Benang Biru
Malam segera menjelang, langit sudah mulai menjingga menyambut datangnya senja. Semua warga sudah berkumpul untuk menjalankan misi pengintaian didaerah sekitar pondok Klootzak malam ini. Mereka mempersiapkan alat-alat yang akan dibawa nantinya serta mengatur strategi. Tepat ketika matahari menghilang di ufuk barat, semua bergegas menyusuri jalan setapak masuk menuju hutan. Mereka akhrnya sampai setelah berjalan hampir satu jam, suasa sekeliling pondok sepi dan tidak ada tanda-tanda kehadiran seseorang. Lampu pondok mati, cuma cahaya bulan menerangi dari balik celah-celah dedaunan. Warga menyebar disekeliling pondok dan bersembunyi dibalik semak-semak memantau dari kejauhan
Suasana hening, malam semakin larut. Sudah hampir tiga jam mereka berdiam diri disana mengamti tapi sepertinya tidak ada gema kedatangan Klootzak.
Barangkali Klootzak sudah tau bahwa pondoknya sudah diawasi semenjak warga menemukan pondok itu beserta mayat Nisya beberapa pekan lalu.
“Hey ayolah, sampai kapan kau akan mengabaikan kehadiranku,” Riri mengoceh kepada Ilham. Pasalnya semenjak kejadian tadi siang, Ilham selalu mengabaikan Riri dan pura-pura tidak mendengarkanya hingga membuat Riri kesal dan membuntuti Ilham kemana pun ia pergi.
“Setidaknya beritahu aku apa yang terjadi,” Riri masih mengoceh disebelah Ilham yang tengah bersembunyi dan menarik-narik lengan bajunya.
“Baiklah, aku akan memberi taumu kabar menarik mengenai Klootzak,” Riri mulai memancing Ilham agar tertarik dengan apa yang dibicarakannya.
Seketika Ilham menoleh kepada Riri, ia menatap mata Riri dengan tatapan penasaran. Apa yang dimaksud ucapan Riri, apa ia mengetahui sesuatu mengenai kasus Klootzak itu. Sepertinya Riri berhasil menarik perhatian Ilham.
“Iya aku tau, sebenarnya Klootzak itu..,” Belum sampai ucapan Riri tiba-tiba.
Kreek! Suara ranting patah seperti diinjak oleh seseorang. Ilham mengalihkan perhatiannya, semua warga yang dari tadi mengeluh kembali memasang mata awas. Hutan menghening, hanya suara hewan malam yang bernyanyi riang.
Dari arah timur pondok terlihat samar-samar cahaya lampu, tidak lama kemudian datang seseorang berjubah hitam menenteng sebuah lampu ditangannya. Semua warga yang bersembunyi bersiap-siap melihat kedatangan seseorang yang diduga Klootzak tersebut.
Orang Itu berjalan perlahan mendekati pondok tanpa menyadari sudah ada puluhan mata yang mengawasi. Ia seperti mencari-cari sesuatu disekitar pondok tesebut.
Suiiitt! Ilham bersiul pertanda keluar dari persembunyian. Saat warga mendengar siulan Ilham, semua bergegas keluar dari persembunyian dan mengepung orang tersebut dari berbagai sisi pondok.
Kaget seketika, saat orang berjubah itu melihat sesuatu keluar dari semak-semak. Ia berbalik badan dan berniat kabur, namun sia-sia. Saat badannya berbalik, sudah ada orang dibelakannya. Ia terkepung tidak tau apa yang harus dilakukannya. Ada sekitar dua puluh orang yang mengepungnya, kaburpun sia-sia pasti akan tertangkap juga.
Menghindari drama kejar-kejaran seperti sebelumnya, dengan cepat warga menangkap orang itu. Kini, kedua tangan manusia berjubah sudah dipegang dengan erat. Belum sempat melihat wajahnya, tanpa basa basi warga menghajar habis manusia berjubah tanpa ampun seolah melampiaskan semua amarah selama ini.
Wajah manusia berjubah dipukul bagai samsak, badan tangan hingga kaki juga tidak lolos dari sasaran mereka. Manusia berjubah tidak dapat melawan, warga terlalu banyak hingga tidak tekendali. Ia akhirnya terjatuh ditanah tidak berdaya.
“Sudah cukup, kalau kalian terus menghajarnya seperti ia akan mati disini,” Ilham menghentikan amukan warga dengan wajah datar.
Warga menghentikan amukkannya dan mendengar ucapan Ilham meski amarah didalam dada mereka masih membara.
Terlalu mudah rasanya ia mati disini mengingat apa yang telah ia lakukan selama ini. Warga akhirnya sepakat membawa manusia berjubah itu kembali keperkampungan.
Dengan tubuh dan tangan yang sudah diikat, warga sama-sama menarik tangan Klootzak dan memaksanya berjalan sendiri dengan tertatih-tatih. Klootzak diseret paksa dengan kaki yang sudah pincang berjalan melewati semak-semak menuju perkampungan. Tidak ada ampun, Klootzak diperlakukan bagai hewan ternak yang ditusuk hidungnya lalu kemudian dipaksa berjalan dengan menarik tali yang terikat dihidung.
Lambat sedikit, sudah ada orang dibelakang yang melecutinya. Darah mengalir dari telapak kaki Klootzak akibat tusukan akar-akar pohon yang menutupi jalan. Tidak ada yang kasihan terhadapnya.
Tidak lama berselang, mereka sampai diperkampungan tepat ketika ayam-ayam mulai berkokok dan langit mulai menunjukkan sinarnya. Klootzak diikat ditengah lapangan didepan rumah Kajangleko dengan posisi berdiri dan kedua tangan merentang terikat pada dua buah kayu.
Tok tok tok tok!
Kentong desa diketok empat kali oleh datuk Meringgi, pertanda menyuruh warga segera berkumpul. Sesaat setelah kentong diketok, dari ujung lapangan samar-samar terlihat warga berduyun-duyun memadati lapangan desa termasuk Diana, Awhal dan Elly sahabat Nisya. Mereka terkejut melihat pemandangan ditengah lapangan.
Datuk Meringgi dan Ilham berdiri ditengah-tengah kerumunan warga tepat disebelah Klootzak. Hari semakin terang, dunia mulai terlihat seutuhnya ketika matahari sudah mulai naik meninggi. Riri menatap kearah Klootzak, tapi ia merasakan ada sesuatu yang janggal terhadap orang itu.
“Wargaku sekalian, tadi malam dioperasi kami yang pertama mengawasi pondok ditengah hutan kami menangkap Klootzak yang dengan bodohnya masuk perangkap kami,” Datuk Meringgi memulai bicara menjelaskan yang terjadi tadi malam.
Huru hara warga terdengar menggema. Seketika lapangan menjadi ribut akan rasa syukur, umpatan, ujaran kebencian dan caci makian dari emak-emak kepada Klootzak.
“Penutup wajahnya belum sempat kami buka, sekarang mari kita lihat siapa yang berada dibalik jubah hitam pembawa rasa takut bagi semua warga selama ini,” Datuk Meringgi mendekat kearah Klootzak dan memegang seutas kain yang dari tadi menutupi wajahnya.
Sreet!
Kain ditarik paksa dari wajahnya. Sesaat setelah kain terlepas, semua yang berada dilapangan menjadi heboh saling sikut ingin melihat wajah Klootzak. Sontak membuat kaget setelah wajah Klootzak terlihat, tidak terkecuali Riri. Riri ikut kaget melihat siapa wajah dibalik kain tersebut.
“Mamang Somay, itukan mamang somay diperempatan,” Kata salah satu warga yang berbisik seolah tidak percaya.
“Loh kok ?” Riri yang bergumam kaget sambil menatap wajah Klootzak.
“El, bukankah itu bang Pirdaus. Tukang somay tempat kita biasa makan,” Diana berbisik kepada Elly dengan wajah yang masih kaget.
“Dasar tukang somay tidak tau diri,” Kata warga lain sambil melempar telur kearah Klootzak tanpa tau dari mana telur yang dilempar itu datang. Lapangan mendadak menjadi heboh, semua warga terbakar emosi melihat wajah Pirdaus yang ada dibalik jubah hitam itu.
Jubah yang dikenakan Pirdaus ikut dibuka oleh datuk Meringgi, terlihat pekas hantaman benda tumpul disekujur tubuh Pirdaus. Wajah membengkak, lebam biru-biru hampir terdapat diseluruh bagian tubuh. Pelipis mata dan bibir mengeluarkan darah segar. Muka Pirdaus hampir tidak terkenali lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro