Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7 - The Vampire Prince

Bau darah yang menyengat, suara jeritan yang menyakitkan. Violetta terbangun dengan kepala masih terasa pusing dan napas yang terasa sesak. Ingatan yang tampak nyata. Dalam hati Violetta bertanya-tanya, apa itu semua hanya mimpi?

Violetta mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, hanya terlihat kegelapan tanpa ujung. Saat hendak bergerak, rupanya kedua tangannya diikat di sandaran kursi dan lakban menempel di mulut. Violetta pun percaya bahwa semua yang telah terjadi bukanlah mimpi. Vicente Alderas telah menipunya. Tidak, penduduk asli juga.

Mata merah, gigi taring. Seingat Violetta, seharusnya vampir sudah punah sebelum terjadi perang di Kerajaan Zashos. Bahkan, jejak ras vampir tidak pernah ditemukan lagi di buku sejarah. Violetta teringat kembali yang dilihatnya di pelabuhan. Para penduduk asli memakai jubah untuk melindungi diri sendiri dari matahari. Sepertinya seluruh pulau dihuni ras vampir seolah mereka sedang diisolasi di sebuah pulau asing.

“Sudah bangun?” Tiba-tiba tirai di belakang punggung Violetta tersingkap dan cahaya rembulan menembus jendela. Violetta bisa melihat jelas di depannya. Meja makan yang penuh dengan hidangan bermacam-macam dan di tengah-tengah meja makan terdapat vas bunga berisi bunga lycoris. Dan juga bayangan Vicente Alderas di meja makan.

Tentu saja, Violetta tidak bisa menjawabnya. Dia berusaha memberontak dengan mengeluarkan suara geraman serta menggerakkan tangannya yang saling terikat. Namun, Violetta mendadak mematung saat Vicente mencondongkan wajah terlalu dekat, bahkan bisa diperkirakan jaraknya hanya beberapa senti. Violetta tidak tahu bahwa jika melihat mata merah tersebut dari dekat terlihat sangat menakutkan sehingga ia melemaskan tubuhnya.

Awalnya, Vicente membelai serta menyisir rambut kuncir kuda Violetta secara lembut, tetapi bersamaan ekspresi wajahnya yang berubah menjadi seolah penuh kebencian, tangan besarnya menyelimuti leher Violetta dan perlahan-lahan mencekiknya. Violetta bisa tahu dari kutukannya bahwa aura kegelapan yang sekarang menyelimuti Vicente adalah bentuk kebencian yang telah dipendam sejak lama sekali dan kebencian tertuju kepadanya.

Kemudian, Vicente melonggarkan cengkeramannya di leher Violetta dan menyeringai lebar. “Hei. Apa yang harus kulakukan padamu? Aku benar-benar tidak sabar melihatmu terjatuh ke neraka terdalam.” Dia mengangkat dagu Violetta dan melepaskan lakban di mulutnya.

Violetta mengernyit, apa yang dikatakannya? Bahkan sebelum Violetta bisa bersuara, Vicente menjambak rambutnya hingga kuncir kuda tidak lagi berbentuk sempurna. Violetta memekik pelan, tetapi dia masih bisa menyorot tajam ke Vicente sehingga membuatnya semakin sebal dan menjambak rambut semakin keras.

“Keberadaanmu memang mengancam kehidupanku, tapi kau belum boleh mati.” Vicente mundur ke balik punggung Violetta, melepas ikatan tangannya. “Nah, sekarang makanlah semua yang ada di meja makan.”

Violetta memandang hidangan makanan yang berada di depannya. Entah kenapa, makanan tersebut mengundang firasat buruk. “Daging apa ini?”

Vicente duduk di sebelah Violetta. Karena Vicente mengawasinya sambil bertopang dagu, Violetta terpaksa melakukan perintahnya dengan meraih garpu serta pisau dengan ragu. Aroma daging panggang tersebut tercium lezat seolah dimasak oleh koki profesional. Violetta memotong daging dengan ukuran kecil dan mengunyahnya hingga tertelan. Rasanya jauh dari dugaan, sangat lezat sehingga tanpa disadari Violetta sudah melahap setengah daging tersebut.

Suara tawa Vicente yang mendadak meledak memenuhi seisi ruangan dan Violetta segera berpaling padanya. Ada sesuatu yang salah yang sudah direncanakan, pikir Violetta.

“Apa seenak itu, daging sesamamu?” Violetta bereaksi sesuai yang diinginkannya. Ia terbelalak dan segera menutup mulut seolah ingin muntah. Vicente melanjutkan, “Masih banyak yang belum kau makan. Ayo lanjutkan.”

Daging manusia. Violetta sangat ingin memuntahkannya sekarang juga dengan melakukan berbagai cara, tetapi tidak bisa keluar. Vampir gila, apakah masih ada kesempatan untuk Violetta kabur darinya? Vicente yang menyadari gerak-gerik Violetta yang hendak kabur darinya menarik Violetta hingga tubuh mereka berdekatan.

Bibir Vicente mendekat ke daun telinga Violetta, membisikkan, “Kau harus makan semuanya biar aku bisa minum darahmu sepuasnya.” Kemudian, wajah Vicente sedikit menjauh untuk melihat ekspresi Violetta.

Violetta tidak sadar bahwa telah menggigit bibir hingga berdarah dan matanya penuh berlinangan air mata yang penuh ketakutan. Jika darahnya sekali lagi dihisap, wajah pucatnya akan semakin memucat. Violetta sangat takut dengan vampir.

Violetta merasa seolah seluruh darah yang dia punya tersedot hingga habis. Ia terbaring tak berdaya di atas lantai yang dingin. Vicente sudah meninggalkannya sejak beberapa menit lalu di ruangan kecil tanpa jendela dan dipenuhi barang-barang yang sepertinya sudah tidak pernah digunakan. Ruangan tersebut dikunci dari luar dan ada beberapa penjaga di luar sana.

Violetta masih dalam keadaan terjaga selama beberapa jam telah berlalu. Jika dia memejamkan mata, dia tidak akan bisa mengambil kesempatan yang hanya datang sekali. Ia mengamati setiap kali pergantian penjaga setiap dua jam dan jeda sebelum penjaga baru datang ada sekitar lima belas menit. Sebelumnya, Violetta menggunakan beberapa benda yang ada di situ untuk membongkar kunci pintu.

Sekitar tiga puluh menit berlalu dan sebentar lagi waktu pergantian penjaga, tetapi Violetta masih belum bisa membuka kunci. Tak hanya itu, konsentrasinya berkurang karena kekurangan darah dan kedua tangannya terasa mati rasa. Ia makin panik saat mendengar suara derapan kaki di luar, menandakan waktu pergantian penjaga. Di saat Violetta hampir merasa putus asa, tiba-tiba terdengar suara kerincing di bawah kakinya. Ia berpikir mungkin itu ilusi, lalu dia berjongkok untuk meraihnya. Itu kunci asli, bukan ilusi.

Violetta segera menancapkan kunci tersebut ke kenop pintu dan ternyata pintu berhasil terbuka. Tanpa membuang-buang waktu, Violetta harus meninggalkan tempat itu secepatnya. Dia tidak tahu siapa yang memberi kuncinya dan dia juga tidak punya waktu berpikir untuk itu.

Di luar jendela terlihat dedaunan pohon, Violetta pun bisa memperkirakan sekarang dia ada di lantai tiga. Jika para vampir sedang berburu manusia, itu berarti lantai tiga sepi dan lantai dua banyak vampir berkeliaran. Violetta harus memikirkan cara menyelinap ke salah satu kamar. Ia akan mencobanya dari kamar paling dekat dengan tangga.

Tinggal beberapa anak tangga lagi, langkah Violetta terhenti kepalanya terasa berputar-putar. Dia menahan keseimbangan tubuhnya dengan bersandar ke dinding setiap langkahnya. Begitu sudah mulai terlihat sebuah pintu paling dekat dengan tangga, Violetta memperhatikan sekitarnya. Tak ada satupun vampir berkeliaran dan Violetta segera mencari pintu yang tidak terkunci. Ia mulai panik saat mendengar suara langkah dari tangga bawah. Sudah ada lima pintu kamar yang terkunci dan Violetta berharap tidak terkunci kamar selanjutnya. Seolah Tuhan sedang mengabulkan permohonannya, akhirnya dia mendapatkan pintu tidak terkunci.

Violetta cepat-cepat masuk ke dalam kamar tersebut dan menutup pintu tanpa suara. Belum sempat menghela napas lega, tiba-tiba terdengar suara seorang pemuda menegurnya.

“Kau siapa?” Violetta berbalik badan, ternyata si pemuda tidak sendirian. Dia bersama seorang perempuan yang terlihat sama wajahnya, sepertinya mereka kembar. Si pemuda berusaha melindungi saudara perempuannya.

Hanya dua kata yang bisa diucapkan Violetta sekarang. “Tolong aku.” Setelah itu, pandangan Violetta mulai menghitam dan tubuh terasa kehilangan semua tenaga.

*****

Tak terduga, Beryl selamat dari pembantaian manusia di ruang dansa. Katanya, saat terjadi pembantaian, ia sedang ke toilet dan begitu kembali ke ruang dansa, ruang tersebut sudah dipenuhi danau darah. Sebelum banyak vampir berkeliaran bebas, Beryl cepat-cepat keluar dari mansion dan mendapatkan taman bunga sebagai tempat persembunyian yang strategis. Selain Beryl, banyak juga yang bersembunyi di sana. Namun, cepat atau lambat, tempat itu takkan lagi aman dan Beryl menganggap sebuah keberuntungan bertemu dengan orang yang dikenalnya.

Bersama Oliver dan Lucia, mereka bertiga sedang mengelilingi mansion secara sembunyi-sembunyi untuk mencari petunjuk lain keberadaan Violetta sekarang. Setiap kali ada vampir yang mendadak muncul, mereka segera bersembunyi tanpa suara. Konon, vampir punya pendengaran yang tajam.

Pemandangan yang sama, kejam dan tidak berperikemanusiaan. Saat menemukan manusia yang berusaha menyelamatkan diri, si vampir menerjangnya dan menghisap darahnya hingga titik penghabisan. Mayat dibiarkan saja di tempat dan si vampir kembali berburu mangsa. Pada saat itu, Oliver menemukan sesuatu yang menarik setelah  si vampir sudah menjauh dari sana.

“Tunggu. Jangan pergi ke sana dulu,” titah Oliver yang membuat Lucia dan Beryl mengurungkan niat untuk melangkah.

Oliver mengamatinya sejak mengelilingi mansion berjam-jam sejak pembantaian di ruang dansa. Setelah para manusia kehabisan darah dan menjadi mayat yang dibiarkan tergeletak di mana saja, muncul sekelompok vampir berjubah yang menyeret mayat-mayat itu entah ke mana. Kemudian, Oliver mengisyaratkan ke Lucia dan Beryl untuk mengikuti jejak sekelompok vampir berjubah itu dan mereka setuju dalam sebuah anggukan.

Membuntuti sekelompok vampir berjubah memang bukan keputusan yang salah. Oliver tidak menduga dia akan kembali ke sana, tangga menuju lantai bawah tanah. Di bawah situlah tempat menyimpan mayat-mayat dan mungkin ada ruangan lain yang penuh misteri. Oliver penasaran, mayat-mayat yang dibawa ke bawah sana akan diapakan?

“Oliver, aku tahu apa yang ada di pikiranmu. Lantai bawah tanah bukanlah tempat untuk manusia yang masih hidup sepertimu.” Lucia memperingatkannya dengan menghalangi jalan menuju ke lantai bawah tanah.

Oliver mendorong Lucia ke samping dan mengambil langkah tanpa memedulikan peringatan darinya. “Kenapa tidak boleh? Apa ada sesuatu yang tidak seharusnya kulihat?”

Lucia mengangguk dan mengambil langkah lebih lebar sehingga bisa berada di depan Oliver. “Tak ada kemanusiaan di sana. Sebelum terlambat, ayo kembali ke atas.”

“Beryl.” Oliver memanggil Beryl yang melangkah di belakangnya. “Apa kau mau kembali ke atas?” Dia melemparkan pertanyaan ke Beryl.

Beryl menggeleng tanpa ragu. “Makin dilarang, makin penasaran. Begitu, bukan?”

Oliver berpaling ke depan, lalu menyeringai penuh kemenangan yang ditujukan ke Lucia. Apa boleh buat, Lucia tidak lagi menghentikannya karena tidak ingin ambil pusing masalah sepele. Sebagai gantinya, Oliver dan Beryl harus mengikuti instruksi darinya.

“Jangan berpisah dariku atau kalian akan berakhir di kolam darah. Paham?”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro