🌼13-Dera dan Pembahasan Taktik
Kali ini giliran Dera yang menyiram tanaman. Ia sudah memakai celemek berwarna hitam yang telah disiapkan oleh Anya agar bajunya tidak kotor. Dengan telaten ia memiringkan gembor dan berusaha agar airnya tidak terlalu memercik. Karena ini, Dera jadi tahu kalau lantai beton yang kasar dan dinding kayu di Anyelir Florist sengaja dibuat sedemikian rupa jika saja nanti tumbuh lumut karena aktivitas air yang berlebih, tinggal disikat saja dan permukaan dinding dan lantai tidak licin, jadi tidak membahayakan orang.
Sementara di bagian kiri pintu utama toko, seorang gadis berambut pendek dan memakai bandana segitiga sedang berjongkok dan menyemai tanaman.
Anya juga punya tugas untuk memilih tanaman mana yang nanti bagus untuk digunakan sebagai buket bridesmaid dan buket pengantin, ia telah menyiapkan ponsel dan memotret beberapa tanaman. Saat Kakak Stella datang ke toko kemarin, Anya tidak sempat menyiapkan paket bunga apa yang bisa ditawarkan, karena ia mencari buku paket milik Nenek, tapi hilang.
Gadis itu jadi berpikiran untuk membuat paket bunga sendiri, sekaligus, belajar cara menyusun bunga yang cantik. Bukan pertama kali bagi Anya sebenarnya untuk merangkai bunga, tapi memikirkan kalau bunganya nanti akan digunakan untuk acara pernikahan, ia jadi deg-degan sendiri. Untuk menenangkan hatinya, ia memulai pembicaraan dengan lelaki yang berada di sebelahnya.
"Bagaimana hari ini? Menyenangkan?" tanya Anya sambil mengibaskan tangannya untuk mengusir lebah yang menghampiri wajahnya.
Dera tersenyum. "Kau tahu, awalnya terasa aneh dan tidak nyaman. Tapi kemudian, rasanya aku terbiasa dan nggak buruk-buruk amat, kepalaku juga terasa segar dan ringan."
Anya tersenyum. "Tadi ketemu Kak Stella juga?"
Pertanyaan tersebut dijawab dengan gelengan oleh Dera. "Lebih ke, kalau aku menemuinya, lalu apa?"
"Hmm." Anya meletakkan telunjuk dan jempolnya di dagu. "Kakak benar, kita butuh sesuatu ... alasan biar Kakak bisa ketemu dengan Kak Stella."
"Anya."
"Ya?"
"Eerr ..., tapi, apakah Stella akan suka dengan ini?" Dera menunjuk kepalanya, lebih tepatnya menunjuk gaya rambut barunya.
Anya menoleh, dan saat itu rasanya waktu mendadak berjalan melambat. Mata cokelatnya mengamati Dera, seorang lelaki yang tingginya hanya sedikit lebih tinggi darinya, memakai celana jin dan sepatu slip on hitam. Di balik celemek hitam itu juga, ia mengenakan kemeja flanel lengan panjang berwarna biru tua dan hitam, tak lupa, lengannya yang panjang digulung agar tidak kebasahan atau kotor.
Tepat saat itu juga, angin bertiup ke arah mereka. Anya menahan rambut pendeknya yang terkibas angin, begitu juga Dera yang menahan poninya agar tidak terlalu berantakan dengan menaruh telapak tangan di jidat.
Anya tersenyum.
"Kalau tidak dicoba, kita nggak akan tahu, 'kan?"
Itulah jawaban Anya terhadap pertanyaan Dera barusan.
🌼
Sebelum mulai sesi belajar, Anya memperlihatkan foto-foto bunga kepada Dera dan mengatakan kalau foto-foto ini bisa ditunjukkan besok ke Stella.
"Tidak harus besok, tapi lebih cepat lebih baik."
"Tapi ... ini apa?"
Anya tersenyum. "Bunga-bunga ini nanti adalah rumpun bunga yang akan dijadikan buket untuk bridesmaids dan pengantin. Kakak bisa membicarakannya dengan Kak Stella, jadi Kakak bisa punya tujuan ngobrol dengan Kak Stella."
"Terima kasih," ujar Dera.
Anya mengangguk. "Aku kirim ke WhatsApp Kakak. Oh dan sebelumnya, Kakak bukan tipe seseorang yang bingung memulai topik pembicaraan kan?"
Dera menggeleng, tapi ia sedikit ragu. "Kalau sama Stella kurasa aku jadi bingung."
"Hadeh, bucin."
"Hah?!" Lelaki itu hendak memarahi Anya, tapi ia urungkan. Sebagian di dalam hatinya entah kenapa mengiyakan perkataan Anya.
"Kakak bisa langsung to the point aja. Tapi aku nggak terlalu menyarankan, sih. Basa-basi dulu sebelum mulai, misal, menanyakan apakah Kak Stella sibuk atau tidak, itu bisa membantu dan nggak basi." Anya menggerakkan tangannya mengutip kata basi. "Lalu, setelah itu baru Kakak bisa to the point membicarakan bunganya."
Dera mengangguk-angguk paham.
"Omong-omong untuk tambahan bahan pembicaraan, apa Kakak tahu soal bahasa bunga?"
"Wah," mata Dera berbinar, "Aku pernah dengar!"
"Eh, sungguh?!" Melihat Dera pernah mendengar soal bahasa bunga yang akan ia bahas membuatnya terkejut.
Dera mengangguk yakin, kemudian matanya menerawang sebentar. "Awal aku suka bunga, seseorang yang ahli dalam merangkai bunga memberitahuku kalau setiap bunga punya arti. Bahasa bunga itu yang seperti itu kan?"
"Betul!" Anya menaikturunkan kepalanya. "Siapa orang itu?"
Dera tersenyum hangat. "Itu ... mendiang ibunya Stella."
"Oh." Kemudian, hening masuk di antara mereka. Anya pamit sebentar ke dalam rumah, lalu kembali sambil membawakan sesuatu untuk Dera.
"Oh, iya, pesananku!" sambut Dera.
Anya membawa nampan berisi bunga potong yang baru saja diambil dari vas bunga, Dera tahu karena batangnya terlihat masih basah. Karena yang ia butuhkan nanti hanya mahkota bunganya saja, laki-laki itu nanti pasti akan sibuk untuk memotong batang-batang bunga yang panjang.
"Ini harusnya sudah jenuh sih, jadi tinggal kubungkus saja, awet sampai mungkin 7 hari ke depan, biasanya segitu sih."
"Terima kasih!" ucap Dera. "Berapa?"
"Hmm, aku bagi rata saja per batangnya 4000 rupiah. Tapi, buat apa sih?" tanya Anya penasaran.
Dera tadi di sekolah sempat memesan aneka rupa bunga potong yang mahkotanya kecil seperti baby breath, krisan putih, bunga violet, agapanthus dan lain-lain. Jumlahnya sekitar delapan bunga, masing-masing satu tangkai.
Sambil tersenyum, Dera mengambil sebuah buku jurnal dari dalam tasnya. "Lihat ini!"
Anya membulatkan mata dan mulutnya saat Dera membuka buku jurnal yang ternyata berisi kertas roti dan bunga tabebuya yang sudah terlihat tipis.
"Boleh aku sentuh?" tanya Anya.
"Boleh!"
Gadis itu mengambil satu buah mahkota bunga dan merasakan teksturnya. Walaupun bunganya belum berubah warna, tapi kalau dipegang, ternyata bunganya sudah mengering.
"Ini kerajinan bunga tekan bukan sih? Kak Dera bikin beginian?"
Dera menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, sepertinya baru Anya dan Ayahnya yang tahu hobinya untuk mengeringkan bunga kemudian mengawetkannya.
"Iya." Dera menggangguk. "Nanti aku tuang ke cetakan resin dan jadi hiasan buat tatakan gelas atau pembatas buku. Aku pengin upgrade keterampilan tapi belum sempat."
"Wow! Aku nggak nyangka ada cowok yang bisa suka segininya sama bunga. Apa Kakak bawa hasil jadinya?" Dera menggeleng menjawab pertanyaan itu.
Kemudian tiba-tiba, selentingan ide mampir ke pikiran Anya.
"Gimana kalau Kakak mulai produksi banyak kerajinan bunga seperti ini lalu jual di bawah nama Anyelir Florist? Aku akan sediakan tempat dan bunga yang diperlukan, Kakak siapkan cetakan dan resinnya, untuk pembagian royalti bisa kita lanjutkan setelahnya? Gimana?!"
Tanpa sadar Anya terlalu antusias dan mendekatkan tubuhnya ke Dera. Dera otomatis jadi bergerak ke belakang dan beringsut.
"Bentar, kamu terlalu dekat," ujar Dera dengan suara tertahan.
"Ah, maaf!" Anya menarik diri. Ia memalingkan muka dan merapikan rambutnya, sementara ujung telinganya memerah karena malu.
Dera berdeham dan menaikkan kacamatanya. "Akan aku pikirkan lagi, tapi sekarang kita akan belajar dulu."
"Ah, oke!"
"Sekarang," Dera menggemeretakkan jari-jarinya, "ada yang mau ditanyakan?" tanya Dera memasang ekspresi serius dan tatapan mata yang menusuk.
Anya menelan ludah.
🌼
Hai! Ketemu lagi di bab filler wkwkwk, jujur aku bingung mau bahas apa, tapi karena sudah sejauh ini, kayanya aku akan lempar kalian ke mini konflik 1, bersiap-siap saja, ehe.
Oh, dan nggak ada lagu lagi kali ini yah.
Oh, dan lagi, gimana interaksi Anya dan Dera sejauh ini?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro