Benang Biru
Sepuluh orang berangkat menuju rumah Pirdaus di Desa Rambutan Masam, masih satu Kecamatan dengan Desa Dusun Tengah. Jarak kedua Desa kurang lebih 45 menit berjalan kaki.
Tanpa membuang waktu, Ilham yang memimpin tim untuk menuju rumah Pirdaus. Matahari semakin meninggi, terik panas terasa membakar tubuh. Ilham mempercepat langkah kaki agar segera sampai ketujuan.
Selang beberapa menit, akhirnya tibalah mereka disebuah rumah panggung tua ditepi sawah. Sawah terlihat menghijau, angin sejuk mulai terasa menyentuh kulit. Semua warga yang ikut dalam misi berjalan perlahan mendekati rumah Pirdaus. Sekeliling rumah sepi, tidak ada siapa-siapa.
Dreet dreet! langkah kaki warga menaiki tangga yang mulai reot, semua memasang posisi siap siaga kalau-kalau ada yang datang menyerang. Ilham memimpin didepan, perlahan membuka pintu rumah, gelap dan pengap hawa rumah ketika pintu terbuka.
Rumah berdinding dan berlantai papan dengan atap daun rumbia yang sudah berlubang. Didalam rumah terdapat satu ruang tamu yang kecil, satu ruang kamar yang lantainya mulai melapuk, tidak ada kasur sebagai alas tidur hanya ada tikar pandan yang lusuh dan berdebu dan sebuah lemari kayu yang sudah tua. Warga berpencar menyisir setiap sudut rumah Pirdaus, hingga tiba-tiba seorang warga dikagetkan dengan apa yang ditemukkannya.
“Tuan. Tuan. kemarilah, liat apa yang kutemukan ini,” Jalius berteriak memanggil anggota yang lain.
Semua berlari kearah kamar yang menjadi sumber suara, mereka penasaran melihat apa yang ditemukan ketua adat Bangko tersebut hingga membuatnya berteriak histeris. Saat semua sampai dikamar, terlihat oleh mereka pintu lemari tua yang terbuka dan didalamnya terdapat beberapa toples yang tersusun berjejer. Awalnya tidak ada yang aneh. Ketika toples dibuka dari dalam toples terlihat dua buah bola mata dengan darah yang masih melekat pada belakang bagiannya. Sontak semua kaget melihat itu, didalam lemari terdapat lima buah toples yang artinya terdapat sepuluh bola mata.
“Segera geledah kamar ini, temukan segala sesuatu yang mencurigakan,” Ilham memerintah yang lain untuk menggeledah isi kamar Pirdaus.
Ilham berdiri termenung didepan jendela kamar Pirdaus dan menatap toples yang berisi bola mata, pikirannya melayang. Dengan keras ia berpikir makna dari semua ini.
“Kalau Pirdaus bukan pelakunya, lantas kenapa ada bola mata ini dikamarnya ? apakah Klootzak bekerjasama dengan Pirdaus, atau tidak hanya ada satu Klootzak yang meneror ? lalu apa pula maksud perempuan astral itu bahwa Pirdaus bukan pelakunya ? apa yang sudah ia ketahui ?” Ilham membatin mencoba memecahkan ini semua.
“Hey perempuan astral, aku tau bahwa kamu dari tadi mengikutiku. Keluarlah tidak usah bersembunyi. Ada yang ingin aku tanyakan,” Ilham berbicara menggunakan telepati kepada Riri.
Riri tersenyum saat mendengar panggilan Ilham, ia langsung keluar dari persembunyiannya. Pasalnya, selama ini Ilham selalu saja mengabaikannya dan ternyata sekarang Ilham yang duluan mengejaknya bicara.
“Aku Riri, bukan perempuan Astral. Apa yang ingin kamu tanyakan ?” Riri datang menghampiri Ilham dan kini berdiri tepat disebelahnya.
“Apa kamu yakin bukan Pirdaus Klootzaknya ? lantas kenapa bola mata ini ada padanya, dari informasi yang aku baca semua korban Klootzak kehilangan bola matanya. Apa mungkin ini bola mata dari perempuan-perempuan yang dibunuhnya,” Ilham bertanya dengan menatap mata Riri.
Jantung Riri mendadak bertedak kencang saat melihat tatapan mata Ilham, wajahnya yang dingin tanpa tersenyum sangat mempesona. Riri termenung menatap keindahan ciptaan tuhan yang saat ini berhadapan dengannya.
“Hemzz” Ilham berdehem kencang seolah memberi kode agar Riri segera menjawab pertanyaannya. Riri yang ketahuan menatap lekat Ilham langsung tersipu malu dan mengalihkan pandangannya melihat kearah sawah diluar jendela.
“Aku tidak tau mengenai bola mata ini, hanya saja aku tau siapa Klootzak yang sudah meresahkan masyarakat selama ini. Aku akan memberitahumu asal kau memenuhi permintaanku,” Riri menjawab apa yang ia ketahui dari pertanyaan Ilham.
Ilham kembali terdiam, berpikir sejenak. Tanpa sadar sudah terlalu lama mereka berada dirumah Pirdaus. Ilham kembali mengabaikan Riri dan sepertinya itu membuat Riri kesal dan semakim gemes melihat tingkah Ilham.
Ilham beranjak meninggalkan jendela dan ingin menuju keruangan lain, saat ia baru melangkah tiba-tiba saja kakinya menyandung papan lantai hingga membuat papan bergeser. Ilham berjongkok ingin memperbaiki lantai yang bergeser akibat sandungan kakinya, namun tanganya terhenti saat ia melihat ada sebuah ruagan kecil dibalik papan yang bergeser. Ilham mengangkat papan tersebut, dan benar saja. Ada sebuah ruangan kecil berbentuk kubus kurang lebih sebesar kardus Indomie. Ilham memasukkan tangannya kedalam ruangan kubus dan meraba-raba berharap menemukan sesuatu. Gayungpun bersambut, saat ia menarik kembali tangannya keatas terdapat sebuah bingkai foto dan beberapa carik kertas yang berhasil diraihnya. Ilham memanggil rekan-rekannya dan memperlihatkan apa yang ia temukan.
Sebuah foto lama berbingkai kayu yang sudah mulai tertutup oleh debu, didalam foto terlihat seorang perempuan tua yang tengah tersenyum. Satu lagi, terdapat tiga lembar kertas yang ditulis dalam waktu yang berbeda. Semua berkumpul untuk membaca lembaran-lembaran kertas yang ada ditangan Ilham.
Lembar pertama.
Dipenghujung senja, April 1909
Mata ini selalu berkaca-kaca ketika melihatnya
Seorang perempuan tua yang terduduk bersandar diatas tikar lusuh dengan rambut yang mulai memutih.
Nafasnya tersengal, dadanya menyesak hampir setiap saat.
Ibu..
Maafkan anakmu, aku belum bisa membahagiakanmu,
Diusia senjamu kau hanya menghabiskan waktu dikamar yang lusuh dan berdebu.
Penyakitmu terus saja menggerogot tubuh yang mulai menua.
Ibu,
Aku tidak bisa menahan air mataku saat melihatmu, tapi kau tetap saja tersenyum kearahku seolah kau baik-baik saja.
Aku tau, kau selalu menangis saat malam hari didalam kamarmu menahan rasa sakit yang tidak bisa engkau ungkapkan dan seolah tidak ingin aku ketahui.
Dari balik pintu, air mataku ikut mengalir melihat penderitaan yang coba kau sembunyikan.
Ibu, maaf aku telah gagal menjadi anakmu .
Semua terdiam saat membaca isi dilembar pertama yang ditulis Pirdaus, sebuah keluhan seorang anak yang belum bisa membahagian perempuan yang telah mempertaruhkan nyawa dalam melahirkannya. Ilham mengganti ke lembar kedua.
Lembar kedua
Dimalam yang sunyi, Maret 1910
Ibu, sudah hampir menyerah aku rasanya mencari cara agar engkau bisa sembuh, ku mohon bertahanlah lebih lama lagi disisiku.
Tapi sepertinya tuhan memberi secerca cahaya dalam gelapku
Saat hampir fajar minggu lalu aku menemukan sepasang bola mata yang indah disebuah pondok, aku mengambilnya dan menyimpannya didalam sebuah toples. Dan hari-hari berikutnya aku juga menemukan lagi bola-bola mata ditempat yang sama dan aku selalu mengulangi tempat tersebut untuk mengumpulkan bola mata disana. Hingga tadi siang ku tawarkan kepada seorang saudagar dan ia membelinya dengan harga yang mahal.
Bertahanlah ibu, kumohon. Sedikit waktu lagi saja.
Lembaran kertas kedua berhasil membuat Ilham dan yang lainnya terkejut, ternyata benar ia bukanlah Klootzak yang membunuh para hadis. Dia hanyalah orang yang diuntungkan dari aksi yang dilakukan Klootzak. Barangkali, ketika malam penangkapan ia kebetulan berada disana untuk mengumpulkan bola mata yang biasa ia lakukan. Ilham mulai menemukan Benang Biru perlahan dari kasus ini. Ia melanjutkan kekertas lembar terakhir
Lembar ketiga
Akhir dari segalanya, Mei 1910
Ibu, hari ini kau memilih menyerah.
Aku tak menyalahkanmu, biarsaja ku hadapi dunia bersamamu yang tetap masih hidup dihati ini.
Semua menghening, seolah merasakan emosi Pirdaus yang akhirnya ditinggal pergi oleh seseorang yang sangat ia sayangi. Ilham segera beranjak berdiri keluar dari kamar menuju pintu keluar diikuti oleh yang lainnya, sepertinya tidak ada alasan lagi bagi mereka berada disana lebih lama lagi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro