Prolog
Semuanya telah hancur.
Pemuda itu menatap tanah luas dengan berbagai bangunan bobrok yang hampir rata dengan tanah. "Apa yang..." Suara berat terdengar pilu. Itu baru 5 tahun semenjak kepergiannya dan segalanya telah hancur. Siapa, siapa yang telah melakukan semua ini?
Pemuda itu berjalan perlahan. Menarik koper dan mengamati sekitar dengan seksama. Berhati-hati dan tetap menjaga jarak pada bangunan rusak yang hampir roboh. Semakin dalam ia masuk semakin parah kerusakannya. Tanah di sekitar basah dan lembab, beberapa membentuk kubangan. Namun pemuda itu tidak menemukan tanda hujan atau semacamnya.
Apakah... 'dia' murka? Namun apa yang warga lakukan hingga membuat 'dia' murka?
Pemuda itu memutuskan untuk berhenti setelah ia mencapai pinggir danau. Air danau bergulung ringan bagaikan ombak di pantai. Dingin merayapi kaki dengan sepatu kulit bertambal ketika pemuda itu berdiri tegap dan membuka kandang kecil. Burung hantu berwarna kecoklatan keluar dan terbang di sekitar sebelum hinggap di bahu sang pemuda.
"Ini dia Brooke Rose." Elusan lembut dibalas patukan ringan. Pemuda itu membuka penutup mata, menampilkan tetesan laut—mata safir yang terbingkai dalam kelopak mata sayu. "Tuanku, aku pulang."
Menatap kearah danau yang terbentang luas dengan ribuan kubik air, pemuda itu mengharapkan sebuah suara. Suara yang selalu menenangkannya dikala ia larut dalam emosi dan tidak memegang kendali. Sebuah suara yang telah membimbingnya selama ini.
Namun suara itu tak kunjung datang. Pemuda itu menunggu dan menunggu. Langit berangsur-angsur kehilangan warnanya. Selimut hitam bertabur bintang menggantikan pendaran merah setelah senja tenggelam. Ia hampir putus asa. Apakah 'dia' juga marah padanya? Marah atas kepergiannya? Ataukah sesuatu terjadi pada'nya'?
Namun apa yang bisa terjadi pada'nya'?
Kaki yang terendam air mati rasa. Burung hantu coklat sudah pergi untuk berburu makan malamnya. Pemuda itu berbalik dalam kesedihan dan kekosongan. Semuanya telah hilang, apa yang dia miliki disini? Bahkan 'dia' tidak muncul untuk menyambut kepulangannya.
Tepat ketika kaki yang terbalut sepatu kulit melangkah keluar air, angin dingin berhembus ringan dari belakangnya. Pemuda itu berbalik, sosok perempuan dengan wajah sengsara dan baju yang rusak menatapnya dengan kosong. Mulutnya terus mengucapkan kata bisu. Salah satu tanggannya menggenggam tombak ikan dengan erat.
Ia mengenali perempuan itu. Itu Grace. 'Gadis anugrah' yang ditemukan pasangan nelayan saat ia berusia 16 tahun. Dikatakan dengan datangnya Grace, krisis nelayan menghilang. Pada akhirnya orang-orang mulai mendewakan gadis ini pada usianya yang ke 10 tahun.
Hanya dirinya, sang kakak sepupu, dan bibinya yang tau asal muasal gadis ini. Namun hanya dirinya yang tau alasan 'dia' mengirim gadis ini. Pada saat dirinya berusia 16 tahun, ia mengayuh perahu kecil untuk bicara dengan 'dia'. Saat itu 'dia' meminta setetes darahnya tanpa menyebutkan apapun. Dirinya yang tidak mengerti apapun hanya memberikan setetes darah dari jari manisnya dengan senang hati lalu pulang tanpa mengatakan apapun pada bibi atau kakak sepupunya.
Seminggu kemudian, sebuah badai hebat melanda desa kecil ini. Anehnya tidak ada rumah yang rusak apalagi korban jiwa. Terdapat berita bahwa seorang gadis kecil berusia 10 tahun di temukan di tepi danau dalam kondisi tak sadarkan diri. Itu adalah Grace. Keadaannya tidak normal juga. Terdapat selaput seperti insang di lehernya, membuatnya tidak dapat berbicara.
'Dia' memberitahu bibinya bahwa gadis itu adalah anaknya. Anak yang akan membawa nasib baik dan berkah atas ujian yang telah warga lewati dengan kesabaran. Bibinya senang dan begitu menghormati gadis itu. Kakak sepupunya juga berlaku sama, namun tetap mengajaknya bermain bersama dirinya. Namun gadis kecil itu lebih suka menempel padanya. Dirinya saat itu begitu bodoh dan lugu, tidak menyadari maksud perlakuan gadis itu.
Grace adalah putrinya juga. Setetes darah itu, ia telah dipilih untuk menjadi pengantin'nya'. Itu yang dikatakan Nyonya Agung Yidhra saat ia mengunjungi kampung halamannya. Gadis ini... Bagaimana ia menjadi begitu bodoh dan tidak mengerti kasih sayang yang ditunjukkan gadis ini padanya?
Namun apa yang telah terjadi padanya? Kulitnya membiru, matanya hitam dan kosong, menatapnya seperti orang mati.
"Grace.."
Suaranya menghentikan ucapan bisu, membuat mulut kecil itu tertutup rapat. Perlahan, gadis itu berjalan menghampirinya. Setiap langkah yang ia ambil, sebuah genangan air terbentuk dibawah kakinya.
Gadis itu berhenti tepat di hadapannya. Ia mengucap satu kata tanpa suara.
'Ibu.'
Tangan terulur, terbuka lebar untuk memberi pelukan. Dirinya penuh dengan empati dan kasih sayang. Meski penghianatan yang terjadi padanya terpahat dengan darah di hatinya. Gertrude yang cantik bukanlah yang terbaik untuknya. Itu segar dalam ingatannya, Gertrude yang cantik mengusirnya pergi setelah Nyonya Agung berhenti memberinya pengelihatan masa depan.
Gadis muda jatuh kedalam pelukannya. Tanpa kehangatan, basah dan dingin bagai kubangan air dibawah kakinya. Ia menyesal tinggal lebih lama di kampung halamannya untuk sekedar mengejar Gertrude yang cantik.
"Eli Clark." Suara. Suara itu yang ia nantikan. Dirinya mengangkat kepala dan melepas pelukan perlahan. Safir yang berkilau bertemu dengan puluhan kristal darah yang mengambang dibawah jubah kuning yang lusuh.
Dirinya, Eli, tersenyum dengan sedih. Kesungguhan terukir pada hatinya. "Tuanku, aku tidak akan pernah pergi lagi."
"Maka tetaplah tinggal."
---
Tertanda
GodMonster999
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro