Intermission
Klootzak mencabut bilah bambu yang ditusukkannya dari perut Nisya, ketika bambu dicabutkan darah segar menyembur sampai kewajahnya. Tampak luka sobekan berbentuk segitiga diperut Nisya dengan lubang pusar berada ditengah.
“Bunuh saja aku langsung Klootzak, jangan kau siksa aku begini,” Nisya kembali memohon dengan sisa-sisa tenaga yang ia punya.
“Baiklah jika itu yang kau mau,” Klootzak menjawab dengan tersenyum kearah Nisya sambil membuka topeng tengkoraknya.
“Kamukan...,” Nisya mengenali wajah dibalik topeng tengkorak yang selama ini menjadi mimpi buruk setiap orang. Belum sempat Nisya berbicara, ia menarik kuat lengan bahu Klootzat dan langsung berteriak kencang.
Traaak!
Tangan kanan Klootzak mencabut bagian perut Nisya yang tadi disayatnya hingga membuat bolongan yang mengerikan. Darah kembali menyembur dengan deras.
Usus, lambung, ginjang dan organ tubuh bagian dalam terlihat jelas saat perutnya terkoyak yang dengan sengaja ditarik oleh Klootzak. Tanah mendadak berubah menjadi lautan darah ketika darah-darah bercucuran dari perut Nisya. Tubuhnya melemah, jantung mulai berhenti berdetak setelah perutnya terobekan. Ia akhirnya menyerah sehingga membuatnya tidak mampu bertahan dan mati membawa luka perih yang mendalam.
Tubuh Nisya terkulai lemah tak bernyawa diatas dipan, tapi sepertinya Klootzak belum puas dan mengalihkan pandangannya kemata Nisya.
“Ternyata kau juga memiliki mata yang sangat indah Nisya,” Klootzak bergumam memperhatikan dua mata indah yang memancarkan kesakitan.
“Tapi tenang, aku tidak akan mencongkel bola matamu seperti biasanya. Akan ku biarkan ayahmu melihat kesakitan yang terpancar dari mata indahmu itu,” Klootzak meninggalkan tubuh Nisya dan berlalu mengambil sesuatu diatas pondoknya.
Selang waktu beberapa menit, ia kembali lagi dengan membawa sebuah klewang ditangannya. Senjata tajam sejenis pedang bermata satu, dengan panjang 60 cm.
“Kali ini aku akan melakukan hal yang berbeda terhadapmu Nisya sebagai hadiah untuk ayahmu,”
Seet seet seet! Klootzak menggesek klewang dengan sisi yang tajam keleher Nisya. Perlahan tapi pasti hingga kepala Nisya terpisah dari badannya seolah seperti seseorang yang tengah menyembelih hewan kurban.
Seet seet seet! klewang mulai digesekkan lagi tapi kali ini tangan Nisya bagian kanan yang menjadi sasarannya. Cletek! bunyi tulang tangan terpatah hingga terpisah dari bahunya.
Klootzak tertawa lepas saat potongan potongan tubuh Nisya berhasil ia gesek dengan mulus. Tubuh Nisya dipotong menjadi 5 bagian, Kepala, tangan kanan, tangan kiri, kaki kanan, kaki kiri serta bagian leher hingga pinggang. Kondisi Nisya semakin menggenaskan, kepala, tangan, kaki terpisah, perut bolong hingga organ dalamnya nyaris keluar sempurna, darah menggenangi seluruh tubuhnya membuat bulu kuduk bergedik ngeri siapapun yang melihatnya.
Pagi sudah mulai menjelang, rupanya Klootzak terlalu asik main potong-potongan dengan tubuh Nisya hingga ia tidak menyadari cahaya mentari sudah mulai mengintip dari celah celah rerimbunan pepohonan, ia segera bergegas ingin membereskan potongan tubuh Nisya. Belum sempat tangannya meraih karung goni, dari kejauhan terdengar suara derap langkah yang amat menggema. Patahan-patahan ranting terdengar katika diinjak oleh puluhan kaki, Klootzak yang menyadari suara tersebut segera mengurungkan niatnya. Ia membiarkan tubuh Nisya bersimbah darah tanpa busana tergeletak begitu saja dan berlari terbirit-birit masuk kedalam hutan hingga menjauh dari pondok
***
Hari semakin gelap, hujan perlahan menghentikan rintikannya. Sudah hampir lima jam warga mencari Nisya yang tidak kembali kerumah selepas meninggalkan rumah Diana. Di langit matahari sudah mulai menunjukkan cahayanya, fajar akan segera menjelang. Semua wilayah sudah disusuri, mulai dari jalanan menuju rumah Diana, tempat-tempat yang mungkin didatangi Nisya, hingga menyusuri tepian sungai Batanghari. Warga sudah mulai lelah dengan pencarian yang tanpa jejak, namun ketika mereka berniat menyudahi penelusuran ditepian sungai Batanghari, tiba-tiba,
“Datuk. Datuk, bukankah ini tengkuluk yang biasa Nisya pakai ?” Seseorang berlari kearah Datuk Meringgi sambil membawa sehelai tengkuluk ditangannya. Semua warga yang ikut dalam pencarian segera merapat kesumber informasi, mereka sedikit lega. Akhirnya setelah sekian jam mencari-cari, ada petunjuk yang mungkin dapat membantu menemukan Nisya.
“Dimana kamu menemukan ini ?” Tanya datuk Meringgi dengan tidak sabar menunggu jawaban dari warga yang memberi informasi.
“Saya menemukan ini disebelah Utara sungai datuk, aliran mudik sungai yang mengarah kedalam hutan Rimba,” Jawab warga tersebut sambil menunjukkan tangan kearah utara dimana ia menemukkan tengkuluk tersebut.
Semua warga bergegeas kearah yang ditunjuk, berpencar mencari petunjuk baru yang dapat membawa mereka ke Nisya. Mencari dan terus mencari hingga akhirnya mereka menemukkan sebuah jejak kaki yang terlihat jelas akibat tanah becek yang diinjak selepas hujan.
Dengan cepat warga mengekuti jejak langkah kaki yang terdapat ditanah, datuk Meringgi berjalan paling depan memimpin lalu diikuti oleh warga yang lain. Mereka terus menyusuri tepian sungai masuk kedalam hutan rimba yang lebat, pepohonan tinggi menjulang, jalananan mulai tertutup ranting hingga jejak kaki semakin sulit dilihat. Hampir satu jam menyusuri tepian sungai, datung Meringgi menghentikan langkahnya.
“Hutan semakin lebat, jalanan pun semakin ditutupi ole semak belukar dan akar. Jejak kaki sudah tidak terlihat lagi,” Kata datuk Meringgi memberikan informasi. Disaat semua warga bingung langkah apa yang harus dilakukan, tiba-tiba saja dari arah dalam hutan terdengar teriakan rintih perempuan.
“Aaaahh!” Bunyi teriakan didengar oleh semua warga. Warga segera bergegas menuju sumber suara yang diduga berasal dari Nisya.
Derap langkah kaki semakin kencang, dahan-dahan dan ranting yang menutupi jalan nyaring patah berbunyi. Cahaya matahari semakin terang mengintip dari sela sela pepohonan menandakan pagi akan menjelang. Lima menit mereka berlari, semua menghentikan langkahnya didekat sebuah pondok tua. Semua warga kaget, sekitar pondok dipenuhi oleh air berwarna merah yang menggenang. Langkah kaki semakin berjalan mendekati pondok perlahan dengan tangan yang siap siaga jika terjadi sesuatu.
“Nisya!” Teriak datuk Meringgi setelah mendapati tubuh Nisya tergeletak dibawah pondok ditengah genangan-genangan air darah.
Datuk Meringgi tidak dapat membendung air matanya, bulir bulir air mengalir tidak tertahankan dari sudut matanya. dibukanya baju yang ia kenakan dan menutupi bagian tubuh Nisya yang patut untuk ditutup, dengan tangan bergetar datuk Meringgi mendekap tubuh anak gadis kesayangannya.
Seorang anak yang ia besarkan seorang diri dengan penuh kasih sayang selepas istrinya meninggal saat melahirkan, kini tergeletak bersimbah darah tak benyawa. Raut wajah yang keriput terlihat sayu dibasahi oleh tetesan air mata yang tiada henti-hentinya. Kenangan-kenangan indah bersama Nisya terputar diingatannya, tangisan mungil Niysa saat ia lahir kedunia, senyuman manis yang setiap pagi selalu menyapanya, tingkah manja dan lucu Nisya yang selama 22 tahun ini menjadi penyemangat hidupnya serta Nisya yang menjadi alasan untuk ia menjalani kehidupan dengan penuh rasa syukur. Kini semua hancur, semangatnya memudar dan terenggutkan saat melihat Nisya yang tergeletak lemah didalam dekapannya. Air mata semakin deras mengalir saat ia menatap wajah Niysa, sebuah wajah yang dulunya memancar kesyahduan berubah menjadi wajah yang penuh kesakitan, kesengsaraan dan kepiluan yang tak tertahankan. Sungguh kematian yang menyakitkan. Tubuh Nisya yang terpotong-potong seolah mengukir sayatan-sayatan dan luka mendalam dihati datuk Meringgi.
Suasana mengharu biru, semua warga yang menyaksikan ikut pilu akan kondisi anak tunggal ketua adat mereka. Tidak satu wargapun yang kuat melihatnya, air mata menetes dari mata mereka seolah tidak percaya akan apa yang dilihat.
Datuk Meringgi yang tengah menangis tiba-tiba menghentikan tangisannya, dengan tangan dan kaki masih bergetar datuk Meringgi mencoba menenangkan diri dan menata hati. Ia berdiri dari dipan dan menghadap kesemua warga.
“Kalian cepat geledah tempat ini. Cari apapun yang dapat dijadikan petunjuk,” Perintah datuk Meringgi memecah keheningan hutan.
Semua warga menyebar bergegas menyisisir setiap jengkal pondok tersebut untuk mencari bukti dan petunjuk siapa Klootzak sebenarnya.
“Klootzak sialan, aku bersumpah akan memenggal kepalamu dengan tanganku sendiri. Hitungan kematianmu akan berjalan mulai dari sekarang, tunggu saja kedatanganku,” Gumam datuk Meringgi dengan emosi yang memuncak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro