Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🌼41-Dera dan Restu Ayah

Jika ada yang bertanya pada gadis tersebut, perihal dia percaya hantu atau tidak, gadis tersebut akan menjawab dengan: "percaya tidak percaya."

Menurutnya itu jawaban yang sangat "Indonesia" dan sangat bisa menggambarkan bagaimana dirinya, yang lagi-lagi, percaya tidak percaya pada hantu atau mitos-mitos.

Meski begitu, ia bukan seseorang yang fanatik terhadap satu kesimpulan tertentu, seperti ia percaya banget bahwa hantu itu ada, atau ia akan membuktikan bahwa sebenarnya hantu itu tidak ada.

Hal yang sama berlaku pada mitos dan legenda-legenda yang ia dengar. Termasuk sebuah legenda yang pernah ia dengar tentang sebuah toko bunga, tempat kamu bisa menemukan pasangan dan merawat hubungan sebagai kekasih.

Tidak tanggung-tanggung, mitos tersebut bahkan ia dengar dari mendiang ibunya sendiri. Kabarnya ada toko bunga langganan ibunya yang juga memiliki sebuah keajaiban, menurut ibunya, di toko itu cinta antara dia dan kekasihnya bisa tumbuh dan terawat.

Toko itu seperti bertanggung jawab merawat perasaan orang-orang yang sudah dititipkan.

Saat gadis tersebut duduk di bangku kelas 4 SD, ibunya sempat harus dirawat karena sakit, dan dia berkesempatan melihat sebuah pot bunga yang ditaruh di atas nakas, dekat dengan kasur dan terpapar sinar matahari langsung.

Sejak saat itu ia selalu merasa bahwa bunga yang ditanam di sana sungguh aneh dan tidak pernah ia temui. Kelihatannya seperti ada dua bunga berbeda jenis yang bercampur, menciptakan kesan aneh dan asing, sekaligus memikat.

"Bagus kan?" tanya Ibunya. "Ini ditanam sejak Ibu dan Ayah masih SMA, juga sebuah kado yang diberikan saat pernikahan."

Gadis itu menyimak perkataan Ibunya yang mengatakan bahwa bunga tersebut selama ini ada di dalam kamarnya. Ibunya merawat tanaman itu dengan sepenuh hati, menyiram, menyemai, melihatnya layu-gugur-tumbuh selama bertahun-tahun.

Tanaman itu benar-benar berhenti tumbuh—juga berhenti gugur—tepat di hari Ibunya berpulang karena kecelakaan. Bunga aneh di dalam pot itu bagaikan berada bebas dari ikatan waktu, ia tidak mati dan juga tidak hidup.

Sampai saat gadis itu masuk ke sekolah menengah, ia masih mengingat perkataan Ibunya, tentang di mana toko bunga yang memiliki benih bunga ajaib tersebut. Gadis itu sebenarnya cukup terkejut dengan beberapa majalah pop sampai majalah mistis, juga koran lokal yang sempat meliput toko bunga itu.

Meski begitu, foto bunga ajaibnya tidak pernah diliput, katanya karena itu termasuk dalam hal-hal yang harusnya tidak diketahui selain dari pasangan yang memesan bunga.

Oh, ya rumornya, setiap pasangan yang memesan bunga ajaib di sana, hubungannya akan senantiasa langgeng sampai akhir hayat.

Para jurnalis tidak akan pernah tahu kenyataannya—mereka juga tidak mau repot-repot mencari apakah betul bunga tersebut bisa menjaga hubungan seseorang. Namun, gadis itu menjadi saksi keberadaan bunga ajaib, dan hubungan ibu serta ayahnya.

Saat pertama kali datang ke toko itu, ia berhadapan dengan seorang remaja yang umurnya lebih muda dari dirinya. Sedikit di luar ekspektasi, tetapi ia maklum, mungkin karena memang toko sudah pindah generasi pengurus.

Kali kedua, ia datang bersama "pasangannya", dan beberapa kali lainnya karena ia sudah memesan layanan dan bunga spesial yang dimaksud.

Kemudian, saat ini akan menjadi kali terakhirnya mengunjungi toko bunga dengan papan kayu yang bertuliskan "Anyelir Florist". Stella tersenyum pada Anya, Anya sendiri memberikan tata krama yang baik pada pelanggannya.

"Saya sangat terbantu dengan sikap Kakak, apalagi Kakak bisa memaklumi keputusan manajemen kami," ujar Anya dengan sangat formal.

Stella mengangguk. "Menurutku, itu memang bukan masalah besar."

Anya mengetikkan sesuatu di komputer lama milik toko, dan selembar kertas pun keluar. Isinya adalah rincian biaya yang harus dibayar dan beberapa yang harus dikembalikan.

"Sesuai penawaran dari kami, Kakak sepakat bahwa Kakak menghentikan penggunaan layanan spesial terhitung mulai hari ini. Untuk itu, Kakak hanya perlu membayar sesuai dengan berapa lama Kakak menggunakan layanan kami, sisanya akan kami kembalikan. Juga, kami tidak akan menarik cancelation fee karena keputusan tersebut berawal dari kelalaian kami. Terakhir, kami meminta maaf atas ketidaknyamanan yang disebabkan oleh keputusan kami."

Stella menerima kertas dan membaca rincian dengan seksama, setelah itu ia sepakat dan menerima refund yang diberikan oleh Anya.

"Kamu profesional banget, apa kamu ada rencana nerusin toko ini?"

Dibilang begitu, Anya tersenyum kecut. "Profesional itu kurasa kalau bisa menyeimbangkan antara kerja dan sekolah, atau dengan kegiatan lainnya, bukannya malah fokus banget ke kerjaan terus sakit."

"Oh iya, aku dengar beberapa hari ini kamu langganan masuk UKS."

"Diopname juga."

"Hah?!" Stella memekik. "Kok kamu nggak bilang? Apa gara-gara layanan spesial ini juga?"

Anya menggeleng. "Soal kerjaan itu tanggung jawabku, sayangnya memang aku kurang bisa jaga badan. Makanya aku harus lepasin pesanan Kakak." Ia tersenyum, ucapannya berganti dari yang tadi formal menjadi kasual.

"Apa melelahkan?" tanya Stella.

Yang ditanya mengangguk. "Tentu, tapi aku suka. Terus kalau ditanya apa mau nerusin toko." Anya memangku dagunya, memandang ke sekeliling toko. "Entah." Sambungnya lagi dengan pandangan yang mengambang.

"Oh ya, bunganya aku ambilkan dulu." Anya beranjak dan masuk ke belakang. Belum lama setelah itu, kepalanya menyembul lagi ke luar. "Apa Kak Stella sibuk?"

Stella menggeleng. "Hari ini nggak, kurasa."

"Mau minum teh telang buatan rumah?" tanya Anya sambil memasang senyum.

"Boleh-boleh!" Stella mengangguk dengan antusias.

Anya pun akhirnya masuk ke dalam rumah, tapak kakinya menjauh dari Stella yang memakukan pandangannya ke sebuah pot tempat bunga Krisan favoritnya tumbuh dengan sehat.

🌼

Latihan drama akan dimulai sore nanti. Dera punya banyak waktu untuk mengerjakan soal latihan UN, lalu soal latihan UTBK dan mungkin ... soal monbukagakusho. Meski pintar, Dera sebenarnya tidak suka belajar mengerjakan banyak soal seperti ini, tapi sejak pembicaraannya dengan Stella di sore hari saat jeda latihan drama, ia baru tahu kalau negara tujuan Stella untuk berkuliah adalah Jepang—dan rasanya, ia tidak mau buang-buang waktu.

"Tetapi, tentu saja mustahil," ujar Dera setelah melihat unduhan latihan soal Monbukagakusho yang berbahasa Jepang.

Pada akhirnya, ia tenggelam dalam kumpulan soal-soal latihan UTBK dan UN, sampai waktunya latihan drama tiba.

Ia tidak yakin apakah hubungannya dengan sang ayah sudah baik-baik saja, tetapi Dera sudah berniat mengakhiri perang dingin itu kemarin. Lagipula, meski hubungan mereka sedang renggang seperti itu, ayahnya tak lupa pamit kalau beliau harus keluar rumah, jadi, Dera juga akan melakukan hal yang sama.

Ia menemui ayahnya yang ternyata belum selesai berkebun di taman belakang.

"Dera berangkat latihan drama dulu." Kali ini ia menegaskan ke mana tujuannya.

Dera hampir saja berbalik karena ia merasa tak membutuhkan jawaban ayahnya—sama seperti ayahnya yang juga tak perlu menunggu jawaban dari dirinya selama ini. Namun, ayahnya memanggil.

"Dera."

Ia tidak jadi berbalik meninggalkan ayahnya.

"Ayah ijinkan."

Pupil mata Dera membesar mendengar kalimat tersebut. Senyuman tak lagi bisa ia tahan.

"Iya, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," balas ayahnya sambil kembali ke aktivitasnya.

Dera pergi dengan langkah kaki yang ringan siang itu.

🌼

Tangannya terulur ke sebuah pot bunga, dari dalam media tanamnya hanya muncul setangkai tunas dengan tinggi tiga sentimeter.

Dari bawah tangannya muncul sinar misterius yang menerangi bibit tanaman itu. Tidak sampai semenit, sinar itu meredup dan hilang seiring mantra yang selesai diucapkan.

Kemudian Anya limbung.

Beruntung, karena ia memang sudah siap dengan risikonya, ia segera memegang tepi meja untuk menopang tubuhnya.

"Kita tidak bisa memaksakannya," ujar Neneknya yang berada di sampingnya, menyerahkan segelas air putih.

Anya memandang pot itu dengan pandangan yang kuyu.

"Kalau Nenek pernah bilang, di masa muda harus bisa merasakan banyak hal, Nenek juga mau bilang, tidak ada yang mau merasakan penyesalan."

Anya membuang napasnya pelan.

"Meskipun penyesalan itu normal, Nenek ingin egois dan berharap kamu tidak perlu merasa menyesal, apalagi sampai merugikan diri sendiri. Nenek sayang sama kamu."

Perempuan berusia tujuh puluh tahun itu mendekat ke Anya, mengambil kepala dan pundak cucu satu-satunya itu ke dalam pelukannya.

"Jadi, Anya harus ngapain?" tanya Anya.

"Nenek yakin kamu sudah menemukan jawabannya, kamu cuma butuh pembenaran dan waktu yang tepat."

Dibilang begitu, mata Anya memandang jauh. Apakah ia benar-benar siap untuk jujur pada dirinya?

Seiring jarum jam yang terus berputar, matahari dan bulan yang terus setia untuk terbit dan tenggelam, hari demi hari telah gugur seperti daun-daun pepohonan yang sudah kering dan diterpa angin.

Intensitas Anya dan Dera untuk belajar semakin berkurang, memang, dan itu disepakati oleh mereka berdua karena Dera harus bersiap untuk UN serta persiapan masuk kuliah. Sebagai gantinya, akan ada diskusi secara tidak langsung, kapanpun, lewat platform chat yang mereka miliki.

Dera dan Stella menikmati hari-hari mereka, selain dengan kumpulan soal, juga kumpulan naskah-naskah film pendek dan jadwal syuting yang mau tidak mau, mengejar mereka.

Kai dan Stella sering bertemu di perpustakaan sekolah untuk belajar dan menghabiskan waktu bersama, atau di penjual batagor terenak di kantin mereka, sambil bercakap-cakap membahas apapun yang menurut mereka menyenangkan dan perlu untuk dibicarakan.

Hari terakhir syuting berganti dengan hari UN tiba, dan empat hari kemudian, ujian tersebut telah selesai dilaksanakan.

Belum genap tiga tahun, masa putih abu-abu bagi Dera telah selesai dilalui olehnya, dan di sinilah Dera berada, sedang serius memotong beberapa tangkai bunga, lalu menyusunnya di sebuah vas. Ia baru saja menyadari bahwa selain menyusun bunga dalam resin, merangkai bunga juga ada seninya dan terasa menarik untuk dicoba.

Sementara itu dari meja kasir, Anya memandang pemandangan itu sambil memberikan senyum yang tidak pernah disadari oleh Dera.

Masih ada beberapa hari sebelum pengumuman nilai ujian keluar, di sela-sela itu akan ada SNMPTN, seleksi pekerjaan, dan latihan-latihan teater, setidaknya itu bagi Dera.

Bagi Anya, ia mulai bisa menerima bahwa bunga-bunga yang ada di depannya ini, sebagian akan dijual, atau didonasikan ke kenalan Nenek.

"Kamu beneran, nggak apa-apa?" tanya Dera, sambil memangku wajahnya dengan sebelah tangan.

Cahaya matahari yang terbenam masuk ke dalam toko, anak-anak rambut Dera bergerak lembut karena kipas angin yang menderu di dinding. Anya ingin menikmati momen-momen tersebut.

"Tentang?" tanya Anya.

"Bunga-bunga di sini yang bakal pindah tempat."

Anya mengangguk berkali-kali. "Toh, dunia nggak bakalan kiamat kalau bunga ini pindah ke tempat yang baru. Bunga-bunga ini bakal dirawat di sana, dan suatu hari, aku masih bisa buka toko ini lagi, kok." Gadis itu keluar dari meja kasir dan duduk, kini berhadap-hadapan dengan Dera.

Dera menaikkan salah satu alisnya, Anya ikut-ikutan memangku dagunya sambil memajukan sedikit tubuhnya, mendekatkan diri ke wajah Dera.

"Atau gimana kalau kita berdua buka toko ini bareng-bareng setelah aku lulus SMK?"

Telinga Dera menghangat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro