Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 3

"Bagaimana kuliahmu hari ini?" tanya Hyunjoong setelah bermenit-menit berlalu, hanya sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.

Jaejoong yang terfokus dengan apa yang sedang ia kerjakan, melirik sekilas sang Ayah. "Biasa saja, tidak ada hal menarik."

Hyunjoong meletakkan kaca mata bacanya, memerhatikan Jaejoong yang sibuk menggambar sketsa biru sebuah bangunan. Tidak diragukan lagi, putranya sangat mahir dalam menghasilkan sebuah karya dengan kedua tangannya bahkan, saat ia masihlah sangat muda. "Appa bangga padamu, sketsamu luar biasa."

Jaejoong melirik ayahnya yang baru saja meletakkan tangannya di atas bahunya. Dia membenci pria tua, yang diktator ini. "Hm, aku akan berusaha."

"Bagus! Jangan hanya kata-kata saja ... kau harus membuktikannya juga. Segera Appa akan membuatmu masuk perusahaan kita dan menjadikamu bisnis Men termuda di negeri ini," ucap Hyunjoong berseri-seri sembari membayangkan masa depan. "Untuk itu, Jaejoong-ah berusahalah lebih keras jangan, membuatku kecewa lagi."

"Hm," gumam Jaejoong, entah ia sedang mengiyakan atau tidak tetapi cengkeramannya pada pensil di tangannya sudah berhasil membuat potongan kayu itu terbelah dua.

"Lanjutkan lagi, pekerjaanmu. Appa akan menyuruh ibu-mu untuk menyiapkan sesuatu untukmu."

Jaejoong menoleh, menghilangkan wajah kusutnya dalam sekejap dengan raut penuh senyuman. "Tidak perlu merepotkan Eommoni, Appa. Sudah larut kurasa, biarkan dia istirahat ... begitu juga Appa. Pergilah tidur, tak baik orang seusiamu bergadang."

Hyunjoong tertawa senang mendengar kata-kata perhatian Jaejoong. "Kau sudah dewasa ternyata, bisa berkata begitu perhatian. Appa jadi, tidak menyesal membawamu kembali setelah sekian lama."

Senyum Jaejoong belum lagi hilang tetapi, dalam hatinya dia sudah menggeram marah. 'Pak tua, semakin kau banyak bicara. Semakin aku ingin mencabik-cabik dirimu... tenanglah, Jaejoong--ah! Aku akan bersabar terlebih dulu."

"Lalu, kenapa Appa masih di sini. Cepatlah istirahatlah!"

"Hhh, Appa juga inginya seperti itu  tapi, ... bagaimana lagi. Appa hanya akan menyelesaikan pekerjaan di meja dulu," ujar Hyunjoong kembali ke tempat duduknya. "Ayo, selesaikan pekerjaanmu juga agar kita bisa istirahat lebih cepat."

Jaejoong mengangguk, kembali mengalihkan wajahnya pada pekerjaan lagi sebelum akhirnya, dia menyadari jika tangannya sudah berdarah terkena serpihan kayu dari patahan pensilnya. 'Sial!'

Mata Jaejoong melirik keberadaan ayahnya, Hyunjoong. Mendesah lega pria paruh baya itu kembali sibuk dengan pekerjaanya. Lalu, dengan berhati-hati Jaejoong mulai membersihkan tangannya dengan hati-hati, itupun dia hanya bisa membalutnya dengan tisu. Dirinya, tidak boleh terlihat lagi mendapat luka baru seperti ini.

"Hoamm! Appa sepertinya aku sudah sangat mengantuk ...." Jaejoong mencoba beralasan, sudah cukup baginya duduk berhadapan dengan pria tua itu. "Aku akan melanjutkan tuugasku lagi besok, bagaimana?"

Hyunjoong mengerutkan kening. "Baiklah, sana pergi istirahat!"

"Yah, terimakasih. Tetapi, Appa juga cepatlah istirahat," sahut Jaejoong seraya bangun dan menggeliatkan tubuhnya seolah-olah dia benar-benar mengantuk sambil sebisa mungkin menyembunyikan luka di telapak tangannya. "Ok! Aku pergi. Selamat malam.

"Selamat malam!"

*

Sebelumnya di balik pintu Junsu sedang mengintip, melihat interaksi Appa dan Hyung –nya yang tampak harmonis di matanya dan berhasil membuatnya iri. Sudah sejak lama sekali baginya, jika Appa-nya tidak terlalu memerhatikannya lagi.

Meremas kertas di bawah kepalan tangannya, Junsu berbalik mendesah sambil bersandar di dinding. "Payah," lirihnya pada diri sendiri. Junsu membuka kertas lusuh di tangannya. "Beasiswa apanya? Terbaik dari mana? Appa tidak akan lagi bangga dengan hanya seperti ini. Tetap aku tidak akan pernah melampaui Jaejoong Hyung."

Junsu meremasnya kembali dan membuangnya lalu melangkah pergi. Jaejoong baru saja keluar dari pintu ruang kerja sang Ayah ketika tanpa sengaja gumpalan kertas jatuh di bawah kakinya. Dia tidak melihat siapapun di lorong.

Mengambil kertas lusuh tersebut membukanya lebar-lebar. Dia melihat selembar sertifikat ditambah transkip nilai akademis. Tidak mungkin salah lagi, ini milik Junsu tetapi, Jaejoong bertanya kenapa ada di sini? Ragu awalnya tetapi, akhirnya kembali berbalik.

Jaejoong membawa kertas tersebut kehadapan Hyunjoong..

"Apa ini?"

Jaejoong menunjuk kata-kata teratas di kertas, yang hampir tidak berbentuk lagi."Jelas itu milik Junsu, Appa. Sebelumya dia pasti ke sini tetapi, malu untuk menyerahkannya padamu ... atau mungkin kertas nilai terjatuh di lantai."

Selama beberapa saat Jaejoong masih menunggu tetapi, melihat Ayahnya benar-benar tidak  mengatakan apapun dan malah dengan santainya
menyingkirkan kertas tersebut ke samping dan melanjutkan lagi pekerjaanya.

"Pria tua kurang ajar! Apa yyang harus kulakukan padamu, heh!! Haruskah, kupatahkan jari-jarimu itu seperti pensil tadi,"ujar Jaejoong berbicara sendiri seraya mengobati luka ditangannya.

Rasa benci, bercampur dendam sudah mendarah daging. Jika bukan karena dirinya masih lemah, Jaejoong bertekad ingin membuat ayah kandungnya sendiri yang bernama, Kim Hyunjoong hancur di bawah kakinya. "akan kulakukan apapun, saatnya nanti kau hancur!"

***

"Aku merindukanmu, tentu saja," jawabnya pada sang penelepon tetapi sepertinya orang diseberang sana tidak cukup puas mendengar jawaban Jaejoong karena berkali-kali bibir merah Jaejoong kembali berucap rindu juga cinta untuk meyakinkan si lawan bicara. "Kau puas, Sayang? ... kalau begitu cepatlah datang kemari, aku menunggu."

"Ah, apa kau bicara dengan kekasihmu?"

Jaejoong menoleh mencaritahu seseorang yang sepertinya berbicara padanya, seorang remaja tinggi dengan senyuman lebar juga tengah menatapnya. "Apa kau bertanya padaku?"

"Tentu saja," sahut pemuda itu cepat. "Apa kalian pacaran jarak jauh? Eoh, kau sangat sabar—"

"Kau bukan seorang Mahasiswa, bukan?" potong Jaejoong memerhatikan remaja tersebut dari pantulan cermin di kamar mandi. "Sebaiknya pergilah kembali ke sekolahmu dan jangan banyak bicara omong kosong dengan pria yang tidak kau kenal apalagi, mendengarkan sesuatu yang tidak seharusnya."

Setelahnya Jaejoong segera berlalu di sana dengan sedikit nada gerutuan di akhir kalimat. "Aku heran untuk apa anak sekolah High School sudah berkeliaran di sini, membolos. Yang benar saja bukankah harusnya mereka pergi ke game center atau sejenisnya."

Changmin, nama remaja tinggi itu tercengang, hanya bisa membuka mulutnya tanpa bisa berkata apa-apa lagi. Menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. 'Yah, sebenarnya untuk apa dia datang kemari jika, bukan karena bocah berpantat bebek itu.'

*

"Apa kau tuli juga buta, hah?"

Jaejoong menatap datar wajah Yunho, tidak berekspresi atas kemarahan pria tersebut. "Jika kau berpikir begitu maka, lakukan saja. Aku terlalu sibuk meladenimu, pergilah!"

Yunho mengibas seluruh benda di atas meja hingga terjatuh dan menarik perhatian orang sekitar. "Sudah kukatakan jangan pernah macam-macam denganku."

Jaejoong menggeram marah, berdiri sama tinggi dengan Yunho. Mendesis tajam. "Tuan muda Jung yang terhormat. Siapa yang berpikir ingin macam-macam denganmu? Bahkan, melakukan satu macam seperti ini saja aku tidak bersedia. Terserah apa, aku hanya akan melakukan pekerjaan bagianku dan kau ... lakukan apapun yang kau suka karena aku tidak peduli tapi, jangan pernah mengacaukan pekerjaanku."

"K-kau." Yunho menggeram, menunjuknya dengan jari telunjuk yang teracung. Jika bukan karena tugas kelompok yang diberikan oleh Dosen, Yunho tidak akan bersedia berbicara dengan pria tersebut bahkan, sampai harus dengan rela mengikutinya ke sini.

Ke taman belakang kampus --tempat biasanya para mahasiswa bersantai juga terkadang dijadikan tempat berdiskusi— terlebih lagi, Yunho baru saja diperlakukan bagai makhluk tak kasat mata, tak diacuhkan dan diabaikan oleh Jaejoong membuatnya jelas emosi dan tidak terima. Menyesal sebelumnya berpikir bisa menjadi temannya terlepas dari rasa tidak sukanya di awal. 

"Kenapa kau masih diam!? Ambil semua yang sudah kau lempar." Bentak Jaejoong, memerintah.

Emosi Yunho tidak bisa terbendung ketika perkataan Jaejoong, kembali menyulut emosinya. Kepalan tangannya melayang ke arah Jaejoong dan tidak terduga bisa ditangkis Lalu, giliran kepalan tangan Jaejoong yang mengarah pada Yunho.

Kemudian hingga tak lama terjadilah perkelahian diantara mereka berdua. Tidak sulit, juga tidak mudah. Mereka mencoba mempertahankan diri mereka masing-masing untuk  saling baku hantam.

Keduanya dipisah dan berhasil masuk tahanan yang sama. Tidak ada yang begitu berani berkelahi dihalaman lingkup perkuliahan sampai seorang Dosen segera melapor polisi setelah keduanya tidak bisa diperingati. 

"Berengsek aku tidak melakukan apapun?! Lepaskan aku!"

"Tidak terduga mulutmu itu banyak bicara, hentikan omong kosongmu dan diamlah," ujar Jaejoong sengit bosan mendengar ocehan Yunho di dalam penjara.

"Ini semua gara-gara kau, kenapa juga sekarang aku harus mendengar perintahmu."

"Karena jelas kau bodoh dan tolol." Telak Jaejoong berdiri dan  menantangnya lagi. TIdak ingat dengan tempat keberadaanya.



Tobecontinue.'170718' 
 

                        Revisi. "03 Juni 2021'

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro