Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

09

    Akhir pekan datang. Pagi-pagi sekali Hyunjin sudah meninggalkan rumahnya, pergi ke studio musik milik Minho dan melakukan latihan untuk pertunjukan mereka malam nanti.

    Yeji keluar dari kamarnya dengan menggerutu, "pagi-pagi sudah menghilang. Setidaknya jika ingin pergi, katakan dulu padaku."

    Terlihat kesal, Yeji melangkahkan kakinya menuju ruang rahasia Hyunjin. Hyunjin Lab, ruangan misterius yang benar-benar membuat Yeji penasaran dengan isi dari ruangan itu. Namun sayangnya Hyunjin tidak pernah lengah sedikitpun untuk meninggalkan ruangannya dalam keadaan tak terkunci.

    Sekali lagi, Yeji mencoba membuka pintu itu dan tetap gagal. Satu hentakan menunjukkan seberapa kesalnya ia sebelum ia yang membungkukkan tubuhnya. Mencoba mengintip melalui lubang kunci.

    Dia bergumam, "apa yang dia sembunyikan di dalam sana? Aish ... kenapa tidak kelihatan? Haruskah aku merusak pintunya?"

    Minhyun yang saat itu baru saja masuk, menghentikan langkahnya ketika mendengar ucapan putrinya.

    Minhyun kemudian tersenyum dan menegur, "jika kau merusaknya, kakakmu akan datang untuk memarahi ayah."

    Yeji segera menegakkan tubuhnya dan berbalik. "Ayah?" Terlihat terkejut, gadis itu lantas menghampiri sang ayah.

    "Kapan ayah masuk?"

    "Baru saja."

    "Aku tidak dengar apapun."

    Minhyun mengendikkan bahunya. "Apa yang baru saja kau lakukan di sana?"

    "Ayah tahu, apa isi ruangan itu?"

    Minhyun menggeleng. "Kakakmu selalu menguncinya."

    "Ayah tidak penasaran dengan kamar itu? Kenapa Oppa selalu menguncinya? Mungkin saja dia menyembunyikan sesuatu yang berbahaya di sana."

    Minhyun tersenyum lebar. Tak terlalu mempermasalahkan tentang hal itu. "Dari pada merusak pintunya, lebih baik kau membujuk kakakmu."

    "Aish ... jika itu berguna, aku sudah pasti tahu apa yang ada di dalam ruangan itu."

    Pandangan Yeji kemudian terjatuh pada apa yang di bawa oleh Minhyun. "Apa yang Ayah bawa?"

    Minhyun turut memandang apa yang menarik perhatian putrinya. Dia mengangkat kantong belanjaannya yang penuh ke udara dan berucap, "besok ulang tahun kakakmu. Ayah akan menginap di sini untuk merayakannya."

    Yeji menepuk keningnya sendiri. "Aku lupa," ucapnya.

    "Beruntung ayah datang. Sekarang, bantu ayah memasukkan sayuran dan daging ke lemari pendingin."

    "Oke." Yeji mengambil alih kantong belanjaan di tangan Minhyun dan membawanya menuju dapur.

    Minhyun melepas jasnya dan menaruh pada sandaran kursi. Pandangannya menelisik setiap sudut hingga seulas senyum tipis tercipta di kedua sudut bibirnya ketika mendapati ada begitu banyak yang berubah dari rumah putranya itu. Dan dia yakin bahwa itu semua adalah ulah Yeji. Bisa Minhyun bayangkan betapa frustasinya Hyunjin selama satu minggu ini.

    Minhyun kemudian menyusul Yeji ke dapur dan berdiri di balik meja. Memperhatikan putrinya yang tengah memasukkan sayur serta daging yang baru saja ia beli ke lemari pendingin.

    "Kakakmu tidak ada di rumah?"

    "Orang itu sudah pergi pagi-pagi sekali. Aku bahkan tidak tahu kapan dia pergi?"

    "Kau belum sarapan?"

    "Aku baru bangun."

    "Ya sudah, ayah akan memasak untuk sarapan kita. Sisakan beberapa bahan."

    Minhyun melipat lengan kemeja putihnya hingga sebatas siku dan mencuci tangannya. Yeji menaruh beberapa bahan makanan di atas meja.

    "Kakakmu tidur di mana?"

    "Di kamar."

    Minhyun sedikit tertegun dan segera memandang putrinya. "Kalian tidur sekamar?"

    "Aku membeli ranjang tambahan yang lebih kecil."

    "Ah ..." Minhyun menganggukkan kepalanya. "Tapi, dari mana kau mendapatkan uang untuk membelinya?"

    Yeji tersenyum lebar. "Aku mengambil uang milik Oppa."

    Minhyun tersenyum lebar. "Tanpa sepengetahuan kakakmu?"

    Yeji mengangguk.

    "Jika kakakmu tahu, dia pasti akan merengek pada ayah."

    "Salah Ayah sendiri, kenapa memberinya uang sebanyak itu. Oppa juga menaruh uangnya sembarangan."

    "Memangnya di mana kakakmu menaruh uangnya?"

    "Di laci dekat tempat tidur."

    "Kau harus menasehatinya setelah ini."

    "Mana mungkin dia mau mendengar. Bahkan dia tidak pernah benar-benar menanggapi ketika aku bicara."

    Minhyun tertawa pelan. "Kau tahu bagaimana sifat kakakmu itu, kau harus lebih bersabar lagi."

    "Beruntung dia adalah kakakku," sinis Yeji yang kembali mengundang tawa ringan Minhyun.

    Hari itu, Minhyun menetap di rumah putranya dan membersihkan rumah tersebut dengan di bantu oleh putrinya sebelum menyiapkan kejutan ulang tahun untuk Hyunjin tengah malam nanti.

    Malam yang di tunggu datang. Sekitar pukul setengah tujuh malam, para anggota Seoul Connection tampak melakukan persiapan di atas panggung kecil.

    Minho yang di bantu oleh Changbin menyiapkan peralatan DJ-nya. Sedangkan di tengah panggung, Jongho tampak tengah melatih vokalnya dan tak jarang suara teriakannya memenuhi gedung teater itu.

    Minho tersenyum ketika sekali lagi suara Jongho yang mencapai highnote itu memenuhi ruangan.

    Dia berujar, "aku rasa nada itu tidak ada di lagu kita?"

    Changbin menyahut, "dia memang seperti itu. Sangat bagus jika dia benar-benar bisa debut sebagai seorang penyanyi."

    "Dia bilang tidak jadi ikut Survival Show itu. Kenapa?"

    "Meski kemampuan vokalnya luar biasa, dia akan tersingkirkan dengan mudah jika tidak memiliki agensi. Sangat sulit mendapatkan agensi dalam waktu singkat ... lagi pula, meski ia menemukan agensi dan mengikuti acara itu. Belum tentu dia akan lolos ... dia sama sekali tidak memiliki koneksi di dunia Entertainment."

    "Hyeong."

    Perhatian keduanya teralihkan oleh teguran Jisung yang baru saja naik ke panggung dan menghampiri keduanya.

    "Ada apa?" tegur Changbin ketika mendapati wajah Jisung yang tampak resah.

    "Ada masalah dengan Hyunjin."

    Keduanya sedikit terkejut. Minho menyahut, "apa yang terjadi?"

     "Hyeong lihat saja sendiri."

    Changbin dan Minho segera turun dari panggung. Jongho yang menyadari pergerakan keduanya pun segera menghampiri Jisung yang baru akan turun dari panggung.

    "Hyeong."

    Jisung menghentikan langkahnya dan menoleh.

    "Ada apa?"

    "Hyunjin mimisan."

    "Lagi?" heran Jongho dan keduanya pun menyusul kakak tertua mereka.

    Minho dan Changbin menyusul Hyunjin yang tengah berada di dalam kamar mandi.

    "Hyunjin," tegur Minho dan mendorong pelan bahu Hyunjin yang saat itu berdiri di depan wastafel. Bisa ia lihat bahwa pemuda itu menyumpal hidungnya menggunakan tisu.

    "Kenapa bisa begini?" tanya Minho khawatir.

    "Aku tidak apa-apa?"

    Changbin menyahut, "dari kemarin-kemarin kau sering mimisan, kau sudah pergi ke Dokter?"

    "Jangan berlebihan, aku baik-baik saja."

    "Kau memang keras kepala. Hari ini kau tidak usah naik," ucap Minho.

    "Apa maksud Hyeong? Aku baik-baik saja. Jangan berlebihan." Hyunjin pergi dengan wajah yang terlihat kesal.

    "Ada apa denganmu?" tegur Jongho ketika keduanya bertemu di depan pintu kamar mandi.

    "Aku bukan bocah lagi, jangan memperlakukanku seperti orang lemah."

    Jongho bingung dan bertukar pandang dengan Jisung ketika Hyunjin meninggalkan mereka.

    Jongho lantas bergumam, "aku bahkan hanya menanyakan keadaannya. Apanya yang salah?"

    Minho dan Changbin keluar dari kamar mandi dan Jisung segera menegur, "apa yang terjadi?"

    Changbin menyahut, "bukan apa-apa. Bersiaplah, lima belas menit lagi kita akan naik ... anak itu memang keras kepala." Changbin menyusul Hyunjin.

    Minho menepuk bahu kedua adiknya sebelum menyusul Changbin. Menyisakan kedua orang yang saling pandang dengan tatapan bertanya.

    "Apa mereka baru saja bertengkar?"

    Jisung mengendikkan bahunya dan menyusul rekan-rekannya dengan Jongho yang berjalan di belakang. Merasa serba salah ketika ia tak tahu apa-apa.

    Dalam waktu lima belas menit. Gedung teater itu mulai di penuhi oleh para anak muda yang berdiri di menghadap panggung kecil. Sunwoo menjadi bagian dari mereka. Memanfaatkan tubuhnya yang terbilang kecil untuk menyusup di antara kerumunan orang-orang dan mengambil tempat paling depan.

    Kedatangannya itu mengejutkan Jeongin yang juga datang ke sana secara diam-diam. Menutupi kepalanya menggunakan tudung jaketnya tanpa mengenakan kaca mata yang sudah menjadi ciri khasnya.

    Jeongin sedikit panik. Tak ingin jika sampai ada orang yang mengetahuinya bahwa ia sering pergi ke sana. Menundukkan kepalanya, pemuda itu sedikit menjauhi Sunwoo.

    Sedangakan di belakang panggung sendiri. Para anggota Seoul Connection sudah bersiap untuk naik panggung dan melakukan pertunjukan mingguan mereka.

    Minho memegang tengkuk Hyunjin dan menarik perhatian pemuda itu. "Jika kau merasa pusing, segera pergi ke belakang."

    "Aku baik-baik saja."

    "Sudah waktunya," ucap Changbin dan membimbing rekan-rekannya untuk naik panggung dan di sambut oleh suara riuh dari penggemar setia mereka. Termasuk dengan Sunwoo yang paling bersemangat.

    "Hwang Hyunjin! Saranghae ..."

    Berkat suara teriakan itu, pada akhirnya Hyunjin dapat menemukan sosok Sunwoo dan menatap ngeri terhadap teman satu kelasnya itu.

    Dia bergumam, "ya ampun, kenapa dia harus berteriak seperti itu?"

    "Dia Fanboy sejatimu," ujar Jisung. "Berikan pertunjukan istimewa padanya malam ini."

    "Jangan mengada-ngada."

     Mereka kemudian memulai pertunjukan dengan perkenalan group dan sedikit berbincang-bincang sebelum benar-benar memulai pertunjukan musik mereka. Tak jauh berbeda dengan pertunjukan di minggu-minggu sebelumnya. Keadaan di sana benar-benar kacau. Bukan karena para penonton yang membuat kerusuhan, melainkan karena alunan musik serta teriakan dari para anggota Seoul Connection. Tapi di balik itu semua, semua orang tampak menikmati pertunjukan itu.

    Memasuki lagu ke tiga. Hyunjin sempat pergi ke belakang Minho dan berjongkok di sana untuk beberapa detik sembari menunggu bagiannya. Hal itu tentu saja membuat Minho khawatir. Namun sebelum Minho menegur, ia sudah lebih dulu bangkit dan bergabung bersama rekan-rekannya.

    Sekitar enam lagu mereka bawakan malam itu, dan pertunjukan selesai dalam waktu satu jam. Hyunjin menjadi orang pertama yang turun dari panggung. Merasa kondisinya benar-benar buruk malam itu.

    Keempat rekannya menyusul dan menemukannya terbaring di sofa dengan lengan yang menutupi area mata. Minho menghampiri dan menyingkirkan lengannya.

    "Kita ke Rumah Sakit sekarang."

    "Tolong ambilkan obat di ranselku," ucap Hyunjin.

    Jongho segera mengambil ransel Hyunjin dan mencari obat yang di maksud oleh Hyunjin.

    "Ketemu tidak?" tanya Hyunjin yang kemudian bangkit dari tidurnya.

    Minho kembali menegur, "jangan di paksakan, kita ke Rumah Sakit sekarang."

    "Tidak apa-apa, aku sudah biasa seperti ini."

    Changbin menyahut, "justru karena kau sudah terbiasa, bisa saja kau benar-benar sakit."

    "Ini." Jongho menyodorkan obat yang di minta Hyunjin.

    Hyunjin pun memasukkan obat itu ke dalam mulutnya dan menerima botol air mineral dari Changbin.

    Jisung berucap, "jika terjadi sesuatu yang buruk padamu, paman Minhyun pasti memarahi kami."

    "Jika kalian diam, ayahku tidak akan tahu," sedikit kesal.

    Minho menggaruk keningnya dan keempat rekan Hyunjin itu saling bertukar pandang. Tak bisa berbuat banyak ketika di hadapkan dengan sikap keras kepala pemuda itu.

    Sekitar pukul sebelas malam, Hyunjin baru menginjakkan kakinya di rumah dengan wajah yang terlihat lesu. Memasuki ruang tamu, sebuah teguran datang padanya.

    "Kenapa baru pulang?"

    Hyunjin menghentikan langkahnya. Memandang sang ayah yang saat itu duduk di ruang tamu dengan layar televisi yang menyala dan tidak ada Yeji di sana.

    Mengacuhkan ayahnya. Hyunjin kembali melangkahkan kakinya sembari berucap, "waktu bertamu sudah habis, sebaiknya Paman tahu di mana pintu keluarnya."

    Minhyun tersenyum tak percaya. "Siapa yang baru saja dia panggil 'Paman'?" ujarnya ketika putranya telah menghilang dari pandangannya.

    Hyunjin masuk ke kamarnya dan menyalakan lampu. Dia di buat heran oleh Yeji yang tidur di ranjang baru yang memang hanya cukup untuk satu orang, mengingat satu minggu yang lalu keduanya bertarung sengit untuk bisa tidur di ranjang yang besar. Hingga pada akhirnya sebagai seorang pria sejati, Hyunjin harus mengalah dari gadis itu.

    Tak terlalu mempedulikan hal itu. Hyunjin segera mengambil pakaian ganti dan bergegas untuk mandi. Sekitar sepuluh menit ia habiskan di kamar mandi. Namun saat ia keluar, ayahnya masih saja duduk di tempat sebelumnya.

    Dengan handuk kecil yang menyampir di lehernya. Hyunjin lantas menghampiri Minhyun dan duduk di samping ayahnya itu dengan kaki yang terbuka lebar dan punggung yang menyandar.

    Minhyun yang saat itu dalam posisi bersandar dengan tangan bersedekap, lantas menjatuhkan pandangannya pada putranya.

    "Dari mana saja? Kenapa pulang selarut ini?"

    "Aku anak muda. Memangnya Ayah tidak pernah muda?"

    Senyum Minhyun melebar. Sekilas ia mengusak rambut Hyunjin yang masih basah. "Kau ini ..."

    "Kenapa Ayah kemari?"

    "Ayah hanya ingin mengunjungi anak-anak ayah, apa tidak boleh?"

    "Pergilah dari rumahku dan bawa sekalian putrimu."

    "Jangan galak-galak, kau itu anak laki-laki."

    Hyunjin memandang tak suka, cara yang sama seperti selama ini ia memandang keluarganya. Dia berucap, "jika tidak ingin anak laki-laki, kenapa dulu tidak meminta aku jadi perempuan saja?"

    Minhyun tertawa pelan untuk beberapa detik karena perkataan Hyunjin, hingga tawa itu memudar dan ia yang sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Hyunjin dengan pandangan yang mengarah ke depan.

    "Kau baru saja dari mana?"

    "Hongdae." Tak ingin berdusta, karena memang tempat pertunjukannya di selenggarakan adalah di Hongdae.

    Minhyun kembali memandang. "Lalu kenapa bisa sampai semalam ini? Kau tidak kasihan pada adikmu? Sesekali ajaklah dia jalan-jalan. Dia belum pernah pergi keluar sejak kembali ke Korea."

    "Dia memiliki kaki dan mata untuk bisa pergi sendiri. Jika dia tersesat, dia memiliki mulut untuk bertanya. Kenapa harus menyusahkanku?"

    Minhyun tersenyum tak percaya. "Apa yang kau bicarakan? Kemarilah ... kau memang harus di cium dulu, baru bisa bersikap baik."

    Hyunjin terkejut. Kedua netranya membulat. Namun sebelum ia bisa merespon, Minhyun lebih dulu memeluknya dan menciumi puncak kepalanya.

    Dia memberontak. "Ayah! Hentikan ini ... apa yang Ayah lakukan? Ini sangat menjijikkan, hentikan sekarang, hentikan sekarang ... Yaish!"

    Minhyun tertegun dan melonggarkan pelukannya. Dia menatap putranya. "Kau baru saja membentak ayah?"

    "Lepaskan aku," ujar Hyunjin sembari memukuli lengan Minhyun tak terlalu keras.

    Minhyun kemudian melepaskan pelukannya dan saat itu Hyunjin langsung mengusak puncak kepalanya yang baru saja di ciumi oleh Minhyun. Dia lantas menatap tak terima.

    "Jangan lakukan itu lagi! Lakukan saja itu pada Yeji, jangan padaku ... menyebalkan sekali."

    Hyunjin beralih menggunakan handuknya untuk mengusap kepalanya. Sedangkan Minhyun hanya memperhatikan putranya dengan seulas senyum yang tertahan di kedua sudut bibirnya.

    "Kenapa kau jual mahal sekali pada ayahmu?"

    Hyunjin kembali menatap tak terima. "Tidak ada yang gratis di dunia ini."

    "Baiklah ... kalau begitu, bagaimana dengan satu ciuman seribu Won?"

    Hyunjin memicingkan matanya. "Jangan memperlakukanku seperti bocah ingusan. Ayah ingin mempermalukanku di depan teman-temanku?"

    "Pelankan suaramu, adikmu sedang tidur."

    "Siapa yang peduli? Ini adalah rumahku, jika tidak suka dia bisa pergi."

    Minhyun menyandarkan sikunya pada sandaran sofa dan menyangga dagunya. "Sudah puas marah-marahnya?"

    "Belum."

    "Kalau begitu lanjutkan dan tidur setelah kau puas."

    Hyunjin memalingkan wajahnya, begitupun dengan Minhyuk yang kembali fokus pada layar televisi. Semua menjadi hening ketika tak ada yang bersuara hingga Minhyun merasakan sesuatu menyentuh pundaknya.

    Dia menoleh dan mendapati kepala Hyunjin yang menyandar pada pundaknya. Seulas senyum lantas terlihat di kedua sudut bibirnya.

    Dia bergumam, "ayah juga pernah muda. Tapi masa muda ayah tidak sebebas dirimu."

    "Sudah tidur?" sebuah teguran dengan suara berbisik terdengar dari belakang.

    Minhyun sedikit menoleh dan mendapati Yeji yang memang sejak awal tak benar-benar tidur.

    "Apakah sudah waktunya?" tanya Minhyun dengan suara berbisik pula.

    "Lima menit lagi pukul dua belas."

    "Ya sudah, kau ambil kuenya."

    Yeji melakukan hormat perwira sebelum bergegas menuju dapur dan kembali setelah beberapa detik dengan sebuah kue ulang tahun, lengkap dengan lilin berbentuk angka 18.

    "Di letakkan di mana? Apa di pegang saja?"

    "Taruh saja di meja."

    Yeji menaruh kue tersebut di atas meja dengan hati-hati. Minhyun kemudian menjauhkan kepala Hyunjin dengan hati-hati sebelum bangkit dari duduknya.

    "Matikan televisinya, ayah akan matikan lampunya."

    Yeji mengangguk dan mematikan televisi. Minhyun mematikan lampu dan kembali ke tempat sebelumnya. Duduk bersimpuh di lantai dan berhadapan dengan putrinya.

    "Nyalakan lilinnya."

    "Sekarang? Apa tidak di bangunkan dulu?"

    "Nyalakan dulu, baru bangunkan kakakmu."

    "Oke."

    Yeji menyalakan lilin dan berhasil memberikan sedikit penerangan di sekitar mereka. Gadis itu memandang ayahnya guna meminta persetujuan.

    "Bangunkan sekarang."

    Yeji mengangguk dan mengarahkan tangannya pada kaki Hyunjin. Dia menyingkap celana piyama Hyunjin dan seperti tengah mencari sesuatu di sana.

    "Lakukan dengan lebih manis lagi. Kau bisa mengagetkan kakakmu jika seperti itu."

    "Ini adalah kejutan. Jika dia tidak terkejut, bukan kejutan namanya." Tepat saat kalimat itu terselesaikan, Yeji segera mencabut bulu kaki Hyunjin yang seketika tersentak dari tidurnya.

    Yeji menahan tawanya dan setelah sempat bingung untuk beberapa detik, pandangan Hyunjin lantas mengarah pada lilin yang menyala di depannya.

    "Selamat ulang tahun ... selamat ulang tahun ..." nyanyian itu mulai di senandungkan oleh ayah dan adiknya.

    Hyunjin lantas menegakkan tubuhnya dengan wajah yang masih terlihat bingung. Satu tangannya mengusap kakinya yang terasa perih akibat Yeji mencabut bulunya. Namun ia sendiri tidak sadar atas kelakuan adiknya itu. Nyanyian itu kemudian di tutup oleh riuh tepuk tangan dari keduanya.

    "Oppa, cepat tiup lilinnya sebelum meleleh."

    "Ucapkan harapanmu dulu."

    Dengan kesadaran yang masih mengambang. Hyunjin mengatupkan tangannya beberapa detik tanpa mengucapkan apapun sebelum meniup lilin dan ruangan kembali menjadi gelap. Ia sendiri bahkan tidak tahu jika hari itu adalah hari ulang tahunnya.

    Minhyun beranjak dari tempatnya, kembali menghidupkan lampu dan menghampiri kedua anaknya.

    "Oppa, selamat ulang tahun."

    Hyunjin hanya mengangguk dengan mata yang setengah terbuka. Tak berniat untuk mengembalikan kesadarannya.

    Yeji dan Minhyun lantas duduk mengapit pemuda itu. Sempat saling bertukar pandang, keduanya lantas bersamaan mencium pipi Hyunjin.

    "Selamat ulang tahun ..."

    "Siapa yang berulang tahun? Mengganggu saja ..."

Selesai di tulis : 17.05.2020
Di publikasikan : 17.05.2020

   

   
   
  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro