Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9 - Her Greed

Lucia memimpin jalan saat mereka sedang mengikuti jejak sekelompok vampir berjubah yang membawa mayat-mayat. Lucia benar-benar tidak banyak bicara dan hanya memberi isyarat saat akan ada vampir datang dari arah lain. Oliver menduga, karena vampir punya pendengaran yang tajam, Lucia akan ketahuan sebagai pengkhianat yang telah membantu manusia kabur. Tak hanya itu, Lucia juga melarang keras pergi ke belok kiri saat menuruni tangga dari lantai satu, padahal banyak vampir berpakaian formal ke sana.

“Hei, Lucia,” panggil Oliver dengan bisikan. “Kalau kau memang setakut itu ketahuan, ayo kembali saja ke atas. Kau juga harus melindungi diri sendiri, tahu.”

Lucia menggeleng. “Tinggal sedikit lagi, kau akan mengetahui kebenaran ‘kolam darah’ yang kusebut tadi.”

Oliver mengernyitkan alis dan baru memahami ucapan Lucia saat menyaksikannya secara langsung. Mereka memasuki sebuah ruangan yang tampak seperti gudang dan punya pintu lagi di dalamnya. Rupanya pintu itu menghubungkan ke ruang berwarna putih ternodai darah. Mereka mengintip dari celah pintu. Para vampir berjubah berlalu lalang di sana sambil melempar mayat-mayat ke tepi kolam dengan air berwarna merah. Bukan, itu darah manusia. Para mayat itu ditebas hingga darah mengucur sampai habis, lalu dibuang ke tempat lain dan dilanjutkan mayat lain. Pemandangan yang tidak bermanusiawi itu membuat Oliver mual dan hampir muntah di tempat.

“Maaf, aku harus menunjukkan tempat ini padamu. Ada beberapa vampir yang tidak bisa bertahan hidup jika tidak minum darah dalam jangka waktu tertentu. Aku bukan salah satu dari mereka, tapi…”

“Aku tahu. Orang mati yang dihidupkan kembali menjadi vampir yang kau maksud itu, kan?” potong Oliver yang hanya menebak.

Lucia mengangguk cemas, dia berusaha tidak menyinggung soal kakak Oliver, tetapi Oliver sendiri lah yang mengungkitnya. “Aku tidak tahu apa kau sudah tahu soal ini atau belum. Mungkin sudah sekitar ratusan tahun, kaum vampir dilarang mendekati pulau utama. Tapi, baru-baru ini salah satu dari kami berhasil lolos ke pulau utama dengan berpura-pura menjadi manusia. Apa kau bisa menduganya?”

Oliver mengangguk dalam diam. Oliver menduga dia berpikiran sama dengan Lucia. Fonz Group, penyelenggara program liburan. Kemungkinan alasan Lucia menahan Oliver tetap hidup adalah ingin mencari tahu tujuan yang sebenarnya dari pendiri Fonz Group yang sepertinya vampir. Sayangnya, Oliver tidak mengetahui banyak hal tentang Fonz Group.

Oliver hendak berpaling ke Beryl yang berdiri di belakangnya, tetapi Oliver merasa aneh dengan Beryl yang memandang tajam ke punggung Lucia. Saat Lucia berbalik badan, Beryl memalingkan pandangan ke arah lain, yaitu ke Oliver.

“Oliver, katamu Violetta masih hidup, kan? Kalau begitu, kita harus segera mencarinya sebelum terjadi sesuatu padanya. Kita tidak boleh buang-buang waktu dengan hal seperti ini.” Kemudian, Beryl meninggalkan mereka duluan tanpa Oliver sempat membalasnya.

Entah kenapa, Lucia balik menyorot tajam ke punggung Beryl yang makin mengecil. Oliver mengira Beryl tidak menyukai Lucia karena dia vampir, tetapi alasan Lucia juga menatapnya penuh kebencian? Saat Oliver hendak menyusul Beryl, Lucia mencegatnya sebentar.

“Oliver, apa kau bisa tunggu sebentar di suatu tempat? Aku harus ikut ke perkumpulan vampir bangsawan, yang kau lihat tadi. Jika aku tidak muncul sekarang, bisa-bisa aku dicurigai.” Lucia berbisik.

“Baiklah, tapi kau juga harus beri tahu apa yang kau dengar di perkumpulan itu. Apa pun itu.” Kali ini, Oliver berhenti melangkah lagi karena Lucia kembali berbicara.

“Aku hanya ingin memperingatkanmu saja. Jangan percaya siapa pun di sini selain aku dan Violetta, bahkan itu manusia sekalipun. Paham?”

Paham atau tidak, Oliver ingin memercayai ucapan itu. Lucia tampak serius dan sangat berhati-hati terhadap sesuatu, mustahil dia berbohong.

Sebelum menuju ke aula rahasia, Lucia pergi ke toilet untuk memastikan penampilannya rapi dan bersih agar tidak dicurigai. Meski begitu, dia yakin Vicente akan mencurigainya karena belum datang ke aula rahasia sampai saat ini.

Lucia saling berhadapan dengan sosoknya di depan cermin. Bahunya bergetar hebat dan dia berusaha menenangkan diri. Rupanya, dia masih takut ketahuan membelot dan menolong manusia. Namun, bukan itu yang paling ditakutinya. Vicente akan makin mengekangnya setelah itu, itulah yang paling ditakutinya.

Dalam tarikan napas yang kelima, Lucia mulai tenang, lalu meninggalkan toilet dengan penampilan yang sudah rapi. Saat hendak mengambil langkah menuju aula rahasia, seseorang memanggilnya dari belakang punggung dan Lucia menoleh. Karl berlari ke arahnya dengan ekspresi wajah berkata, ‘Akhirnya aku menemukanmu’.

“Ada apa, Karl?” tanya Lucia yang berpura-pura tidak tahu.

“Kau ini…” Karl berhenti bicara sejenak untuk mengatur napas. “Dari mana saja kau? Kalau kau yang hilang, aku yang kena imbasnya, tahu,” gerutunya.

Lucia mengangkat bahu seolah memberi jawaban yang misterius. “Entahlah. Menurutmu, aku dari mana?” Kemudian, ia melangkah duluan menuju aula rahasia dan Karl berusaha menyamakan langkahnya di sampingnya.

“Jangan bilang, kau juga ikut pembantaian? Sejak kapan kau tertarik dengan hal seperti itu?” tebak Karl.

Lagi-lagi, Lucia hanya mengangkat bahu. “Bukankah kau yang ikut? Sepertinya kamu sudah membunuh tiga manusia. Benar, kan?” Ia balik menyerang Karl.

Seolah ucapan Lucia tepat sasaran, Karl terbungkam. Namun, tak lama dia tidak bisa menahan kejengkelannya terhadap Lucia. “Hei, kalau kau memang berniat berkhianat dari Vicente, lakukan sekarang. Apa kau sengaja membuatku menderita di posisi kedua? Kau pikir–” Saat Karl baru sadar dia salah bicara yang tidak seharusnya, dia melirik ke Lucia.

“Jaga bicaramu, Karl.” Lucia menyorot tajam padanya dan Karl pun kesulitan menelan ludah. “Kalau sedari awal bisa berkhianat dengan mudah, pasti sudah kulakukan sejak lama. Berada di sisinya tidak membawa keuntungan apa pun, melainkan kehilangan banyak hal yang berharga. Kalau kau tahu hal itu, kenapa kau masih setia kepadanya?”

“Mendapatkan kehormatan darinya sudah lebih dari cukup. Kupikir, kau benar-benar serakah, ya, Lucia.” Kali ini, Karl sengaja tidak menahan diri untuk mengejeknya. Bertepatan saat itu, mereka sudah tiba di depan pintu aula rahasia dan Karl masuk duluan.

Lucia sendiri sudah tidak ada niat untuk membalas ejekannya. Serakah. Menurutnya, itu memang gambaran yang tepat untuknya.

Lucia mengikuti langkah Karl dari belakang dan saat Karl berhenti melangkah, dia juga ikut berhenti. Entah kenapa, Lucia merasa jantungnya berdegup kencang dan kedua tangan yang bersembunyi di balik punggung berkeringat dingin sekaligus gemetaran.

“Vicente, aku sudah membawa Lucia, nih.” Karl melangkah mundur, berdiri di sebelah Lucia sambil merangkulnya.

Sosok Lucia yang awalnya tertutup oleh tubuh Karl pun tersingkap dan Lucia bisa melihat Vicente dengan jelas. Dia tidak menyeringai seperti biasanya dan matanya tidak henti memandang Lucia secara lekat-lekat.

Lucia pun menyembunyikan rasa takutnya dengan mendekati dan menyapa Vicente seolah tidak terjadi apa-apa. “Apa kau mencariku, Vicente? Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku. Aku tidak melakukan–”

Tiba-tiba Vicente menarik lengan Lucia sehingga dia terjatuh ke dekapannya. Bibir Vicente yang hampir menyentuh daun telinga Lucia membisikkan, “Tentu saja, aku percaya kau tidak mungkin mengkhianatiku. Tapi, apakah aku boleh tahu apa yang kau lakukan sejak pesta dansa dimulai?”

Lucia menelan ludah dan hendak mendorong Vicente agar menjauh darinya, tetapi Vicente menahan punggungnya seolah menunggu jawaban darinya. “Kenapa diam saja? Aku mencium bau darah manusia darimu. Kupikir kau tidak tertarik dengan hal seperti itu.”

“Mungkin aku lagi lapar.” Agar Vicente tidak mencurigainya terus, Lucia memberanikan diri membalas tatapannya. “Ingatlah, aku sudah bersumpah tidak mengkhianatimu di hari itu. Percayalah padaku.”

Vicente terdiam cukup lama sambil mengamati Lucia tanpa berkedip. Saat seringainya akhirnya muncul, ia baru melepaskan Lucia sambil berkata, “Nikmati waktumu, Lucia.”

Diam-diam, Lucia menghela napas panjang meski masih merasa tidak nyaman dengan perubahan sikap Vicente barusan. Lalu, Lucia mengambil tempat duduk di sebelah Arlet yang kebetulan kosong. Dia pun baru ingat bahwa dia tidak menemui Arlet lagi setelah beralasan ingin berkeliling.

“Maaf, Arlet. Padahal kau disuruh Vicente untuk terus bersamaku. Apa kau dapat masalah sebelum aku datang?” bisik Lucia.

Arlet menggeleng. “Bukan masalah besar.”

Tidak sengaja, Lucia memperhatikan liontin berwarna hijau di leher Arlet. Saat Lucia menggigit leher Oliver, dia melihat Oliver juga memakai liontin yang sama persis milik Arlet. Lucia pun makin yakin mereka memang bersaudara.

Untuk memastikannya, Lucia bertanya, “Arlet, apa kau punya adik laki-laki?”

Arlet memasang wajah penuh keheranan. “Kau tahu, kan, aku hanya punya Antonio, kakakku satu-satunya.”

Arlet sama sekali tidak ingat tentang Oliver, Lucia sudah menduganya. Karena Oliver, Lucia jadi penasaran alasan para korban perang di Kerajaan Zashos dihidupkan lagi sebagai vampir oleh Leluhur Pertama. Ia tidak pernah menghiraukan hal tersebut pada saat itu. Namun, mengingat sifat Leluhur Pertama, mustahil Leluhur Pertama yang berinisiatif membangkitkan para mayat korban itu. Seandainya waktu itu Lucia tidak mengabaikan soal tersebut, pasti dia sudah memberi informasi bagus itu kepada Oliver.

“Apa katamu?”

Lucia tersentak dari lamunannya sendiri. Terdengar suara Vicente yang tampaknya naik pitam dan Lucia mulai waspada sewaktu-waktu bisa saja aula rahasia meledak pada saat itu juga. Rupanya yang berpikiran seperti itu tidak hanya Lucia. Terjadi sesuatu yang buruk, wajah para pelayan pribadi Vicente menunjukkan ekspresi seperti itu dengan melanjutkan berbisik ke Vicente.

“Sialan, bagaimana bisa perempuan itu kabur? Dasar para penjaga tidak becus, aku harus memberi pelajaran ke mereka.” Meski pelayan yang menundukkan pandangan tidak bersalah, Vicente memelototinya seolah bola matanya akan keluar dari tempatnya.

Lucia berfirasat sepertinya Violetta kabur atas kemauannya sendiri. Violetta memang perempuan yang cerdas. Jika dilihat situasinya, kemungkinan tempat kabur Violetta adalah salah satu kamar di lantai dua, kamar para manusia. Lucia ingin cepat-cepat memberi tahu informasi tersebut ke Oliver.

Melalui isyarat mata dari Vicente, Karl beranjak berdiri dan semua perhatian tertuju kepadanya. Ia mengumumkan, “Semuanya, periksa setiap kamar di lantai dua. Tangkap semua manusia yang bersembunyi di sana tanpa membunuh mereka sampai Vicente datang.”

Seolah itu adalah perintah mutlak, para vampir yang berada di ruangan itu bangkit secara serempak dan berhamburan ke pintu yang sudah terbuka. Lucia juga harus bergerak cepat untuk memberi tahu Oliver sebelum lantai dua dipenuhi vampir.

“Ada apa, Lucia?” tanya Oliver setelah Lucia menemukannya di ruang kosong dekat aula rahasia.

“Cepat ke lantai dua. Violetta kabur ke sana. Sekarang para vampir bergerak ke sana atas perintah Vicente.”

Mata Oliver melebar. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia melesat ke sana dan Beryl yang tidak ingin tertinggal menyusulnya, meninggalkan Lucia seorang. Oliver berharap semoga bisa tepat waktu ke sana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro