Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 8 Rencana Baru Saja Dimulai

Bia mengerjap. Masih bersandar di pintu, ia mengeluarkan amplop yang diberikan Jeno dari saku bajunya dan menatapnya kertas putih dengan logo rumah sakit tersebut. Cukup lama sebelum memutuskan untuk membukanya. Tetapi baru saja ia membuka amplop tersebut, suara denting bel terdengar. Bia menoleh ke belakang, mengintip dari lubang pintu dan terkejut menemukan Al Birulah yang berdiri di depan pintu kamarnya. Ia pun segera memasukkan amplop tersebut ke saku bajunya dan menunggu sejenak untuk membukanya.

"B-biru?"

Dengan senyum lebar dan tatapan intensnya yang seperti biasa, pria itu bertanya, "Kenapa kau terkejut? Kau menunggu seseorang?"

Bia segera menggeleng dengan cepat lalu memiringkan tubuhnya untuk memberi Al Biru jalan. "Kenapa kau datang selarut ini?"

Al Biru melangkah masuk, tetapi sambil menangkap pinggang Bia. Mendorong tubuh wanita itu ke dinding sambil menggunakan kakinya untuk menutup pintu. "Hanya ingin melihat wajahmu, dan ...." Wajah Al Biru semakin tertunduk. Mengunci tatapan Bia sambil menutup jarak di antara bibir mereka. "Melakukan ini."

Bia tak menolak. Lebih karena itulah yang diinginkan oleh Al Biru. Apa pun keinginan pria itu, ia tak akan menolaknya. Dan semakin banyak keinginan Al Biru terhadapnya, itu semakin baik. Karena semakin besar kesempatannya untuk semakin dekat pada tujuannya.

Lumatan Al Biru selalu penuh gairah dan panas. Menciptakan getaran yang asing. Saat Bia membuka matanya, ia bisa melihat kedua mata Al Biru yang terpejam. Menikmati setiap sesapan rasa manis dari bibirnya.

Al Biru menghentikan lumatannya saat Bia hampir kehabisan napas. Ia sedikit menjauhkan wajahnya dan menatap puas wajah Bia yang memerah dan bibir yang bengkak karena perbuatannya. Tangannya terulur, menyentuhkan ibu jarinya di sepanjang bibir bawah Bia. "Aku tak sabar menunggu esok hari. Dan memilikimu secara utuh."

Jika wajah Bia bisa lebih merah, maka itu akan terjadi. Ciuman dan kata-kata Al Biru benar-benar perpaduan yang sangat sempurna untuk membuat wajahnya tersipu malu. Dan, dari cara Al Biru menciumnya pun Bia tahu pria itu lebih dari sekedar handal untuk memiliki dirinya. Lebih dari sekedar lihai untuk menikmati memiliki dirinya.

Al Biru menggeram rendah ketika sekali lagi mendaratkan kecupan di bibir Bia. Kali ini dengan kecupan singkat dan lembut. Sebelum kemudian wajahnya menjauh. "Aku harus pergi."

Kening Bia berkerut, menatap Al Biru dengan penuh keheranan.

"Aku tak yakin bisa menahan diriku jika berada di sini lebih lama lagi."

Kerutan di kening Bia semakin menukik tajam.

Al Biru terkekeh. Sekali lagi mendaratkan kecupan gemasnya di bibir Bia akan kepolosan wanita itu. "Aku pergi."

Bia masih terpaku di tempatnya untuk beberapa saat yang lama setelah Al Biru menutup pintu di sampingnya. Masih bisa merasakan jejak kelembaban dan kehangatan yang ditinggalkan pria itu di bibirnya.

***

Acara pernikahan berlangsung dengan suasana yang hangat. Kehadiran keluargan besar Al Biru sama sekali tak menjadikan pernikahan tersebut menjadi lebih pribadi. Memenuhi halaman belakang rumah Al Biru yang seluas lapangan golf. Semua tatanan, catering, dan konsep yang dipercayakan pada Erum, dilakukan dengan sebaik-baiknya. Bia terkagum, sekaligus puas karena pernikahan Bastian dan Chellyn tak sebesar dan semewah ini. Dan kepuasan tersebut semakin tak tertahankan karena Al Biru memilih Erum sebagai penanggung jawab pernikahan mereka. Bia tak merasa perlu khawatir pernikahannya akan gagal, Al Biru lebih menginginkan pernikahan ini menjadi kenyataan. Tanpa Bia merasa perlu turun tangan.

Setelah sumpah pernikahan diucapkan dan saling menyematkan cincin, keduanya dinyatakan resmi sebagai pasangan suami istri.

"Sekarang, kau terjebak seumur hidup bersamaku, Bia," bisik Al Biru sebelum menempelkan bibir mereka. Melumatnya dengan lumatan yang dalam dan semakin merapatkan tubuh mereka berdua. Mengabaikan tepukan riuh seluruh tamu undangan yang ikut berbahagia dengan pernikahan mereka.

Lalu menyusul ucapan selamat yang tak henti-hentinya membanjiri keduanya. Meski Bia yakin ada banyak orang yang tampak berpura berbahagia saat tahu ialah yang menjadi istri Al Biru Atmadja. Ya, berkat gosip yang beredar di kalangan mereka, Bia menjadi semakin terkenal tentang kejahatan kedua orang tuanya. Tapi tak ada satu pun yang berani mengusik tentang itu di hadapan Al Biru.

Pandangan Bia menangkap Bastian yang duduk di salah satu meja. Sejak tadi pria itu hanya menatapnya, tanpa senyum dan terkesan menyimpan kemarahan yang tak bisa diluapkan.

Ada banyak hal yang mendorongnya hingga berjalan sejauh ini. Salah satunya Bastian. Ingatan ketika ia datang ke rumah ini untuk pertama kalinya. Ia tak akan pernah melupakan apa yang dilakukan Bastian pada hubungan mereka.

"Apa maksudnya ini, Bastian?" Bia menunjukkan kartu undangan pernikahan dengan nama Bastian Atmadja dan Chellyn Cinthya sebagai pengantinnya. "Kenapa kau harus menikah dengan Chellyn? Kau tahu dia sepupuku, kan?"

Wajah Bastian tampak datar dan tak ada sedikit pun emosi yang terlihat di kedua mata pria itu. Kedua tangannya dipegang oleh Bia, yang mengemis penjelasan darinya. Tapi ia pun tak bisa menjelaskan apa pun pada sang kekasih. Bahkan untuk satu patah kata maaf.

"Sejak kapan rencana ini dibuat?" Bia menggoyang-goyangkan tangan Bastian. Air matanya mengalir membasahi seluruh permukaan wajahnya. Dengan isakan yang pilu. "Kenapa kau lakukan ini padaku? Apakah kau sudah tidak mencintaiku lagi?"

Bastian masih membisu. Dan tepat pada saat itu, Chellyn melangkah keluar dari kediaman Bastian, menyentakkan yangan Bia dengan kasar. "Ya, dia sudah tidak mencintaimu lagi, Bia."

Bia menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. "Kenapa harus denganmu."

"Karena aku sedang hamil." Jawaban Chellyn dipenuhi kepuasan yang telak. Yang membuat Bia seolah tersambar petir. "Anak kami."

Cukup lama Bia terperangah oleh kalimat Chellyn. Pandangannya turun ke arah telapak tangan Chellyn yang mengelus perut wanita itu.

"T-tidak. Itu tidak mungkin." Air mata Bia jatuh semakin deras, hingga tenggorokannya sakit. "Bastian tidak mungkin mengkhianatiku."

Chellyn mendengus dengan keras, sementara Bastian masih membisu dan sengaja menuli.

"Katakan ini tidak benar, Bastian." Suara Bia yang bergetar dengan penuh permohonan yang terdengar begitu menyayat hati. Yang kemudian kalimatnya mendapatkan balasan tamparan dari Chellyn.

Plaakkk ...

Suara tamparan itu bergema. Kepala Bia terputar ke samping dengan keras. Kepalanya pusing dan wajahnya terasa panas. Butuh waktu yang cukup baginya untuk terbangun dari keterkejutannya akan tamparan sang sepupu.

"Kau pikir kehamilanku ini palsu?" sengit Chellyn. "Kenapa kau begitu bodoh hingga tak bisa mencerna situasimu dengan baik, Bia. Aku hamil, 8 minggu. Dan ini adalah darah daging Bastian. Itu artinya hubungan kami sudah terjalin cukup lama."

Kepala Bia menggeleng dengan pilu. Air mata membanjiri pipinya memerah oleh tamparan sang sepupu. "Tidak. Itu tidak mungkin, kan, Bastian."

Bastian tak mengatakan apa pun. Pria itu malah memalingkan wajah yang membuat hati Bia hancur sehancur-hancurnya.

"Ada apa?" Suara Al Biru memecah lamunan Bia.

Bia mengerjap dan tersadar, menatap ke samping dengan seulas senyum yang dibalas kecupan singkat oleh Al Biru.

"Kau lelah?"

"Sedikit."

"Bersabarlah sedikit lagi. Kita harus menyapa mereka karena semua adalah anggota keluar besarku."

Bia mengangguk.

Hingga menjelang siang, barulah keduanya bisa beristirahat. Al Biru membawanya ke kamar pria itu yang ada di lantai dua. Pandangan Bia mengedar ke seluruh ruangan yang luas. Lebih luas dari kamarnya sebelum rumah kedua orang tuanya disita bank. Dan tentu saja ini adalah kamar utama di rumah ini. Sekarang ia sudah menjadi Nyonya Atmadja. Bia Atmadja. Rasanya napasnya telah kembali meski tak cukup melegakannya. Semuanya baru saja dimulai.

"Butuh bantuan?" Al Biru muncul dari balik punggung Bia yang berdiri di depan meja rias. Yang sudah disiapkan khusus untuk wanita itu. Tanpa jawaban, tangannya terulur dan menggantikan tangan Bia untuk menarik resleting gaun pengantin tersebut. Tatapannya tak lepas dari kedua kata Bia yang bertemu di cermin.

Napas Bia tertahan. Meski Al Biru bukan pria yang dicintainya, tetap saja ia tak bisa menolak sensasi lembut di permukaan kulitnya ketika jemari pria itu menyentuhnya. Ada gelenyar aneh yang merambat dari sana. Menyebar ke seluruh tubuhnya dan menciptakan debaran asing di dadanya.

Tangan Al Biru bergetar turun ke bawah, hingga sepanjang garis punggung Bia terekspos. Dan kepalanya tertunduk, mendaratkan kecupan di pundak Bia. Ringan tapi memberikan sensasi yang lebih besar. Kemudian bergetak ke cekungan leher Bia, sementara tangannya menurunkan gaun di sisi lain terjatuh.

Bia terkesiap pelan ketika gaun putih dari bahan satin tersebut meluncur jatuh hingga di bawah kakinya. Napasnya tertahan dan Al Biru menarik punggungnya hingga menempel di dada pria itu. Menggigit lembut telinganya dan kakinya melemah oleh sensasi asing tersebut. Bahkan hanya dengan sentuhan ringan saja sudah membuat napas Bia beraturan seperti ini. Bia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan pria itu nanti malam. Kegugupan mendadak menyelinap masuk ke dalam dadanya.

"Malam ini akan menjadi malam yang panjang untuk kita berdua."

Wajah Bia memerah, tak tahu ke mana kalimat Al Biru merujuk. Kepada resepsi pernikahan yang meriah, atau pada malam pertama mereka. Sepertinya keduanya.

"Kau harus istirahat," bisik Al Biru kemudian menutupi tubuh sang istri yang sudah setengah telanjang demi dirinya agar tak kehilangan kendali menggunakan jubah tidur. Ia masih harus bersabar hingga acara resepsi selesai. Sebelum kemudian mengklaim miliknya. Dengan seutuhnya.

Bia mengerjap, menyadarkan diri dari gelombang asing yang dibawa oleh Al Biru. Berdiri dengan kedua kakinya dan baru menyadari jubah yang sudah membungkus tubuhnya. Wajahnya tertunduk, tersipu malu.

"Tidurlah. Waktu kita tak banyak. Hanya satu jam sebelum pergi ke hotel untuk persiapan acara resepsi," jelas Al Biru.

Bia mengangguk, merapatkan belahan jubah di dadanya. Menunggu sejenak sebelum Al Biru berbalik dan berjalan ke arah pintu yang ia yakin adalah ruang ganti. Setelah menormalkan debaran di dadanya, Bia berjalan mendekati tempat tidur dan berbaring. Memaksa matanya terpejam agar mengantuk. Ia harus mendapatkan waktu istirahat yang cukup sebelum malam yang panjang. Kehidupannya sebagai nyonya Atmadja baru saja dimulai.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro