08
"Ayah ..." Hwang Hyunjin kecil berlari menghampiri sang ayah yang menjemputnya di depan gerbang sekolah. Jangkauan langkahnya yang belum seberapa itu membuat tubuh mungilnya terombang-ambing dan tampak menggemaskan.
Minhyun berjongkok dan mengulurkan kedua tangannya ke depan. Menyambut Hyunjin kecilnya dengan sebuah pelukan hangat.
"Anak ayah ... apa tidak ada yang tertinggal?"
Hyunjin kecil melepaskan diri dari pelukan sang ayah. Memberikan gelengan singkat dengan punggung tangan kiri yang mengusap matanya dan membuat sang ayah khawatir.
"Ada apa? Kenapa kau menangis?" Minhyun mengusap lembut sisa air mata di wajah putranya. "Katakan pada ayah, siapa yang membuatmu menangis?"
Hyunjin menoleh ke belakang dan menunjuk salah satu bocah seusianya yang baru saja keluar dari bangunan sekolah.
Hyunjin kecil lantas mengadu, "Yongbok mengatakan jika aku tidak punya ibu."
Kala itu, terlihat perubahan pada raut wajah Minhyun hingga perhatiannya teralihkan oleh pergerakan Hyunjin yang tiba-tiba memeluknya saat bocah bernama Yongbok itu berjalan ke arah mereka bersama sang ibu.
"Pak Hwang, apa kabar?" sapa ibu Yongbok kecil.
Minhyun menggendong Hyunjin dan berdiri sebelum membalas salam dari ibu Yongbok. "Aku baik-baik saja, bagaimana kabar Nyonya?"
"Baik ... Pak Hwang sering menjemput Hyunjin?"
"Aku datang setiap hari untuk menjemput putraku."
"Ah ... begitu? Tapi kenapa aku tidak pernah melihat Pak Hwang? Aku pikir istri Pak Hwang yang menjemput Hyunjin."
"Mungkin kita hanya bersisip jalan."
"Ah, sepertinya begitu. Kalau begitu aku pergi dulu, senang bisa melihat Pak Hwang di sini." Ibu Yongbok menjatuhkan pandangannya pada putranya dan berucap, "Yongbok, beri salam pada paman Hwang."
"Salam, Paman."
"Kau ini." Ibu Yongbok mengusak lembut kepala putranya. "Baiklah, sampai bertemu di lain waktu. Kami permisi."
Minhyun sekilas menundukkan kepalanya. Dan kedua bocah itu sempat bertemu pandang, namun Hyunjin dengan cepat menyembunyikan wajahnya pada bahu sang ayah.
"Kita pulang sekarang."
Hyunjin segera menegakkan kepalanya. Memandang sang ayah dengan tatapan menuntut. Bocah itu lantas menggeleng.
"Tidak mau? Kenapa?"
"Apa aku punya ibu?"
Minhyun menatap prihatin dan menarik senyumnya dengan lembut. "Sudah ada ibu Joohyun di rumah. Siapa lagi yang kau tanyakan?"
Hyunjin menggeleng dengan pandangan yang mengarah pada tangan mungilnya yang tengah memainkan dasi sang ayah. Menampakkan kesedihan di raut wajahnya.
"Ibu Joohyun adalah ibumu."
Hyunjin kecil kembali menggeleng. "Dia ibunya Yeji."
"Dia ibunya Yeji, tapi juga ibumu."
Hyunjin menggeleng lebih kuat. "Dia ibunya Yeji ... dia bukan ibuku. Dia jahat padaku, tanganku selalu di pukul setiap kali aku ingin makan." sebuah pengaduan yang membuat Minhyun merasa gagal melakukan perannya sebagai seorang ayah sekaligus kepala keluarga.
"Kau sering di pukul?"
Hyunjin mengangguk. "Jika Yeji menangis, aku yang akan di pukul. Ayah harus memarahi ibu Yeji setelah ini."
"Ayah mengerti, ayah akan memarahi ibumu setelah ini."
"Dia bukan ibuku ..."
"Ah ... baiklah, baiklah. Sekarang, ayo kita pulang." Minhyun segera membawa Hyunjin menuju mobil.
"Apa kita akan bertemu dengan ibu?"
Minhyun hanya menanggapinya dengan seulas senyum yang terlihat di paksakan.
"Tidak?"
Minhyun membuka pintu mobil dan mendudukkan Hyunjin di kursi penumpang bagian depan sebelum ia yang bergegas menuju bagian kemudi. Setelah menempati tempatnya, Minhyun beringsut untuk memakaikan sabuk pengaman pada putranya itu.
"Ayah."
Minhyun sekilas memandang putranya dan kembali ke tempat duduknya. Memakai sabuk pengamannya sendiri.
"Ayah," panggil Hyunjin kembali.
Minhyun kemudian kembali memandang putranya dengan lembut. "Ada apa?"
"Apa aku ... memiliki ibu?"
Minhyun sejenak terdiam. Menyelami netra jernih dari putranya yang menunjukkan harapan besar atas jawaban yang akan kita berikan.
"Aku ... punya ibu, kan?"
Menjawab rasa penasaran Hyunjin. Minhyun mengangguk dan berucap, "kau memilikinya?"
"Sungguh?"
Minhyun mengangguk.
"Tinggal di mana, ibu sekarang?"
"Di suatu tempat."
"Bolehkah ... aku melihatnya?"
"Kau ingin melihatnya?"
Hyunjin mengangguk dengan cepat.
"Berjanji dulu pada ayah bahwa kau hanya akan melihatnya dari jauh."
"Kenapa begitu?"
"Ibumu adalah orang yang pemalu, dia akan malu jika bertemu denganmu ... bagaimana? Kau mau berjanji?"
Hyunjin mengangguk dengan senyum yang mengembang sebagai pelengkap dari pipi gembulnya.
"Kita ... akan bertemu dengan ibu?"
"Ya, kita akan melihat ibumu sekarang."
"Aku ... memiliki ibu, aku tidak akan malu lagi. Aku memiliki ibu ... ibu ..."
"Haksaeng ... kau baik-baik saja? Jika kau mendengarku, cepat buka matamu."
Wajah Hyunjin mengernyit mengiringi kelopak matanya yang perlahan terbuka dan samar-samar melihat sosok wanita yang kini tengah menatapnya dengan khawatir.
"Aku memilikinya ..." batinnya berucap yang kemudian di lanjutkan oleh lisannya, "ibu ..."
"Kau baik-baik saja? Kau bisa mendengarku?"
Mata Hyunjin terbuka lebar. Tampak keterkejutan di wajahnya sebelum ia bangkit dan bergerak menjauh dari wanita yang sangat familiar dalam ingatannya. Dan tentunya hal itu membuat wanita yang hampir menabraknya menatap dengan heran.
Yoo In Na, siapa yang tidak mengenal Aktris cantik itu? Meski sudah berusia lebih dari 40 tahun, karirnya di dunia Entertainment tidak surut seperti kecantikannya yang awet muda. Hyunjin tentunya tidak akan melupakan wajah yang kerap ia temui di layar televisinya.
Jantung pemuda itu berpacu. Ingatannya dengan cepat menangkap insiden beberapa waktu yang lalu ketika ia kehilangan kesadarannya sebelum tubuhnya di hempas oleh sebuah mobil yang melesat ke arahnya. Namun sekarang ia sadar bahwa ia masih berada di tempat yang sama dan mobil yang sebelumnya ia lihat, berhenti di samping Aktris cantik itu.
In Na bergerak mendekat untuk memastikan keadaan pemuda itu. "Kau baik-baik saja?"
Hyunjin bergerak mundur dan membuat In Na menghentikan pergerakannya. Menatap heran pada pemuda itu.
"Tidak apa-apa, aku bukan orang jahat. Apa ada yang terluka? Jika ada yang terluka, aku akan membawamu ke Rumah Sakit."
Hyunjin tak menjawab, masih dengan posisinya yang terduduk di aspal dengan kedua tangan yang menyangga tubuhnya dari belakang.
In Na lantas berdiri dan menghampiri Hyunjin. Di mana pemuda itu tidak lagi melarikan diri dan justru menampakkan kepanikan di wajahnya. In Na lantas berjongkok di samping Hyunjin. Di lihat dari sikap Hyunjin, In Na tahu bahwa pemuda itu pasti mengenalinya.
"Kau tahu siapa aku, bukan? Ayo, aku akan mengantarmu ke Rumah Sakit."
Hyunjin menggeleng, masih bertahan dengan wajahnya yang tampak terguncang.
"Kau berkeringat terlalu banyak. Aku khawatir jika sesuatu terjadi padamu ... kita pergi ke Rumah Sakit, aku akan menanggung semua biayanya. Kau tidak perlu khawatir."
Hyunjin melakukan pergerakan, namun bukan untuk merespon In Na. Pemuda itu segera bangkit dari duduknya. Menyambar ranselnya dan segera melarikan diri seakan ia lah tersangka dalam kasus tabrak lari.
In Na berdiri dan berucap dengan lantang, "Ya! Jangan berlari seperti itu ... berbahaya ... kenapa dia aneh sekali?" di akhiri oleh gumaman.
In Na menggelengkan kepalanya dan segera kembali ke mobilnya sebelum ada seseorang yang lewat dan mengenalinya.
Dengan napas yang sedikit memburu, Hyunjin sampai di rumahnya. Namun begitu ia masuk ke dalam rumahnya. Perasaan yang sama sebelum ia hampir tertabrak oleh mobil sebelumnya tiba-tiba kembali, namun kali ini di iringi oleh rasa pusing yang kerap ia rasakan selama ini.
"Baru pulang?" tegur Yeji yang saat itu duduk di sofa dan tengah menonton Drama mingguan.
Hyunjin tak bermaksud untuk peduli. Pemuda itu masuk ke dalam kamar. Melempar ranselnya sembarangan dan menjarah laci di samping tempat tidur untuk menemukan obat pereda sakit yang selalu ia konsumsi ketika merasa kepalanya bermasalah.
Setelah sempat membuka beberapa laci di kamarnya tanpa menemukan sesuatu yang di carinya. Hyunjin beralih ke ruang tamu. Memeriksa laci yang berada di dekat televisi, namun tetap saja tak menemukan apa yang ia cari di saat rasa pusing di kepalanya menimbulkan rasa sakit.
"Apa yang sedang kau cari?" teguran kedua yang kembali terabaikan.
Hyunjin berjalan menghampiri Yeji. Tanpa permisi, ia segera membaringkan diri di sofa dan menyusup di balik punggung Yeji yang sedikit kaget di buatnya.
"Apa yang sedang kau lakukan?"
Yeji bergeser ke depan dan menjatuhkan pandangannya ke samping. Melihat Hyunjin yang menyembunyikan wajah di antara lengan, di saat pemuda itu yang berbaring dalam posisi tengkurap.
"Kau baik-baik saja?"
"Ambilkan aku air putih," gumam Hyunjin.
Yeji dengan sukarela beranjak dari duduknya. Berjalan ke arah dapur dan kembali dengan membawa segelas air putih. Dia kemudian berdiri di samping sofa.
"Ini."
Hyunjin bangkit. Terduduk di sofa dengan kaki yang masih berada di atas sofa. Dia menerima gelas di tangan Yeji dan meminum beberapa teguk sebelum menyerahkannya kembali pada Yeji.
"Terima kasih," ucapnya dan kembali berbaring dengan satu lengan yang berada di atas keningnya.
"Kau sedang sakit?"
Hyunjin memandang Yeji. Kenapa tidak terpikirkan sebelumnya olehnya bahwa masih ada manusia yang hidup di tempat itu selain dirinya?
"Pergilah ke Apotik dan belikan aku obat sakit kepala."
"Ini sudah malam."
"Apotiknya tidak jauh dari sini."
"Aku tidak memiliki uang."
Hyunjin mendengus sebelum merogoh saku celana bagian belakangnya. Mengambil beberapa lembar uang dari sana dan segera memberikannya pad Yeji.
"Cepat sedikit, jangan lama-lama."
"Kau benar-benar sakit? Jika memang sakit, aku akan menghubungi ayah."
"Jangan berani-beraninya kau menghubungi ayah. Cepat pergi dan belikan yang kuminta."
"Aku baru kembali, kenapa sudah di suruh-suruh?" terdengar kesal, namun pada akhirnya malam itu Yeji pergi ke Apotik di dekat rumah mereka.
Hanya sekitar lima belas menit dan Yeji kembali. Namun saat kembali, gadis itu tertegun ketika mendapati bahwa sang kakak sudah tidur dalam posisi yang sama seperti saat ia tinggal beberapa menit yang lalu.
Yeji mendekat. Berdiri di tempat sebelumnya dan memperhatikan wajah Hyunjin yang sama sekali tak menunjukkan kedamaian meski tengah tidur sekalipun.
Gadis itu mencibir dengan suara pelan, "bahkan saat tidur wajahnya tetap seperti itu."
Menaruh kantong plastik yang ia bawa di atas meja. Gadis itu lantas mematikan televisi dan berjalan masuk ke kamar lalu kembali dengan membawa sebuah selimut. Yeji kemudian menyelimuti Hyunjin, namun pergerakannya terhenti ketika ia melihat bahwa sang kakak masih mengenakan sepatu.
Beralih ke kaki Hyunjin. Yeji melepaskan sepatu pemuda itu dengan hati-hati, dan setelahnya menyelimuti kaki sang kakak. Dengan satu helaan napas di sertai oleh seulas senyum kemudian, Yeji kembali memandang wajah kakaknya yang sudah lama tak ia temui.
"Bersikap baiklah padaku selama aku di sini. Aku juga akan memperlakukan Oppa dengan baik ... selamat malam," ucap gadis itu yang kemudian bergegas kembali ke kamar. Tak ingin membuat keributan yang bisa membangunkan sang kakak yang terlihat sangat lelah.
Saat itu, ketika tak ada seorangpun di sekitarnya. Seulas senyum sempat menghiasi kedua sudut bibir Hyunjin sebelum memudar dengan cepat.
"Dia lebih cantik ... jika di lihat dari dekat," sebuah gumaman yang terucap dari alam bawah sadarnya, dan beruntungnya bahwa Yeji sudah pergi dari sana sehingga ia tidak akan mengatakan hal-hal yang mungkin akan mempermalukan dirinya sendiri.
Selesai di tulis : 10.05.2020
Di publikasikan : 10.05.2020
Haksaeng : Murid/Siswa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro