04
Minhyun kini tengah menyibukkan diri di meja kerjanya bersama sang Sekretaris yang berdiri di sampingnya sembari membolak-balik berkas di atas meja. Melakukan sedikit pembahasan tentang proyek baru Perusahaan mereka, dan mungkin jika Hyunjin melihat hal itu, pemuda itu pasti akan murka karena jarak Minhyun dan Yeoreum yang terlalu dekat. Namun beruntung karena setelah perdebatan beberapa jam yang lalu, pemuda itu tidur dan hingga kini masih dalam posisi yang sama.
"Pertemuan dengan Direktur Yang, bisakah kau ubah jadwalnya?"
"Ada apa? Apa Presedir memiliki jadwal lain?"
"Satu minggu lagi adalah ulang tahun putraku."
"Hyunjin?" Yeoreum sekilas memandang Hyunjin.
"Benar, aku ingin menyisihkan satu hari untuk anak itu. Jadi bisakah hari itu kau menangani semuanya?"
"Ah ... Ye, aku mengerti. Serahkan saja semua padaku," ujar Yeoreum dengan senyum yang meyakinkan. Namun di bandingkan dengan Sekretaris, hubungan keduanya lebih mirip sebagai kakak beradik karena Yeoreum sendiri dulunya merupakan junior dari Minhyun saat masih berada di Universitas.
Hyunjin tersentak, namun hal itu tak cukup untuk mengembalikan kesadarannya. Pemuda itu hanya beralih posisi menghadap langit-langit dengan satu kaki dan juga tangan yang terjatuh ke lantai. Dan hal itu pula yang sempat menarik perhatian dari kedua orang dewasa di ruangan itu.
"Sepertinya Hyunjin mendapatkan masalah di sekolah," ujar Yeoreum.
"Dia sangat sulit untuk di ajak bicara."
"Aku lihat dia anak yang sedikit manja."
"Tidak sedikit, tapi banyak. Dia hanya menahan diri untuk tidak menunjukkannya. Dia sedikit jual mahal saat memasuki SMA," ralat Minhyun dengan senyum lebarnya yang di sambut oleh senyuman Yeoreum.
"Aku tidak menyangka jika anak itu bisa menjadi tampan sekarang."
"Eih ... kau ini bicara? Ayahnya saja tampan, bagaimana anaknya bisa tidak tampan." Minhyun tertawa geli akan ucapannya sendiri yang justru mendapatkan sindiran.
"Ya, ya, ya. Aku sudah tahu berada di level mana ketampanan dari Hwang Minhyun Seonbaenim."
"Level berapa?"
"Tidak lebih tampan dari Choi Seungcheol."
Minhyun menatap jengah, namun saat itu Yeoreum justru tersenyum lebar. "Kenapa kalian tidak menikah saja?"
"Menikah ada waktunya, kenapa harus terburu-buru?"
"Kau tidak sadar berapa usia kalian?"
Yeoreum mengibaskan tangannya di depan wajah. "Kenapa tiba-tiba membahas umur. Meski aku sudah kepala tiga, aku tetap terlihat cantik."
Minhyun tersenyum tak percaya dengan tingkat kepercayaan juniornya tersebut yang masih sama seperti dulu.
"Ya sudah, kau bereskan ini dan berikan berkas yang ku maksud pada Choi Seungcheol. Tapi ingat, jangan berkencan di jam kerja."
"Aish ... aku tahu, memangnya kapan aku melakukannya?"
Minhyun berdiri dan mendorong pelan kening Yeoreum menggunakan telunjuknya. "Aku pernah menangkap basah kalian berdua."
Yeoreum tersenyum lebar, mengakui perbuatannya. "Hanya sekali," ucap wanita itu sembari mengangkat telunjuknya ke udara.
Minhyun mengusak lembut kelapa Yeoreum. "Sudah, bereskan ini dulu dan kau baru boleh makan siang."
Meninggalkan Yeoreum, Minhyun berjalan menghampiri Hyunjin. Seulas senyum menghiasi wajahnya ketika ia melihat bagaimana cara putranya itu tidur. Perlahan Minhyun menaikkan kaki Hyunjin ke sofa sebelum ia yang duduk di lantai dan menaikkan tangan putranya yang menggantung di sofa.
"Aku tidak peduli denganmu, jangan menganggu hidupku lagi!" makian itu Hyunjin berikan ketika Minhyun menaruh tangannya di atas perutnya.
Yeoreum yang mendengar itupun sempat menoleh, wanita itu berpikir bahwa Bosnya kembali bertengkar dengan putranya. Namun setelah tak mendapatkan reaksi lebih, Yeoreum kembali pada pekerjaannya karena dia pun sudah tahu fakta mengenai Hyunjin yang sering marah-marah ketika sedang tidur.
Dan benar bahwa anak itu masih tidur meski mulutnya memaki. Hal itulah yang kembali membuat Minhyun menarik sudut bibirnya. "Memangnya siapa yang menganggumu? Katakan pada ayah," ujar Minhyun dengan lembut.
"Istrimu!" sarkas Hyunjin masih dengan kelopak mata yang menutup dan di iringi oleh gerutuan sesaatnya. Inilah salah satu kebiasaan anak itu yang paling berbahaya, karena saat ia mengigau, dia akan menyahuti orang yang melontarkan pertanyaan padanya.
Setelah mulut Hyunjin berhenti mengoceh, Minhyun bergeser mendekat. "Hyunjin, seminggu lagi ulang tahunmu. Kau ingin hadiah apa dari ayah?"
Sudut bibir anak itu terangkat membentuk sebuah senyum. "Aku ingin melihatnya."
"Melihat siapa?"
"Wanita itu ..."
Dahi Minhyun mengernyit. "Siapa yang ingin kau lihat?"
"Ibuku ... memangnya mau siapa lagi? Aku hanya bisa melihatnya di televisi, sesekali aku juga ingin bertemu dengannya. Ayah punya uang, Ayah pasti bisa mengundang ibuku..."
Garis senyum di wajah Minhyun tiba-tiba menghilang. Terdapat penyesalan dalam sorot matanya ketika mulut Hyunjin masih menggumamkan kata-kata yang tidak terlalu jelas. Minhyun kemudian mengusap kening Hyunjin, menyibakkan anak rambut yang menutupi kening putranya yang berhenti mengoceh dan kembali tidur dengan tenang di sertai dengkuran lembut yang sesekali terdengar.
Yeoreum yang tak ingin menganggu Bosnya pun pergi tanpa berpamitan dan menutup pintu dari luar dengan hati-hati. Pergerakan Minhyun terhenti, tangannya beralih meraih tangan Hyunjin. Usapan lembut ia berikan pada telapak tangan yang lebih kecil dari telapak tangannya itu, dia kemudian mencium telapak tangan Hyunjin. Menyalurkan kasih sayang seorang ayah yang pastinya akan selalu mendapatkan penolakan jika putranya itu dalam keadaan terjaga. Hanya di saat seperti inilah Minhyun bisa benar-benar menunjukkan kasih sayangnya terhadap putra semata wayangnya itu.
"Maafkan ayah. Keinginanmu di hari ulang tahunmu, tidak bisa ayah penuhi. Kau bisa meminta apapun selain itu." Di akhiri oleh seulas senyum tipis, mata Minhyun kemudian memicing setelah melihat noda di kerah seragam Hyunjin.
Menurunkan tangan Hyunjin, dia menumpukan lututnya pada lantai dan memeriksa noda kemerahan di kerah baju putranya.
"Darah?" Dahi Minhyun mengernyit, dia menyentuh bercak kemerahan yang telah mengering lalu mencium tangannya, namun sayangnya noda yang telah mengering itu tak lagi berbau. Hal itu membuat Minhyun kembali memikirkan alasan putranya membolos sekolah dan pergi ke kantornya pagi itu.
"Apa kau berkelahi dengan temanmu?"
Jarum jam menunjuk pada angka satu dan enam. Perlahan kelopak mata Hyunjin terbuka, terdiam sejenak untuk mengumpulkan jiwanya yang sempat berkelana setelah tidur panjangnya berakhir, begitupun dengan rasa pusing yang tak lagi ia rasakan.
Pemuda itu lantas bangkit, duduk bersila di atas sofa dan memandang ke sekeliling hingga ia menemukan sosok Minhyun yang masih sibuk di meja kerjanya.
"Kau sudah bangun?"
Hyunjin tak memberi respon apapun selain hanya kelopak mata yang sesekali berkedip. Hal itulah yang membuat senyum terlihat kembali di wajah sang ayah.
"Ambillah minum terlebih dulu."
Hyunjin mengangkat kedua tangannya ke udara, melakukan sedikit peregangan sembari menguap selebar-lebarnya. Pandangan pemuda itu kemudian jatuh pada jam tangan di pergelangan tangannya, sejenak mengerjapkan matanya ketika otaknya mulai menghitung berapa lama ia tidur di sana. Bahkan saking lamanya dia sampai melewatkan waktu makan siang.
"Kau melewatkan makan siangmu. Rapikan rambutmu dan kita cari makan siang bersama," ujar Minhyun yang masih menaruh konsentrasi pada jemarinya yang bergerak di atas keyboard laptopnya.
Hyunjin tak memberi respon, pemuda itu menurunkan kakinya ke lantai dan meraih sepatunya. Tetap mengatup rapatkan mulutnya, setelah selesai dengan sepatunya ia pun berjalan menghampiri sang ayah.
"Tunggulah lima menit lagi, ayah akan menyelesaikan ini dengan cepat," ujar Minhyun ketika putranya itu telah berdiri di sampingnya.
Tak memiliki ketertarikan dengan apa yang kini di lakukan oleh ayahnya, pandangan Hyunjin mengarah ke meja. Tangan pemuda itu lantas terulur ke meja untuk mengambil dompet milik sang ayah, namun saat itu dengan cepat Minhyun mengambil dompet itu terlebih dulu dan menjauhkannya.
"Kau mau apa?"
"Berikan aku uang."
"Ayah baru memberikan uang bulanan mu seminggu yang lalu."
"Itukan di rumah, mana mungkin aku membawa banyak uang saat keluar." Hyunjin hendak meraih dompet di tangan Minhyun, namun sang ayah lagi-lagi menjauhkannya.
"Kau akan pergi dengan ayah, tidak perlu membawa uang."
"Aku tidak mau!"
Minhyun menghela nafasnya. "Baiklah, kalau begitu ambillah sendiri."
Hyunjin kembali mengulurkan tangannya, namun Minhyun justru mempermainkannya dengan menjauhkan dompet itu. Dengan satu tangan yang bertumpu pada meja, Hyunjin sedikit mencondongkan tubuhnya di depan sang ayah untuk mengambil dompet tersebut.
"Jangan mempermainkan ku," gertak pemuda itu.
Minhyun lantas membiarkan Hyunjin mengambil dompetnya. Namun ketika anak itu hendak menegakkan tubuhnya, dengan cepat Minhyun menarik bahu Hyunjin dan mencium pipi putranya itu dengan gemas. Hal itu refleks membuat Hyunjin memekik secara berlebihab dan mendorong tubuh sang ayah.
"Apa yang Ayah lakukan? Berhenti mencium ku! Ini menjijikkan!" Dengan bersungut-sungut, Hyunjin mengusap pipinya dengan kasar menggunakan lengannya. "Jangan melakukannya lagi!"
"Memangnya ada apa? Dulu ayah juga sering melakukannya."
"Dulu adalah dulu, sekarang ya sekarang. Jangan melakukan hal menjijikkan seperti itu lagi padaku!"
Minhyun menghela kembali menghela nafasnya. Hyunjin nya dulu yang menggemaskan sekarang sudah menjelma menjadi seorang berandal sejak memasuki SMA.
Dengan raut wajah yang masih tampak kesal, Hyunjin membuka dompet sang ayah dan mengambil semua uang yang ada di sana lalu memindahkannya ke saku celananya. Setelah penjarahan kecilnya selesai, dengan cepat ia menaruh dompet tersebut di meja. Namun ketika ia hendak menarik tangannya, saat itu Minhyun segera menahan tangannya.
"Jangan banyak-banyak, kembalikan separuhnya."
Hyunjin menepis tangan sang ayah. "Itu bayaran untuk ciuman tadi. Pipiku sangat mahal, jika Ayah lupa."
"Kenapa seragammu kotor?"
Netra Hyunjin sekilas membulat, dia lantas melihat seragam yang ia kenakan.
"Kau berkelahi dengan temanmu?"
"Ah..." Hyunjin mengangguk tanpa beban, seakan hal yang di katakan sang ayah adalah hal yang biasa meski pada kenyataannya sekalipun dia tidak pernah terlibat baku hantam dengan siapapun.
"Apa mereka mengganggumu?"
"Bukan urusan Ayah."
Hyunjin segera meraih ranselnya yang berada di samping meja tanpa memutus kontak mata dengan sang ayah. Dia kemudian meraih ponselnya yang berada di atas meja lalu berbalik tanpa berniat mengucapkan salam dan justru dengan sengaja tangannya menyambar bingkai foto yang sebelumnya ia jatuhkan hingga kaca yang membingkai foto tersebut benar hancur kali ini.
"Itu tidak sopan, Hyunjin." teguran secara halus yang berlalu begitu saja ketika pemuda itu melenggang pergi.
"Ayah akan mengantarmu."
"Tidak perlu, jangan pedulikan aku."
"Baik-baik dengan adikmu."
Langkah Hyunjin terhenti di depan pintu, pemuda itu berbalik. "Aku akan menendangnya dari rumahku." Dengan begitu pemuda itu membuka pintu dan lantas menghilang dari pandangan sang ayah di sertai dengan suara pintu yang berdebum.
Minhyun lagi-lagi menghela nafasnya. Merasa prihatin dengan kehidupan yang selama ini di jalani oleh putranya, sedangkan waktunya sendiri lebih banyak ia habiskan dengan bekerja sehingga jarang mengunjungi putranya itu. Terakhir kali ia berkunjung ke rumah Hyunjin sekitar satu bulan yang lalu, itupun karena Hyunjin sakit sehingga ia menginap selama tiga hari di sana.
Satu hal yang paling di sesalkan oleh Minhyun adalah ketika putranya itu terkesan menjauhinya dan menjadi sangat tertutup. Bahkan dia sebagai ayah pun tidak tahu jika setiap minggunya putranya tersebut selalu melakukan pertunjukkan di gedung Teater. Dan perihal ruangan bertuliskan 'Hyunjin Lab' itu, tentu saja dia tidak pernah tahu apa isinya karena setiap ke sana, putranya itu selalu mengunci ruangan itu.
Minhyun menyandarkan punggungnya, sejenak terdiam untuk berfikir hingga tanpa sadar kerutan itu perlahan tercetak di keningnya.
"Aku hanya bisa melihatnya di televisi, sesekali aku juga ingin bertemu dengannya..." perkataan itu kembali terngiang di telinganya. Meski Hyunjin mengucapkan hal itu secara tidak sadar, namun anak itu lebih bisa berkata jujur dalam keadaan seperti itu.
Sedikit merasa terbebani ketika ia yang tidak bisa memenuhi keinginan sederhana dari putranya sendiri. Dan perihal keinginan Hyunjin untuk bisa bertemu dengan ibu kandungnya, anak itu tidak pernah membahas hal itu dalam keadaan sadar. Bahkan anak itu terkesan acuh dan tidak tertarik dengan siapa ibu yang telah menelantarkannya dulu.
Setelah berfikir sejenak. Minhyun kembali menegakkan tubuhnya dan meraih ponselnya. Untuk sejenak ia mengetikkan beberapa nomor pada layar sebelum menghubungi nomor tersebut.
Tampak keraguan di wajahnya ketika ia mendekatkan ponselnya ke telinga, berfikir bahwa mungkin saja sang pemilik nomor sudah tidak menggunakan nomor tersebut. Namun pemikirannya salah karena panggilannya tersambung, dan entah kenapa dadanya sedikit bergemuruh ketika menunggu seseorang di seberang menerima panggilannya.
Setelah beberapa detik, seseorang di seberang menerima panggilan itu. "Halo," suara lembut seorang wanita yang sejenak menghentikan nafas Minhyun.
"Maaf, siapa ini?" tegur wanita di seberang setelah Minhyun tak kunjung menyahut.
"Jika kau tidak ingin bicara, aku akan matikan teleponnya."
"Ini aku, Hwang Minhyun."
Hening, tak ada yang berbicara setelahnya. Baik Minhyun serta lawan bicaranya justru bungkam di saat panggilan masih tetap berlangsung, dan setelah beberapa saat, suara wanita itu kembali terdengar dengan nada bicara yang sedikit tak bersahabat.
"Ada apa?"
"Ada hal yang ingin ku bicarakan denganmu."
"Tujuh belas tahun bukanlah waktu yang singkat, kau harusnya tidak melakukan hal ini."
"Bagaimana denganmu?" balas Minhyun, tak terima karena dia yang di pojokkan sebagai tersangka.
"Apa maksudmu?"
"Tujuh belas tahun berlalu, tapi kenapa kau masih menggunakan nomor ini?"
Wanita itu terdiam, seakan ucapan Minhyun bukanlah hal yang bisa ia sanggah.
"Aku tidak akan membahas tentang kita, aku memiliki keperluan lain."
"Cepat katakan dan jangan mengusikku lagi."
"Hwang Hyunjin ingin bertemu denganmu."
"Siapa yang kau maksud?"
"Putraku, dia ingin melihatmu di hari ulang tahunnya seminggu lagi."
Minhyun berdiam diri, menunggu jawaban yang tak kunjung datang.
"Temuilah dia-"
"Simpan uangmu, aku tidak membutuhkannya. Dan katakan pada putramu ... berhenti bermimpi!"
Rahang Minhyun mengeras, namun sebelum ia bisa melontarkan perkataan kasarnya, sambungan langsung terputus secara sepihak. Genggaman pada ponsel menguat, merasa sangat marah dengan respon terakhir yang di berikan oleh lawan bicaranya hingga sebuah penyesalan yang kembali muncul ke permukaan.
"Wanita macam apa yang tega menelantarkan putranya sendiri?"
Selesai di tulis : 12.03.2020
Di publikasikan : 13.03.2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro