Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 10: Luna and The Beast

Cahaya hitam di ujung tongkat sihir Tuan Gonculus semakin terang. Siap melepaskan diri menjadi berjuta rasa sakit ke tubuhku. Namun, dengan cepat Madam Teressa melemparkan sebuah mantra sihir, "Tundra."

Pst! Prak.

Tongkat sihir Tuan Gonculus terlempar ke sudut ruangan. Cahaya hitam yang berada di ujungnya terlepas lalu memelesat ke arah vas bunga di atas lemari obat. Aku menenggak saliva dalam rasa ngeri. Vas itu pecah.

Sulit membayangkan apa yang akan terjadi jika cahaya itu mengenaiku.

"Tuan Gonculus, saya sarankan untuk menenangkan diri terlebih dahulu," ujar Madam Teressa yang langsung disusul oleh kepergian rekan gurunya itu menjadi butiran sihir hitam.

"Madam." Si pemuda perak yang sedari tadi hanya menonton akhirnya bersuara.

"Ya, Yang Mulia Pangeran?" respon Madam Teressa.

"Walau bagaimanapun, perbuatan Luna Elgaria haruslah mendapat hukuman, baik disengaja maupun tidak." Nathan memandangi Madam Teressa penuh minat.

Astaga. Sudah kuduga Nathan akan berpihak kepada Ayumu. Pemuda perak sialan.

"Hukuman? Untuk perbuatan yang bahkan Nona Luna sendiri tidak tahu?" Madam Teressa tampak hendak protes. Walau bagaimanapun, sulit baginya untuk menentukan keputusan ketika menghadapi masalah ini.

Maksudku, tidak ada satu pun kaum bawah yang bisa menggunakan sihir. Jadi, apa yang telah terjadi masih perlu banyak penyelidikan.

"Madam, kumohon serahkan ini kepada saya," ujar Nathan serius. "Saya akan memberikan hukuman pantas untuknya."

Sang kepala akademi menggeleng pasrah. Kurasa dia mulai berpikir perkataan Nathan ada benarnya.

"Tidak! Aku tidak bersalah!" rengekku.

"Nona Luna, saya serahkan pengawasan dan hukuman atas apa yang telah terjadi kepada Yang Mulia Pangeran," ucap Madam Teressa. "Kalau begitu saya permisi. Banyak yang harus pihak akademi selidiki."

Madam Teressa berbalik. Jubah di punggungnya berkibar lalu berubah menjadi kobaran api yang membakar dirinya hingga menghilang.

Aku terdiam kaku. "Apa dia bunuh diri?"

"Luna, mulai sekarang kau tinggal di istana," ujar Nathan tiba-tiba. Netranya memandangiku serius.

"Hah?! Apa?!" pekikku kaget. Bahkan sangking kagetnya, aku langsung berdiri di atas ranjang.

Nathan memutar bola matanya malas. "Mulai sekarang kau akan hidup penuh pengawasan dariku juga beberapa staff istana yang kuberi kepercayaan."

"Tapi kenapa harus begitu? Aku tidak mau hidup penuh pengawasan dari orang asing!" tolakku. Bagi seorang pencopet, diawasi sama saja seperti mimpi buruk.

"Ini perintah dari Yang Mulia Pangeran!" sentak Nathan penuh penekanan.

🌜🌟

Di buku dongeng yang kubaca, setiap gadis yang dibawa pangeran ke istana sudah pasti akan dijadikan seorang permasyuri. Akan tetapi, nasib itu tidak terjadi kepadaku.

"Aw!" ringisku ketika lagi-lagi jariku tertusuk duri mawar. Diriku sekarang tengah sibuk di pekarangan istana. Sisi lain dari kamar asramaku yang berada di sebrang pulau awan.

"Tampaknya kau baru pertama kali mengurus tanaman," ujar seorang wanita yang dikenalkan Nathan sebagai atasanku. Namanya adalah Nyonya Brigith.

"Yah, kita tidak akan bisa menemukan tanaman lucu seperti ini di Downmere, Nyonya," balasku. Ya, benar. Nathan membawaku ke istana tidak secara cuma-cuma. Begitu baik hatinya ia sampai memberikanku pekerjaan sialan ini.

Selamat, Luna si pencopet telah beralih profesi menjadi Luna si tukang kebun.

"Ah, maafkan aku. Pasti sulit tinggal di sana," ujar Nyonya Brigith sambil menutup mulutnya dengan tangan. Dirinya tampak bersalah.

Aku menggeleng sarkas. "Tidak juga. Malah menyenangkan."

"Ekhem!" Suara deheman terdengar. Fokus kami berdua pun teralih dari kumpulan semak mawar ke arah si empunya suara.

Netraku otomatis terbelalak. Emosiku meluap naik ke pangkal tenggorokan, minta dikeluarkan, tetapi diriku tak mampu. Nyonya Brigith telah lebih dulu membungkuk, memberi salam penghormatan. Berbanding terbalik denganku yang masih berdiri tegak.

Syok.

"Luna," panggilnya. Tangan kokoh si empunya suara mencoba menggapaiku. Namun, dengan kasar, kutepis itu.

"Nick," ujarku pelan. Air mataku tumpah, benar-benar tidak bisa kutahan. Sebelum aku melanjutkan kalimatku, dengan cepat Nyonya Brigith mendorong kepalaku hingga menunduk. Menyuruhku paksa memberi salam penghormatan.

"Maafkan atas kelancangan staff kebun yang baru, Yang Mulia Baginda Raja. Dia masih perlu banyak belajar," ucap Nyonya Brigith. Suaranya bergetar.

"Oh, tak apa. Aku ke sini untuk menemuinya," ujar sesosok pemuda yang kini berdiri di depan kami. Teman lamaku sekaligus Sang Raja sementara, Nickaela Zirania.

"Eh?" Nyonya Brigith tersentak. "Tidak biasanya Anda ..., uh, baiklah, Yang Mulia."

Nick mengangguk ke arah Nyonya Brigith lalu berkata, "Tinggalkan aku sendiri bersamanya."

Nyonya Brigith berjalan tergesa. Langkahnya menghilang ke dalam lorong istana. Meninggalkan aku sendirian dengan si monster diktator di pekarangan.

"Luna," panggil Nick untuk yang kedua kalinya. Lagi-lagi tangan pemuda itu keluar dari balik jubah megahnya, berusaha menyentuhku. Dan lagi-lagi kumenepisnya kasar.

"Berhenti," sentakku, "jangan sentuh aku!"

"Baik, aku mengerti." Nick menurunkan tangannya. "Tapi aku ingin kau menatapku."

Sesuai permintaan, kudongakan kepala lalu menatapnya tajam. Namun, sialnya air mata terus-terusan tumpah dari kelopak mata. Kau melanggar janjimu. Janjimu untuk menyelamatkanku.

Nick menambil napas panjang. Tubuhnya yang tidak kalah tinggi seperti Nathan membuatku terintimidasi. Ditambah jubah besar maroon yang membungkus punggungnya semakin membuatku merasa sedang berdiri di depan seekor monster. Dia sudah berubah. Suaranya, sikapnya, tingginya. Dia bukan Nick.

"Maafkan aku," ujarnya.

Netraku terbelalak. Hanya dengan satu kalimat itu saja, hatiku hampir tergoyahkan. Sial. Sial. Sial. "Pergilah, Nick."

"Aku melakukan semua ini demi ayahku," gumam Nick pelan. Kepalanya agak tertunduk. Netranya yang semula memandangiku kini beralih ke udara kosong.

"Kubilang, pergi!" sentakku. Ya, pergilah Nick.

"T-tapi, Luna, aku baru saja bisa bertemu denganmu," tolak Nick. Sesosok monster diktator di depanku, untuk sesaat berubah menjadi seorang pemuda biasa.

Fokus. Dialah yang membunuh ayah dan orangtua Yobi, juga ratusan kaum bawah lainnya di bawah nama perang. "Aku tidak mau melihatmu! Pergilah!"

Kumohon pergilah, Nick.

"Tidak mau," tolak Nick. Netranya kembali memandangiku. "Sekeras apa pun kau berusaha menolakku, aku akan tetap di sini."

Pergilah sebelum aku kembali tidak membencimu.

GREP.

Nick bergerak cepat, lengan kokohnya merengkuh diriku ke dalam pelukannya. Aku gemetaran. Di dalam sana, hati dan otakku saling berperang. Mana yang benar? Mana yang salah?

"Aku merindukanmu, Luna," bisiknya ke telingaku.

"Woi woi!" Sebuah tangan memisahkan kami. Kuterbelalak memandangi Nathan yang seketika muncul dengan bibir cemberut. "Apa yang kalian lakukan?"

"Ah, Kakak rupanya," ujar Nick. Netranya melirik ke arah lain. Raut wajahnya tampak kesal, tetapi pemuda itu berusaha menyembunyikannya. "Kenapa kau muncul?"

"Untuk menghentikan aksi mesum dari adik kandungku sendiri," jawab Nathan datar.

Wajahku panas. Memerah bagaikan kepiting rebus. "Kau, tidak, kalian apa-apaan, sih?!"

Dua saudara di depanku saling pandang. Aura kesal begitu kental mereka pancarkan dari wajah masing-masing. Astaga, mereka mengabaikan keberadaanku.

"Haha, kenapa kau tidak kembali ke ruang kerjamu, Baginda Raja?" tanya Nathan penuh penekanan.

"Hoho, memeriksa staff istana yang baru juga termasuk pekerjaanku," bantah Nick meremehkan.

"Haha, bukankah kau biasanya hanya memeriksa dokumen mereka lalu melemparnya asal ke sudut ruangan?" Nathan kembali membalas.

"Hoho, maksudmu aku tidak boleh menemui teman lamaku?" Nick maju selangkah mendekati Nathan.

"Haha, jika begitu, lalu kenapa kau dengan lancang malah memeluknya?" Nathan pun sama. Dia selangkah maju lebih dekat.

Alisku berkedut. Memperhatikan perdebatan panjang yang selanjutnya dipenuhi dengan Haha dan Hoho.

Apa-apaan lagi ini?

🌜🌟

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro