Chapter 5: Si Dekil dan Si Perak
Aku tidak berhenti menatapi jendela. Awan abu berwarna tebal memenuhi pemandangan. Yah, benar. Sekarang aku sedang terbang. Siapa sangka kuda yang menarik kereta ini dapat berlari kencang di atas udara.
Meskipun takjub, tetapi tetap saja diriku tidak bisa melupakan detik-detik perpisahanku dengan ibu juga Yobi. Kami menangis. Bahkan Yobi yang terkenal gengsian itu juga ikut menitikkan air mata. Pemuda itu memelukku setelah seluruh barangku masuk ke kantung ajaib milik Mada Teressa.
Meskipun kantung kecil itu katanya bisa memuat berbagai barang, tetapi nyatanya barang yang kupunya hanya sedikit. Makan lebih penting daripada barang-barang. Lagipula jika pakaianku robek, aku masih bisa menjahitnya.
"Jika kamu memikirkan Ibumu, maka kami berani jamin dia aman." Suara Madam Teressa memecah lamunan.
Aku berjengit lalu menatapnya datar. "Terima kasih."
Satu helaan napas keluar dari mulutku. Ibu pasti baik-baik saja, mengingat sekarang anaknya adalah murid akademi sihir terhebat Zirania. Namun, bagaimana dengan Yobi?
Hatiku teriris saat mengingat dirinya. Aku tidak mau dia mati. Aku ingin dia hidup. Rasa menyesal dan sesak memenuhi dada. Tadi aku tidak sempat menjawab perasaan Yobi.
Bagaimana jika jawaban untuk perasaan itu tidak akan pernah tersampaikan selamanya?
DUAR!
Seluruh penumpang terkesiap dari lamunan masing-masing. Jendral Lock menggeram lalu mendongak ke luar jendela. Aku dan Madam Teressa mengikuti. Angin menyambutku, aku kesulitan bernapas mengingat ini ada di atas langit.
"Bahahaha! Serahkan barang-barang kalian kalau tidak mau mati!" Seorang pria bertopeng berteriak kepada kami. Di tangannya ada semacam meriam mini dengan ujung berasap.
Ah, satu lagi. Dia tidak sendirian. Ada sekitar sepuluh orang menemaninya. Mereka berdiri angkuh di atas kapal kayu raksasa yang melayang.
"Perompak langit!" pekik Madam Teressa.
"Tcih, sialan!" desis Jendral Lock. "Akan kuhajar kalian!" Pria berbaju zirah itu seketika mengeluarkan pedang dari telapak tangannya yang kosong.
Ajaib, muncul begitu saja setelah beberapa detik ada cahaya terang.
"Astaga, Kapten! Kita salah tangkap!" pekik salah satu perompak itu. Ada penutup mata di mata kirinya.
"Sialan, aku kan, tidak tahu kalau itu kereta milik Jendral Lock," desis seorang pria bertopeng yang tadi pertama berteriak. Kurasa dialah kaptennya.
"Diam di sana kalian!!" teriak Jendral Lock. Tangannya bersiap membuka pintu kereta.
"Tidak akan kubiarkan!!" Kapten perompak dengan gesit kembali menembakkan meriam mininya. Suara lengkingan terdengar disusul oleh getaran hebat dan suara berdebum keras. Pas sekali ketika pintu kereta dibuka oleh Jendral Lock.
Alhasil, kereta kami meledak. Kuda yang menarik kereta kabur entah ke mana. Masing-masing kami terpental. Aku berteriak kencang. Tidak terima kalau ini adalah akhir dari hidupku.
Sekilas, kulihat pemandangan laut di bawah. Astaga, aku akan mati dimakan hiu sepertinya.
Napasku terasa dicekik. Tidak terbiasa dengan tekanan udara di atas langit. Setelah kupikir nyawaku akan menghilang, tiba-tiba saja kurasakan diriku menghantam rerumputan yang empuk. Netraku membuka.
"Hah, kau ini, kok, bisa datang dari langit?!" pekik seorang pemuda yang kini memenuhi pemandanganku. Dirinya tertunduk, menatapku aneh.
"Apa ini surga?" tanyaku pelan.
"Kau ada di Sky Ruin," jawabnya.
Aku bangkit dari posisi tiduranku dengan cepat. Dan sangking gesitnya aku bergerak, tanpa sengaja kening kami berbenturan. Suara hantaman keras terdengar.
Pemuda itu berguling-guling di rumput sambil memegangi keningnya yang kini memerah. "Dasar! Hati-hati, dong! Argh! Sial!"
"Aku kan, tidak sengaja! Maaf, deh!" balasku sambil mengelus kening. Alih-alih terus menatap si pemuda bersurai perak itu, kini aku sibuk terpukau dengan reruntuhan di sekitar.
Banyak sekali bangunan yang terbuat dari batu blok besar. Ada rumah, pilar-pilar, bahkan sebuah menara. Sebagiannya hancur karena roboh atau dikuasai sulur tanaman yang besar. Jadi ini maksudnya Sky Ruin yang tadi diberitahu si pemuda perak?
"Mengagumkan," gumamku.
WUSHH!!
Aku membelalakan netra. Sesuatu yang sangat besar melintas di atas kepala, menciptakan bayangan hitam di rerumputan. Saat kumendongak, kudapati reptil besar bersayap. Perlahan, kujatuh terduduk. Merinding.
Tidak dimakan hiu, tetapi dimakan naga. Oke.
Namun, bukannya memakanku, naga itu hanya terbang melintas. Dia sama sekali tidak menganggapku makanannya. Apa aku terlalu kecil?
"Kau aneh," komentar si pemuda yang langsung kubalas dengan alis terangkat.
"Pertama, kau datang dari langit. Kedua, kau takjub dengan Sky Ruin. Ketiga, kau terlihat bingung dan takut saat naga suci lewat." Pemuda itu berjalan memutariku sambil memicingkan mata. Menatapiku dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Aku curiga kalau kamu datang dari--"
"Downmere," selaku.
"Oh, pantas saja," ujar si pemuda. Kini dirinya kembali berdiri tegak. Mengeluarkan aura sombong dari wajahnya. "Apa keperluanmu datang ke tempat suci ini, Dekil?"
Dekil, katanya?!
Eh, tunggu. Kenapa rasanya de javu, ya?
"Diamlah dan cepat antar aku ke Akademi Sihir Blackheart," ujarku tegas. Kubangkit berdiri dan mendapati tubuh pemuda itu yang tinggi menjulang. Kepalaku hanya sejajar bahunya.
"Tcih! Kau berani memerintahku?" balasnya angkuh. Tangannya ditaruh di pinggang.
"Asal kau tahu, ya? Aku ini murid jalur undangan," jelasku penuh penekanan. Bermaksud menandingi kesombongannya. Sekadar sombong, sih, tidak tahu kemampuanku akan jadi sehebat apa.
"Ha? Murid jalur undangan di pertengahan semester? Kau tidak bisa membohongiku, Dekil!" balas si pemuda perak dengan mimik wajah menyebalkan.
Tanganku merogoh surat undangan yang dua hari lalu dikirim lewat burung hantu pos lalu menyodorkannya di depan hidung si pemuda perak. Netranya seketika terbelalak kaget. Dia merebut surat itu dariku dan membacanya sekilas.
"Bohong," ucapnya lirih, "bahkan ada stempel akademinya juga?"
Aku tersenyum miring sambil melipat lengan. Kupadangi si pemuda perak dengan tatapan remeh. "Percaya?"
Pemuda perak mendengkus kesal. Lalu tanpa berniat basa-basi, dirinya mulai bersiul-siul. Aku sempat heran dibuatnya, tetapi jawabanku langsung datang ketika seekor kuda hitam bersayap datang menghampiri.
"Naik," ujarnya singkat. Dirinya naik ke atas punggung pegasus hitam itu duluan.
Aku mendekat perlahan. Memandangi tubuh si pegasus yang terlampau tinggi. "Aku tidak bisa naik." Wajahku memerah menahan malu.
Si pemuda perak terkikik geli, membuat diriku ingin segera mengulitinya lalu melempar jasadnya ke dasar jurang. "Sini."
Aku terbelalak memandangi tangan kokohnya terulur kepadaku. "Huh? Kau mau aku menyentuh tanganmu?"
"Cepat naik! Aku banyak pekerjaan!" desaknya sinis.
"Pekerjaan yang kau maksud itu melamun seharian di Sky Ruin?" sinisku balik sambil menerima uluran tangannya.
"Mau kujatuhkan?" tanyanya datar.
Aku menggeleng cepat. Kemudian si pemuda perak langsung menarikku ke atas pegasus, duduk di depannya.
Tangannya yang panjang dan kokoh berpegangan ke pundak pegasus, alhasil posisinya pun tampak seperti sedang memelukku dari belakang. Untuk sesaat, kumencium aroma daun mint dari tubuhnya. Jantungku berdetak tak karuan.
"Pegangan yang kuat sebelum aku menyuruh pegasus ini terbang!" sinisnya lagi. "Kalau kau mau jatuh sih, tidak apa-apa. Tidak perlu pegangan."
"Pegangan ke pundak pegasusnya juga?" tanyaku kikuk. Ayolah, jika aku berpegangan pada pundak si pegasus, maka aku akan menyentuh tangan si pemuda perak. Memalukan sekali, kan?
"Terserah," jawabnya. Tanpa menungguku bertindak, tiba-tiba saja pegasus yang kami tunggangi melesat ke angkasa. Refleks, aku pun berteriak dan tanpa sadar memeluk lengan si pemuda perak.
"Nah, seperti itu. Pegangan yang erat," ujarnya.
🌜🌟
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro