Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

01

Di salah satu bilik warnet, ada seorang dari sekolah lain yang menyelinap sejak 30 menit yang lalu. Warnet itu milik SMA Cendei D'Graham, sebuah sekolah khusus laki-laki. Semua bilik terpakai dan semua yang ada di sana sedang bermain game, kecuali satu cowok berhoodie hitam yang tak pernah melepas maskernya sejak memasuki tempat itu.

Dia Elon, masih 15 tahun. Tingkahnya juga masih sangat bocah. Dia duduk mengangkat satu kakinya ke atas kursi yang dia duduki. Sesekali menyomot snack yang menemaninya sejak tadi.

Seharusnya, dia di sana tak boleh lebih dari 10 menit jika tidak ingin segera ketahuan. Namun, 30 menit pertama itu dia manfaatkan untuk bermain game. Beberapa kali terdengar suara umpatan di dalam sana dengan suara berbeda-beda. Meski belum tentu benar bahwa orang-orang yang berteriak itu adalah lawan main Elon dalam game, tetapi Elon yakin karena setiap kali Elon mengalahkan musuh dalam permainannya pasti ada saja yang mengumpat kasar.

Elon melihat waktu. Dengan tak rela dia meninggalkan permainannya dan mulai menjalankan aksi. Tugas yang Tigris berikan adalah meretas komputer di sana yang saling terhubung.

Elon tersenyum. Semua komputer mati saat mereka sedang asyik bermain game.

"AAAAAN******NG!"

"BANGSAT INI KENAPA MATI!"

"BENTAR! INI GUE JUGA NGGAK TAHU. MAU NGECEK DULU MATI LAMPU, KALI."

"SERIUS LU?"

"SPERTI MATI LAMP—"

"BABI JANGAN NYANYI!"

"BANGSAT! BANGSAT! MATI LAMPU APANYA CPU-NYA NYALA!"

Semua cowok yang ada di sana mengeluh kepada operator. Tak lama kemudian, komputer kembali menyala.

Gambar background semua komputer adalah kartun anjing putih yang jumlahnya banyak. Semua kartun anjing itu memakai kacamata pink. Di background itu terdapat beberapa balon percakapan di atas kepala kartun anjing, tulisan balon di atas kepala kartun;

yang berdiri paling depan, "kami dari SMA Cendol Gigi Geraham."

yang wajahnya tak terlihat karena paling belakang, "minggir, dong. Mau maju, nih, gue. Keburu cipirit."

yang wajahnya membelakangi anjing lain, "buset pantat lo bau tai."

dan beberapa lagi.

"WAH, WAH, NGGAK BENER, NIH!" teriakan itu terdengar tepat setelah Elon melewati batas pintu warnet. Untung saja dia membayar lebih dulu karena beberapa cowok D'Graham sedang berkumpul di dekat operator warnet.

"LO BERHENTI!" teriak cowok lain. Elon terus berjalan agar terlihat serelaks mungkin juga berharap bukan dia yang dipanggil. "LO YANG PAKAI ITEM-ITEM!"

Elon sontak berhenti. "Sial," gumamnya. Dia berbalik, memandang sekumpulan siswa D'Graham yang memandangnya curiga. Mereka semua memakai pakaian biasa. Toh, ini memang libur semester ganjil.

"Kelas berapa lo?" tanya siswa yang wajahnya paling sangar.

Elon yang memakai masker hitam menatap mereka satu per satu untuk mengingat wajah mereka. Tampang-tampang mereka seperti siswa kelas XI dan XII.

"XI IPA—" Ucapan Elon berhenti ketika salah satu dari D'Graham memotong ucapannya.

"DI D'GRAHAM NGGAK ADA JURUSAN IPA!" Satu cowok maju dengan langkah menggebu-gebu. "DARI SEKOLAH MANA LO?!"

Sial. Sial. Elon terus membatin. Jumlah mereka sangat banyak. Tentunya, satu-satunya cara adalah kabur. Sebelum musuh itu semakin dekat, Elon sudah lebih dulu berlari kencang. Semua siswa D'Graham yang ada di sana ikut mengejar Elon.

Elon mencari tempat persembunyian. Sementara para siswa D'Graham berpencar mencari Elon. Dalam tempat persembunyian Elon itu, dia membalik hoodie­-nya yang berbeda warna. Pun dengan tasnya. Tadinya dia memakai serba hitam, tetapi kini dia terlihat seperti anak TK yang baru pulang sekolah.

Tanpa masker untuk menutupi wajah hingga tampang—bocah—imutnya terlihat, celana jeans pendek berwarna biru muda bekas kemarin yang dia ambil dari dalam tas karena semalam menginap di markas, hoodie hijau, dan tas oranye. Tak lupa sepatu putih dan kaos kaki putih.

Elon keluar dari tempat persembunyian sambil menikmati rasa permennya, melewati siswa-siswa D'Graham yang sibuk mencarinya padahal dia sudah ada di depan mata.

"Dek! Dek!"

Elon menoleh saat seseorang memanggilnya.

Salah satu siswa D'Graham!

Elon tidak ingin bersuara karena tadi suaranya sudah terlanjur terdengar.

"Tadi lihat orang pakai item-item nggak?"

Elon menggeleng-geleng tak ingin bersuara sambil memasang tampang polos.

"Oh, ya udah. Makasih, ya!" Siswa itu berkacak pinggang sambil menarik napas dalam-dalam. "Ketemu kagak?" teriaknya kepada yang lain.

"Anak siapa, tuh?" tanya seseorang saat melihat Elon yang masih berdiri memandangnya. "Masih SMP udah tinggi, ya." Lalu dia tertawa. "Kalah tinggi lo, Nyet."

Elon pergi dari sana bersungut-sungut sambil memasukkan kembali permen stik ke mulutnya. "SMP.... Muke lo SMP."

Kekesalannya hilang karena mengingat sesuatu. "Ah, libur semester hampir habis."

***

Makan malam keluarga Aneta telah selesai. Aneta dan mamanya yang membereskan piring-piring kotor. Vina, kakak Aneta yang saat ini kelas XI di sekolah yang berbeda dengan Aneta, sedang di kamar dan tak banyak melakukan pekerjaan rumah dari dulu.

Di tengah-tengah aktivitas bersih-bersih di dapur itu Aneta dan mamanya mengobrol banyak hal, lalu tiba-tiba mama membahas sesuatu yang Aneta hindari.

"Kamu nggak punya pacar, kan, Aneta?"

Aneta meringis. Cewek yang rambutnya terikat ekor kuda itu paham mama sangat trauma sejak apa yang dialami Vina karena cowok bernama Erfan. Akan tetapi sebenarnya mama memang sering menasihati sejak dulu tentang pergaulan di usia remaja, beberapa kali memberi edukasi yang bermanfaat, dan mama juga adalah sosok wanita berhijab yang taat agama.

Aneta pernah ditawari untuk masuk ke pesantren. Begitu pun dengan Vina, tetapi Vina tidak mau dan ingin berada di sekolah umum dan Aneta mencontohi kakaknya itu setelah menceritakan banyak hal mengenai Tabula Rasa.

Vina dan Aneta tidak berhijab. Lebih tepatnya belum. Mama juga tidak pernah memaksa dan hanya mengatakan bahwa lakukan semua pelan-pelan.

"Gimana punya pacar kalau deket sama cowok aja nggak pernah, Ma?" Aneta tersenyum. "Aku juga nggak bakalan pacaran, kok."

"Mungkin belum aja ada cowok yang berani deketin," kata mama, membuat Aneta menoleh. "Tapi kamu jangan pacaran, ya, Nak."

Aneta memutar keran wastafel dan membersihkan piring kaca dengan gerakan pelan karena sedang berpikir.

"Ma, masih kepikiran Vina, ya?" gumam Aneta.

Mama tersenyum. "Kepikiran kamu juga. Kamu udah remaja. Lagi masa-masa pubertas. Mungkin belum aja kenal cinta monyet."

Aneta menunduk. Mamanya benar. Aneta belum pernah jatuh cinta.

"Anet, pacaran itu nggak baik. Mungkin, beberapa orang akan berpikir bisa pacaran secara sehat, yang kalau pacaran nggak ngelakuin hal-hal di luar nilai moral agama. Tapi pacaran aja udah nggak bener. Ada banyak zina. Tatapan sama lawan jenis aja bisa zina. Pegangan tangan juga zina." Mama mengatakan banyak hal, menceramah, dan Aneta merasa tenang mendengarnya sembari merenung. "Berapa banyak laki-laki yang bisa menghargai perempuan?"

Aneta memandang mamanya diam.

"Kenapa zaman sekarang ada banyak yang pergaulannya bebas sampai hamil di luar nikah udah hal biasa yang sering terjadi?" Mama menghela napas. "Karena banyak orang sudah menganggap pacaran itu hal biasa. Banyak yang menganggap pacaran itu kalau pelukan nggak apa-apa, kalau ciuman nggak apa-apa karena udah wajar namanya juga pacaran, pegangan tangan nggak apa-apa karena namanya juga pacaran. Saking terlalu biasanya, ngelakuin hal yang nggak seharusnya jadi kebiasaan juga. Dan saking terbiasanya, rasa bersalah ke Allah pelan-pelan terlupakan. Mereka larut dengan kesenangan duniawi. Iblis ngetawain. Berhasil ngebuat manusia terjurumus ke bisikannya lagi. Dan lagi." Mama tersenyum menaruh tangannya di rambut Aneta dan mengusapnya. "Mama lagi ngomong dari segi agama, Sayang."

Aneta tersenyum kecil dan memikirkan Vina.

Vina tak pernah melakukan hal yang tidak-tidak kan bersama Erfan? Aneta memejamkan mata dan menggeleng. Pikirannya terlalu jauh.

Hubungan antara dia dan kakaknya sudah tak seperti dulu lagi sejak Aneta membongkar kebohongan yang Vina lakukan demi mantan pacarnya.

Karena cowok yang sangat dicintai Vina itu, banyak hal yang terjadi pada Vina. Berbohong tentang uang sekolah yang ternyata diberikan kepada seseorang yang sudah menjadi mantan Vina. Dipukul oleh Papa setelah Aneta mengadu atas apa yang terjadi sebenarnya karena Aneta tak tahan dengan sikap Vina. Kabur dari rumah sampai Papa memohon-mohon mengajaknya pulang kembali dan berjanji tak akan memarahi Vina lagi. Vina pindah dari STARA ke sekolah lain. Lalu sekarang, Vina lebih sering menghabiskan waktu di kamar untuk menyendiri dan sibuk dengan dunia maya.

Sampai sekarang, Aneta masih merasa bersalah pada Vina. Karena aduannya tentang uang yang selama ini disalahgunakan oleh Vina, Vina jadi kena pukul. Aneta tak menyangka Papa akan semarah itu.

Bagaimana pun, semua sudah berlalu. Berapa kali pun Aneta meminta maaf pada Vina, Vina tak peduli.

"Kamu sebagai perempuan harus jaga diri baik-baik, ya. Mama cuma bisa ngasih tahu kamu sekali-kali. Selebihnya, kamu yang jalanin. Kamu yang akan ketemu sama orang-orang di luar sana. Kamu yang punya pilihan untuk setiap langkah yang kamu ambil ke depannya."

Aneta mengangguk-angguk dan kembali melanjutkan pekerjaannya.

Sebentar lagi hari libur habis.

Jatuh cinta....

Apa dia akan merasakan hal seperti itu juga pada cowok?

 ***

🌺


thanks for reading!

love,

svrinai


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro