04
by svrinai
part of zhkansas
...
Sudah berapa hari terlewati dan Elon tak pernah menghubungi nomornya.
Bukannya Aneta menunggu Elon menghubunginya tanpa alasan, tetapi karena Alona mengatakan bahwa Elon ingin bertanya pelajaran kepada Aneta. Aneta jadi bertanya-tanya apakah Elon benar-benar ingin bertanya tentang pelajaran kepadanya? Setelah hari di mana Elon mendapatkan kontaknya, baik Elon dan Aneta tak pernah ada dalam situasi di mana mereka saling bicara. Mereka hanya tak sengaja saling pandang, lalu Aneta akan mengalihkan pandangannya dari cowok itu karena merasa aneh.
"Wah, wah. Kalian berdua bentar lagi jadi satu kelompok yakin gue."
"Lo jodoh banget ya sama Aneta!"
Aneta mengernyit saat menoleh ke belakang untuk melihat teman-teman Elon yang berisik. Dia tak akan menoleh jika saja saja tak mendengar namanya disebut-sebut.
"Kelompok selanjutnya," perkataan Bu Wati membuat Aneta dengan cepat mengarahkan wajahnya kembali menghadap Bu Wati. "Catat baik-baik. Ibu nggak akan ulang. Alona Elora. Key Davino. Elon. Aneta."
Aneta merasakan jantungnya hampir copot.
Kenapa ... Elon? Apa yang Bu Wati pikirkan? Bukannya tak adil menyatukan mereka dalam satu kelompok? Aneta bertanya-tanya, tetapi tidak bisa protes karena sejujurnya dia sedikit menginginkan kesempatan yang tak akan mungkin datang dua kali ini.
"Oke, seperti biasa, untuk memudahkan saling diskusi tolong duduk di dekat kelompok masing-masing," kata Bu Wati, mengamati murid-muridnya yang mulai berdiri mengatur meja dan kursi.
Alona mendesis saat dilihatnya Key berjalan membawa satu buku yang tergulung sambil terkekeh. "Mimpi apa gue semalam harus sekelompok sama lo?"
"Mimpi indah?" tebak Key asal. Tiba di dekat Alona, dia langsung mendapatkan pukulan di lengan.
Berbeda dengan dua orang itu yang sedang adu mulut, Aneta dan Elon tak mengatakan apa pun. Hanya ketegangan di wajah Aneta. Elon juga tiba-tiba menjadi patung.
Tidak butuh waktu lama bagi siswa-siswi kelas itu dalam mengatur meja. Kelompok Aneta ada di bagian depan. Aneta membaca materi kelompok dengan tidak tenang. Diam-diam pandangannya naik, melirik Elon yang sedang bertopang dagu tak semangat.
Tiba-tiba hanya mata Elon bergerak memandang Aneta. Aneta membelalak bahkan bersuara kaget. Dia salah tingkah dan langsung menunduk dengan jantung berdegup kencang.
Elon langsung tersenyum.
Lucunya.
***
Sebentar lagi waktu istirahat habis. Harusnya Alona dan Dania—siswi yang mejanya tepat di belakang Aneta—sudah tiba di kelas, tetapi mereka berdua tak kunjung tiba. Aneta menoleh ke sampingnya dan melihat Geisha yang sedang sibuk mengulang pelajaran. Geisha dan Alona memang bertukar tempat duduk untuk sementara waktu karena Alona dan Dania ingin bergosip di jam kedua tadi.
Sebuah buku terlempar tepat di atas meja Aneta. Aneta sampai berjengkit kaget. Disaat yang sama Elon sudah duduk di hadapannya setelah menarik kursi milik siswi lain. Cowok itu mengangkat sebentar satu alisnya saat memandang Aneta, lalu dia membuka bukunya dan mengarahkannya kepada Aneta.
Aneta hanya memandang cowok itu dengan kaku.
Apa yang harus dia katakan? Apa yang harus dia lakukan? Bagaimana bereaksi sealami mungkin dan terlihat biasa-biasa saja? Pikirannya penuh oleh pertanyaan yang semakin membuatnya tak fokus. Tubuhnya jadi sekaku robot sekarang sampai meneguk salivanya saja terasa sulit.
Aneta tak biasa berhadapan hanya berdua dengan seorang cowok.
"Bisa bantuin gue nggak? Yang kerja kelompok tadi. Gue masih nggak ngerti bagian ini." Elon menunjuk sembarang tulisan di bukunya karena perhatiannya hanya terfokus pada wajah Aneta.
Aneta melihat arah tunjuk Elon. Elon tidak menunjuk satu pun tulisan karena cowok itu menunjuk bagian yang kosong. Pandangan Aneta naik, melihat Elon yang tiba-tiba membuang muka.
Cowok aneh.
"PEPET TERUS, LON!" teriak teman-teman Elon di bagian belakang.
Key mengarahkan kedua tangannya ke depan bibir. "ANETA JANGAN PERCAYA KATA-KATA ELON! DIA TUH CUMA MAU MODUS!!"
Aneta kembali merasa risi dengan kehebohan itu. Dia hanya menunduk gelisah. Bagaimana dia bisa berinteraksi dengan Elon kalau teman-temannya saja bermulut bebek?
"Ehem. Jangan dengerin. Anggap mereka monyet-monyet yang lagi kesasar di rumah penduduk," kata Elon asal. "Lihat, tuh. Pada kena rabies."
Aneta nyaris tertawa membayangkannya karena dia tidak melihat bagaimana cowok-cowok itu sedang heboh. Jadi, tiba-tiba yang muncul di benaknya adalah sekumpulan monyet yang berisik di bagian belakang.
Elon ikut menahan tawa. Bukan karena teman-temannya, tetapi karena melihat Aneta yang nyaris tertawa.
Bunyi decit kursi mengagetkan Elon dan Aneta dari lamunan masing-masing. Aneta sampai lupa ada Geisha di sampingnya sejak tadi. Geisha baru saja menggeser kursi. Dia berdiri memandang Aneta yang sedang mendongak kepadanya.
"Mau ke mana?" tanya Aneta saat Geisha sudah beberapa langkah.
Sambil memegang bukunya, Geisha berkata pelan. "Dania manggil gue...."
"Oh...." Aneta terperangkap di sini sendirian.
Elon sedang bertopang dagu dan membaca tulisannya sendiri sambil mengernyit keras. Ini tulisannya apaan dah padahal gue yang nulis?! batin Elon.
Aneta memandang Elon yang sedang sibuk mengeja tulisannya yang seperti cakar ayam itu. Aneta tak peduli lagi dengan sekeliling dan akan mengikutu saran dari Elon untuk menganggap cowok-cowok bermulut bebek di belakang sana adalah para monyet yang kena rabies.
Dia memandang Elon sambil melipat kedua tangannya di perut, memperhatikan ekspresi bingung cowok itu yang sedang berpikir keras membaca tulisannya sendiri.
Aneta sedang mengamati Elon, lalu merasakan keanehan di hatinya. Sebuah perasaan yang asing karena baru kali ini dia memandang lawan jenis begitu lama dan dari jarak yang cukup dekat.
Dia terpaku pada sepasang mata Elon yang jernih. Bukannya Elon suka main game? Aneta heran dengan rahasia cowok itu. Bagaimana bisa melakukan hobi tanpa meninggalkan jejak di tubuhnya karena kecanduan?
Senyum kecil yang muncul di bibir Elon mengalihkan perhatian Aneta yang sebelumnya fokus pada sepasang mata cowok itu. Aneta langsung membuang muka ketika manik mata Elon bergerak untuk melihatnya.
Elon berdiri hingga suara bangku terdengar keras, lalu dia berpindah tempat. Kini cowok itu duduk tepat di samping Aneta yang sebelumnya diduduki oleh Geisha.
"Ini yang gue nggak ngerti." Elon menyangga kepalanya dengan tangan kanan. Sementara tangan kiri cowok itu menunjuk sebuah buku Biologi bagian materi yang diajarkan Bu Wati tadi.
Sepasang mata Aneta langsung tertuju pada bagian yang Elon tunjukkan. Ketika mulutnya terbuka untuk mengatakan sesuatu, tiba-tiba saja cowok-cowok di belakang sana menjadikan meja sebagai gendang dadakan, bernyanyi riang gembira dengan suara mereka yang setengah cempreng setengah berat dengan lirik yang bunyinya tak lain tentang Elon dan Aneta.
"Woi, berisik!" Elon menoleh ke belakang. Bukannya berhenti, cowok-cowok itu kembali melanjutkan kehebohan mereka. "Tunggu di sini."
Aneta melirik Elon setelah cowok itu bicara. Elon berdiri dan melangkah ke mejanya. Aneta menoleh ke belakang dan melihat Elon memukul teman-temannya satu per satu sampai ada yang kabur keluar dari kelas. Senyum kecil terbit di bibir Aneta, menahan tawa dari kelucuan sekumpulan anak-anak nakal di belakang sana.
Aneta kembali memasang ekspresi datar ketika Elon kembali membawa dua earphone masing-masing berwarna hitam dan putih. Cowok itu duduk di tempat semula dan memasang earphone hitam ke ponselnya.
Elon menoleh padanya. "Handphone lo mana?"
"Kenapa?" tanya Aneta sambil menaruh ponselnya di atas meja. Beberapa saat kemudian, sebuah nomor baru muncul di layar ponselnya itu. Aneta melirik layar ponsel Elon di mana di layar tersebut terdapat nama seseorang.
Aneta
Aneta kembali memandangi layar ponselnya. Nomor yang dia tunggu-tunggu malam itu baru muncul sekarang. "Nomor lo, ya?"
"Iya, lah. Terima, dong."
"Angkat...?"
Elon mendekat dan langsung menggesekkan telunjuknya di layar ponsel Aneta untuk menerima panggilan itu.
"Buat apa?" tanya Aneta dengan heran.
"Kita ngobrolnya lewat hp aja. Anak-anak berisik." Earphone berwarna putih dipasang Elon di ponsel Aneta. "Pas. Hp agak jauhin."
Aneta menjauhkan ponselnya sesuai perintah Elon. Elon juga menjauhkan ponselnya darinya. Elon memasang earphone hitam di kedua telinganya. Saat melihat Aneta diam saja memandangnya, Elon langsung tergerak untuk memasangkan earphone putih di kedua telinga Aneta.
Aneta mundur ketika kedua tangan Elon sudah ada di samping kedua telinga cewek itu. "Mau ... ngapain?"
"Masangin," balas Elon dengan tampang polos.
"Buat apa?"
"Biar suara anak-anak gorila di belakang sana nggak begitu kedengaran."
"Sama aja. Nggak ngaruh!"
"Udah, pakai aja. Setidaknya ada usaha."
Aneta merasakan jemari Elon tak sengaja menyentuh kulit telinganya, membuatnya menepis kasar tangan cowok itu dengan refleks.
"Gue bisa sendiri," kata Aneta buru-buru sambil memasang earphone di telinganya, lalu memperbaiki duduknya.
Bukan karena earphone itu yang membuatnya tak mendengar suara berisik di belakang, tetapi karena pikirannya yang berisik saat ini.
"Halo? Halo? Lebih keras mana suara gue atau yang lain?"
Aneta menoleh. Dipandanginya Elon yang sedang bicara sambil mendekatkan mic ke bibirnya.
"Denger...," balas Aneta, tidak nyambung dengan pertanyaan Elon.
"Denger?"
"Hah?" Mata Aneta membulat, keningnya berkerut samar, mulutnya sedikit terbuka.
Ekspresi Aneta membuat Elon tertawa kecil sehingga membuat Aneta langsung memalingkan pandangannya dari Elon.
Ketika kelas itu berisik, mustahil Aneta tak akan mendengar kebisingan itu karena mereka berada dalam satu ruangan yang dipenuhi oleh siswa-siswi. Akan tetapi, Aneta bisa mendengar suara Elon lebih jelas daripada suara lain berkat earphone dari Elon.
Hanya saja mereka tidak lagi menyadari suasana sekitar yang hening. Heningnya kelas pun karena Key, Rangga, dan Mulyo memandang siswa-siswi lain sambil mendekatkan telunjuk di depan bibir.
"Tadi lo nggak ngerti yang mana?" tanya Aneta, berusaha mengembalikan rasionalitasnya.
"Nih." Elon menunjuk dengan benar bagian yang tidak dia pahami.
Sementara Aneta butuh waktu untuk mengerti tulisan cowok itu. "Bohong kalau lo nggak ngerti," kata Aneta dengan suara pelan.
"Gue emang belum ngerti, kok," balas Elon sambil mendekatkan sedikit tubuhnya pada Aneta.
Perasaan seperti kupu-kupu yang beterbangan di perut Aneta membuatnya sungguh tidak nyaman. Meski begitu, dia tetap ingin bersikap sebiasa mungkin. "Terus gimana bisa lo ranking satu kalau gitu? Lo belajarnya gimana?"
"Belajar sendiri di rumah."
Aneta sedikit menunduk dan memiringkan kepala. Tanpa dia sadari, posisinya membawanya beberapa senti meter lebih dekat kepada Elon. Antusias untuk mendengarkan lebih banyak lagi. "Belajar ... sendiri?"
"Rajin baca dan banyak latihan soal," jawab Elon.
Ada kelegaan yang Aneta rasakan. Jawaban Elon dapat diterima oleh egonya yang tadinya tak mau kalah. Aneta jadi bisa berpikir lebih baik. Selama ini, nilai-nilai ujian tak pernah diumumkan di depan semua murid kelas. Hanya tugas-tugas biasa yang poinnya tak setinggi ujian maupun kuis dan Aneta selalu mendapatkan pujian dari beberapa guru mengenai kepintarannya, membuatnya mempunyai ekspektasi bahwa dialah yang akan menjadi juara kelas. Seperti saat dia duduk di bangku SD maupun SMP yang selalu menjadi juara kelas.
Di atas langit masih ada langit. Aneta menyadari itu. Meskipun juara kelas, tetapi dia tak pernah memasuki 5 besar ranking paralel. Apalagi menjadi juara angkatan. Sementara SMA Tabula Rasa belum atau mungkin saja tak akan mengumumkan ranking paralel untuk tahun ini.
"Sejujurnya, gue nggak bisa ngajar orang lain." Aneta bergumam sembari memandang meja setelah menyadari satu dari beberapa kekurangan pada dirinya. "Gue ngerti, tapi nggak tahu gimana caranya jelasin dan harus mulai dari mana. Jadi, lo bisa minta tolong ke yang lain atau...." Ucapan Aneta berhenti ketika menoleh dan bertatap mata dengan Elon dalam jarak yang dekat. ".... guru?"
"Mau belajar bareng gue?" tanya Elon.
Apa di perutnya ada ribuan kupu-kupu? Itu pertanyaan yang Aneta ajukan kepada dirinya sendiri.
Kupu-kupu yang beterbangan di perutnya itu membuatnya mual dan Aneta membenci perasaan aneh itu.
"Mau belajar bareng nggak?" Elon bersikap santai. Cowok itu bahkan sedang bertopang dagu sembari memiringkan tubuh untuk menatap Aneta lebih leluasa. "Rumah lo?"
"A—a?" Aneta kehilangan kata-kata bersamaan dengan teriakan siswa-siswi lain yang membuatnya jadi terkejut karena sebelumnya hening. Kata "cie" keluar dari mulut semua murid di kelas itu. Aneta melihat sekeliling dengan gelagapan. Situasi ini terlalu asing baginya.
"Nanti lanjut aja ngobrolnya. Udah mau bel." Elon mengambil bukunya. Godaan dari siswa-siswi lain belum juga berhenti. Cowok itu lupa earphone masih terpasang di telinganya dan ponselnya masih ada di dalam laci. Ketika dia berdiri, dua benda yang terhubung oleh kabel itu mengacaukan langkah Elon menjadi tak mulus.
KRET. BRAK. Suara geseran meja dan suara jatuhnya Elon ke lantai membuat suasana kembali menjadi hening. Elon segera membalik tubuhnya hingga dia kini terduduk sambil meringis pelan dan yang pertama kali dia lihat adalah tatapan terkejut Aneta.
Elon mengulurkan tangannya. "Boleh bantu gue berdiri?" Dan itu adalah pertanyaan yang merupakan keinginan dari alam bawah sadar cowok itu.
"TARIK! TARIK! TARIK!" Kelas kembali berisik oleh teriakan siswa-siswi lain. Suara tangan yang ditepuk seirama dengan seruan satu kata yang terus berulang.
Aneta hanya memandang tangan Elon yang masih terulur dengan pikirannya yang berkecamuk. Baru melihat tangan Elon yang lebih besar dari tangannya saja sudah membuat perasaannya tidak nyaman.
Baik dirinya maupun Elon bertahan pada posisi masing-masing. Begitu pun siswa-siswi lain yang tak mau berhenti menggoda mereka.
"BU TRESNA DATANG!"
"BENERAN? PADAHAL BARU BANGET BELNYA!"
Sampai akhirnya, keributan suara mulut manusia-manusia itu terhenti karena digantikan oleh suara decitan benda-benda mati. Elon menurunkan tangannya, menjadikan kedua tangannya itu sebagai titik tumpuan untuk berdiri. Pandangannya tak lagi tertuju pada Aneta sambil mengambil barang-barangnya yang ikut jatuh di lantai.
Aneta melihat ekspresi wajah Elon yang berubah drastis dari sebelumnya. Tak ada senyum di wajah cowok itu sehingga membuat Aneta jadi tak tenang dan berpikir berlebihan.
Elon marah karena tidak dibantu berdiri? adalah sebuah pertanyaan yang muncul di benak Aneta dan membuatnya tak bisa tenang.
Siswa-siswi lain sudah duduk rapi. Aneta baru duduk di bangkunya tepat saat Bu Tresna memasuki ruangan kelas. Sebelum ketua kelas memberi aba-aba kepada yang lain untuk berdiri, Aneta mengambil kesempatan untuk melihat ke belakang.
Benar. Tak ada senyum di wajah Elon sehingga membuat Aneta jadi merasa bersalah.
"Berdiri." Ketua kelas memulai aba-aba. Semua murid di kelas itu pun berdiri. "Beri salam," ucapnya.
Elon menghela napas panjang disaat yang lain memberi salam kepada Bu Tresna.
"Gila. Malu banget gue." Bukan malu pada yang lain, tetapi malu karena dilihat Aneta karena kecerobohannya. Mengulurkan tangan kepada Aneta adalah cara agar rasa malunya pada Aneta berkurang.
"Hah? Apa?" Key mendekat dan berbisik setelah semua murid duduk.
"Enggak. Nanti ke warnet mau nggak?" tanya Elon dengan suara pelan.
"Ayok! Yang deket." Key menoleh kepada Rangga dan Mulyo. "Hoi, berdua. Warnet."
Rangga dan Mulyo mengangkat jempolnya. Tak berani bicara saat Bu Tresna sedang mengajar.
Elon bertopang dagu. Pandangannya tertuju pada Aneta di depan sana, lalu dia berdecak dan menaruh kepalanya di atas meja. "Hah. Gue mau cepat pulang."
"Elon." Suara Bu Tresna yang tegas membuat seisi kelas jadi makin hening. Penghapus yang jatuh pun tak berani bersuara.
Elon langsung menegakkan punggung. "Siap, Bu?"
Bu Tresna mengetuk papan tulis dengan spidol di tangannya. "Kerjakan."
Elon langsung berdiri. Bu Tresna dan siswa-siswi yang memperhatikannya sejak berdiri terheran karena Elon bukannya langsung berjalan lurus, tetapi mengambil jalan lain sehingga membuatnya memutar tempat dan memakan waktu lebih lama.
Aneta sedang menunggu Elon muncul dari arah kanan melewati Alona, tetapi Elon justru lewat tepat di samping kirinya.
Elon menunduk dan berbisik padanya. "Kalau udah waktunya pulang nanti, jangan langsung pulang."
Tak ada yang berani berteriak menggoda mereka karena berada di kelas seorang guru yang terkenal akan kegalakannya. Bu Tresna hanya mengernyit sesaat dan tak bisa mengatakan apa pun karena tak mendengar apa yang Elon katakan pada Aneta.
Ya, memang tidak ada yang berisik.
Namun, hati Aneta dan Elon yang berisik di rongga dada masing-masing.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro