🌼4-Dera dan Negosiasi yang Alot
"Maaf, bagaimana?" tanya Dera dengan mata berkedut, heran dan kebingungan.
Bu Fresya tersenyum dan menggeleng pelan. "Kayanya Ibu terlalu straight to the point, ya? Dera, duduk dulu." Bu Fresya meraih tempat duduknya dan duduk di sana, memandang kedua anak didiknya yang tampak syok.
"Nah, Dera, anak yang di sebelahmu ini namanya Anya."
Dera menoleh ke seorang siswi yang kini sedang menunduk dan memainkan jari-jarinya di sampingnya. Di lengan anak perempuan itu, terdapat badge dua garis yang menandakan kalau dia murid tahun kedua.
Anak kelas 11, batin Dera.
"Lalu?"
"Anya ini penerima beasiswa, tapi kategori bantuan untuk anak yatim piatu dan kurang mampu. Kami tahukan di setiap kategori beasiswa di sekolah ini, ada minimal nilai yang harus dicapai?"
Dera mengangguk. Untuk beasiswa kategori yang disebutkan Bu Fresya tadi, artinya murid harus mendapatkan dan mempertahankan nilai tepat atau di atas dari 75. Beasiswa kategori anak yatim piatu dan tidak mampu sebenarnya adalah beasiswa dengan standar nilai paling rendah.
Di atasnya ada beasiswa prestasi bidang olahraga dan non akademik, yang mengharuskan pemegangnya mempertahankan nilai olahraga atau mengikuti kompetisi non akademik dengan minimal nilai 80 dan juara 3 di setiap kompetisi, ditambah mempertahankan nilai di atas 75 untuk pelajaran akademik. Di atasnya lagi ada beasiswa prestasi akademik dengan minimal nilai 83 di setiap mata pelajaran akademik dan minimal nilai 80 untuk mata pelajaran non akademik.
Dengan adanya beasiswa ini, Dera sebenarnya yakin, makanya sekolah dapat menjaring banyak murid berprestasi.
"Minimal nilai 75, 'kan, Bu?"
Bu Fresya mengangguk.
"Itu artinya, saya juga tidak akan mengatakan kalau Anya adalah murid yang bodoh." Bu Fresya mengalihkan pandangannya ke Anya. "Mempertahankan nilai 75 ke atas itu sulit, tapi Anya bisa melakukan itu sampai akhir-akhir ini, absennya alfa sebanyak 10 hari."
Dera agak sedikit melongo mendengar hal itu.
"Jadi, Ibu minta tolong ke Dera untuk membantu Anya belajar dan menaikkan nilainya." Bu Fresya kini memasang pandangan penuh perhatian kepada Anya. "Anya, Ibu ini guru sekaligus wali kelasmu. Ibu yakin, kalau nilaimu mengalami peningkatan, dan kamu tidak lagi alfa, serta nanti bisa mengerjakan ujian kenaikan kelas, Ibu yakin kalau Ibu masih bisa membantu Anya buat naik kelas."
Anya masih memainkan jemarinya, tapi kali ini mukanya mendongak sedikit, menatap lawan bicaranya. Mencoba melihat rasa simpati yang benar-benar jujur dari mata Bu Fresya yang juga wali kelasnya itu.
Gadis itu menghela napas panjang
"Akan saya usahakan. Berapa nilai yang harus saya kejar."
Bu Fresya kini tersenyum, aura yang terpancar dari senyumnya adalah aura yang bahagia dan penuh semangat.
"Ibu lihat, rata-rata nilai mata pelajaran dan ulanganmu hanya 76, selisih satu poin dari minimal nilai yang dijadikan standar. Untuk membantumu, Ibu rasa kamu harus menaikkan nilai sampai 80. Empat poin, agak berat, tapi Ibu yakin ...," Bu Fresya menoleh ke Dera, "selama ada Dera yang jadi mentormu, saya rasa kamu bisa mendapatkan rerata nilai 80."
"Saya menolak!" ujar Dera, tegas dan tiba-tiba.
Anya terkejut, ia menoleh ke kakak kelas di sampingnya yang memasang ekspresi kaku menghadap ke Bu Fresya.
Apa-apaan kakak kelas yang satu ini? Kenapa dia bisa berani menolak permintaan Bu Fresya dengan wajah seperti itu? Batin Anya.
Gadis itu juga menoleh ke Bu Fresya yang juga tampak terkejut dengan ucapan Dera, tetapi dengan cepat, air mukanya berubah jadi tegas.
"Alasannya?" tanya Bu Fresya dengan mata yang menyorot tajam.
"Banyak. Pertama, saya nggak kapabel untuk mengajari anak orang, dua, pasti ada murid lain, bahkan satu angkatan yang bisa mengajari Anya. Bukannya malah enak kalau ada teman seumuran dan seangkatan? Ketiga, saya sudah kelas 12, waktunya fokus untuk mengejar banyak ujian atau persiapan untuk melamar kerja. Terakhir, Anya bukan murid yang bodoh, saya kira pelajaran selama 10 hari itu bisa dikejar."
"Dera," Bu Fresya menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi yang dibalut kain berwarna abu-abu, "Ibu butuh seseorang yang bisa menekan Anya, bukan seorang teman sekelas atau seangkatan yang malah bikin Anya nyaman dengan 'urusannya' sendiri, lalu, tidak belajar." Bu Fresya menekankan pada kata "urusannya sendiri".
Selama beberapa detik, Bu Fresya dan Dera masih saling tatap dalam diam, meninggalkan Anya yang duduk canggung di tengah mereka.
"Saya tetap menolak." Dera memberikan keputusan bulat, kali ini dia yakin akan menang.
"Oh, tentu saja, kalau begitu ...." Bu Fresya menegakkan posisi duduknya, menggenggam kedua tangannya di atas meja kerja. "Ibu punya hak untuk tidak menerbitkan ijazah kamu." Perempuan paruh baya itu tersenyum mengancam.
Apa?!
Dera mengetatkan rahangnya, matanya melirik ke salah satu sudut meja, ke label nama berbentuk segitiga yang mengilat dan diletakkan di sana. Tertulis, Fresya Saraswati, M.Pd., kemudian di bawahnya ... tertulis, Wakil Kp. Sekolah (Bag. Kesiswaan).
Laki-laki itu menurunkan kedua bahunya, dia kalah telak.
🌼
Bel pulang sekolah telah berbunyi. Dera jujur saja hampir ketiduran di mata pelajaran sejarah yang memang ditaruh sebagai subyek terakhir hari itu. Saat mendengar bel telah bergema, Dera refleks mengucek matanya dan berusaha kembali mengumpulkan kesadaran, lalu berkemas pulang.
Rasanya lemas sekali, tidak disangka, bernegosiasi dengan tantenya sendiri yang merupakan wakil kepala sekolah akan begitu banyak menguras energi.
Dera bisa saja tetap menyangkal dengan mengatakan bahwa tantenya sendiri telah menyalahgunakan kekuasaan dengan menekan dan memaksa murid. Hanya saja, entah argumen apa lagi yang akan dibalas oleh tantenya itu, Dera tidak siap, bisa saja dia akan lebih lelah dua kali lipat dan berakhir kalah.
Menurutnya sekarang, karena nasi sudah terlanjur jadi bubur, lebih enak kalau dikecapin aja. Berhubung sudah sekalian Dera kecebur dan menjadi mentor buat adik kelasnya itu, mari kita selesaikan dengan baik dan cepat.
Tadi, setelah negosiasi, Bu Fresya mengirim pesan lewat WhatsApp, isinya bahwa tantenya itu nanti juga akan menerangkan kejadian hari ini ke ayahnya.
Dera tidak tahu harus berekspektasi seperti apa, kalau menolak akan lebih baik karena dia harus menyiapkan diri ... untuk seleksi masuk kuliah. Namun, di saat bersamaan, sepertinya Dera akan merasa sakit hati lagi karena Ayahnya sudah terlalu banyak menolak hal-hal untuk Dera jalani.
"Beri salam!" Ketua kelas memimpin penutupan kelas.
Semua murid berdiri dan mengucap salam, lalu berhamburan keluar kelas. Dera keluar agak terakhir, semata biar tidak terlalu berdesakan.
Setelah anak tangga terakhir telah ia turuni, seseorang memanggilnya dari belakang, suara seorang gadis.
Dera menoleh.
"Maaf mulai hari ini akan merepotkan." Suara itu adalah suara Anya. "Saya benar-benar membutuhkan bantuan Kakak untuk belajar, karena saya akan merepotkan, sebagai gantinya saya akan memberikan bantuan!"
"Bantuan?" tanya Dera.
Anya mengangguk. "Kakak bisa belanja bunga gratis untuk pacar Kakak!" jawab Anya dengan bersemangat.
Dera terkejut, mukanya menghangat.
"Memangnya, aku kelihatan seperti orang yang punya pacar?"
"Eh!" Anya terkejut. "Ah kalau begitu, bunga gratis untuk gebetan Kakak! Bahkan, Kakak bisa ambil layanan spesial di mana saya bisa buat Kakak jadian dengan gebetan Kakak!"
Haa??
Muka Dera rasanya semakin memanas, kalau ia bercermin sekarang, mungkin, mukanya sudah semerah saus gurame asam manis saat ini.
"Ngomong apa sih?!" Dera menaikkan suaranya satu tingkat.
"Ah! Gak tahu lagi, lah!" Anya tak kalah berteriak. "Intinya, saya benar-benar butuh Kakak! Kalau saya mengganggu, Kakak cukup mengawasi saya saja dan Kakak bisa belajar sendiri, saya tidak akan mengganggu!" Anya menunduk.
Selama beberapa detik mereka berdiam diri. Dera membuang napasnya keras-keras.
"Yah, intinya, belajarlah yang giat mulai hari ini. Semakin cepat selesai semakin baik, nanti sore aku akan ke rumahmu." Ujar Dera sambil mengeluarkan ponselnya. "Tukar kontak?" Dera menawari.
Anya mengangguk, tak ada 5 menit, mereka sudah saling menyimpan kontak masing-masing.
"Kalau begitu, aku pulang dulu." Dera berbalik sambil mengangkat tangannya yang masih memegang ponsel.
"Ah!" Anya berseru. "Mulai hari ini, mohon bantuannya!"
Dera menyatukan ibu jari dan jari telunjuknya di udara.
Oke.
🌼
Hatsune Miku - Hello, How Are You (cover by Raon Lee)
🌼
Oyyyy! Mulai hari ini, MWM NPC2301 sudah dimulai! Aku sengaja aplot lebih awal, siapa tau nanti malam dobel aplot lagi, hehe.
Siapa tau, kan?
Hehe
HEHE
Anyways, kita sudah masuk lebih dalam dan akan menginjak konflik utamanya di bab 5! Persiapkan dirimu!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro