Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21 Gelap Mata dan Hati

Bukanlah kesabaran jika masih memiliki batas. Dan bukanlah keikhlasan jika masih merasakan sakit.

 

~~oOo~~

Dion tercekat. Suaranya tidak mampu keluar. Hanya matanya yang mengikuti pergerakan Kamala dan Ridwan.

Pria itu langsung ber-istighfar banyak-banyak saat merasakan sengatan kecemburuan dalam hati. Dion memejamkan mata. Dia berusaha mengukir senyum.

Padahal aku sangat menjaga diri agar tidak sampai berduaan dengan Kama. Tapi Kama malah ....

“Assalammualaikum,” sapa Dion ramah.

Terdengar sahutan dari dua orang di ruang tamu wanita itu. Kamala menjawab fasih. Ridwan membalas dengan kikuk.

“Ka—kalian di sini?” Kamala bertanya salah tingkah.

“Mas, Mbak Kama kayaknya baik-baik saja. Rugi kita khawatirkan dia. Yok, ah. Kita mending pulang saja.”

Sarah balik badan cepat. Namun, sebelum beranjak pergi perempuan itu masih sempat melontarkan sindiran.

“Jangan ganggu mereka, Mas. Kita bisa jadi setan kalau ada dua orang berduaan.”

Wajah Kamala merah padam. Telinganya menangkap suara lembut Dion yang menegur adiknya.

“Hush, nggak boleh gitu. Pintunya terbuka, kok.”

“Mas mau menormalisasi dua orang non mahram yang berduaan, yo?” Sarah bertanya pedas.

“Sarah, nggak sopan bicara beggggitu. Minta maaf sama Kama.”

Namun, Sarah justru mengentakkan kaki dan segera berjalan cepat kembali ke mobil. Dion kebingungan melihat bergantian ke arah adiknya dan Kamala.

“Dion, a—aku bisa jelaskan ....”

Pria itu tersenyum tipis. Dia hanya mengangguk singkat.

“Nggak ada yang perlu dijelaskan, Kam. Toh, ya, kita bukan siapa-siapa.”

Hati wanita itu berdenyut-denyut saat Dion mengatakan hal seperti itu. Kamala menggigit bibir. Citra Dion mengabur, tetapi Kamala ragu apakah itu karena ablasio retina-nya atau karena gumpalan air mata.

“Alhamdulillah kalau kamu baik-baik saja. Tadi kami mau ngecek keadaan kamu. Soalnya hujan deras banget dan kamu sendirian.”

Dion mengangguk pada Ridwan. Pria itu berpamitan dengan mengucap salam pendek.

Kamala menggigit bibir. Dia tidak tahu harus berkata apa. Lidahnya kelu. Tenggorokannya tercekat.

Di luar hujan deras sudah menjadi gerimis kecil. Suara derum kendaraan Dion yang bergerak pergi terdengar dari dalam rumah Kamala. Tanpa sadar Kamala mengepalkan tinju mungilnya di samping badan.

Ridwan yang merasakan perubahan suasana sontak merasa tidak enak hati. Tangannya sudah terangkat hendak menyentuh Kamala. Namun, lelaki itu mengurungkan niat.

“Kam,” panggil Dion hati-hati, “gue bikin kacau, ya?”

Kamala mengusap air mata dengan punggung tangan. Dia mencoba tersenyum, meski senyumannya getir.

“Nggak. Nggak ada yang rusak,” sahut wanita itu lirih.

Karena sejak awal memang sudah nggak ada yang benar.

Kamala membatin. Ingatannya melayang-layang pada dua kali lamaran Dion. Jantung wanita itu berdebar kencang.

“Kalau gitu, gue balik dulu, ya?” Ridwan menyebutkan nama hotel tempatnya menginap. “Please, telepon gue kalau ada apa-apa. Entar gue bantu jelasin ke ... ke ....”

“Dion,” jawab Kamala.

Ridwan terbelalak. Otaknya segera memutar percakapan dengan sang bos pemilik penerbitan.

Kamala sudah bertunangan. Beberapa hari yang lalu adik dari tunangan Kamala datang ke kantor. Berita itu tentu saja mengejutkan Ridwan. Sang bos besar minta hal itu dirahasiakan dulu atas permintaan keluarga.

Namun, bos memberi tahu Ridwan sebelum lelaki itu berangkat ke Malang. Tentu dengan berbagai wejangan agar tidak menikung Kamala yang sudah siap menikah.

“Astaga, Kam. Sorry banget. Gue nggak tahu.” Ridwan didera rasa bersalah. “Gue kayaknya udah bikin kalian berdua salah paham.”

Kamala lagi-lagi memberikan senyum getirnya. “Besok akan aku berikan kabar soal Syaron. Kamu ke hotel naik apa?”

“Aku bisa panggil taksi. Hujannya udah reda. Aku tunggu di gang depan saja.” Ridwan berkata tidak enak.

Dia tidak mau menimbulkan salah paham lagi. Kini lelaki itu tahu mengapa Kamala berubah sangat drastis hanya dalam hitungan hari.

Dia bisa melihat pasangan kakak beradik Dion dan Sarah terlihat sangat religius. Hijab Sarah lebar. Wajah Dion, meski saat itu penerangan hanya berbekal senter ponsel, terlihat bersih dan bercahaya. Tanda-tanda kebajikan tampak jelas di wajah dua orang itu.

Ridwan tidak mendapat tawaran untuk menunggu di rumah Kamala. Dia tahu diri. Segera Ridwan berpamitan dan menelepon taksi.

Sambil berjalan ke gang depan, lelaki itu berkata pada dirinya sendiri. Suaranya murung.

“Pintu buat gue beneran udah ketutup ya, Kam?”

Ridwan mengembuskan napas kuat-kuat. Dia mencoba tersenyum di tengah patah hati yang mendera.

“”Selamat buat elo, deh. Semoga gue bisa ikhlas lihat elo di pelaminan sama orang lain.”

~~oOo~~

Sepeninggal Ridwan lampu di kompleks hunian Kamala baru menyala. Wanita itu sejenak bisa bernapas lega sebelum teringat bagian dapurnya yang bocor parah.

Saat esok hari tukang yang dipanggil Kamala datang untuk merenovasi atap, mimpi buruk Kamala akhirnya menjadi kenyataan.

Dimulai dari dirinya yang turun dari lantai dua rumah setelah mengambil dompet. Namun, pandangan Kamala yang tiba-tiba menjadi gelap membuat langkah wanita itu jadi tidak waspada. Kamala jatuh dari tangga hingga dahinya sempat robek karena membentur lantai.

Dia pingsan. Saat terbangun, wanita itu benar-benar tidak bisa melihat apa pun. Jeritannya membahana di ruang rawat inap rumah sakit umum itu.

“Istighfar, Sayang. Sabar.”

Kamala masih histeris. Dia bisa merasakan pelukan, tetapi tidak tahu siapa yang memeluk. Tangisnya pecah. Dia balas mencengkeram lengan yang memeluknya erat-erat.

“Sayang, ini Mama.”

Kamala sesenggukan. Dokter segera mendatanginya dan wanita itu mendapat suntikan penenang.

Entah berapa lama Kamala tertidur. Saat terbangun, udara seolah terdorong dari paru-parunya. Kegelapan berangsur menghilang, tetapi apa pun yang dilihatnya tidak jelas sama sekali.

“Kamu sudah bangun, Sayang?”

Suara lembut itu kembali terdengar. Kamala mengenalinya sebagai mama Dion. Dia kebingungan mengapa wanita itu bisa ada di sini.

Seolah bisa membaca pikirannya, Mama bicara perlahan dengan nada lembut.

“Siang tadi Sarah ke rumahmu. Dia merasa bersalah karena telah berkata jahat kemarin. Tapi di sana Sarah melihat rumahmu sudah didatangi tetangga. Tukang yang memperbaiki atap berteriak minta tolong melihat kamu jatuh dari tangga.”

Kamala menelan ludah. Dia ingat kejadian sebelum pingsan.

“Saya ... saya di mana sekarang?”

“Ada di Syaiful Anwar. Dokter UGD memintamu opname. Ada masalah serius dengan penglihatanmu, Sayang.”

“Ablasio retina,” ucap Kamala lirih.

Mama terdiam. Dia melirik dua anaknya yang sedari tadi berdiam diri di sisi lain ruangan. Kamala tidak menyadari kehadiran orang lain di sana. Penglihatan wanita itu memang semakin memburuk.

“Kamu sudah tahu?” tanya Mama hati-hati.

Kamala mengangguk. “Itulah mengapa saya resign dan pindah ke Malang, Tante.”

Kamala sudah lelah. Dia butuh didengarkan. Putus asa mendera saat teringat kegelapan total yang dirasakannya sebelum jatuh tertidur.

“Ya, Allah. Sayang, kenapa nggak bilang sama kami?” Mama memeluk Kamala erat-erat.

Kamala tertegun.

Sudah sangat lama sejak dia dipeluk seseorang. Kehangatan yang dipancarkan Mama membungkus diri Kamala, tetapi masih belum mampu menghalau putus asanya.

“Kalau kamu bilang, kami semua bakal bantu kamu.”

Kamala masih terdiam. Perasaannya mendadak kosong. Tatapannya hampa tertuju ke depan tanpa tahu apa yang tengah dilihatnya.

“Apa ini alasan kamu menolak lamaran Dion?”

Kamala tersentak. Dia refleks mendorong Mama menjauh. Suara wanita itu bergetar.

“To—tolong tinggalkan saya sendiri.” Suara Kamala tergagap-gagap.

“Tapi, Nak ....”

“Saya ingin sendiri,” imbuh Kamala lagi.

Mama tertegun. Dia melirik dua anaknya. Mereka sama-sama menganggukkan kepala.

Kamala menutup mata. Dia mendengar suara langkah kaki menjauh lalu hening.

Wanita itu masih memejamkan mata. Samar-samar terdengar azan di kejauhan. Kamala menghela napas.

“Kenapa Kau memberiku ujian sebanyak ini, Allah?” Kamala bertanya. Suaranya yang gemetar sarat kesedihan.

“Aku sudah tak punya orang tua. Aku selalu dirundung. Sekarang Kau memberiku penyakit. Dosaku sebesar apa, ya Allah? Sampai Kau terus-terusan memberiku cobaan?”

Air mata Kamala menetes. Dia meraba kepala. Entah Mama, entah Sarah. Yang jelas seseorang telah menutup kepalanya dengan kerudung.

Tangannya membelai bahan halus kerudung. Tangisnya semakin deras. Kamala menggigit bibir saat teringat perkataan Sarah saat mereka masih di Jakarta.

“Mbak Kama, suatu hari nanti kita kan, bakal mati. Kepala sampai kaki dibungkus kafan, cuma muka sama tangan doang yang kelihatan. Jangan sampai deh, hari terakhir kita justru jadi hari pertama memakai hijab.”

Dada Kamala terasa sesak. Dia sudah berusaha mengikhlaskan semua hal. Namun, sakit di hatinya masih juga belum hilang.

“Apa aku boleh membenci takdirmu, ya Allah?” Kamala menggigit bibir menahan tangis. “Aku capek. Aku sudah lelah.”

Wanita itu beranjak pelan turun dari tempat tidur. Dia tidak tahu di lantai mana kamarnya berada sekarang. Dia juga tidak tahu jam berapa sekarang.

Pandangannya yang semakin kabur tidak membantu Kamala mengetahui apakah sekarang sudah masuk malam atau masih siang.

Dia meraba-raba saat berjalan. Lututnya sempat membentur sofa. Kamala berhasil tiba di sisi dinding dan berjalan pelan dengan bantuan tembok.

Wanita itu berhasil tiba di jendela. Dia membukanya lebar-lebar. Hawa dingin dan angin kencang langsung menyapa diri Kamala.

“Aku nggak punya uang buat operasi. Kalau aku buta, apa gunanya aku hidup?” Kamala berkata pada dirinya sendiri.

Dia menyentuh lagi helaian kerudungnya. Hati Kamala bimbang. Nikmat hijab adalah hal yang baru saja dia raih. Namun, Kamala merasa tidak sanggup lagi bertahan dengan situasi seperti sekarang.

Dia melepas kerudungnya. Rambut Kamala berkibar tertiup angin. Wanita itu bertaruh pada dirinya sendiri.

Entah dia berada di mana sekarang. Jika di lantai dasar, paling dia hanya akan ditertawakan. Jika di lantai pertengahan, mungkin dia akan patah tulang. Jika di lantai teratas, bisa jadi nyawanya akan menghilang.

Dan Kamala berharap kamarnya terletak di lantai teratas. Dia tidak akan mendapat kesusahan lagi jika nyawa berpisah dari raga.

Jadi, itulah yang ingin dilakukan Kamala. Dia gelap mata dan hati. Kakinya mulai naik ke pinggiran jendela. Kamala berusaha memanjat.

“ASTAGHFIRULLAH, KAMALA! BERHENTI!”

Bersambung --->>

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro