagi, perkataan Rangga membuat Elon menjadi tak bebas untuk bereskpresi. Cowok itu menoleh untuk melihat apa yang Aneta lakukan sekarang karena terdengar berisik dan mata Elon langsung membelalak ketika dilihatnya Aneta sedang naik di atas sebuah kursi dan kursi yang diinjka cewek itu itu ada di atas meja.

Elon ingat sebelumnya tak ada kursi di atas meja. Tak salah lagi suara berisik beberapa saat lalu adalah karena Aneta menaikkan kursi ke atas meja tanpa meminta bantuan darinya.

"Ah, cewek mandiri...?" Elon membatin dan merasa bangga padahal dia bukan siapa-siapa Aneta, tetapi tetap saja Elon yang takut melihat Aneta berada di posisi itu meski tak ada yang perlu dia khawatirkan.

Hanya karena yang melakukan itu Aneta, maka Elon merasa cemas.

Elon menyimpan kain dan semprotan pembersih ke atas meja di dekatnya. "Biar gue yang kerjain bagian sana," kata Elon sambil mendekat.

"Ehm?" Aneta mengguman tanpa menghentikan pekerjaannya. "Nggak usah. Lo lanjut yang lain aja."

Elon berhenti di samping meja itu dan mendongak untuk melihat wajah Aneta yang jauh. "Biar gue aja. Semuanya. Lo pulang aja"

"Nggak usah...."

"Turun."

Aneta tak mau menggubris. Sejujurnya, dia menikmati pekerjaan ini.

Elon berdecak. "Aneta, turun."

"Nggak usah. Beneran. Suer." Aneta mengangkat dua jarinya tanpa mau melihat Elon.

"Kenapa tadi lo nggak minta bantuan gue buat angkat kursi ke meja?" tanpa Elon sadari, dirinya sudah banyak bicara.

"Kan ini udah jadi tugas gue juga," balas Aneta.

Elon bersedekap dan masih terus mendongak. Mata Elon membelalak saat tak sengaja melihat ke dalam rok Aneta. Elon langsung menjauh dengan ekspresi terkejut.

Elon bersyukur Aneta mengenakan celana hitam yang panjangnya hampir sama dengan rok di bawah lutut yang cewek itu gunakan. Elon memegang kepalanya, lalu mengacak-acak rambutnya karena tak sengaja melihat ke dalam rok Aneta.

Elon berbalik kembali untuk memandang Aneta dan menyadari percakapannya dengan Aneta tadi. Apa dia bertindak di luar batas lagi? Apa dia melakukan hal yang salah lagi kepada Aneta? Memaksa cewek itu untuk meneruskan tugas piketnya adalah hal yang kembali Elon pikirkan dengan serius.

"Hah...." Tanpa sadar Elon menghela napas panjang. Dia memberanikan diri untuk tak memikirkan perkataan Rangga lagi. "Aneta!"

Kedua bahu Aneta naik karena terkejut. Elon mengulum senyum tipis setelah melihat itu.

"Iya...?" balas Aneta. Sesaat dia berhenti bergerak. Tubuhnya jadi kaku.

"Lo pulang dijemput lagi, ya?" Elon mendongak sembari terus melangkah.

"Enggak," balas Aneta pelan, lalu dia bersiap-siap untuk turun dari kursi bertepatan dengan Elon yang kembali ada di dekatnya.

"Kain dan semprotannya sini." Elon menengadahkan kedua tangannya untuk menangkap dua benda di tangan Aneta. "Lo mau pindah tempat, kan?"

"I—iya...," balas Aneta, gugup. Keberadaan Elon di dekatnya justru membuatnya jadi tak leluasa. Aneta tak tahu kenapa dia berusaha menjaga sikap di depan cowok itu. "Tangkap."

Elon menangkap kain dan semprotan itu, lalu menaruh keduanya di meja lain. Dia mulai menggeser meja yang berbeda dan menaikkan sebuah kursi di atasnya.

Aneta masih bergeming. Dia meneguk ludah. Satu kesalahan fatal yang dia lakukan barusan adalah melihat ke bawah sehingga rasa takut itu muncul dalam dirinya. Itu adalah kondisi yang wajar dialami seseorang yang ketika berada di ketinggian akan biasa saja ketika melihat ke atas, tetapi menjadi takut ketika melihat ke bawah.

Dia berjongkok di atas kursi dengan perlahan. Kakinya gemetar karena berusaha untuk hati-hati ditambah diameter kursi yang tak sebanding dengan meja membuatnya semakin waswas. Dipegangnya erat kusen jendela, lalu dia menarik tangannya dengan cepat karena terkejut merasakan debu walau hanya sedikit.

Aneta kehilangan keseimbangan karena satu kakinya tak lagi berpijak di kursi karena terkejut tadi membuatnya menggeser kakinya tanpa sadar. Aneta tak bisa berpikir jernih. Pikirannya kosong ketika melihat lantai kelas semakin dekat dari pandangannya. Tangannya yang mengarah ke lantai adalah sebuah spontanitas dan yang terlintas di benaknya adalah tangannya hanya akan sedikit cidera, tetapi kemudian tangannya itu diraih oleh Elon dengan cepat dan dalam sekejap Elon memeluknya.

Bunyi kursi yang menghantam kursi lain menjadi satu-satunya keributan yang ada di dalam kelas itu.

Aneta mual. Perasaannya campur aduk. Dia tak bisa bergerak karena masih terkejut ditambah lagi satu tangan Elon melingkar di perutnya.

Hal yang paling membuat Aneta tak bisa bergerak adalah Elon memandang wajahnya dari samping. Walau Aneta tak memandang balik, tetapi ekor mata Aneta bisa melihat tatapan yang intens itu.

Ah, satu lagi yang membuat Aneta menjadi bergeming. Posisi mereka. Elon sedang memeluknya secara tak sengaja.

***


 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro