Astral Projection
Pukul 17.30, ketika mentari menampakkan pesona indahnya diujung ufuk barat dan malam mulai melahap senja perlahan merupakan waktu yang tepat untuk berjalan-jalan di Jembatan Gentala Arasy yang dibangun 80 M di atas aliran sungai Batanghari. Di senja menjelang malam ini terlihat para pedagang hulu hilir dibawah jembatan mempersiapkan bahan dagangannya yang akan di jual pada malam ini kepada para pengunjung. Pemandangan seperti ini sudah menjadi aktifitas keseharian pedagang yang kerap membuka lapak dipinggir aliran sungai.
Pengunjung lokal dan pendatang sudah mulai meramaikan jalanan dengan menenteng kamera di lehernya. Riang berfoto bersama keluarga, sahabat, teman bahkan ada pula yang berfoto sendirian. Malam ini malam minggu, menambah ramai pengunjung yang memadati jembatan. Jembatan Gentala Arasy dikhususkan untuk pejalan kaki (pendestarian) dengan panjang 530 M, dan lebar 4,5 M dengan 2 tiang pancang setinggi 60 M. 2 pancang ini bermakna keseimbangan kehidupan antara laki-laki dan perempuan. Jembatan ini merupakan ikon terbaru kota Jambi yang diresmikan 1 tahun yang lalu tepatnya 28 Maret 2015 oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Karena terbilang baru dengan konsep Outdoor menjadi penarik warga lokal dan pendatang untuk mengabadikan keindahannya.
Riri – Nama lengkapnya Riri Vylarsta dan dia bukan warga lokal. Dia merupakan mahasiswa semester 2 Jurusan Sastra Budaya disalah satu kampus ternama di Jambi. Perempuan berwajah lembut yang anggun dengan setelan jilbab dan baju gamis dengan warna yang senada. Riri kerap mendatangi Jembatan ini setiap akhir minggu dan biasanya datang seorang diri untuk mencari inspirasi yang akan dijadikan tulisan. Dia baru saja memasuki kawasan jembatan dengan buku dan pena ditangannya. Angin mulai bertiup kencang membawa dingin sampai ketulang, dieratkan jaket yang ia kenakan berharap dingin sedikit berkurang.
“Pergi, pergi, tolong jangan ganggu saya,” Teriak seorang kakek yang berumur sekitar 70-an dengan salah satu bola mata seperti luka robek. Kakek itu berpakain lusuh berbaju kaos dan bercelana pendek duduk dilantai jembatan menghadap kearah orang berjalan kaki dan bersandar pada dinding jembatan yang terbuat dari besi bulat dengan jarak setiap besi kurang lebih sebesar kepal orang dewasa. Dia selalu berteriak hal yang sama berulang-ulang dengan nada ketakutan.
Mata Riri terpaku melihat kakek tua itu dan tiba-tiba saja terbesit dalam pikirannya untuk menghampiri kakek tersebut. Kakinya mulai gemetar, meski sangat ingin menghampirinya namun ada rasa takut yang coba untuk ia kendalikan.
Perlahan Riri mendekat. Jarak tempat dia berdiri dan kakek hanya sekitar 3 M. Dengan membulatkan niat, dilangkahkan kakinya mulai mendekat. Riri tersenyum tepat ketika ia berdiri didepan kakek itu. Tidak ada respon, laki-laki tua itu masih saja mengoceh tidak jelas. Selang beberapa menit, akhirnya ia terdiam dari ocehan dan mulai menyadari kehadiran Riri yang sejak tadi mengamatinya.
“Siapa kamu ? mau apa kamu disini ?” Bentak orang itu dengan nada tinggi.
Riri semakin bergetar, namun rasa penasaran didalam hatinya yang besar menghentikan langkah kaki untuk menjauh dari sang kakek.
“Maaf sebelumnya kek, kenapa kakek berada disini dan mengoceh tidak jelas dari tadi ?” Riri memberanikan diri untuk bicara sambil berjongkok mensejajarkan posisinya.
“Pergi, pergi kamu dari sini, jangan ganggu saya,” Kakek semakin histeris dan mendorong Riri hingga membuatnya terduduk dilantai jembatan.
Malam semakin larut dan angin kian menusuk, tiba-tiba saja kakek yang dari tadi berteriak-teriak seperti orang gila seolah memperoleh kembali kesadarannya. Ia terlihat kebingungan dan memandang sekeliling dengan awas. Aneh. Seketika penglihatannya terhenti menatap seorang gadis cantik yang sudah terduduk setelah didorang olehnya beberapa menit lalu. Lama kakek menatap Riri dengan tatapan tajam dan penuh kebingungan, sontak saja membuat Riri bergidik ngeri melihat seorang kakek tua lusuh bermata satu menatap tajam kearahnya.
“Ma..ma..aaf, apa tadi saya menyakiti kamu ?” tanya kakek itu dengan raut wajah kebingungan.
Riri masih menatap heran, pasalnya baru saja ia diusir dengan nada kasar bahkan didorong hingga terjatuh, tiba-tiba saja kakek tua itu menyapa dengan nada lembut dan ramah kepada Riri.
“Tidak apa-apa kek, kakek tidak menyakiti saya,” Jawab riri membalas pertanyaan dari kakek.
“Maaf ya nak, jikalau tadi saya melukaimu. saya tidak bermaksud jahat,” ia berbicara dengan wajah tertunduk, khawatir jika Riri takut melihat wajahnya.
Jembatan yang semakin malam semakin ramai membuat banyak orang berlalu lalang melintasi Riri dan kakek. Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya Riri berhasil mengobrol dengan kekek tua itu. Dari pembicaraan yang ia lakukan, ia mengetahui bahwa kakek tersebut bernama Suryadi orang-orang biasa memanggilnya datuk Yadi. Datuk merupakan panggilan untuk kakek yang biasa digunakan oleh masyarakat Jambi.
Datuk Yadi tinggal didesa seberang jembatan tidak jauh dari Mesjid Agung Al-falah. Perubahan sikap yang terjadi pada Datuk Yadi disebabkan oleh penyakit Demensia yang sudah lama dideritanya. Penyakit Demensia merupakan menurunnya kemampuan fungsi kognitif otak dalam mengingat, berpikir, bertingkah laku dan berbicara. Pengidap demensia biasanya bisa lupa siapa dia, dari mana dia dan ingatan lainnya. Terkadang bersifat kekanak-kanakan terkadang pula bersikap dari ingatan yang sangat berkesan dimasa lalu.
Riri yang dari tadi penasaran dengan apa yang diucapkan Datuk Yadi ketika tadi penyakitnya kambuh, memberanikan diri untuk bertanya dengan menyususn kata-kata sebaik mungkin agar tidak menyinggung perasaan Datuk.
“Maaf Datuk. Kalau boleh saya tau, tadi mengapa Datuk selalu mengucapkan hal yang sama dengan rasa ketakutan ?” Riri bertanya dengan rasa khawatir kalau-kalau ucapannya menyinggung lawan bicara.
“Kamu yakin mau tau apa yang saya maksudkan ?”
“Iya tuk”. Jawab Riri antusias dengan apa yang ditanyakan kepadanya.
Lengang sejenak, waktu sudah menunjukkan pukul 20.00 malam. Kondisi jembatan makin ramai oleh pendatang membuat Riri memasangkan telingannya lebih jelas agar dapat mendengar apa yang dikatakan oleh Datuk.
Riri yang masih menunggu jawaban hanya terdiam, namun Datuk Yadi tak kunjung buka suara. Masih terdiam dan menatap langit dengan dalam. Sekian lama terdiam, akhirnya kakek tua itu menarik nafas panjang dan kembali menatap Riri seolah tengah mengumpulkan potongan-potongan ingatan yang akan ia diceritakan kepada Riri. Ditatapnya Riri dalam-dalam tanpa berkedip sedikitpun, sontak membuat Riri ketakutan.
“Jangan takut nak, tatap mata saya jika kamu ingin menemukan jawaban dari pertanyaanmu,”
Riri yang sedikit bingung dengan permintaan yang dianggapnya sedikit aneh akhirnya mengikuti pemintaan sang datuk setelah berpikir beberapa menit.
Ketika mata mereka saling beradu sepersekian detik, Riri merasakan suatu keanehan pada dirinya. Penglihatanya berputar-putar, dirinya seolah ditarik kesebuah tempat yang dikelilingi oleh kabut putih. Tidak ada yang dapat ditangkap oleh matanya, begitu pula dengan datuk Yadi yang tadi berada didepannya. Semua putih, seperti ruangan hampa udara dan tanpa warna.
Perasaan bingung masih menyelimuti hati dan pikirannya, namun tiba-tiba saja dirinya sudah berada dipinggir sebuah aliran sungai. Udara sejuk menyentuh kulitnya, barung-burung menari dan berkicau riang, gemercik air bersenandung merdu berpadu dengan kesibukkan ikan mencari makan didalamnya. Pohon-pohon tumbuh rindang menjulang.
“Aneh, bukankah tadi malam hari lantas kenapa sekarang jadi pagi hari. Sepertinya sungai ini tidak asing bagiku, tapi ini dimana ?” Riri bergumam sendiri seraya menatap keanehan disekelilingnya.
Sungai dan pemandangan yang masih asri mengalihkan pikiran Riri sejenak. ia terlihat menikmati apa yang ada didepan matanya. Sungai yang luas nan jernih dikelilingi oleh pohon-pohon yang rindang, tidak ada bangunan mewah, mall, hotel atau apapun yang sering ia lihat di kota Jambi.
Plol plok plok!
Suara orang berjalan seperti menggunakan terompah, sendal yang terbuat dari kayu. Suara itu membuyarkan lamunannya dan semakin jelas. Suara tersebut seolah mendekat kearahnya. Riri tersenyum, paling tidak ia tidak sendirian ditempat yang antah berantah ini.
Sesaat suara yang didengarnya semakin mendekat, muncul sekelompok perempuan muda dan cantik, berkulit putih dan mulus membawa bakul dengan mengenakan pakaian dari sejenis kain jarik batik yang menutup bagian dada sampai lutut, seperti kemban dengan penutup kepala tengkuluk dan sendal khas dari kayu. mereka berjumlah lima orang dan berjalan menuju kearah sungai.
Riri berjalan menghampiri mereka yang tengah berjalan dan menyapa dengan sopan dan ramah.
“Permisi kak, maaf saya mau numpang nanya. Ini daerah mana ya, sepertinya saya tadi tersesat ?” Tanya Riri dengan tersenyum.
Perempuan-perempuan tersebut tidak bergeming, mereka seolah tidak mendengar sapaan Riri. Mereka tetap saja asik bercerita sesamanya tanpa menghiraukan keberadaan Riri seraya berjalan meninggalkannya dan menuju kepinggiran sungai.
“Tidak ada yang bisa mendengarkanmu nak, karena yang berada disana hanya jiwamu sedangkan ragamu masih berada disini bersamaku,” Tiba-tiba saja ada suara yang terdengar ditelinganya, saat Riri membalikkan badan ternyata tidak ada siapa-siapa. Tapi sepertinya ia mengenali suara tersebut.
“Jangan takut nak, ini datuk. Saat ini kamu sedang malakukan perjalanan kedimensi lain, atau biasa disebut sebagai Astral Projection. Keadaan dimana jiwa dan ragamu berpisah dan memasuki ruang waktu, aku tidak bisa ikut denganmu, karena tubuhku sudah sangat lemah untuk melakukan itu,” Ternyata suara tersebut berasal dari datuk Yadi, ini semua semakin membuatnya bingung dimana posisinya berada saat ini.
“Kamu saat ini berada di pinggiran sungai Batanghari tepatnya di Kecamatan Muara Tembesi pada tahun 1910, ya tepat 6 tahun setelah gugurnya Sultan Thaha Syarifudin dan 5 tahun setelah Jambi menjadi keresidenan sendiri yang sebelumnya keresidenan ditangani oleh Palembang,” Datuk Yadi menjelaskan.
Penjelasan datuk membuat Riri terperanga, artiannya saat ini ia kembali ke 106 tahun yang lalu. Belum sempat Riri bertanya, suara datuk sudah menghilang, menyisakan kebingungan dan ribuan pertanyaan dibenaknya.
“Bagaimana bisa, ditahun 2016 dengan era modernisasi dan super canggih yang sedemikian rupa seperti ini aku bisa mengalami hal menganehkan? Astral Projection ? makanan jenis apa pula itu ? tahun 1910 ? 1 abad yang lalu yang artiannya Indonesia belum merdeka dan saat ini masih berada dalam genggaman penjajahan belanda ? ini sungguh mustahil, sebagimana pun aku mencerna dan menganalisisnya logikaku tidak akan sampai. Arrrgh, bagaimana cara aku kembali ? bagaimana pula aku bisa bertahan disini ?”
Pertanyaan-pertanyaan kian muncul dipikiran Riri, membuatnya terkulai lemas dan terduduk disebuah kayu tumbang mengarah kearah sungai. Seolah mengumpulkan kesadaran kembali, ditariknya nafas dalam-dalam lalu mencoba mengembalikan logika yang sempat melemah. Perlahan Riri berdiri dan berjalan menghampiri para gadis yang sedang asik mengobrol sambil mencuci baju, piring, beras ada pula yang mandi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro