[II] Chapter 6: Times and Chances
Halooo~ kangen dua kurcaci ini? :)
-----
Taehyung
Bagaimana cara mengukur kebodohan seseorang?
Yah, menurut gue kata “bodoh” ini sebenarnya sensitif, dan juga subyektif. Mengingat dulu gue senang ikutan debat dan pidato soal stigma bodoh dalam pendidikan, kali ini gue merasa gue seperti menjilat ludah sendiri.
Karena bodoh itu benar-benar ada. Dan definisi bodoh yang sesungguhnya itu gue. Kim Taehyung yang menyakini diri sendiri bahwa otaknya bekerja dengan baik, tapi nyatanya otaknya hanya jadi pajangan yang dilindungi tengkorak kepala.
Dan tanpa alat pun, gue tahu bahwa kebodohan gue ini sudah dalam batas maksimal. Ini jadi satu peraihan besar yang sama sekali nggak membanggakan.
Butuh contoh? I will gladly give you one.
Nggak perlu jauh-jauh melihat masa lalu, karena sekarang gue sedang melakukan kebodohan lainnya. Seharusnya gue bisa minta maaf, memeluk dia dan bilang bahwa gue benar-benar menyesal. Gue tahu apa kesalahan gue, dan tidak seharusnya gue menambahnya. Gue seharusnya mencium dia, bukannya justru mengangkat tangan dan nyaris kelepasan untuk melakukan kekasaran.
Sayangnya mulut gue ini memang sudah terbiasa untuk banyak bicara. Otak saja yang kritis, tapi tindakan miris. Nyatanya, gue nggak bisa melakukan satu pun dari apa yang gue pikirkan. Yang ada gue hanya diam, tetap menyetir sementara Chaeryong duduk di kursi samping sambil melipat lengan, tatapannya menoleh ke arah jendela mobil.
Dude, lo kalah menarik ketimbang tiang jalan sampai istri lo lebih memperhatikan benda mati itu ketimbang suaminya sendiri.
Sebelumnya Mami menyarankan kami untuk menginap saja karena sudah terlalu malam untuk pulang. Tapi tentu saja, itu hanya alibi Mami. Dan tahu kan, alasan sebenarnya karena apa? Karena gue sudah diragukan sebagai suami yang baik.
“Chae, ngantuk?”
Hanya dua kata. Gue tahu. Tapi mengatakannya seakan butuh dua abad bertapa. Gue hanya meremas stir, berusaha terlihat cool dengan tatapan yang tetap berfokus pada jalanan. Dan syukurnya bibir gue nggak tremor ketika bicara.
Bukan bibir yang tremor, man. Hati.
Gue nggak bakal heran kalau Chaeryong diam atau sama sekali tidak menggubris. Memang pantas sih gue dapat perlakuan begitu. Tapi dia menggeleng, meskipun mata dia tetap memilih memperhatikan jalanan ketimbang pasangannya yang berharap diperhatikan ini. Gue hanya bisa mengulum senyum meskipun tahu Chaeryong tidak akan tahu itu.
“Kamu ngantuk, Tae?”
Wait. Ini Chaeryong betulan nanya atau suara klakson saja yang berevolusi karena halusinasi pria kurang belaian ini?
Blank. Gue hanya bisa melongo sampai Chaeryong tiba-tiba menolehkan kepalanya ke gue. Setelah sekian lama, akhirnya gue melihat mata ini lagi. Manik cokelat terang yang selalu menatap gue dengan sayang, yang tersenyum bersamaan dengan bibir yang melengkung. Dan mata ini juga yang sekarang menatap gue dengan gambaran lelah dan setengah kosong.
Kamu capek, Chae?
“Kalau nggak kuat mending ke pinggir dulu, atau mampir parkir di mana. Jangan dipaksain.”
Ini yang gue butuhkan. Attention. Loves. Kalimat itu mengandung semua yang gue butuhkan. Hanya sekarang, gue merasa itu semua kosong. Gue hanya bisa menggeleng lagi. “Nggak papa. Lagian bentar lagi sampai kok. Tidurnya di rumah aja.”
Kalimat seperti ini biasanya nggak hanya akan stuck, kadang berlanjut ke dirty jokes khas kami.
“Di rumah aja, Chae. Masa kuda-kudaan di mobil?”
“Dih, itu sih kamu aja. Aku manusia bukan kuda.”
“Ya emang ada manusia-manusiaan?”
Dulu, hal sesederhana itu bisa membuat kami tertawa. Gue dan Chaeryong sama-sama tertawa, dan suara itu yang kami butuhkan untuk tetap stay awake. Nggak perlu radio atau lagu, hanya butuh suara tawa.
But things won’t be that simple anymore, isn’t it, Chae?
Sudah nggak ada lagi suara tertawa kamu dan genggaman tangan kamu. Sudah nggak ada lagi tangan kamu yang cubit pipi dan bilang bahwa aku ini cutest guy that ever exists in the world.
I’m not the cutest. I’m the cruelest, right?
Yang ada sekarang hanya keramaian jalan di luar mobil, dan kita sama-sama membisu. Entah terlalu takut untuk bicara atau tidak ada yang bisa dibicarakan. For me, both.
Gue pengen bicara banyak, tapi nggak bisa. takut. Here is the coward you ever loved, Chae. Yah, loved. Past tense. Kalian nggak salah lihat. Siapa gue yang berani berharap dicintai setelah apa yang gue lakuin?
Tolol, memang.
Beberapa menit terlewat dan akhirnya mobil memasuki parkiran. Gue mematikan mesin mobil dan membuka kunci pintu mobil. Dan lagi, hening.
Chaeryong masih diam di tempat, tatapannya tertuju ke depan, tapi gue sendiri tidak tahu apa yang dia lihat atau apa yang dia pikirkan. Gue menenggak ludah yang rasanya lebih pahit dari biasanya, dan berusaha untuk bicara.
“Chae, aku benar-benar minta maaf untuk yang tadi. Dan yang soal Joohyun itu aku sebenarnya...”
“Tae, Aku lagi nggak pengen bahas itu. Please.”
“Tapi kita nggak bisa gini terus, Chae.”
Ini mungkin bukan saat yang tepat. Dan gue kelihatan keras kepala banget. But, dude, berada di posisi gue ini melelahkan. Gue nggak akan menyangkal bahwa gue memang salah. Tapi tiap orang berhak mendapat kesempatan untuk minta maaf dan berubah, bukan?
Gue ingin menggenggam tangan Chaeryong. Sangat. Tapi ketika gue menggerakkan tangan, dia justru mundur dan membuka pintu, beranjak keluar dari mobil.
“Sorry, Taehyung. Aku masih butuh waktu untuk lupain semuanya.”
Hanya itu yang gue dengar dari Chaeryong. Bukan gue yang minta maaf, tapi dia. Dan permintaan maafnya itu yang membuat gue merasa tertampar.
People says that a cheater will always be a cheater.
Apa di mata kamu aku juga begitu, Chaeryong?
*
Chaeryong
Bukan hal yang mudah untuk melupakan sesuatu, terutama kesalahan seseorang.
Aku tidak akan munafik, karena itu memang benar. Kesalahan itu melukai. Dan tiap luka itu membekas, bukan? Tak peduli obat apapun yang digunakan, luka akan tetap jadi luka. Mungkin dia pudar, tapi bukan berarti hilang.
The same rule applies when you break your heart.
You can lie to yourself, saying that everything is fine. But deep inside, it feels hurt. Sampai kapanpun, luka itu akan tetap ada.
Aku mungkin orang paling kejam di dunia. Tak peduli dari agama manapun, dari didikan manapun, memaafkan itu sebuah prinsip hidup. Tapi aku tidak bisa menerapkannya. Sejak dulu, teori dan praktek itu memang berada di ranah yang berbeda. Karena teori tidak butuh perasaan. Tapi praktek?
Di depan Mami dan Papi, Mama dan Papa, aku bisa saja tersenyum dan bilang bahwa aku dan Taehyung baik-baik saja. Aku bisa saja bilang pada teman-teman yang lain bahwa aku bahagia. Tapi nyatanya, aku punya titik di mana semua itu bisa hancur.
Bahkan aktor handal sekalipun tidak bisa menguasai semua skenario.
Meski aku bertingkah seolah aku lupa, fakrtanya aku tidak bisa melupakannya. Terlalu sulit untuk melupakan teriakan Taehyung di malam itu, tangisanku dan kepergiannya. Bulan-bulan yang kami lewati tanpa komunikasi, hingga dia yang pada malam itu mencium seseorang yang jelas bukan aku.
Mungkin ini alasannya aku tidak pernah jadi aktor. Aku payah dalam berpura-pura. Sayangnya aku juga tidak jujur.
Can you imagine how screwed I am?
Aku masih berbaring di tempat tidur, mencoba mengingat semuanya. Ini pagi yang ke sekian kalinya bagiku untuk bangun sendiri. Tidak ada pelukan, kehangatan, ciuman. Hanya ada aku. Atau mungkin diri sendiri sudah hilang sejak lama.
Satu-satunya yang membangunkanku justru getaran ponsel di dekat meja. Ada telepon masuk dengan nomor yang tidak diketahui. Aku masih mengerutkan kening, namun jari sudah menggeser layar untuk mengangkat.
Mungkin editorku ganti nomor lagi.
Kudekatkan ponsel ke telinga untuk mendengar suara. Namun sebelum sempat bicara, suara di ujung sana sudah lebih dulu terdengar.
“Halo? Maaf ganggu, tapi ini benar nomor Chaeryong, kan? Ini Park Sungjin.”
***
Who is Park Sungjin? Well, you guys decide.
Seperti biasa voting aku pin di twitter aku ya (@arata_kim)
Dan semoga next week aku bisa langsung update~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro