Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Blind Date

Terhitung ini adalah kencan buta ketiga puluh kalinya dalam tiga bulan terakhir.

Terlahir dengan ketidaksempurnaan di bagian netra, membuatnya sukar mendapat pasangan yang bisa menerima dengan lapang dada, yang tidak perlu bersusah-susah terlihat nyaman padahal sebenarnya ingin lekas beranjak serta bisa menyuarakan cinta dan kesetiaan alih-alih rasa kasihan.

Hugo menyesap tehnya. Ia sedang menanti seseorang, seperti biasanya. Para gadis yang dikenalkan oleh sepupu-sepupunya yang terlampau perhatian. Berbekal latar belakang sebagai seorang seniman andal dan wisudawan salah satu Universitas kebanggaan kota, Hugo berhasil menggelitik sisi penasaran gadis-gadis manis. Sayang, ia tidak bisa melihat wajah-wajah cantik yang sesaat mengaguminya.

Hugo pikir, ia tidak akan cocok dengan gadis-gadis pilihan kerabatnya. Jadi ia memutuskan untuk menentukan gadis yang satu ini. Dibantu oleh anak tertua pamannya, ia berkenalan dengan seorang anonim dari aplikasi dating lantas menyusun janji temu di sini.

Meja kedua dekat rak buku, sebelah kanan dari pintu masuk adalah tempat yang Hugo pesan. Kafe ini juga milik saudara sepupu yang membantunya, jadi ia tidak perlu merasa canggung jika tetiba pasangan kencannya berkata ada urusan mendadak setelah menjawab telepon palsu.

Bel pintu kafe berbunyi, kepala Hugo terangkat. Ia merasa seseorang menatap ke arah duduknya, lantas tersenyum hangat. Jika itu pasangan kencannya kali ini, maka bagus. Jika tidak, juga bukan masalah beramah-tamah dengan orang lain.

Derap sepatu berhak tinggi, dengan aroma parfum lili dan sampo stroberi. Gadis dengan aroma manis itu berhenti di sebelah meja Hugo dan berkata, “Hugo? Christian Hugo?”

“Benar.” Hugo berdiri, mengulurkan tangannya yang disambut baik. Gadis kali ini memiliki tangan yang tidak sehalus gadis-gadis sebelumnya, tetapi suaranya jauh lebih ramah dan enak didengar.

“Silakan duduk.” Hugo mempersilakan, melepas jabat tangan mereka dan menarik kursi di hadapannya. Setelah berulang-ulang kali berkencan di sini, Hugo sudah hapal betul tata letak furniturnya.

Teman kencan Hugo mengangguk, lantas duduk di kursi yang ditarik kenalan barunya. Ia meletakkan tas tangan di atas meja sambil berkata, “Aku senang kita sama-sama pakai kacamata hitam. Selera berpakaianmu juga bagus.“

“Oh?” Itu reaksi yang beda, gadis-gadis sebelumnya biasa bernyata mengapa Hugo menggunakan kacamata hitam di dalam ruangan. Lalu setelah mendengar jawaban seperti ini, “Sebenarnya, aku tidak bisa melihat.” Lantas suara mereka akan berubah pelan, dengan nada tak enak berulang kata maaf diucapkan.

Sunyi. Tidak ada jawaban sampai Hugo kira gadis ini sudah kabur. Tepat ketika ia hampir yakin, gadis itu angkat suara.

“Aku juga,” katanya.

Hugo bisa merasakan beban tubuh gadis itu di atas meja. Ia mendekatkan dadanya ke arah Hugo hingga aroma tubuh lili itu semakin tercium. “Aku juga tidak bisa melihat orang lain,” gadis di depannya berbisik-bisik, “tapi, bukan karena aku buta.”

“Wah, menarik.” Hugo tersenyum lebar. Untuk kali pertama, bukan gadis-gadis yang merasa penasaran dengan bagaimana ia bisa kehilangan penglihatannya, tapi dia. Hugo penasaran. Sembari memajukan tubuhnya juga ia balas berbisik, “Benarkah bagaimana bisa?”

Gadis di depannya mendesah. “Ceritanya panjang.”

“Baiklah, kalau kau tidak mau cerita sekarang.” Mempertahankan senyum, Hugo melanjutkan, “Aku belum tahu namamu. Kemarin kau bilang akan memberitahu nama aslimu setelah kita bertemu.” Ia mengingatkan janji yang diucap sepupunya, tentu saja itu berasal dari pesan kiriman sang gadis.

“Ah, benar.” Gadisnya berdeham. “Tolong, jangan teriak.”

“Apa kau artis?” tebak Hugo.

Gadis di depannya menaikkan alis. “Bukan.”

“Orang terkenal?”

“Aku tidak yakin, mungkin.”

“Baiklah. Aku tidak akan teriak.”

Teman kencan Hugo terkikik. “Kau agak ribet, ya.”

“Aku anggap itu pujian. Terima kasih.”

“Medusa.”

“Maaf?”

“Namaku Medusa.”

Ada jeda sebelum Hugo berkata, “Oh, wow. Sangat tidak diduga-duga.”

“Benar, kan? Kapan lagi kau mengira teman kencanmu adalah makhluk dari mitologi.” Medusa mengembuskan napas panjang, ia menghela buku menu dan menaikkannya di kedua sisi wajah mereka. “Karena itulah aku pakai kacamata hitam dan jaket bertudung.” Laki-laki lain mungkin akan mempertanyakan selera berpakaian Medua, tetapi ia tidak terlalu peduli. Kali terakhir penampilannya yang luar biasa mempesona seorang Dewa, seluruh sisa hidupnya tidak akan bisa menjadi lebih buruk.

Tawa kecil timbul di bibir Hugo saat ia membayangkan seperti apa penampilan Medusa. “Aku rasa, aku memang mendengar suara mendesis.”

“Yah, itu rambutku.”

“Mereka membiarkanmu masuk dengan ular?”

“Aku tidak menunjukkannya pada pelayan, tentu saja. Untunglah kafe ini agak sepi. Pemilihan tempat yang bagus.”

“Terima kasih?” Kafe rintisan sepupunya ini memang baru berusia jagung. Jadi wajar saja jika pengunjungnya belum penuh. “Tapi, kau juga tidak bisa melakukan apa pun soal rambutmu, kan?”

Medusa menggedikkan bahu. “Tentu saja. Kan tidak mungkin kupotong. Mereka sudah seperti anak-anakku.”

“Kukira tadi aku mencium aroma stroberi dari rambutmu.”

“Oh? Aku … menyemprot mereka dengan pengharum rambut aroma stroberi. Haha, aku penasaran karena iklan komersilnya menarik sekali. Demi Zeus, mereka sempat ribut sebentar.” Medusa mendengkus, menahan senyum Hugo di wajah.

Tiba-tiba Medusa mengeluh, “Menyebalkan, ya. Tidak bisa melihat orang-orang.”

Hugo bergumam panjang sebelum menjawab, “Ah, tidak juga. Aku cukup senang seperti ini. Walau dunia terlihat hitam semua, tetapi aku bisa melihat hal lain.”

“Hal lain?” Ada nada penasaran dan tertarik terselip dalam suara Medusa. Membawa tubuhnya semakin dekat ke arah Hugo. “Maksudnya?”

“Kedengarannya aneh,” Hugo mengusap tengkuknya gugup, “tapi, dengan begini aku bisa melihat hati seseorang. Sulit dijelaskan, hanya saja—”

“Aku mengerti.” Medusa menyela. Ia mengangguk setuju. “Kurasa, aku mengerti.”

Mereka memahami jauh lebih baik dari dugaan. Hugo senang dengan perkembangan ini. Belum-belum ia sudah ingin menyusun jadwal kencan kedua, apa bisa?

“Boleh aku tahu, kenapa kau tidak bisa melihat?”

Ah, akhirnya pertanyaan itu keluar juga.

Hugo mengangguk, seperti yang selalu dia tampilkan setiap kali ada yang bertanya perihal matanya, dan seperti pertanyaan sebelum-sebelumnya, jawaban Hugo selalu sama, “Sudah seperti ini, sejauh yang bisa kuingat.” Tapi, ini kali pertama ia melepas kacamatanya. Menampilkan dua bola mata berwarna perak seperti bulan purnama. “Berkat ini, aku bisa melihat dengan lebih baik.”

“Matamu cantik.”

Napas Hugo tercekat. Ia tertawa canggung dan mengusap tengkuk, diam-diam telinganya terasa sedikit panas. “Aku penasaran seperti apa matamu. Pasti lebih cantik.”

Medusa berdecak kecewa bercampur kesal. “Tidak. Tidak pernah ada yang bisa melihatnya. Kau pasti tahu, siapa pun yang melihat mataku akan … berakhir buruk. Kau tahu?”

Hugo mengangguk. Melipat gagang kacamatanya dan meletakkan benda itu di antara tubuh mereka di meja. “Tapi, aku akan baik-baik saja. Aku kan tidak bisa lihat.”

“Yah, kedengarannya masuk akal. Tapi, aku tidak mau mengambil resiko seperti itu.” Embusan napas berat menerpa rambut-rambut hitam di kening Hugo. “Aku tidak ingin mencobanya, kemungkinan terburuk tetap ada.”

“Itu tidak akan terjadi. Percayalah.” Hugo berusaha meyakinkan. “Aku akan baik-baik saja dan kau juga.”

Dua menit berlalu dalam hening. Medusa akhirnya menyerah dan berkata, “Baiklah. Kalau kau jadi batu, aku akan mengubah semua orang yang di sini menjadi patung juga dan membawamu pulang.”

Hugo menahan tawanya. “Hanya aku?”

“Kau akan jadi patung favoritku.” Medusa memperbaiki letak buku menu yang menutupi wajah mereka. Keduanya sangat dekat, orang yang tidak melihat mungkin akan berpikir mereka sedang bertukar kecup. Karena itulah para pelayan enggan mendekat.

“Baiklah.” Medusa menarik dan membuang napas berulang-ulang.

Hugo meyakinkannya sekali lagi dan gadis di depannya pun menarik turun kacamata hitam yang ia kenakan. Menatap lawan bicaranya, tepat di kedua bola mata sewarna salju.

“Hu-go?”

“Ya? Sudah?”

“Sudah kulepaskan.”

“Oh? Aku baik-baik saja.”

“Ya!” Medusa tanpa sadar meninggikan suaranya, ia menutup mulut dan mengangguk berkali-kali. “Aku bisa melihatmu dengan jelas. Aku … aku bisa! Kau tidak berubah.”

Hugo tersenyum, semakin lebar setiap kalinya. “Benar, kan? Sudah kubilang,” katanya bangga. “Kau tidak perlu khawatir. Tidak ada seorang pun yang terlahir sempurna, meskipun begitu kau tetap sempurna bagi orang-orang yang tepat. Kau bisa melepaskan benda itu jika sedang bersamaku, gatal juga kalau lama-lama pakai kacamata.”

Medusa tersenyum, sayang Hugo tidak melihatnya. Tapi, ia tidak perlu sepasang netra untuk mengetahui hal itu.

“Terima kasih, Hugo.”

“Terima kasih kembali.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro