Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Mord Op Vrouwen

Ana berjalan mengendap-endap sambil melirik kekiri dan kekanan, arah tujuan Ana sepertinya menuju kearah sunga Batanghari. Malam semakin gelap, cahaya bulan samar-samar menyentuh bumi.

“Aduh, dimana kalungku. Apa mungkin terjatuh saat aku mandi tadi sore ? bisa mati kalau ketauan sama emak,” Ana terus bergumam dan mencari-cari benda yang disebutnya kalung.

Ana tinggal bersama Ani dan Emaknya. Emak Ana Ani terkenal kejam terhadap anak-anaknya. Setelah kematian ayahnya, emak berubah menjadi orangnya emosional dan mudah marah akan sesuatu hal kecil. Itulah yang ditakutkan Ana jika ketahuan sama emak bahwa kalungnya hilang. Kalung tersebut pemberian emak pada Ana Ani ketika ulangtahun mereka ke 17 tahun lalu.

Riri masih menatap Ana yang sedang mencari-cari kalungnya sampai ke tepian sungai, tapi sepertinya kalung tersebut tidak berhasil ditemukannya.

Sreek Sreek Sreek!

Suara sesuatu dibalik semak-semak, Riri yang menyadari akan hal itu mencoba meneriaki Ana. Namun apalah daya, Ana tidak dapat mendengar teriakan Riri. Bak penonton, Riri tidak bisa mengubah alur cerita dari sebuah Film yang ditontonnya.

Dalam kegelapan malam, dari semak-semak keluar seseorang berbaju serba hitam muka ditutupi dengan topeng tengkorak. Berjalan perlahan mendekati Ana dari arah belakang. Ana yang tengah sibuk mencari kalungnya tidak menyadari ada orang dibelakang yang akan membahayakannya.

Malam yang sepi dan sunyi, gelap tanpa cahaya. Tiba-tiba saja orang tersebut memukul tengkuk Ana dengan tangannya. Ana pingsan seketika. Riri yang melihat kejadian tersebut berteriak teriak minta tolong, berharap ada seseorang yang mendengarkannya dan bisa menolong Ana. Sia-sia, tidak ada seorangpun yang mendengarkannya.

Manusia bertopeng menatap lamat-lamat tubuh Ana yang terbaring. Gadis manis, berkulit kuning langsat, berhidung kecil namun tidak begitu mancung, rambut lurus sepinggang dengan badan agak berisi menambah daya tarik tubuh Ana. Manusia tersebut masih asik menatap keindahan tubuh Ana.

Setelah puas menatap, tubuh Ana digendong diatas bahunya hingga membuat tengkuluk dan terompah Ana tertinggal diatas jamban. Manusia bertopeng dan berjubah berjalan menyusuri pinggir sungai kearah Utara atau mudik sungai ditengah kegelapan menuju desa Rambutan Masam. Riri terus mengikuti langkah kaki manusia tersebut, hingga setelah 1 jam berjalan kaki akhirnya mereka berhenti disebuah pondok kecil berdinding bambu dan beratap daun pandan, pondok panggung yang tinggi dari tanah kelantai sekitar 2 meter, ukuran pondok kurang lebih 2 x 2 meter. Pondok tersebut dikelilingi pohon bambu dan pohon-pohon besar lainnya. Seperti tidak ada kehidupan lain disana. Gelap gulita, didekat pondok hanya ada satu penerang. Sebuah lampu teplok yang terbuat dari bambu yang berisi minyak tanah dan bersumbu sabut kelapa. Tidak begitu terang, namun setidaknya mampu memberi sedikit cahaya untuk sekitar pondok.

Manusia bertopeng itu meletakkan Ana pada sebuah dipan yang terdapat dibawah pondok, tangan Ana diikatkan dengan sebuah tali dari akar pohon. Tali tersebut diikatkan ke kaki pondok, hingga posisi Ana terlentang dengan dua tangan terbuka 180 derajad.

Manusia bertopeng membukakan jubah hitamnya, namun tidak dengan topeng tengkorak. Masih terpasang dimuka. Manusia itu duduk santai disebelah Ana menunggu anak siuman.

Selang beberapa jam, Ana belum juga siuman dari pingsannya. Diambilnya sebuah gayung dari batok kelapa yang berisi air, lalu disiram kewajah manis Ana. Sontak air yang dingin membuat Ana kaget lalu terbangun dari pingsannya.

“Siapa kamu ? dimana aku ?” Tanya Ana yang sadar dirinya berada ditempat asing.

Manusia bertopeng tidak menjawab, ia hanya tertawa mendengar pertanyaan Ana. Ia mendekatkan wajahnya kewajah Ana, lalu membelai lembut wajah Ana dengan tangannya. Ana memberontak, tapi rupanya ikatan tangannya begitu erat hingga membuatnya tidak mampu menghindar dan hanya bisa pasrah dengan apa yang terjadi.

Tangan manusia bertopeng itu terus saja meraba bagian tubuh Ana, mulai dari wajah yang disentuhnya dengan lembut, turun kebagian leher, kemudian turun kebagian dada yang membuatnya berhenti sedikit lebih lama pada bagian itu, hingga tiba kebagian paling bawah organ vitalnya. Ia mengucup wajah Ana, lalu kemudian baju yang dikenakan Ana dirobek dan jarik yang dipakainya ditarik hingga lepas. Tubuh Ana nyaris tanpa busana, hanya tersisa pakaian dalamnya saja. Dengan wajah seorang bajingan, ia menikmati keindahan tubuh gadis perawan yang ada didepan matanya. Ana menangis histeris tanpa mampu berbuat apa-apa. Hanya pasrah. Lelaki itu semakin mendekatkan tubuhnya dengan Ana hingga tidak ada jarak diantara mereka.

“Aaahhhh!” Ana berteriak panjang dan keras, seolah menahan rasa sakit yang ia rasakan.

Dengan buas dan ganasnya, manusia bertopeng memperkosa Ana tanpa memikirkan teriakan sakit yang Ana keluarkan. Riri yang melihat kejadian itu hanya bisa menangis, apapun usaha yang dilakukannya untuk menyelamatkan Ana sia-sia. Lagi dan lagi, Riri hanya bisa menjadi penonton akan kisah tragis didepannya.

Selang waktu dua jam, manusia bertopeng berhenti memperkosa Ana. Meski menggunakan topeng, raut wajah puas terpancar dari sorot mata dan senyumnya. Manusia itu tertawa lepas melihat Ana yang sudah terkulai lemas hingga tak sadarkan diri.

Manusia itu, diam sejenak menarik napas dan memasangkan kembali bajunya yang tadi ia lepaskan. Hari semakin gelap, suara hewan malam semakin nyaring terdengar ditelinga. Melihat bulan semakin bersinar terang, sepertinya sudah hampir jam 12 malam.

Manusia bertopeng bangun dari tempat duduknya dan beranjak menaiki tangga keatas pondok tuanya meninggalkan Ana yang masih pingsan tak berdaya setelah apa yang dilakukan manusia itu padanya. Raut wajah Ana meringis, seperti orang menahan rasa sakit. Terdapat memar-memar dibeberapa bagian tubuhnya, seperti dileher, dada, perut hingga organ intimnya. Riri semakin menangis melihat keadaan Ana yang menggenaskan, Ana masih hidup namun napasnya mulai melemah.

Tret tret tret!

Tangga kembali berderit ketika manusia itu turun dari pondoknya membawa sebuah karung goni berwarna coklat, melihat hal tersebut membuat Riri terperanjat. Ia baru menyadari bahwa ternyata manusia bertopeng tengkorak dan berjubah hitam itulah yang menjadi momok didesa Dusun tengah selama ini.

Manusia itu telah berdiri disebelah Ana dan untuk kesekian kalinya ia menatap tubuh Ana dengan begitu bergairahnya. Disentuhnya pipi Ana dengan tangan hingga membuat Ana tersadar dari pingsannya. Langsung saja Ana memberontak kembali, lelaki itu tersenyum melihat Ana yang semakin memberontak. Lalu membisikkan sesuatu ditelinga Ana.

“Terimakasih sayang untuk waktunya malam ini,” Setelah mengucapkan kata tersebut, laki-laki itu membekap mulut Ana hingga membuat Ana tidak bergerak.

Lelaki itu berlalu meninggalkan Ana dan mengambil sebuah bambu panjang, satu bagiannya pipih dan satu bagiannya runcing. Bumbu yang berdiameter sebesar ibu jari orang dewasa dengan panjang kurang lebih 50 cm. Digenggamnya menggunakan tangan kanan lalu tersenyum kearah Ana yang sudah tak bernyawa.

Bambu yang dipenggang diarahkan bagian runcing kewajah Ana, dengan wajah tersenyum perlahan dicongkelnya bola mata sebelah kanan Ana hingga darah muncrat membasahi topeng yang dikenakannya.

“Haha, mata kamu memang indah Ana. Membuat aku semakin suka menatapnya,” Tawa riang manusia itu setelah bola mata kanan Ana berhasil dicongkelnya.

Serasa belum puas, kembali dicongkel lagi bola mata Ana sebelah kiri dengan menggunakan bambu runcing ditangannya.

Jleeeb! bambu itu tepat menusuk kedalam mata.

Dibuatnya gerakan melingkar agar bola mata tidak pecah terkena tusukan. Dengan perlahan ditariknya bola mata itu dengan tangan kiri, sruuup! darah segar muncrat lagi mengenai topeng tengkoraknya. Lelaki itu tertawa bahagia seolah menikmati apa yang dilakukannya.

“Hemmm, bukan tubuhmu saja yang wangi dan segar Ana, ternyata darahmu juga. Manis dan membuatku ingin menikmatinya lagi,” Manusia itu tertawa makin buas dengan apa yang dilakukannya.
Riri sontak muntah melihat darah menyembur dari kedua mata Ana yang sudah tidak ada bola matanya. Riri marah dan ingin sekali membunuh lelaki itu, lututnya melemah dan akhirnya Riri terduduk dan tidak kuat lagi melihat semua yang diderita Ana.
Sepertinya manusia laknat itu belum puas atas apa yang sudah dilakukannya, kembali diputarnya lagi bagian bambu yang sisinya pipih dan tajam bagai pedang. Perlahan dielusnya pada leher Ana berkali-kali seperti orang yang sedang mengasah pisau pada batu asahan.

Sreeet! Dengan sekali gerakkan digesekkannya bilah bambu tersebut ke leher Ana hingga membuat leher Ana nyaris terputus.

“Aahhhh, sudah cukup! Jangan siksa lagi. Dia tidak ada salah terhadapmu,” Riri menangis-nangis melihat keberingasan manusia bertopeng, seperti biasa tidak ada yang dapat mendengarkannya.
Wajah yang masih tertutup topeng itu tersenyum bahagia melihat tubuh Ana tergeletak tak berdaya dan bersimbah darah.

“Bagaimana Ana, apakah itu menyenangkan seperti yang kau lakukan padaku ?” Manusia itu berbicara pada Mayat Ana yang membuat Riri bingung dengan perkataannya.

Suara ayam sudah samar-samar terdengar, sepertinya fajar akan segera menjelang. Dengan segera, manusia itu melepaskan ikatan tangan Ana dari kaki pondok lalu mengikatkan tali tersebut kekakinya dan memasukkan tubuh Ana tanpa busana dengan bersimbah darah kedalam karung goni berwarna coklat kemudian karung tersebut diikat menggunakan rotan dengan erat.

“Huffttt. Akhirnya selesai juga,” Manusia itu menepuk-nepuk kedua tangannya membersihkan kotoran yang melekat dikedua tangan dan wajahnya dengan senyum yang merekah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro