Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[II] Chapter 3: 403 Mind Error

(Still standing for ChaeTae, anyone?)

Chaeryong

Ini memang bukan pertama kalinya aku melihat billiard, tapi ini bisa dibilang perdananya seorang Kim Chaeryong memegang stick sendiri dan mencoba untuk memasukkan bola.

Biar aku sederhanakan bahasanya. Well, this is the first time for Kim Chaeryong playing billiard.

Hm. Wait. Did I just called myself with Kim? Nampaknya otakku sedang sedikit bermasalah.

Maksudku tadi... Jung Chaeryong. Better I correct it myself, karena aku takut mungkin Bapak Kim Taehyung akan marah jika aku menggunakan namanya.

Sejak menerima ajakan dari Mami tanpa memberi alasan sepatah kata pun, aku pribadi tahu kalau hal seperti ini pasti terjadi.

But seriously, I didn't have any idea that it will turns out like this. Dengan Taehyung di belakangku, memegang tanganku dengan posisi kami yang sudah sama seperti kertas dan perekat.

Diriku, bertahanlah. Ini bukan apa-apa.

"Coba dorong bola yang birunya, Chae."

Suara Taehyung terdengar tepat di belakang telinga kananku, memberikan sensasi sengatan aneh yang...

Astaga. Aku benar-benar harus mengatur otakku.

Perlahan angin mulai menyelimuti lengan dan punggungku ketika Taehyung menjauhkan diri, memberikan keluasan bagiku untuk bergerak dan memukul bola dengan stick yang kupegang.

Well, Taehyung. Seharusnya kamu begini dari tadi.

Perlahan, aku mencoba menggerakan stick yang kupegang, memukul bola berwarna biru-seperti yang Taehyung bilang sebelumnya. Bunyi bunyi bola yang bertabrakan terdengar sebelum beberapa bola masuk ke dalam.

"Anak Papi ini jago ternyata. Sudah sering main ya, Chae?" Papi yang awalnya berdiri dengan Mami di pojok ruangan kini mendekat. "Bisa-bisa Taehyung sama Papi kamu kalahin kalau gini."

Aku menolehkan kepalaku ke arah Taehyung sejenak sebelum beralih memandangi papi dan mengeluarkan respon yang dikeluarkan oleh menantu yang baik: tersenyum sambil tertawa.

"Nggak kok, Pi. Ini juga Taehyung yang ngajarin tadi," kataku. Kembali aku menatap Taehyung lalu tersenyum. "Thank you."

Ini bagian dari sandiwara yang kami lakukan, percayalah. Aku tidak akan bisa benar-benar tersenyum padanya, dan begitu juga dengannya.

But we did good. We did. Kenyataannya Papi dan Mami tersenyum ketika Taehyung mengatakan, "Anytime, Sayang."

Beberapa perempuan mungkin akan ikut tersenyum mendengar suaminya mengucapkan kalimat itu. Tapi tidak denganku.

Mungkin beberapa akan berpikir kalau aku perempuan yang tidak normal. Harus kuakui... ya. Dan perempuan ini sedang berada dalam ketidaknormalan rumah tangga.

Jadi wajar, kan?

Mami yang tadinya masih ada di pojok ruangan nampaknya tidak betah sendirian dan akhirnya bergabung dengan kami.

Awalnya, aku sudah berharap kalau semuanya sudah selesai. Terlalu lama bersandiwara itu lebih melelahkan dibandingkan duduk hampir seharian di meet and greet.

Saat meet and greet itu adalah saat yang paling bebas. We can openly express ourself and sharing laughs. Tapi tidak dengan ini.

Well, we do laughs. But actually, we use laugh to cover something. Dan menutupi sesuatu itu melelahkan.

Kenyataannya aku dan Taehyung harus tetap "menutup dengan senyuman" lebih lama lagi karena Mami yang tersenyum dan berkata, "Ayo kita makan. Mami sudah masak banyak."

Bagiku, makan itu bukan sekadar kebutuhan, tapi hobi.

Hanya saja "makan" yang Mami ucapkan punya pengertian lagi bagiku.

Berada di meja yang sama, kembali bersandiwara dengan senyuman, dan mencoba menyaingi keromantisan yang diciptakan Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet dalam film Titanic di depan Papi dan Mami.

Aku tahu kalau Taehyung sendiri jelas tidak akan betah berlama-lama di rumah orang tuanya. Begitu pula denganku.

We're on the same shoes, Tae. Jadi kita sama-sama harus survive.

This started to sounds funny, right? Aku mulai menyemangati Taehyung ketika aku sendiri bahkan tidak punya penyemangat.

Sekarang aku mengerti kenapa banyak yang mengatakan laki-laki nggak punya hati, sementara wanita nggak punya otak.

Karena hanya wanita yang masih bisa menyemangati seseorang yang bahkan sudah menyakitinya.

And I was one of that "wanita nggak punya otak".

Aku masih berdiri di tempat sampai aku merasakan ada sosok lain yang hadi di sampingku, merangkul pundakku dengan lengannya yang panjang.

Taehyung.

"Maaf," bisiknya pelan. Cukup pelan hingga aku yakin hanya aku yang bisa mendengar bisikannya.

What are you apologize for, Kim?

Aku menolehkan kepalaku ke arahnya hingga dia kembali berbisik, "Seems like kita harus lebih lama di sini."

Perlahan aku mengangguk. Well, aku memang sedikit bodoh karena berpikir kalau Taehyung meminta maaf untuk hal yang lain. Tentu saja tidak.

Let me create a note to myself. Sepulang dari rumah orang tuanya Taehyung, aku harus bertapa, bersemedi, bermeditasi agar otakku bisa berpikir lebih baik.

"Nggak perlu minta maaf, I know this will happen," balasku sambil tersenyum kecil.
Seharusnya aku menepis lengannya dari pundakku. Ya, seharusnya begitu.

Tapi nampaknya otakku sudah masuk ke step "error" yang lebih jauh, membuatku diam di tempat dan membiarkan lengan yang dulu jadi tempatku meletakkan kepala sebagai pengganti bantal memberikan kehangatan pada pundakku.

Oke, kali ini aku akan membiarkan otakku. Hanya kali ini.

"Ayo makan yuk?" Suara Mami kembali terdengar.

Selanjutnya, Mami berjalan keluar dari ruangan diikuti Papi yang menyusul dari belakang.

Sedangkan aku? Aku masih diam di tempat, dengan Taehung yang masih merangkulku.

Perlahan lengannya menyingkir dari pundakku, dan seketika aku merasa angin di ruangan terlalu dingin hingga membuat pundakku terasa kosong.

"Ayo, Chae. Kita makan."

Aku sudah siap untuk berjalan mengikutinya dari belakang. Tapi nampaknya, aku harus membiarkan kesiapan diriku berubah jadi sia-sia.

Karena nyatanya aku bukan harus berjalan di belakang Kim Taehyung ini di belakangnya. Tidak di belakang. Tapi di sampingnya.

Tangannya yang besar dengan jari-jarinya yang panjang perlahan menggenggam tanganku.

I hate this. Aku benci tangannya.

Tangannya yang besar, yang membuatku merasa begitu kecil hingga aku merasa butuh seseorang sebagai tempat untuk bersandar dan membuat diri sendiri nyaman.

Tapi dibandingkan dengan semua itu, aku benci tangannya yang mengubah rasa benciku menjadi sebuah kenyamanan.

You make me confused, Tae. Can you just tell me what should I do?

Seharusnya aku benci kamu atau membiarkan aku hanyut dalam rasa nyaman yang kamu kasih ini?

***

Aku benci untuk mengatakan kalau aku menikmati obrolan dalam makan siang bersama dengan orang tua Taehyung.

No offense. Jika aku mengatakannya, itu berarti aku beranggapan kalau aku menyukai kebohongan yang kulakukan.

Sebenarnya, kebohongan yang aku dan Taehyung sepakati bukan tanpa dasar. Masalah yang kami ciptakan akan lebih baik jika kami selesaikan berdua, meskipun aku berpikir masalah kami tidak akan selesai.

Akan lebih baik kami tidak melibatkan pihak lain untuk ikut terlibat dalam masalah kami, termasuk Mami dan Papi.

Hanya saja, bohong tetaplah bohong. Faktanya, aku sudah membohongi malaikat seperti Mami.

I wonder. Bagaimana reaksi Mami jika tahu kalau selama ini aku dan Taehyung hanya pura-pura kelihatan romantis di depannya. Apa Mami masih akan tetap menuangkan teh ke dalam gelasku?

What I do now was digging my own grave, don't I?

Aku dan Mami masih membereskan piring-piring di atas meja sementara Papi dan Taehyung masih nampaknya asik bermain billiard. Lagi.

"Kamu kalau capek istirahat aja, Chae. Biar Mami aja."

Tanpa sadar Mami sudah berada di sampingku. Piring-piring yang awalnya ada di tanganku sudah berpindah ke tangan Mami.

"Mi, biar aku aja. Harusnya Mami yang istirahat."

Aku berusaha untuk kembali mengambil piring di tangan Mami, tapi Mami bersih keras untuk membereskannya sendiri.

"Tua gini Mami harus tetap gerak, Chae. Kamu kan banyak kerjaan, mending kamu aja yang istirahat," balas Mami yang sudah melangkah ke dapur.

Aku yang masih ingin membalas pada akhirnya dibuat diam dengan kalimat Mami berikutnya.

"Taehyung juga cerita ke Mami kalau kamu sibuk banget. Jadi waktu kayak gini pake buat istirahat aja. Kamar di atas kosong tuh, tidur di sana aja."

"Beneran nggak papa, Mi?"

"Kamu ini sama ya kayak Taehyung? Gini-gini Mami masih bisa ngangkat galon ke dispenser sendiri, tahu."

Senyuman yang Mami keluarkan membuatku tak bisa menahan senyumanku.

Oke, aku menyerah.

"Kalau butuh bantuan panggil Chaeryong aja ya, Mi? Jangan terlalu keras kerjanya," kataku yang dibalas dengan anggukan kepala Mami.

"Gampang lah itu. Taehyung sama Papi juga kan ada di ba..."

Drrt.

Aku dan Mami saling bertatapan karena suara getaran yang terdengar.

Tahu maksud Mami, aku menggeleng. "Bukan handphone aku, Mi. Handphone Mami?"

"Mami charge di kamar," kata Mami.

Ada beberapa detik aku dan Mami masih saling memandang sampai suara getaran itu kembali terdengar.

Kepalaku otomatis menoleh ke meja, mendapati handphone yang ada di atas.

Handphone Taehyung.

Handphone-nya terus bergetar dengan satu nama yang muncul di layar.

Bae Joohyun.

Pikiranku otomatis berputar.

Sebentar. Kenapa namanya tidak asing, ya?

Meski agak ragu, aku akhirnya mengangkat telepon yang masuk.

"Halo?"

"Taehyung, kamu di mana? Ini aku sudah di tokonya. Kamu mau cari cincin yang kayak gimana?"

Suara perempuan.

Dan lagi... cincin?

Oh, tidak. Pikiranku sepertinya makin tidak waras sekarang.

#

Arata's Noteu:

The title of the part was inspired by: 403 Forbidden Error (yang biasanya kalian temuin pas accessing website tapi error).
Which means, otak Chae emang lagi error. Karena... Uhuq.

Well, hey! Ada yang nunggu?

Maaf jarang update karena saya sendiri sibuk af. Duh.

Sampai sini ada yang bisa nebak barangkali what's wrong with ChaeTae?

Dan... Oh. Ini hanya nanya aja sih. Kalian lebih milih Black Jacket (Jimin) atau Black Shoes (Jungkook)?

Anyway, have a great sunday, guys!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro