Benang Biru
Jubah yang dikenakan Pirdaus ikut dibuka oleh datuk Meringgi, terlihat pekas hantaman benda tumpul disekujur tubuh Pirdaus. Wajah membengkak, lebam biru-biru hampir terdapat diseluruh bagian tubuh. Pelipis mata dan bibir mengeluarkan darah segar. Muka Pirdaus hampir tidak terkenali lagi.
“Kenapo waang macak iko nian muek dusun kami Pirdaus,” (Kenapa kamu berbuat begini terhadap desa kami Pirdaus) datuk Meringgi bertanya dengan nada emosi terhadap Pirdaus dan membuat mulut warga terbungkam tidak berani bicara.
“Aakuuu bukan Klootzak seperti yang kalian tuduhkan,” Pirdaus membela diri.
Bukkkk... sebuah pukulan datuk Meringgi mendarat diperut Pirdaus. Ia hanya meringis kesakitan menahan hantaman tersebut.
“Bajingan, kenapa kamu tidak mengaku saja,” Datuk Meringgi semakin emosi dengan jawaban Pirdaus.
“Apa salah gadis-gadis didesa ini kepadamu, apa salah Nisya terhadapmu,” Suara datuk Meringgi tercekat dengan mata berkaca-kaca mengingat Nisya anak kesayangannya.
Ilham mulai geram dengan situasi, ia melangkahkan kakinya menaiki tangga dan mengambil sesuatu didalam tas yang ada didalam rumah Kajangleko. Lalu turun lagi dan memberikan sesuatu yang dibawanya kepada salah seorang warga.
“Cambuk dia menggunakan ini jika pertanyaanku tidak dijawab dengan benar olehnya,” Ilham berjalan menghampiri Pirdaus yang masih tergantung lemah.
“Jawab pertanyaanku dengan benar, jika jawabanmu tidak sesuai dengan yang kuinginkan cambuk itu akan langsung menghantam punggungmu tanpa ampun,”
Ilham bersiap dengan pertanyaannya, dan dibelakang Pirdaus sudah siap campuk yang akan menghantamnya. Lapangan desa hening tidak bersuara, menatap ngeri kearah Ilham yang semakin meluapkan emosinya.
“Apakah kamu Klootzak yang selama ini meneror desa ?” Ilham pertanya dengan wajah yang serius kepada Pirdaus. Pirdaus hanya menggeleng tanpa bersuara, suaranya sudah tercekat.
Spleeeh!
Cambukan mendarat dipunggung Pirdaus, ia hanya bisa mengerang kesakitan menahan hantaman dipungungnya. Ilham kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama kepada Pirdaus, tapi tetap saja sama jawaban yang diberikan Pirdaus.
Berkali-kali cambuk mendarat dipunggung Pirdaus sebanyak kali pertanyaan yang dilontarkan Ilham. Pirdaus mati rasa ditubuh bagian belakang, tidak tau lagi berapa kali cambuk itu menyentuh punggungnya. Darah mulai bercucuran akibat bekas cambukkan, semua bergedik ngeri dan tidak ada yang berani bersuara.
Riri yang melihat kejadian itu tidak kuasa melihat apa yang ditanggung Pirdaus. Dia menerobos kerumunan warga berjalan menuju ketengah lapangan tempat Ilham berdiri. Ketika ilham akan kembali bertanya, Riri menghentikannya.
“Aku akan menanyakannya sekali lagi.,” Belum sempai pertanyaan Ilham.
“Tunggu Ilham, Pirdaus berkata jujur. Dia bukanlah Klootzak yang meneror desa ini,” Riri berteriak mengentikan pertanyaan Ilham. Ilham mendadak terdiam dan mengalihkan pandangannya ke arah Riri.
Semua warga heran, kenapa Ilham mendadak menghentikan pertanyaannya dan terdiam seperti menatap sesuatu.
“Apa maksudmu ? Pirdaus bukan pelakunya ? jadi kau tau siapa Klootzak sesungguhnya.?” Ilham berbicara menggunakan batin kepada Riri.
Riri terkejut, ia dapat mendengar suara Ilham tanpa Ilham menggerakkan bibirnya sedikitpun untuk bicara. Telepati, apa Ilham menggunakan telepati kepadanya ? diluar dugaan, ternyata Ilham lebih dari apa yang ada diperkiraannya.
“Iya, kamu benar. Aku sudah lama tau siapa Klootzak sejak kematian Nisya beberapa pekan lalu. Tapi berhubung selama ini tidak ada yang menyadari kehadiranku, aku tidak bisa memberitahunya,” Riri menjelaskan.
“Aku akan memberitahumu, dengan syarat kau harus menceritakan kepadaku apapun tentangmu dan kenapa cuma kau yang bisa mengetahui keberadaanku,” Riri menambahkan.
Ilham terdiam, semua warga merasa aneh melihat tingkah Ilham yang tidak ada respon terhadap apapun ia seolah tidak mempunyai kesadaran. Hingga datuk Meringgi menepuk pundaknya dan mengagetkannya. Ilham akhirnya kembali fokus ke Pirdaus.
“Sepertinya Pirdaus berkata jujur, dia bukanlah Klootzak yang kita cari,” Perkataan Ilham sontak membuat warga kebingungan dan emosi. Jelas-jelas Pirdaus berada dilokasi tempat biasa Klootzak beraksi, kenapa bisa Ilham berkata bahwa bukan dia pelakunya.
Ilham kembali diam, mencari alasan untuk diberikan kepada warga karena mustahil jika ia mengatakan bahwa Riri manusia tidak kasat mata yang memberitahunya.
Aahaa, Ilham menemukan alasan yang tepat.
“Saya harap kalian tenang dulu, tahan emosi. Saya akan menjelaskan alasan dari perkataan saya,” Ilham mencoba menenangkan warga yang sudah mulai tebawa emosi.
“Coba kalian perhatikan Pirdaus, bukankan ia memiliki tangan kiri yang utuh ? sedangkan Klootzak, bukankah tangan kirinya sudah terpotong dan disimpan oleh datuk Meringgi ?” Ilham menjelaskan sambil memegang tangan kiri Pirdaus yang masih terikat.
“Kita terlalu bersemangat mendapatkan hewan buruan, sehingga kita lupa atau bahkan sengaja mengesampingkan kebenaran demi meluapkan emosi yang telah lama tependam,” Semua terdiam mendengar perkataan Ilham yang bicara sesuai fakta.
Semua mata tertuju pada Pirdaus yang masih terikat menggantung tidak sadarkan diri. Para pemimpin desa menggaruk garuk kepalanya termasuk datuk Meringgi. Perkataan Ilham benar, sebab emosi yang meluap mereka lupa akan informasi yang mereka dapat tentang Klootzak sehingga siapa pun yang menyerupai akan dianggap musuh dan patut untuk dihajar.
“Sekarang silahkan kalian kembali kerumah masing-masing dulu, kami akan mendiskusikan lagi masalah ini. Secepatnya Klootzak akan kami bawa kehadapan kalian semua. Kami belum tau apakah Pirdaus ada hubungannya atau tidak dengan Klootzak, yang jelas kami akan menggali informasi terlebih dahulu,” Ilham menutup ucupannya sambil memerintahkan salah satu warga desa melepaskan ikatan tangan Pirdaus dan membawanya kedalam rumah.
Dengan hati kecewa dan khawatir, warga terpaksa menyetujui usulan Ilham mengingat bahwa ia lah yang menjadi pemimpin dalam menyelesaikan kasus ini.
***
“Kita harus mengintrogasi Pirdaus untuk mendapat informasi darinya,” Kata datuk Meringgi dengan wajah tegang sambil menatap Pirdaus yang terbaring lemah tidak sadarkan diri dilantai rumah.
“Tapi bagaimana caranya datuk, Pirdaus saat ini tidak sadarkan diri. Sedangkan kita butuh informasi secepat mungkin,” Jalius ketua adat desa Bangko bertanya khawatir.
“Kita tunggu saja dulu sampai ia siuman,” Datuk Meringgi memberi solusi dan disetujui oleh rekan-rekannya.
Menit demi menit, jam demi jam terus berlalu. Semua pemimpin desa yang hadir memasang wajah khawatir, tapi tidak ada tanda-tanda Pirdaus akan segera siuman. Pukulan warga dan cambukkan ditubuh Pirdaus cukup untuk meremukkan tulang-tulangnya hingga membuat ia kesulitan untuk bertahan.
“Saya rasa lebih baik kita datangi saja rumah Pirdaus untuk mencari informasi, dan segera panggilkan tabib untuk mengobati luka-luka yang ada ditubuhnya. Ia informasi darinya sangat berharga, saya yakin sedikit banyak ia mengetahui tetang Klootzak,” Kata Ilham sambil berdiri dari tempat duduknya dan memasang wajah serius.
Setelah berbincang-bincang akhirnya diambil keputusan membagi dua tim, satu Tim menuju rumah Pirdaus dan satu lagi berjaga dirumah Kajangleko memantau kondisi Pirdaus.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro