[II] Chapter 1: We Weren't Fine. We Were Screwed
(Gaya bahasanya bakal sedikit berbeda dari Black Jeans book I. Harusnya saya revisi book I tapi saya malas, ehe. Waktu nulis juga makin berkurang sih. Please do comment. Kalau bisa spam, biar semangat update ChaeTae. Kan rame 1 part commentnya 1k. Pft. 🙈)
...
Chaeryong
Apa yang diharapkan pembaca terhadap komik favoritnya?
Of course, a good art with a good story in it. Para pembaca butuh wujud visualisasi dari cerita yang digambarkan oleh komikus.
Dan apa yang diharapkan sang komikus dari pembacanya? Sederhana. Mereka menyukai karyanya saja sudah cukup. Bahkan itu semua lebih dari cukup. Indeed, that's what I want.
Meskipun harus kuakui kalau hari ini aku benar-benar kelelahan karena harus menandatangani komik yang baru saja rilis minggu lalu, tapi senyuman yang mereka berikan padaku seakan jadi bayaran dari tangan yang terasa hampir patah ini.
Bukan hanya sekadar senyuman, tapi aku sendiri merasa ada sesuatu yang kudapatkan dari mereka.
Tak jarang beberapa dari mereka menanyakan sesuatu dan membuatku melakukan hal yang sama. Asking the same question to my other self.
Sejam yang lalu, ada seseorang yang menyodorkan komik yang dia beli padaku sebelum bertanya, "Menurut Kakak, what actually love means?"
Aku berpikir, mencoba mencari jawaban yang tepat untuk diberikan.
But crap is, I don't find it. Aku bahkan sudah lupa bagaimana cara mendeskripsikan kata yang satu itu. Tidak ada gambaran, tidak ada bayangan.
Blank. Just... nothing.
Mungkin arti kata itu sendiri sudah tenggelam saking sudah tidak lama mencintai dan dicintai. Kelihatan miris untuk seorang komikus komik romance.
Duh, Chae, meratapi nasib sekarang nggak guna.
"Masih siap satu baris lagi, Chae?"
"Please, enough. Gue bisa-bisa harus ke dokter saraf gara-gara saraf kejepit cuman buat megang pena seharian," keluhku selagi menekukkan leher.
Terdengar suara tawa di dekatku. Begitu aku menengadahkan kepalaku, bisa kulihat sosok Seulgi dengan tangannya yang menyodorkan sebotol air mineral ke arahku.
"Thanks, Seul."
Seulgi hanya tersenyum, seakan memberikanku kode untuk segera menghabiskan air minum yang dia berikan tadi.
"Habis ini lo ada acara?" tanya Seulgi yang kemudian duduk di pinggiran meja. Aku mengangguk.
"Gue kangen tempat tidur."
"Kangen tempat tidur apa orang yang nemenin tidur?"
I miss both, Seul. To be honest. Tapi sayangnya yang kedua sudah nggak bisa dikangenin lagi, sudah hilang dari tiga bulan yang lalu. Nggak ada lagi yang jadi bantal guling pengganti.
Aku hanya merespon ucapan Seulgi barusan dengan suara tawa sebelum menyanggah. "Kalau lo sih pasti kangennya sama Wonwoo."
"Kangen banget, udah kayak Bang Toyib jarang pulang," ujar Seulgi.
Ingin rasanya aku mengatakan hal yang sama. Tapi yang aku kangenin bukan Bang Toyib. He always there, at home. Tapi aku tahu hatinya nggak ada di sana.
Dan faktanya, akulah yang mencoba menjadi Bang Toyib. Sengaja pulang lama ke rumah supaya mengurangi waktu tatap muka dengan objek yang dihindari.
Seulgi menarik kursi yang ada di dekatku lalu duduk di kursi tersebut.
"Lo dijemput nanti, Chae?"
"Hah?"
Aku langsung melongo. Tumben sekali Seulgi menanyakan hal seperti ini.
"Dia sibuk, Seul. Mana mungkin jemput gue," kataku. Aku kemudian menutup botol air minum yang isinya sudah kuhabiskan. "Lagian gue udah biasa tiap hari naik taksi."
"Tapi hari ini tukang taksi lo khusus, Chae," balas Seulgi. Entah kenapa dia justru berbisik saat mengatakannya. "Supir taksi plus plus."
Spontan aku langsung mengernyitkan dahi, memandanginya heran. "Apaan sih..."
"Liat tuh, supir taksi lo nunggu di ujung sana."
Seulgi tiba-tiba menunjuk ke sudut ruangan, menunjuk ke arah laki-laki dengan jaket hitam dan topi hitam di sana.
Wait... itu Taehyung?
What the heck was he doing here?
"Hari ini suami lo berubah jadi supir tuh." Beberapa detik kemudian Seulgi berdiri, menepuk pundakku sebelum dia pergi entah kemana.
"Lo pulang aja duluan. Nanti gue kasih tau pak bos deh. Mungkin suami lo mintah jatah."
Ya Tuhan, ini perempuan satu pikirannya suka ke mana-mana ya?
Dan selanjutnya, Seulgi menghilang.
Laki-laki yang ada di sudut ruangan tadi melangkah mendekat, membuka topinya lalu tersenyum padaku. "Pulang yuk, Chae?"
Oh, God. Aku bahkan tidak mengerti kenapa laki-laki ini bisa tersenyum semanis ini di depanku.
I'm a killer, isn't it, Kim Taehyung? Kenapa masih senyum manis gitu ke aku yang dulu kamu teriaki pembunuh?
"Atau kamu prefer makan di luar?" Suaranya kembali terdengar, membuatku menengadahkan sedikit kepalaku untuk memandanginya yang sedikit lebih tinggi dibandingku.
Aku menggelengkan kepala kecil. "Di rumah aja."
"Oh, oke."
Dia kemudian berjalan lebih dulu setelah mengambil tasku yang memang dari tadi kuletakkan di atas meja.
Tidak ada percakapan lagi. Aku hanya diam, mengikutinya dari belakang tanpa mengucapkan apa pun selain jawaban dari pertanyaannya yang tadi.
Seharusnya tadi aku meralat ucapan Seulgi tadi.
Dia memang Taehyung. Kim Taehyung. Hanya saja kata "suami" yang Seulgi ucapkan sudah luntur.
Luntur hanya dalam satu malam.
Benar kan, Tae?
*
Taehyung
Semenjak tinggal bareng Chaeryong, many things changed in my daily activities.
Kalau dulu gue biasanya bisa bangun siang, sekarang gue diwajibkan bangun pagi. Gue sama Chaeryong suka gantian ngebangunin.
Kalau gue pulang malam selesai ngantor, dia yang bakal bangunin gue, nyium gue terus bilang, "Taehyung, aku udah masakin sarapan."
Dan kadang-meskipun gue cukup sering melakukan hal ini-gue minta jatah pagi. Makanan besar dari istri, man. Guess what?
The point is, rutinitas gue sedikit lebih teratur karena dipantau sama Chaeryong.
Sayangnya, sekarang gue harus mantau hidup gue sendiri. Sedih. Padahal hubungan gue sama Chaeryong masih sama.
Yah, sama buat orang lain, tapi nggak buat kita berdua.
Kalau dulu kita berdua sering tertawa bareng di meja makan, dan nggak jarang gue tersedak. Di detik berikutnya, kesayangan gue itu sudah mulai mengomel ini itu sambil ngasih gue air minum. We were a great couple back then.
I don't expect much when the fact is we were married by a contract. Ketika gue sadar kalau gue sudah berharap pernikahan gue lebih dari sekadar nikah kontrak yang berlanjut dari hasil penipuan, gue kehilangan dia.
Luckily, gue akhirnya bisa start over lagi dan membenarkan hubungan kontrak itu jadi lebih baik lagi. Di saat itulah gue berjanji dan nggak mau kehilangan dia lagi.
Buat sekarang, gue memang nggak kehilangan dia. Chaeryong ada di depan gue. Mulutnya masih asik mengunyah masakan yang dia buat untuk kita berdua. Untungnya dia masih nganggap gue jadi gue masih bisa makan.
Tapi dibanding masakan dia, gue lebih butuh dia. Hati dia yang entah sudah ke mana.
Hati kamu belum diambil orang lain kan, Chae?
"Aku selesai."
Gue langsung menengadahkan kepala mendengar suara dia.
"Kamu nggak mau nambah?" gue bertanya, dan Chaeryong hanya menjawab dengan gelengan kepala.
Di detik berikutnya, Chaeryong sudah berdiri dari kursinya, mengambil piring dan gelas kotor di atas meja lalu membawanya ke dapur.
"Selesai nanti bawa ke dapur, ya."
Wah, kalimat tadi jadi kalimat terpanjang yang gue dengar dari Chaeryong hari ini. Enam kata.
Padahal Chaeryong itu termasuk tipikal perempuan cerewet. Tapi semenjak tiga bulan yang lalu, cerewetnya hilang.
Terutama buat gue. Dia jadi ekstra irit buat ngomong, padahal seharusnya gue sebagai suaminya yang jadi tempat curahan kecerewetan dia.
I won't blame her. Gue tahu memang gue pantas didiemin begini. Tapi kalau terlalu lama, suami mana yang kuat?
Kok tega kamu ngediamin suami kamu terus, Chae?
Begitu selesai makan, gue membawa piring gue ke dapur. Chaeryong masih ada di sana, sibuk jadi sosok istri yang lagi cuci piring.
Boleh nggak sih gue peluk?
"Taruh di dekat sini aja."
Oke, sekarang lima kata. Dan gue tahu betul kalau itu kalimat lain dari, "Put it there then go."
Gue meletakkan piring gue di dekat wastafel. Ya, seharusnya gue pergi. Tapi gue merasa kalau ada sesuatu yang nggak beres dari Chaeryong.
"Chae, you okay?"
Gue mencoba mengulurkan tangan gue untuk memegang dahinya, tapi dengan cepat tangan gue ditepis begitu saja.
"Aku baik-baik aja." Chaeryong bahkan nggak mau natap gue.
"Kamu panas, Chae. Biar aku aja yang cuci piringnya."
"Nggak usah, aku bisa sendiri."
Gue yang awalnya mencoba menggeser dia pelan supaya berhenti justru didorong begitu saja.
"Chae, istirahat aja."
"I said I'm fine."
"Kim Chaeryong!"
Shit. Apa gue baru aja teriak tadi? Teriak ke arah Chaeryong?
"Mending kamu istirahat sekarang," gue berkata selagi menghela napas. Emosi gue jadi gampang meledak begini.
Bisa gue lihat Chaeryong memandangi gue dalam. Cukup dalam sampai gue merasa kalau teriakan gue barusan berhasil nyakitin dia.
"Chae, sorry."
"Nggak papa."
"Udah aku aja yang..."
"Tae, you better go to your room."
Tujuh kata. Kalimat terpanjang yang dia ucapkan hari ini dengan diselipkan nama gue.
I should be happy. Tapi kalimat yang mengusir begitu nggak mungkin bikin gue ketawa bahagia.
Sekalinya ngomong panjang malah diusir. Great.
Akhirnya, gue memilih mengalah. Gue mengambil langkah kecil dan keluar dari dapur.
Begini rupanya rasanya diusir istri sendiri, meskipun bukan diusir dari rumah rasanya sama aja. Sama-sama sakit.
Sebelum benar-benar melangkah keluar, gue berbalik sebentar. Gue perhatikan punggung Chaeryong, punggung yang dulu sering banget gue peluk, tapi sudah nggak pernah gue peluk sejak tiga bulan yang lalu.
Kaki jenjang Chaeryong yang biasanya melingkar di pinggang gue, yang biasanya nendang gue, sekarang sudah nggak pernah gue sentuh lagi.
That ears of her yang sering gue cium dulu...
God, I miss her.
She was there. Standing right there, tepat di depan gue. Tapi faktanya gue terlalu lemah buat ke sana dan meluk dia.
Gue berubah jadi nothing, lebih nothing dari sampah yang masuk ke dalam tempat sampah.
Coba sebutkan apa yang lebih rendah dari sampah?
Itu gue.
"Chae... kamu beneran nggak apa-apa?"
Dia nggak membalas. Untuk beberapa detik hanya suara air dari keran yang terdengar. Kemudian dia membalikkan kepalanya dan menjawab dengan wajah datarnya, "I'm okay."
Yah, aku tahu kamu bakal jawab kayak gitu, Chae.
Tapi seberapa banyak pun kamu jawab begitu, faktanya nggak akan berubah.
You aren't that fine.
Both of us aren't fine. We were screwed, Chae.
Nggak bisakah kamu bilang ke aku apa yang harus aku lakuin buat berhentiin our screwed-up ini, Chae?
#
Yo, update. :) coba kasih kesan pesannya. Ehe
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro