Nederzetting
Kabar penangkapan Klootzak sangat cepat tersebar kepenjuru wilayah, termasuk di wilayah Jambi pusat. Diana yang mendengar kabar tersebut sangat shock, karena sahabat karibnya sendiri yang telah membunuh Nisya. Ia seolah tidak percaya akan berita yang diterimanya dan akan memastikan langsung ke lapangan desa tempat Klootzak berada.
Lapangan desa sudah menjadi lautan manusia, datuk Meringgi yang stay dirumah Kajangleko dan tidak ikut dalam misi penangkapan segera memukul kentong pengumumam sesaat setelah rombongan sampai disana. Tidak butuh waktu lama, semua sudah terkumpul dan memadati lapangan. Diana berlari membelah lautan manusia menuju kedepan untuk melihat wajah Klootzak. Benar saja, ia melihat Awhal berada ditengah lapangan dengan posisi berlutut dan badan terikat oleh tali, wajah Awhal jelas terlihat tanpa ada raut penyesalan. Lutut Diana bergetar dan melemah hingga membuat ia terduduk ditanah lapangan dan menangis sejadi-jadinya. Kematian Nisya sudah cukup membuat luka batin yang mendalam bagi Diana, dan ini apalagi ? ternyata orang yang ia benci selama ini adalah sahabatnya sendiri. Tidak. Tidak. Tidak bisa dipercaya.
“Hukum mati dia.” Seru warga yang hadir.
“Ia bunuh saja dia, dia tidak pantas berada dibumi ini.” Sahut warga yang lain.
Situasi membludak dengan emosi yang semakin memuncak, warga berteriak-teriak menambah kegaduhan. Hiruk pikuk tidak bisa dikendalikan, semua menatap tajam penuh dendam dan emosi kearah Awhal.
Buk.. seseorang dari dalam kerumunan melempar batu kearah Awhal dan tepat mengenai pelipisnya, darah mengalir sampai kepipi. Senyum sinis tersungging diwajah Awhal, bukan kesakitan atau ampunan yang ia tunjukkan atas semua yang diperbuatnya. Ia malah tersenyum bahagia melihat amukan warga yang semakin berteriak menambah kebisingan.
“Beweeg, maak alsjeblieft plaats.” (Minggir, tolong beri jalan) terdengar suara dari arah belakang kerumunan warga yang berbicara menggunakan bahasa belanda.
Saat warga membuka jalan, Ilham dan pimpinan desa yang berada didepan melihat kolonel Choer – ketua kontrolir Jambi Pusat ayah Awhal berjalan keluar dari kerumunan warga menuju kearah mereka diiringi oleh puluhan pasukkan Belandanya.
Riri kaget saat melihat wajah kolonel Choer, ia seperti mengenali wajah kolonel Belanda tersebut. Tapi dinama ? benar-benar wajah yang tidak asing. Riri yang tengah penasaran menyikut lengan Ilham dan bertanya.
“Hey manusia dingin, sepertinya aku pernah melihat orang ini. Dia siapa.” Tanya Riri kepada Ilham yang saat itu belum mengetahui nama dari kolonel Choer.
“Dia kolonel Choer, Choeryadhie Van Overstressein. Ayah dari Awhal Van Overstressein. Ketua kontrolir Jambi Pusat.” Jawab Ilham datar.
Riri mencoba mengingat-ngingat kembali dimana ia pernah bertemu kolonel itu, tapi sepertinya mustahil ia mengenali seseorang dari satu abad yang lalu. Riri masih penasaran dengan kolonel Choer, dia sangat yakin bahwa wajah orang itu tidak asing baginya.
“Aku ingin bicara dengan semua ketua adat yang hadir disini dan juga pemimpin dari kasus Moord Op Vrouwen.” Kata kolonel Choer kepada datuk Meringgi.
Ilham, Datuk Meringgi, Datuk Jalius dan semua ketua adat Desa yang ada disana masuk kedalam rumah Kajangleko yang diikuti oleh langkah kolonel Choer serta beberapa pasukkannya. Mereka duduk dikursi kayu panjang dan terdapat meja ditengahnya.
“Apa yang mau kolonel bicarakan dengan kami.” Datuk Meringgi bertanya membuka suara.
“Saya sudah dengar tentang kejahatan yang telah dilakukan putra sulung saya terhadap desa ini.” Kolonel Choer berhenti bicara sejenak mengatur nafas.
“Ayolah kita lupakan saja, Awhal Cuma bercanda. Dia tidak sengaja melakukannya.” Lanjut kolonel Choer dengan tertawa memulai negosiasi.
“Bercanda anda bilang ? apa nyawa anak saya Nisya hanya sebatas candaan ? apa nyawa Shinta putri datuk Jalius yang tengah terbaring lemah hampir mati juga candaan ? apa..apa..?” Suara datuk Meringgi tercekat menahan emosi yang menyesakkannya.
“Apa alasan anda bicara seperti itu ?” Tanya Ilham kepada kolonel Choer dengan tenang dan menghentikan datuk Meringgi yang wajahnya sudah memerah menahan emosi.
“Sebenarnya saya tidak mau menceritakan ini, tapi apa boleh buat jika kalian ingin mendengar alasanku.” Jawab kolonel Choer.
“Awhal sejak umur 15 tahun divonis menderita Hypersexuality Disorder dan jika yang menderita laki-laki biasa disebut Satyriasis jika perempuan disebut Nymphomania, hal itu membuat dia menunjukkan ketertarikkan akan hal berbau pornografi. Semakin bertambah usia, ia semakin tidak bisa mengendalikannya hingga menjadikannya lebih agresif yaitu Maniak seks atau penggila seks. Saya sudah mengetahui apa yang dia perbuat, tapi tidak bisa mencegahnya karena akan mengancam nyawanya.” Jelas kolonel Choer.
“Apa menurutmu dengan alasanmu itu bisa membuatku melepaskannya setalah susah payah kutangkap ?” Ilham menatap tajam kearah kolonel Choer tanda menolak tawarannya.
Ruangan hening sejenak, semua mata menatap serius kearah Ilham dan kolonel Choer, raut wajah kolonel Choer yang tadi tertawa ramah berubah menjadi serius dan balik menatap tajam Ilham.
“Baiklah kalau kalian tidak mau berdamai dan melepaskan Awhal, coba kalian liat disetiap sudut tepi lapangan.” Ujar kolonel Choer sambil berdiri menuju jendela rumah kajangleko.
Semua ketua adat ikut berdiri melihat apa yang ditunjuk kolonel Choer, ternyata hampir disemua sudut ada pasukkan memegang senjata api mengarah ketengah lapangan yang dipenuhi lautan manusia. Semua menunjukkan ekspresi kaget tidak menyangka atas apa yang kolonel Choer persiapkan.
“Jika kalian tidak mengikuti perkataanku, dalam sekejap semua warga yang berada dilapangan akan mati tertembak dan akan menjadi lautan darah yang dipenuh oleh mayat tidak bersalah.” Kata kolonel Choer menatap tajam.
Semua terdiam tanpa kata, tidak mungkin mereka mengorbankan semua warga hanya keegoisan mereka terhadap Awhal.
Kolonel Choer keluar dari rumah menuju lapangan, ia memerintahkan pasukkan melepaskan ikatan tangan Awhal dan segera membawa Awhal pergi meninggalkan lapangan. Awhal tersenyum lepas merayakan kemenangannya.
Ilham dan semua ketua adat hanya terdiam tanpa suara menyaksikan kepergian mereka, mengingat bahwa Belanda yang berkuasa saat itu sudah hampir 300 tahun menjajah Indonesia termasuk Jambi. Melawan mereka sama saja mencari mati.
Warga berteriak histeris melihat pemimpin desa membiarkan Awhal dibawa pergi begitu saja tanpa ada pembelaan atau penghukuman, namun semua pemimpin desa hanya bisa diam tanpa dapat menjelaskan semua yang terjadi. Datuk Meringgi terpaksa membubarkan warga dari lapangan desa dengan perasaan yang kecewa.
***
“Ilham, kumohon sekali ini saja dengarkan aku. Aku butuh bantuanmu, sudah hampir 4 bulan aku terjebak dilorong waktu tanpa tau cara untuk kembali.” Riri berkata lembut kepada Ilham yang tengah duduk dibawah sebatang pohon dipinggir sawah setelah beberapa hari pasca kedatangan kolonel Choer.
“Baiklah, apa yang ingin kau katakan.” Ujar Ilham dengan mata menatap kehamparan sawah.
“Bagaimana caranya kamu bisa melihat dan mendengarkanku serta menyentuhku ?” Tanya Riri dengan wajah serius.
“Kamu ingat kolonel Choer ? bukankah kamu bilang wajahnya tidak asing ?” Ilham balik bertanya.
“Iya, sepertinya aku pernah bertemu dengannya tapi sepertinya juga salah. Lantas apa hubungan kolonel Choer dengan pertanyaanku tadi ?” Riri semakin bingung dengan pertanyaan Ilham.
“Kolonel Choer lah yang mengirimmu kesini melalui lorong waktu atau biasa disebut Astral Projection.” Ilham menghentikan pembicaraannya dan menatap kearah Riri.
“Eh iya kamu benar, kolonel Choer sangat mirip dengan datuk Suryadi. Hanya tampilan mereka saja yang berbeda, sama matanya. Datuk Suryadi tidak memiliki bola mata sebelah kiri.” Kata Riri sambil mengingat-ngingat lagi wajah dari datuk Suryadi.
“Eh tunggu, tunggu.., katamu namanya Choeryadhie kan, kalau disebut dengan lidah orang Indonesia menjadi Suryadi, kenapa aku baru menyadarinya ya. Tapi bagaimana kamu tau kalau datuk Suryadi yang mengirimku kesini ?” Riri kembali bertanya dengan rasa penasaran.
“Yah, itu karena...” Belum sampai pembicaraan Ilham, tiba-tiba dari arah belakang mereka datang seseorang berbadan tinggi, sedikit kurus dan berkulit putih memotong pembicaran.
“Apakah kamu Ilham Tendean ? Pemimpin dari kasus Mood Op Vrouwen.” Kata orang itu bertanya kepada Ilham. Ilham hanya mengangguk tidak balas berbicara.
“Perkenalkan, saya Letnan Sandy Imamura tentara Jepang.” Katanya sambil menjulurkan tangan tanda perkenalan.
“Saya Ilham, ada apa anda mencari saya.” Jawab Ilham singkat dan menyambut uluran tangan Sandy.
“Saya sudah dengar mengenai kasus Moord Op Vrouwen yang terjadi di Desa ini dan menyeret putra sulung Kontrolir Belanda Awhal Van Overstressein sebagai tersangka. Saya paham kalian akan kesulitan melawan mereka, oleh sebab itu saya menawarkan kerjasama dengan kalian.” Sandy menyampaikan maksud dan tujuannya menemui Ilham.
Ilham masih terdiam memikirkan secara baik tawaran yang diajukan Sandy.
“Saya sudah menemui ketua adat yang bersangkutan dengan kasus ini, dan mereka setuju jika kamu juga setuju.” Tambahnya lagi.
“Kerjasama seperti apa yang akan anda tawarkan ?” Tanya Ilham sinis.
“Saya dan pasukan tentara Jepang yang berada didaratan Jambi akan membantu kalian memberontak melawan kolonel Belanda dan membalaskan dendam kalian kepada putra sulung Choer. Sebagai imbalannya, berikan kami ladang Lada disebelah Barat Jambi untuk kami kuasai.” Jelas Sandy.
Ilham semakin berpikir menimbang tawaran kerjasama sandy, pada tahun 1910-an memang tidak heran jika banyak negara-negara yang masuk ke Indonesia untuk mencari rempah-rempah, termasuk Jepang. Jepang baru beberapa tahun terakhir masuk ke daratan Indonesia yang lebih dulu dikuasai oleh Belanda.
“Baiklah, saya terima tawaran anda, saya harap besok siang anda hadir pada rapat desa dirumah Kajangleko.” Kata Ilham menyepakati tawaran Sandy. Kemudian ia berlalu meninggal Sandy yang masih berdiri dan diikuti oleh Riri.
***
Siang hari dirumah Kajangleko sudah berkumpul semua pemimpin adat yang bersangkutan dan juga Ilham, mereka menunggu kedatangan Letnan Sandy Imamura untuk membahas kerjasama secara resmi kepada pihak Jepang.
Hari semakin siang, belum lama mereka menunggu terdengar pintu rumah dibuka dan masuklah Sandy dan tiga orang rekannya. Mereka berempat duduk dikursi kayu panjang paling depan. Didepan kursi anggota rapat ada sebuah meja dan dua kursi yang diisi oleh datuk Meringgi dan Ilham.
“Yókoso Sandy Imamura chújó to sono nakama-tachi.” (Selamat datang Letnan Sandy imamura dan rekan-rekan) Ilham menyapa dalam bahasa Jepang saat membuka rapat.
“Watashitachiha sógo ni yúekina kyóryoku o kakuritsu suru koto ni dói shimashita.” (Seperti yang sudah kita sepakati, kita akan menjalin kerjasama yang saling menguntungkan) Ilham menambahkan.
Riri dan pemimpin desa hanya terdiam tak bersuara saat Ilham berbicara dalam bahasa Jepang, mereka tidak mengerti dan hanya mengangguk-angguk setiap perkataan Ilham.
“Hai. Watashitachi nippponhei wa anata ga hitsuyó to suru subete no buki de anata o tasukemasú. Soshite, Oranda no taisa to no sensó ni sankashimasu.” (Iya, kami tentara Jepang akan membantu segala persenjataan yang kalian butuhkan serta ikut berperang melawan kolonel Belanda) Ujar Sandy kepada Ilham.
“Nishi Jambi chiiki ni koshó hata o teikyó suru koto ni mo dói shimashita.” (dan kami juga sudah sepakat akan memberikan ladang lada didaerah Jambi Barat untuk kalian kuasai) Tambah Ilham.
Letnan Sandy maju kemeja depan tempat Ilham dan datuk Meringgi duduk, ia menandatangi dua lembar kertas kerjasama dan kertas dipegang oleh satu masing-masing.
Setelah menandatangani surat kerjasama, Letnan Sandy akan menunggu informasi dari Ilham kapan tentara Jepang dibutuhkan untuk melawan Belanda. Mereka beranjak pergi meninggalkan Ilham dan pemimpin desa setelah berjabatan tangan tanda berlakunya kesepakatan kepada Ilham dan datuk Meringgi.
“Peperangan akan segara dimulai Awhal, nyawa harus dibalas dengan nyawa.” Gumam Ilham dalam hati dengan tatapan tajam selepas letnan Sandy pergi meninggalkan ruangan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro